Terkait hal tersebut, dengan semangat merayakan hari anak nasional, Mahkamah Agung menyelenggarakan Dialog Yudisial tentang Hak Perempuan dan Anak pasca Perceraian pada Rabu 27-28 Juli 2022 di hotel Borobudur, Jakarta. Acara ini merupakan kerja sama Mahkamah Agung dengan Federal Circuit & Family Court of Australia (FCFCoA).
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. dalam pidato kuncinya menyampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) tahun 2018 menemukan bahwa 95% dari perkara perceraian yang diputus setiap tahunnya di Indonesia, melibatkan anak berusia di bawah 18 tahun. Dengan menggunakan asumsi bahwa di Indonesia setiap keluarga rata-rata memiliki dua orang anak, maka diperkirakan lebih dari 900.000 hingga 1.000.000 anak setiap tahunnya terkena dampak dari perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan. Dengan jumlah sebesar itu, dapat dibayangkan bahwa dampak dari perceraian yang dialami oleh anak-anak tersebut, dalam jangka panjang, akan berpengaruh juga terhadap susunan dan tatanan sosial masyarakat kita.
Meski jumlah anak yang terdampak perceraian setiap tahunnya besar, Ketua Mahkamah Agung menyayangkan bahwa pelaksanaan putusan perceraian terutama terkait pembayaran nafkah anak dan istri masih belum efektif.
“Putusan perceraian tidak serta-merta mempermudah pemotongan bagian penghasilan mantan suami untuk nafkah mantan istri dan tunjangan pemeliharaan anak. Akibatnya, perempuan dan anak rentan terjebak dalam kemiskinan bahkan rentan menjadi korban kejahatan,” ungkapnya.
Ia menambahkan persoalan pelaksanaan putusan termasuk putusan perkara perceraian merupakan salah satu prioritas Mahkamah Agung RI, yang pelaksanaannya memerlukan dukungan dari Pemerintah. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI berinisiatif melakukan dialog secara internal maupun dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk perbaikan perlindungan hak dan pelaksanaan putusan perceraian bagi peningkatan hak perempuan dan anak, termasuk dengan bertukar pengetahuan dan pengalaman dengan badan peradilan di negara lain, yaitu peradilan di Australia dan Malaysia.
Melalui Dialog Yudisial yang dibuat terbuka untuk publik ini, Mahkamah Agung RI mengajak Pemerintah Indonesia, Organisasi Masyarakat Sipil serta akademisi untuk berdiskusi, menyumbangkan pemikiran yang konstruktif dan bermanfaat dalam perbaikan mekanisme eksekusi putusan perceraian untuk perlindungan hak perempuan dan anak yang lebih baik.
Dalam Dialog Yudisial dua hari ini menyimpulkan bahwa hak pemenuhan hak perempuan dan anak pasca perceraian belum diatur tersendiri dan perlu mendapatkan payung hukum yang jelas agar memiliki kepastian hukum, sehingga pemerintah melalui Bapennas dan Kementerian/Lembaga terkait harus membuat kebijakan nyata terkait perempuan dan anak pasca perceraian.
Selain itu, perlu adanya regulasi yang dapat dijadikan pedoman teknis bagi para hakim di Mahkamah Agung dalam menangani perkara perceraian, agar menghasilkan putusan pengadilan yang lebih efektif dan mampu menjamin hak perempuan dan anak pasca perceraian.
Diskusi ini juga menyimpulkan bahwa perlu ada diskusi lanjut dan intesnsif yang melibatkan hakim baik dari peradilan agama maupun peradilan negeri dengan melibatkan para pengampu terkait di antaraanya KPPA, Kemnkumham, Kemensos, KPAI, Komnas Perempuan dan lembaga terkait lainnya tentang perceraian yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga.
Referensi : Perceraian merupakan hal sulit bagi suami-istri yang menjalananinya