Jumat, 02 September 2022

Talak Khulu‘ dalam Kajian Fiqih Munakahat (Bag 1)

Pertanyaan : Salam'alaikum,  Terkait dengan penjelasan tentang hukum fasakh yang baru saja dibahas, saya ingin menanyakan lebih jauh. Apakah setiap gugatan cerai dari istri akan dijatuhi hukum khulu' atau fasakh? Bagaimana ketentuannya jika pada akhirnya kedua pasangan ingin kembali berumah tangga? Sejauh yang saya fahami, jika dijatuhi hukum khulu' maka pernikahannya difasakhkan, sehingga jika ingin kembali berumah tangga dengan pasangan yang sama harus dengan akad yang baru.  Akan tetapi, seingat saya (walaupun belum bisa saya konfirmasi sendiri) ada yang berpendapat bahwa jika gugatan cerai datang dari pihak istri, maka tidak akan pernah bisa kembali baik rujuk maupun dengan akad yang baru, kecuali kedua belah pihak sudah pernah menikah dan berumah tangga dengan orang lain.  Demikian pertanyaan saya. Pertanyaan : Salam'alaikum,  Terkait dengan penjelasan tentang hukum fasakh yang baru saja dibahas, saya ingin menanyakan lebih jauh.  Apakah setiap gugatan cerai dari istri akan dijatuhi hukum khulu' atau fasakh? Bagaimana ketentuannya jika pada akhirnya kedua pasangan ingin kembali berumah tangga? Sejauh yang saya fahami, jika dijatuhi hukum khulu' maka pernikahannya difasakhkan, sehingga jika ingin kembali berumah tangga dengan pasangan yang sama harus dengan akad yang baru.  Akan tetapi, seingat saya (walaupun belum bisa saya konfirmasi sendiri) ada yang berpendapat bahwa jika gugatan cerai datang dari pihak istri, maka tidak akan pernah bisa kembali baik rujuk maupun dengan akad yang baru, kecuali kedua belah pihak sudah pernah menikah dan berumah tangga dengan orang lain.  Demikian pertanyaan saya.  Barakallahu fiikum.  Wassalamu 'alaikum.

Pertanyaan :

Terkait dengan penjelasan tentang hukum fasakh yang baru saja dibahas, saya ingin menanyakan lebih jauh.

  1. Apakah setiap gugatan cerai dari istri akan dijatuhi hukum khulu' atau fasakh?
  2. Bagaimana ketentuannya jika pada akhirnya kedua pasangan ingin kembali berumah tangga?

Sejauh yang saya fahami, jika dijatuhi hukum khulu' maka pernikahannya difasakhkan, sehingga jika ingin kembali berumah tangga dengan pasangan yang sama harus dengan akad yang baru.

Akan tetapi, seingat saya (walaupun belum bisa saya konfirmasi sendiri) ada yang berpendapat bahwa jika gugatan cerai datang dari pihak istri, maka tidak akan pernah bisa kembali baik rujuk maupun dengan akad yang baru, kecuali kedua belah pihak sudah pernah menikah dan berumah tangga dengan orang lain. Demikian pertanyaan saya.

Definisi dan Dasar Legalitas Khulu' Secara bahasa, khulu’ adalah melepaskan atau menanggalkan. Disebut "menanggalkan' karena pasangan suami-istri diibaratkan dengan pakaian bagi satu sama lain, sebagaimana ayat, “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka,” (Surat Al-Baqarah ayat 187). Kemudian, secara terminologis, khulu’ adalah perceraian antara suami-istri disertai dengan kompensasi atau tebusan yang diberikan istri kepada suami. Dasar legalitasnya adalah ayat Al-Quran, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya,” (Surat Al-Baqarah ayat 229). Di samping itu, khulu’ juga dilandaskan pada hadits riwayat Al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Ibnu ‘Abbas tentang kasus istri Tsabit bin Qais, yakni Ummu Habibah binti Sahl al-Anshariyyah, yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah SAW:

فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ فِي خُلْقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ أَيْ: كُفْرَانَ النِّعْمَةِ فَقَالَ: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً 

Artinya, “Istri Qais menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, aku tak mencela perangai maupun agama Tsabit bin Qais, namun aku tidak mau kufur dalam Islam.’ Maksudnya, kufur nikmat. Rasulullah SAW menjawab, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun dari Tsabit?’ Istri Qais menjawab, ‘Mau.’ Kemudian, beliau berkata kepada Tsabit, ‘Terimalah kebun itu lalu talaklah dia dengan talak tebusan.’”

