Pertanyaan (Syakira, bukan nama sebenarnya):
Saya menggugat cerai suami saya di pengadilan. Karena kesalahpahaman, ia emosi dan menjatuhkan talak tiga langsung kepada saya. Saat ini kami berdua sama-sama menyesal. Kami ingin rujuk kembali. Apakah akibat talak tiga itu saya harus menikah dengan lelaki lain dulu?
Jawaban (Ustazah Nurun Sariyah):
Perkara talak atau perceraian dalam syariat Islam dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ ۗ
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik (QS. Al-Baqarah [2]: 229).
Talak yang pertama dan kedua memiliki masa tenggang yang memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk kembali rujuk dan membenahi hubungannya tanpa melalui akad nikah baru.
Sementara pada talak yang ketiga, kesempatan keduanya untuk bersama lagi baru didapatkan jika istri telah menikah lalu berpisah dengan lelaki selain suaminya yang disebut sebagai muhallil.
Firman Allah tersebut memberikan pengertian bahwa talak sejatinya berlaku secara bertahap dengan masa tenggang yang dapat digunakan untuk introspeksi oleh kedua belah pihak dan kesempatan rujuk bagi keduanya.
Ayat di atas juga sesungguhnya merespon kebiasaan buruk umat terdahulu yang merepotkan kaum perempuan sebab para suami yang mudah melakukan cerai-rujuk kepada istrinya hingga berulang kali.
Kemudian, jika suatu saat seorang suami mengucapkan talak tiga sekaligus, apakah jatuh talak tiga atau talak satu?
Hukum Talak Tiga dalam Satu Majelis
Mengenai konsekuensi dari ucapan talak tiga sekaligus ini ulama berbeda pendapat dengan argumen yang sama kuat dari keduanya. Jumhur ulama menghitungnya sebagai talak tiga, dan inilah pendapat yang kuat dan diikuti oleh fatwa MUI tahun 1981.
Sementara pendapat kedua berasal dari mazhab Az-Zhahiri, Thawus, dan Ibnu Qayyim yang menghitungnya sebagai talak satu. Pendapat yang berbeda dengan jumhur berdalih bahwa Sahabat Ibnu Abbas ra. menyatakan pada masa kepemimpinan Rasulullah ﷺ, ucapan talak tiga dalam satu majlis dihitung satu berdasarkan hadis tentang Rukanah (HR. At-Tirmidzi no. 1177).
Ini terus berlaku sepanjang kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq ra. dan dua tahun masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra.
Sampai suatu saat, Khalifah Umar melihat kondisi umat yang saat itu begitu tergesa-gesa mengucapkan talak tiga tanpa mengindahkan kesempatan rujuk yang ada. Hal ini membuat Umar menerapkan kebijakan mentalak tiga istri dalam satu kali ucap ini terhitung talak tiga.
Dalam sebuah riwayat, Sahabat Ibnu Abbas ra. mengatakan:
كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ
Talak pada masa Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan dua tahun masa kepemimpinan Umar adalah talak tiga dianggap satu. Kemudian Umar bin Khattab berkata, “Sungguh orang-orang sangat tergesa-gesa dalam urusan yang sesungguhnya mereka memiliki jeda (untuk kesempatan rujuk). Andai saja aku terapkan apa yang mereka lakukan dengan tergesa-gesa itu (talak tiga jatuh tiga).” Lalu beliau (Umar) menerapkan hal itu kepada mereka (HR. Muslim no. 1472).
Menanggapi perbedaan pendapat ini, Abdurrahman Al-Jaziri menyatakan bahwa mengikuti pendapat Umar hukumnya boleh sebagaimana sebaliknya (mengikuti pendapat Ibnu Abbas).
Ini disebabkan keduanya adalah mujtahid dan kebijakan mereka merupakan produk hukum yang layak dipilih, bukan wajib diikuti salah satunya.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa lebih baik bilamana seorang hakim dapat mengunggulkan pendapat kedua (talak tiga dihitung satu) dengan dukungan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, demi menjaga kuatnya sebuah ikatan perkawinan, menjamin hak anak-anak, dan memudahkan masyarakat.
Terlebih lagi, ini adalah zaman tak banyak manusia wara’ dan berhati-hati. Orang-orang menyepelekan ucapan talak dengan maksud menggertak dan menakut-nakuti saja, sementara mereka tahu ada konsekuensi tersendiri soal ini dalam hukum fikih.
Di antara perbedaan pendapat ulama ini, kita sebagai umat muslim di negara Indonesia telah dimudahkan untuk mengikuti kebijakan negara atau hakim di negara kita. Dalam kaidah ushul fikih disebutkan:
حُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ
Kebijakan hakim dapat menghilangkan perbedaan.
Menurut pasal 117 Kompilasi Hukum Islam, talak yang sah adalah ikrar talak yang dibacakan suami di pengadilan. Dan dalam akta cerai yang diterbitkan dalam hal ini akan tertulis talak satu.
Ini adalah peraturan negara yang diterapkan dan dinilai paling maslahat oleh para ulama dan umara’ di negara ini. Sebagai umat muslim yang baik hendaklah kita menaati dan menjalankan perundang-undangan yang telah menjadi kesepakatan bersama ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Orang-orang muslim itu terikat oleh prasyarat mereka (HR. Abu Dawud no. 3594; Imam Nawawi menilai hadis ini hasan).
Kesimpulan
Sahabat KESAN yang budiman, persoalan talak memang menjadi ranah perbedaan pendapat yang cukup kuat di kalangan ulama. Itu menandakan bahwa tidak ada kepastian hukum dalam hal ini dengan maksud bahwa pilihan untuk mengikuti salah satu dari pendapat tersebut masih terbuka tanpa adanya kewajiban untuk mengikuti salah satunya.
Perbedaan pendapat yang memang menjadi hal lumrah dalam dunia hukum fikih ini telah banyak dirumuskan dalam KHI yang dijadikan pedoman dasar hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu, mengikuti kebijakan hakim sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang ada menjadi solusi yang terbaik untuk diterapkan oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Wallahu a’lam bi ash-shawabi
Referensi: Muslim bin Hajjaj; Shahih Muslim, Az-Zarqani; Syarh Az-Zarqaniy ‘ala Al-Muwaththa’, Abu Isa At-Tirmidzi; Sunan At-Tirmidzi, Wahbah Az-Zuhaili; Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Al-Jaziri; Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Abu Dawud As-Sijistani; Sunan Abi Dawud.