Untuk mencapai itu, Islam menekankan kepada pasangan suami-istri untuk senantiasa menjalin hubungan lahir batin yang baik dan sehat serta menutup seluruh celah-celah keretakan hubungan agar ikatan antar keduanya tidak rapuh hingga akhir hayat.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara makruf. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
Namun, ketika memang ikatan pernikahan telah rapuh hingga segala upaya ishlah dan perbaikan tak dapat menjadi solusi, maka di saat seperti itulah syariat talak yang hukum asalnya adalah makruh menjadi mubah untuk dilakukan.
Kasih Sayang Allah di Balik Syariat Talak
Kasih sayang Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya begitu luas. Bahkan dalam urusan talak sekalipun, Allah ‘azza wajalla masih membentangkan kasih sayang-Nya.
Hal ini dapat kita saksikan ketika seorang suami mengucapkan kata talak karena dorongan amarah bukan karena kesalahan istri, atau karena kesalahan yang diperbuat suami, maka—menurut beberapa pendapat—talaknya tetap jatuh. Sama halnya apakah sebab perceraian itu bersumber dari suami atau istri.
Dengan demikian, maka perceraian akan menjadi pelajaran dan bahan renungan bagi mereka berdua. Ini melihat karena ikatan pernikahan adalah ikatan yang paling kuat. Mitsaqan ghalidza.
Apabila terjadi perpisahan antara suami-istri, lalu masing-masing merasakan pahit getirnya saling berjauhan, maka setelah rujuk tentunya masing-masing dari keduanya akan kembali menjaga diri untuk melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan amarah, apalagi sesuatu yang dapat mengakibatkan terjadinya perpisahan dengan pasangan hidupnya.
Karenanya, jika seorang suami kembali menceraikan istrinya untuk kedua kalinya karena hasutan setan, maka secara naluri tentu penyesalan dan kesedihannya akan bertambah besar akibat terjadinya keretakan dalam kehidupan mereka itu untuk yang kedua kali, terlebih lagi kalau mereka sudah mempunyai keturunan.
Allah Tetap Beri Kesempatan untuk Kembali
Syariat-syariat itu datang dalam bentuk yang bermacam-macam. Syariat yang satu menggantikan syariat yang lain, agar terus sesuai dengan situasi dan kondisi umat yang akan melaksanakannya. Akan tetapi semua syariat tadi mempunyai kesatuan pemahaman mengenai keesaan Allah ‘azza wajalla beserta sifat-sifat kekekalan yang layak bagi-Nya.
Sebagai contoh, dalam syariat nabi Musa ‘alaihissalam, seorang wanita yang telah dicerai diperbolehkan kembali kepada mantan suaminya, selama dia belum menikah dengan laki-laki lain.
Namun jika dia sudah menikah dengan laki-laki lain, maka secara mutlak dia tidak boleh kembali kepada suaminya yang lama.
Sedangkan syariat nabi Isa tidak membenarkan adanya talak kecuali dalam beberapa keadaan tertentu.
Kemudian datanglah syariat nabi Muhammad, syariat yang paling mulia, paling sempurna, paling tinggi, dan paling tepat untuk kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam syariat nabi Muhammad, Allah ‘azza wajalla memperbolehkan umat manusia melakukan beberapa kebaikan yang sebelumnya tidak pernah diperbolehkan bagi umat-umat terdahulu, seperti bolehnya seorang wanita kembali kepada mantan suaminya setelah bercerai.
Karena besarnya kasih sayang Allah ‘azza wajalla terhadap hamba-Nya, Dia tidak menciptakan peluang untuk terjadinya keputusasaan walau sudah bercerai dua kali. Seolah-olah Dia berkata kepada pasangan tadi, “Kalian masih punya kesempatan ketiga. Kalau kesempatan ketiga ini gagal lagi, maka tertutuplah bagi kalian jalan untuk rujuk.” Kecuali setelah si istri menikah dengan laki-laki lain, lalu mereka berpisah lagi karena perceraian, atau karena khulu’, atau karena suaminya meninggal dunia. Itu pun harus menunggu sampai masa iddahnya habis.
Bencana dan cobaan besar yang terjadi sesudah perceraian ini dapat dilihat dari beberapa segi.
Cobaan yang paling berat adalah ketika sang suami menyadari bahwa istrinya kini sudah tidak berada di sampingnya lagi, tetapi kini tidur dengan suami barunya.
Apalagi jika perceraian itu membuat robohnya ukhuwah islamiah dan bercerai-berainya silaturahmi antar keluarga besar. Tentu masih banyak lagi kerugian lain yang sudah pasti dapat ditebak oleh setiap orang.
Allah ‘azza wajalla Maha Tahu, seseorang yang telah merasakan perpisahan akan menyadari kesalahannya lalu ia akan kembali ke jalan yang benar, maka Dia tidak menjadikan mereka berputus asa untuk tidak dapat berkumpul kembali sampai akhir hayat.
Karena itu, Allah ‘azza wajalla memperbolehkan mereka untuk rujuk kembali. Tapi ada syaratnya, mantan istri harus menikah dengan laki-laki lain. Itu pun tetap masih disyaratkan adanya saling menikmati (terjadi persetubuhan) yang murni di antara keduanya secara alami, bukan rekayasa.
Maqashid Syariah dalam Pengharaman Rujuk Setelah Talak Tiga
Diriwayatkan dari sebuah hadits bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menyampaikan bahwa Rifa’ah al-Qurthubi telah menceraikan istrinya sampai talak tiga.
Selanjutnya Abdurrahman bin Zubair menikahi mantan istri Rifa’ah itu.