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama bersepakat akan kebolehan khulu’ terutama di saat ada alasan kuat yang diajukan oleh istri. Bahkan, sebagian ulama membolehkan khulu’ walau tanpa sebab namun disertai dengan makruh dengan dalil bahwa Rasulullah SAW pun tidak menelisik lebih jauh alasan istri Qais mengajukan khulu’. Namun, di sisi lain, beliau pernah bersabda dalam hadisnya, “Perkara halal yang paling dimurka Allah adalah talak,” (HR Ahmad); dan juga hadits, “Perempuan mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa alasan yang kuat, maka haram baginya mencium aroma surga,”  (HR Abu Dawud).

Apakah Khulu’ termasuk Talak atau Fasakh? Para ulama fiqih bersilang pendapat dalam melihat masalah khulu’. Pendapat jumhur ulama, yakni ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, pendapat paling kuat dari ulama Syafi‘iyyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, menyebut khulu’ sebagai talak bain dan dianggap mengurangi bilangan talak. Satu riwayat dari Imam Ahmad menyatakan, khulu‘ adalah fasakh dan tidak mengurangi bilangan talak. Pendapat mu’tamad dari ulama Hanbali menyebutkan khulu‘ sebagai fasakh bain dan tidak mengurangi talak. (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr], jilid IX, halaman 7034).

Berdasarkan pendapat jumhur di atas, khulu’ dapat disebut dengan talak karena menjadi bagian darinya. Kemudian, pengkategorian khulu‘ sebagai fasakh dan talak bain melahirkan perbedaan dan persamaan konsekuensi hukum. Perbedaannya, sebagaimana yang telah disebutkan, jika dikategorikan sebagai talak, khulu’ akan mengurangi bilangan talak. Sementara jika dikategorikan sebagai fasakh, ia tidak menguranginya.

Perbedaannya, sebagaimana yang telah disebutkan, jika dikategorikan sebagai talak, khulu’ akan mengurangi bilangan talak. Sementara jika dikategorikan sebagai fasakh, ia tidak menguranginya. Adapun persamaannya, baik sebagai talak bain maupun sebagai fasakh, khulu’ membutuhkan akad baru ketika kedua mantan suami-istri ingin kembali. Selain itu, suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istri yang telah di-khulu’-nya walaupun istri masih dalam masa iddah. Kekhasan Khulu’ Para ulama kemudian mengurai beberapa kekhasan dari talak khulu’ sekaligus perbedaannya dengan jenis talak lainnya.
  1. Ketika seorang istri meng-khulu’ suaminya, berarti istri telah memiliki hak penuh atas dirinya sehingga tidak ada kuasa apa pun bagi suami untuk merujuknya walaupun istri dalam masa iddah. Tidak ada jalan lain jika suami ingin kembali kepada istrinya kecuali dengan akad dan mahar baru. (Mushthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid IV, halaman 128).
  2. Talak merupakan hak suami. Sedangkan khulu’ merupakan hak istri. Selain itu, talak sifatnya bertahap, mulai dari satu sampai tiga. Talak juga bisa dijatuhkan setelah talak sebelumnya walau masih dalam masa iddah. Sedangkan khulu’ tidak. Meski demikian, khulu’ tetap mengurangi bilangan talak.
  3. Yang membedakan akad khulu’ dengan yang lainnya adalah tebusan. Maka tidak ada khulu’ kecuali dengan tebusan dari istri kepada suami.
  4. Talak tidak boleh dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau saat suci tetapi setelah dicampuri suaminya. Sedangkan khulu’ boleh dilakukan kapan saja, baik sedang suci, sedang haid, maupun saat suci setelah dicampuri.
  5. Menurut jumhur ulama, masa iddah dari talak khulu’ seperti iddah talak pada umumnya, yaitu tiga quru (bagi yang masih haid). Hanya saja, ulama Hanabilah memilih berpendapat bahwa masa iddah wanita yang meng-khulu’ suaminya dengan satu kali haid. Sebab, dengan satu haid itu cukup menandakan kosongnya kandungan. Jika memperpanjang masa iddah pun, hak rujuk bagi suaminya sudah tak ada.
Demikian definisi, dasar hukum, kekhasan, dan ragam pendapat para ulama tentang khulu’. Adapun hal-hal lain tentang khulu‘ yang belum teruraikan, seperti rukun, ketentuan, sebab-sebab, akan diulas pada tulisan berikutnya.

Referensi : Talak Khulu‘ dalam Kajian Fiqih Munakahat