Jumat, 09 September 2022

Rizki Halal Bagi Perkembangan Sang Anak

Merupakan bentuk pendidikan orang tua kepada anak yaitu memberikan makanan  yang  halal dari sumber rizki  halal kepada sang anak. Dikarenakan makanan yang halal adalah sumber kebaikan bagi anak. Sementara makanan  yang haram adalah faktor penyebab buruknya pribadi sang anak.

Salah satu kewajiban orang tua yaitu menafkahi sang anak seperti keperluan makan, minum, sekolah, dan segala hal  yang menjadi hak anak atas orang tuanya, dengan menggunakan rizki halal.

Merupakan bentuk pendidikan orang tua kepada anak yaitu memberikan makanan  yang  halal dari sumber rizki  halal kepada sang anak. Dikarenakan makanan yang halal adalah sumber kebaikan bagi anak. Sementara makanan  yang haram adalah faktor penyebab buruknya pribadi sang anak. Salah satu kewajiban orang tua yaitu menafkahi sang anak seperti keperluan makan, minum, sekolah, dan segala hal  yang menjadi hak anak atas orang tuanya, dengan menggunakan rizki halal.   Namun terkadang, tatkala orang tua ditimpa dengan kesulitan rizki, mulailah sebagian kita terngiang dengan    perkataan “Cari rejeki yang haram aja susah apalagi yang halal”, yang ini merupakan jebakan setan. Akhirnya beribucara ditempuh agar dapat mengais   uang baik dengan cara yang haram ataupun yang halal.  Syariat Islam telah membimbing para orang tua bahwa mencari nafkah untuk keluarga   termasuk dalam  amalan   yang mulia dan dapat menghasilkan banyak pahala. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam, إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً “Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya yang dia inginkan  mendapatkan pahala dari nafkah itu untuk mengharapkan pahala dari Alloh- maka itu   akan menjadi  sedekah baginya.” Sedangkan seorang tidak akan memperoleh pahala kecuali apabila amalan yang ia tunaikan telah ia niatkan untuk  mendapat pahala dan sejalan dengan aturan syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu  akan mendapatkan   balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”2 Menerangkan hal ini Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengutip perkataan Al-Muhallab, bahwa kewajiban  memberi nafkah kepada keluarga adalah ijma’ kaum   muslimin. Rasulullah  sholallahu ‘alayhi wasallam  menamakannya sebagai sedekah karena dikhawatirkan ada orang-orang yang  menyangka, pelaksanaan kewajiban memberi nafkah ini tidak ada pahalanya. Sementara mereka telah mengetahui bahwa memberikan sedekah itu berpahala. Maka beliau memberitahukan  bahwa nafkah merupakan sedekah bagi mereka, agar mereka   tidak mengeluarkan sedekah untuk selain keluarga  kecuali setelah mencukupi keluarganya. Hal ini sebagai tuntunan bagi mereka agar mendahulukan sedekah yang    wajib (menafkahi keluarga) dari pada sedekah yang thatawwu’ (sunnah).”3 Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam bersabda, أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَاليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Sedekah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan    yang diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah, dan mulailah (dalam berinfaq)   dengan orang-orang yang berada dibawah   tanggunganmu.”4 Dari apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam sangatlah  jelas bahwamenafkahi    keluarga adalah amalan mulia yang membuahkan pahala. Oleh  karena itu dalam memberikan nafkah, sangat   penting untuk diperhatikan mengenai      kehalalan dari nafkah tersebut, karena Alloh tidaklah menerima kecuali   sesuatu yang   halal lagi baik. Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ Dari Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi    wasallam bersabda: Wahai  sekalian manusia, sesungguhnya Allah adalah baik dan    tidaklah menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya   Allah memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana perintah kepada para Rasul : يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal sholihlah, sesungguhnya Aku Maha   Mengetahui apa yang kalian kerjakan (Q.S al-Mukminun:51) Dan Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian   (Q.S Al Baqoroh:172). Kemudian Nabi menceritakan keadaan seseorang yang melakukan safar panjang, rambutnya kusut, mukanya   berdoa, menengadahkan tangan ke langit dan berkata: Wahai Rabbku, wahai Rabbku. