Tingginya kasus perceraian di Tanah Air perlu mendapat perhatian serius dari seluruh elemen bangsa, terutama pemerintah. Tren perceraian yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir tak bisa dipandang sebelah mata. Dampak terus melonjaknya kasus perceraian bisa berdampak serius bagi nasib bangsa ini pada masa depan.
Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat, sepanjang Januari hingga September 2016, kasus perceraian di Indonesia mencapai 46.920 kasus. Itu baru kasus perceraian yang tercatat di pengadilan agama, boleh jadi di lapangan jumlah kasus perceraian bisa lebih tinggi lagi. Tentu saja, fenomena tren perceraian ini sangat memprihatinkan.
Ada beragam faktor yang melatarbelakangi kasus perceraian. Penyebab utama perceraian didominasi oleh faktor tak bisa akur mencapai 22.590 kasus atau 48,1 persen. Angka perceraian akibat ditinggalkan pasangan mencapai 10.412 kasus atau 22,2 persen. Kondisi ekonomi keluarga yang buruk juga menyumbang 15 persen bagi kasus perceraian pada tahun ini, yakni 7.204 kasus. Sedangkan, perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencapai 2.240 kasus atau 4,8 persen.
Sejatinya keluarga adalah pilar utama penyangga kekuatan sebuah bangsa. Bila setiap tahun jumlah keluarga yang bercerai terus melonjak, pilar-pilar yang menopang kekuatan bangsa ini pun bisa semakin rapuh. Betapa tidak, kian maraknya kasus perceraian dapat membuat kualitas kehidupan anak-anak bangsa kian memburuk.
Anak-anak adalah korban utama dari sebuah perceraian. Berpisahnya ibu dan ayah akibat perceraian akan mengganggu pola asuh anak-anak. Sosiolog Universitas Mulawarman, Saroso Hamung Pranoto, mengingatkan, secara jangka panjang, terus meningkatnya angka perceraian dapat menurunkan kualitas manusia Indonesia. Sebab, generasi muda yang semestinya dapat tumbuh maksimal berpotensi menjadi generasi yang tidak sehat secara psikologis ataupun fisik.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat kasus terkait anak korban perceraian menduduki peringkat kedua dari total pengaduan kasus-kasus perlindungan anak yang masuk ke komisi tersebut. KPAI bahkan menyebut anak-anak korban perceraian rawan mengalami lima bentuk kekerasan, yakni perebutan hak asuh, pelanggaran akses bertemu orang tua, penelantaran hak diberi nafkah, anak hilang, serta menjadi korban penculikan keluarga.
Pemerintah melalui kementerian dan lembaga yang terkait harus segera bergerak untuk mencari solusi agar kasus perceraian ini tak terus melonjak setiap tahunnya. Kursus pranikah yang disyaratkan bagi pasangan yang akan mengarungi biduk rumah tangga harus benar-benar dijalankan. Setiap Kantor Urusan Agama (KUA) wajib menggelar kursus pranikah ini agar calon pasangan suami-istri mendapatkan wawasan dan pengetahuan mengenai kehidupan berumah tangga.
Kita patut memberi apresiasi bagi organisasi yang menggelar kursus pranikah Islami, seperti yang dilakukan Ar-Rahman Qur'anic Learning Center (AQL). Program-program seperti ini perlu juga dilakukan oleh ormas-ormas Islam yang lain. Peran ormas Islam untuk menekan jumlah kasus perceraian pasti akan sangat besar. Karena itu, pemerintah bisa menggandeng ormas-ormas Islam untuk mengokohkan keluarga-keluarga di Tanah Air.
Pemerintah juga perlu memperhatikan faktor ekonomi yang menjadi salah satu pemicu kasus perceraian di Tanah Air. Masih tingginya angka kemiskinan ternyata berdampak pada tingginya kasus perceraian. Perceraian dengan alasan ekonomi, menurut Badilag MA, bisa mengakibatkan terjadinya penelantaran anak. Anak-anak korban perceraian biasanya akan kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, baik itu pendidikan formal dari sekolah maupun nonformal dari orang tuanya. Tak hanya itu, mereka juga bisa telantar dari sisi kesejahteraan dan gizi.
Saatnya seluruh elemen bangsa bergandeng tangan untuk mencari solusi terbaik agar kasus perceraian bisa ditekan. Bila fenomena ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tak mungkin Indonesia akan menjadi bangsa yang rapuh karena pilar-pilar utama penyangganya, yakni keluarga, hancur akibat perceraian.
Referensi : Perceraian Masalah Serius Bangsa