Pada suatu hari, istri Rifa’ah mendatangi nabi. Kemudian ia berkata kepada beliau bahwa Rifa’ah telah menceraikannya tiga kali, selanjutnya ia dinikahi oleh Abdurrahman. Tetapi Abdurrahman hanyalah seperti rumbai pakaian (lelaki yang tak berdaya). Rasulullah n bersabda kepadanya,
“Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? Jangan dulu! Kamu tidak boleh kembali kepada Rifa’ah, sampai kamu dan Abdurrrahman saling memberi kenikmatan (terjadi persetubuhan).”
Dalam kisah lain disebutkan, ada seseorang yang menyampaikan informasi kepada Imam Malik, kisah ini beliau sebutkan dalam kitabnya Al-Muwatha’, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma perihal hubungan dengan istrinya,
“Aku telah mentalak istriku sebanyak seratus kali, bagaimana pendapat Anda tentang sikapku ini?”
Lalu Ibnu Abbas menjawab, “Talak telah jatuh darimu tiga kali (talak tiga), sedangkan yang 97 sisanya engkau telah menjadikan ayat Allah sebagai gurauan.” (Al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, Al-Baji al-Andalusi, 3/351, versi al-Maktabah asy-Syamilah)
Atas dasar adanya kasus-kasus seperti itulah syariat Islam hadir dengan mengharamkan seorang laki-laki yang menalak istrinya dengan talak tiga untuk kembali rujuk, kecuali setelah istri yang ditalaknya itu dinikahi oleh laki-laki lain dan telah berhubungan badan dengannya kemudian cerai.
Tujuan syariatnya (maqashid syariah) adalah untuk mendidik kaum laki-laki sekaligus sebagai peringatan keras atas pedihnya balasan mempermainkan ayat Allah.
Naluri seorang laki-laki sudah barang tentu akan merasa sakit hati dan hancur perasaannya ketika wanita yang pernah ia nikahi sekarang satu ranjang dengan laki-laki lain, meski keduanya berada dalam balutan selimut pernikahan yang sah.
Kondisi ini tidak akan ia alami jika ia tidak bermain-main dengan urusan talak dan hak istri.
Dalam kitab Al-Bada’i’ dijelaskan, pelanggaran terhadap perbuatan haram yang berat dapat melahirkan adanya hukuman bagi suami pertama yang telah menjatuhkan talak tiga dimana secara syariat hukum asalnya adalah makruh. Hal ini ditetapkan sebagai upaya untuk menghalanginya dari menjatuhkan talak tiga.
Namun jika pihak suami lalu menyadari bahwa dia hanya boleh merujuk mantan istrinya setelah ia dinikahi oleh laki-laki lain (sesuatu yang dirasa berat oleh akal sehat), tentu ia akan menahan diri untuk menjatuhkan talak tiga.
Seperti diketahui bahwa akad pernikahan saja bukanlah sesuatu yang dirasa berat oleh akal dan karakter manusia. Karena seorang laki-laki tidak akan terbebani sama sekali hanya dengan akad pernikahan mantan istrinya dengan suami barunya, jika tidak ditetapkan syarat adanya persetubuhan antara keduanya terlebih dahulu. Karena itulah disyaratkan adanya hubungan seksual agar itu menjadi peringatan bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak tiga.
Adanya syarat berhubungan seksual dalam pernikahan kedua bagi istri ini telah dinyatakan secara tersirat dalam firman Allah ‘azza wajalla,
فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Lalu seolah-olah Allah ‘azza wajalla menyatakan sebagai lanjutan ayat tersebut, “Dan juga berhubungan seksual dengannya.”
Inzal (ejakulasi) sendiri dalam berhubungan seksual tadi tidak dijadikan syarat, karena Allah ‘azza wajalla hanya menjadikan hubungan seksual sebagai batas dari haramnya istri untuk kembali kepada suaminya yang pertama.
Hubungan seksual itu cukup dengan adanya pertemuan dua alat kelamin. Jika itu sudah terjadi, maka larangan seorang wanita kembali kepada mantan suami setelah perceraian tidak berlaku lagi.
Inilah hikmah yang terdapat dalam pengharaman seorang wanita untuk kembali kepada suaminya setelah jatuh talak tiga. Sebuah hikmah dan didikan luar biasa dari Allah ‘azza wajalla untuk hamba-hamba-Nya. (Hikmatu at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Ali Ahmad al-Jurjawi, 2/64-66)
Dalam kitab at-Tahrir wa at-Tanwir (2/415) Ibnu ‘Asyur at-Tunisi menambahkan, hikmah dari tasyri’ ini adalah mencegah suami agar tidak menyepelekan urusan hak-hak istri dalam rumah tangga dan menjadikan istri hanya sebatas objek permainan belaka di dalam rumah.
Maka ditetapkanlah pada suami bahwa talak pertama itu sejatinya adalah kesalahan (hafwah), talak kedua adalah pelajaran (tajribah), dan talak ketiga adalah perpisahan (firaq).
Oleh Ibnu ‘Asyur, permisalan ini disebut mirip dengan sabda Rasulullah ketika mengisahkan proses pelajaran yang didapat nabi Musa dari nabi Khidir ‘alaihimassalam.
Sikap awal yang ditunjukkan oleh nabi Musa waktu itu adalah representasi sikap lupa, kemudian yang kedua adalah celah, dan yang ketiga adalah sikap kesengajaan. Oleh sebab itu, nabi Khidir ‘alaihissalam berkata kepada Musa ‘alaihissalam setelah peristiwa ketiga yang ia tunjukkan, “Inilah perbedaan antara aku dan kamu.”