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi asupan gizi dari yang haram, maka bagaimana bisa   diterima doanya?!”5 Oleh karena itu jangan kita suapkan makanan haram kedalam perut anak-anak kita, menegukkan minuman yang   haram, memakaikan pakaian yang haram kepada mereka,  dan segala kebutuhan anak yang harus kita penuhi. Jangan sampai karena kita belum memilki keluasan untuk memenuhi kebutuhan anak,lalukita melirik kepada   praktek-praktek yang diharamkan, dengan harapan menghasilkan rejeki yang lebih banyak dalam pandangan kita. Baik itu mencuri, korupsi, mengurangi timbangan dalam jual-beli, melakukan pungli (pungutan liar), penggelapan  dana, penipuan, paraktek ribawi, dan profesi-profesilainnya yang diharamkan oleh agama Islam yang mulia ini. Harus kita sadari, bahwa nafkah yang haram akan berpengaruh buruk kepada anak-anak  kita. Karena sesuatu yang buruk akan berdampak buruk pula. Pengaruh tersebut bisa berupa sang anak nanti akan menjadi nakal, hingga tidak mau berbakti kepada orang tua. Maka ketidakbaktian anak tersebut menjadi balasan yang akan diterima oleh orang tua, akibat dahulu ia mencari  rizki dari jalan haram dan manafkahi keluarganya dengan rizki tersebut, maka Alloh akan jadikan rizki buruk  tersebut menjadi bumerang baginya. Demikian juga rejeki yang haram adalah sebab tidak terkabulnya doa orang tua maupun sang anak. Alloh telah memerintahkan para rasul untuk memakan dari segala sesuatu yang baik,   yaitu segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Alloh dan didapat dari jalan yang dibenarkan oleh syariat. Apabila tidak dihalalkan oleh  Alloh, seperti khamr misalnya, maka tidak boleh dimakan. Demikian juga apabila makanan tersebut adalah makanan yang dihalalkan oleh Alloh namun didapat dari jalan yang haram, maka itu pun tidak boleh dimakan.6 Imam An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini merupakan anjuran untuk memberikan      nafkah dari segala sesuatu  yang halal dan larangan memberikan nafkah dari segala      sesuatu yang haram. Hadits diatas juga menunjukan  bahwa  minuman, makanan, pakaian,dan semacamnya haruslah berasal dari sesuatu yang halal, bersih, dan tidak  mengandung syubhat (kesamaran). Hadits di atas juga menunjukan bahwa seseorang yang akan berdoa haruslah lebih memperhatikan hal-hal diatas  dari pada yang lainnya.”7 Disini juga terdapat peringatan keras tentang memakan sesuatu yang haram, yaitu hal tersebut bisa menjadi sebab tertolaknya doa, walaupun juga telah dilakukan pula sebab- sebab yang merupakan faktor terkabulnya doa.  Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam  katakan diakhir hatids, “Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang  seperti ini?” Kemudian memakan makanan yang haram –wal’iyadzubillah- merupakan sebab seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya, karena jasmaninya telah disuapi sesuatuyang buruk. Setiap suapan yang buruk akan berpengaruh kepada dirinya.8 Wallohul musta’an.” Contoh jelas adalah pribadi Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam yang sangat berhati- hati dalam menjauhkan  dirinya dari segala sesuatu yang bahkan baru dikhawatirkan     berasal dari sesuatu yang haram (apalagi jika telah   jelas-jelas haram). Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam bersabda, إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي، فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي، فَأَرْفَعُهَا لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً، فَأُلْقِيه “Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku mendapatkan sebutir korma   jatuh diatas tempat  tidurku. Aku pun mengambilnya untuk aku makan. Lalu aku khawatir jika kurma itu adalah kurma sedekah, maka  kuletakkan lagi kurma itu.”9 Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam meletakkan kembali kurma yang beliau temukan karena khawatir kurma   tersebut merupakan kurma sedekah, sedangkan Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam beserta keluarga beliau  dilarang untuk memakan harta sedekah Sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي تَمْرَةً مِنْ تَمَرِ الصَّدَقَةِ. فَجَعَلَهَا فِي فِيْهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: كَخْ كَخْ. اِرْمِ بِهَا. أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَة “Al Hasan bin ‘Ali memungut  sebutir kurma dari korma sedekah, lalu dia memasukkan  korma itu kedalam mulutnya. Rosululloh sholallahu ‘alayhi wasallam pun berkata,      “kikh, kikh”10! Buanglah  korma itu! Apa kau tidak  tahu, bahwa kita tidak            diperbolehkan untuk memakan sedekah.”11 Bahkan sebutir kurma, Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam tidak mau beliau berikan  kepada keluarganya  karena kurma tersebut tidak halal bagi Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam dan keluarga beliau. Inilah suatu tauladan baik yang dipraktekkan oleh junjungan kita dan contoh yang baik   bagi setiap muslim yang  menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi anak-anaknya.   Kasih sayang bukan berarti menuruti setiap tuntutan hingga melaumpaui batas, tetapi memberikan yang terbaik bagi anak sesuai tuntunan syari’at islam.         Wallohu a’lam bish Shawab. Keterangan: Hadits Riwayat Bukhori no. 5351 Hadits Riwayat Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907 Fathul Bari: 9/618 Hadits Riwayat Bukhori no. 5355 Hadits Riwayat Muslim no. 1015 Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 164 Syarah Shahih Muslim: 7/99 Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 175 Hadits Riwayat Bukhori no. 2434 dan Muslim no. 1070 Ini adalah suatu perkataan yang bertujuan memperingatkan anak dari perbuat kotor. Maknanya, “Tinggalkan dan buanglah barang tersebut”. Hadits Riwayat Muslim no. 1069 Referensi : Rizki Halal Bagi Perkembangan Sang Anak

