Saat orangtua memutuskan untuk bercerai, maka anak akan berisiko kehilangan rasa percaya diri, ketenangan batin, dan kehilangan cita-cita. Mereka tidak lagi memiliki semangat dalam menjalani kehidupan. Hasilnya, mereka akan berkembang menjadi pribadi yang paranoid.
Setiap terjadinya perceraian orang tua sudah barang tentu berdampak negatif terhadap proses pendikan dan perkembangan jiwa anak, di karenakan anak usia sekolah dasar pada umumnya masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kedua orang tua.
Perceraian orang tua merupakan problema yang cukup besar bagi anak- anaknya terutama bagi anak-anak yang masih sekolah dasar, sebab anak-anak pada usia ini masih sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya. Pengalaman yang diperoleh anak di waktu kecil baik pengalaman pahit maupun menyenangkan semuanya memberi pengaruh dalam kehidupan anak nantinya.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan dampak perceraian orang tua terhadap kesehatan mental anak usia sekolah 3 – 12 tahun di kotamobagu. Perceraian juga meninggalkan dampak bagi semua anggota keluarga baik terhadap pasangan yang bercerai maupun anak seperti perasaan kecewa, kesedihan, stress, marah, trauma, menurunnya prestasi, menyalahkan diri sendiri dan orang tua, dan putusnya tali silaturahmi diantara keluarga kedua belah pihak.
Pada umumnya konflik selalu terjadi dalam kehidupan rumah tangga, namun konflik yang terjadi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya perceraian. Perceraian tidak hanya berdampak bagi yang bersangkutan (suami istri), namun juga melibatkan anak khususnya yang memasuki usia remaja. Remaja yang orangtuaya bercerai akan mempengaruhi makna hidupnya.
Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan proses dalam pencarian jati diri mereka dan dimasa inilah ditentukan masa depan dari seorang remaja tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran dari makna hidup remaja yang menjadi korban dari perceraian kedua orangtua. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk melihat dan mendeskripsikan makna hidup remaja yang menjadi korban dari perceraian kedua orangtua. Penelitian ini dilakukan terhadap 4 orang remaja wanita yang orangtuanya bercerai (umur rata-rata 16-18 tahun; berstatus pelajar) melalui wawancara.
Data dianalisis dengan model interaktif yang terdiri dari tiga langkah diantaranya rediksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat informan memiliki pandangan positif dan dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian memilukan mengenai perceraian orangtuanya. Meskipun para informan memiliki masa lalu yang kurang baik, dikarenakan mereka mencari pelarian untuk mendapatkan kebahagiaan yang tidak mereka dapatkan di rumah.
Positifnya, para informan mampu belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Terkait dengan temuan ini, para orangtua yang sudah bercerai namun memiliki anak dari hasil pernikahannya, disarankan untuk tetap dan lebih memberikan perhatian, kasih sayang dan kebutuhan anak.
Agar anak tetap merasa berharga dan tidak terjerumus dalam hal-hal negatif. Kepada informan untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kerukunan dalam hubungan dengan keluarga dan orang sekitar dengan harapan dapat meningkatkan kebermaknaan hidup pada remaja yang menjadi korban perceraian dari orangtuanya. Konselor juga memiliki peran dalam meminimalisir dampak yang akan terjadi akibat perceraian orangtua bagi remaja, terutama dampak negatif agar membantu remaja untuk dapat memahami kebermaknaan hidup. Layanan Bimbingan dan Konseling yang dapat diberikan yaitu layanan informasi dan layanan konseling individual.
Referensi : DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA TERHADAP MEANING OF LIFE REMAJA