Namun terkadang, tatkala orang tua ditimpa dengan kesulitan rizki, mulailah sebagian kita terngiang dengan    perkataan “Cari rejeki yang haram aja susah apalagi yang halal”, yang ini merupakan jebakan setan. Akhirnya beribucara ditempuh agar dapat mengais   uang baik dengan cara yang haram ataupun yang halal. 

Syariat Islam telah membimbing para orang tua bahwa mencari nafkah untuk keluarga   termasuk dalam  amalan   yang mulia dan dapat menghasilkan banyak pahala.

Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam,

إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya yang dia inginkan  mendapatkan pahala dari nafkah itu untuk mengharapkan pahala dari Alloh- maka itu   akan menjadi  sedekah baginya.”

Sedangkan seorang tidak akan memperoleh pahala kecuali apabila amalan yang ia tunaikan telah ia niatkan untuk  mendapat pahala dan sejalan dengan aturan syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu  akan mendapatkan   balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”2

Menerangkan hal ini Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengutip perkataan Al-Muhallab, bahwa kewajiban  memberi nafkah kepada keluarga adalah ijma’ kaum   muslimin. Rasulullah  sholallahu ‘alayhi wasallam  menamakannya sebagai sedekah karena dikhawatirkan ada orang-orang yang  menyangka, pelaksanaan kewajiban memberi nafkah ini tidak ada pahalanya.

Sementara mereka telah mengetahui bahwa memberikan sedekah itu berpahala. Maka beliau memberitahukan  bahwa nafkah merupakan sedekah bagi mereka, agar mereka   tidak mengeluarkan sedekah untuk selain keluarga  kecuali setelah mencukupi keluarganya. Hal ini sebagai tuntunan bagi mereka agar mendahulukan sedekah yang    wajib (menafkahi keluarga) dari pada sedekah yang thatawwu’ (sunnah).”3

Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَاليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

“Sedekah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan    yang diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah, dan mulailah (dalam berinfaq)   dengan orang-orang yang berada dibawah   tanggunganmu.”4

Dari apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam sangatlah  jelas bahwamenafkahi    keluarga adalah amalan mulia yang membuahkan pahala. Oleh  karena itu dalam memberikan nafkah, sangat   penting untuk diperhatikan mengenai      kehalalan dari nafkah tersebut, karena Alloh tidaklah menerima kecuali   sesuatu yang   halal lagi baik.

Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Dari Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi    wasallam bersabda: Wahai  sekalian manusia, sesungguhnya Allah adalah baik dan    tidaklah menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya   Allah memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana perintah kepada para Rasul :

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal sholihlah, sesungguhnya Aku Maha   Mengetahui apa yang kalian kerjakan (Q.S al-Mukminun:51)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian   (Q.S Al Baqoroh:172).

Kemudian Nabi menceritakan keadaan seseorang yang melakukan safar panjang, rambutnya kusut, mukanya   berdoa, menengadahkan tangan ke langit dan berkata: Wahai Rabbku, wahai Rabbku. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi asupan gizi dari yang haram, maka bagaimana bisa   diterima doanya?!”5

Oleh karena itu jangan kita suapkan makanan haram kedalam perut anak-anak kita, menegukkan minuman yang   haram, memakaikan pakaian yang haram kepada mereka,  dan segala kebutuhan anak yang harus kita penuhi.

Jangan sampai karena kita belum memilki keluasan untuk memenuhi kebutuhan anak,lalukita melirik kepada   praktek-praktek yang diharamkan, dengan harapan menghasilkan rejeki yang lebih banyak dalam pandangan kita. Baik itu mencuri, korupsi, mengurangi timbangan dalam jual-beli, melakukan pungli (pungutan liar), penggelapan  dana, penipuan, paraktek ribawi, dan profesi-profesilainnya yang diharamkan oleh agama Islam yang mulia ini.

Harus kita sadari, bahwa nafkah yang haram akan berpengaruh buruk kepada anak-anak  kita. Karena sesuatu yang buruk akan berdampak buruk pula. Pengaruh tersebut bisa berupa sang anak nanti akan menjadi nakal, hingga tidak mau berbakti kepada orang tua.

Maka ketidakbaktian anak tersebut menjadi balasan yang akan diterima oleh orang tua, akibat dahulu ia mencari  rizki dari jalan haram dan manafkahi keluarganya dengan rizki tersebut, maka Alloh akan jadikan rizki buruk  tersebut menjadi bumerang baginya.

Demikian juga rejeki yang haram adalah sebab tidak terkabulnya doa orang tua maupun sang anak.

Alloh telah memerintahkan para rasul untuk memakan dari segala sesuatu yang baik,   yaitu segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Alloh dan didapat dari jalan yang dibenarkan oleh syariat. Apabila tidak dihalalkan oleh  Alloh, seperti khamr misalnya, maka tidak boleh dimakan.

Demikian juga apabila makanan tersebut adalah makanan yang dihalalkan oleh Alloh namun didapat dari jalan yang haram, maka itu pun tidak boleh dimakan.6

Imam An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini merupakan anjuran untuk memberikan      nafkah dari segala sesuatu  yang halal dan larangan memberikan nafkah dari segala      sesuatu yang haram. Hadits diatas juga menunjukan  bahwa  minuman, makanan, pakaian,dan semacamnya haruslah berasal dari sesuatu yang halal, bersih, dan tidak  mengandung syubhat (kesamaran).

Hadits di atas juga menunjukan bahwa seseorang yang akan berdoa haruslah lebih memperhatikan hal-hal diatas  dari pada yang lainnya.”7

Disini juga terdapat peringatan keras tentang memakan sesuatu yang haram, yaitu hal tersebut bisa menjadi sebab tertolaknya doa, walaupun juga telah dilakukan pula sebab- sebab yang merupakan faktor terkabulnya doa.  Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam  katakan diakhir hatids, “Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang  seperti ini?”

Kemudian memakan makanan yang haram –wal’iyadzubillah- merupakan sebab seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya, karena jasmaninya telah disuapi sesuatuyang buruk. Setiap suapan yang buruk akan berpengaruh kepada dirinya.8 Wallohul musta’an.”

Contoh jelas adalah pribadi Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam yang sangat berhati- hati dalam menjauhkan  dirinya dari segala sesuatu yang bahkan baru dikhawatirkan     berasal dari sesuatu yang haram (apalagi jika telah   jelas-jelas haram).

Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي، فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي، فَأَرْفَعُهَا لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً، فَأُلْقِيه

“Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku mendapatkan sebutir korma   jatuh diatas tempat  tidurku. Aku pun mengambilnya untuk aku makan. Lalu aku khawatir jika kurma itu adalah kurma sedekah, maka  kuletakkan lagi kurma itu.”9

Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam meletakkan kembali kurma yang beliau temukan karena khawatir kurma   tersebut merupakan kurma sedekah, sedangkan Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam beserta keluarga beliau  dilarang untuk memakan harta sedekah

Sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي تَمْرَةً مِنْ تَمَرِ الصَّدَقَةِ. فَجَعَلَهَا فِي فِيْهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:

كَخْ كَخْ. اِرْمِ بِهَا. أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَة

“Al Hasan bin ‘Ali memungut  sebutir kurma dari korma sedekah, lalu dia memasukkan  korma itu kedalam mulutnya. Rosululloh sholallahu ‘alayhi wasallam pun berkata,      “kikh, kikh”10! Buanglah  korma itu! Apa kau tidak  tahu, bahwa kita tidak            diperbolehkan untuk memakan sedekah.”11

Bahkan sebutir kurma, Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam tidak mau beliau berikan  kepada keluarganya  karena kurma tersebut tidak halal bagi Rasulullah sholallahu ‘alayhi wasallam dan keluarga beliau.

Inilah suatu tauladan baik yang dipraktekkan oleh junjungan kita dan contoh yang baik   bagi setiap muslim yang  menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi anak-anaknya.   Kasih sayang bukan berarti menuruti setiap tuntutan hingga melaumpaui batas, tetapi memberikan yang terbaik bagi anak sesuai tuntunan syari’at islam.         Wallohu a’lam bish Shawab.

Keterangan:

  • Hadits Riwayat Bukhori no. 5351
  • Hadits Riwayat Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907
  • Fathul Bari: 9/618
  • Hadits Riwayat Bukhori no. 5355
  • Hadits Riwayat Muslim no. 1015
  • Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 164
  • Syarah Shahih Muslim: 7/99
  • Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 175
  • Hadits Riwayat Bukhori no. 2434 dan Muslim no. 1070
  • Ini adalah suatu perkataan yang bertujuan memperingatkan anak dari perbuat kotor. Maknanya, “Tinggalkan dan buanglah barang tersebut”.
  • Hadits Riwayat Muslim no. 1069

Referensi : Rizki Halal Bagi Perkembangan Sang Anak