وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan sungguh Kami telah melebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Qs. Al Isra’: 70)
Ibnu Jarir At Thobary menjelaskan maksud dari rizki yang baik dengan berkata:
من طيبات المطاعم والمشارب، وهي حلالها ولذيذاتها
“Rizki berupa air makanan dan minuman yang baik, yaitu rizki yang halal lagi lezat.” (Tafsir Ibnu Jarir At Thabari 17/501)
Ibnu Katsir yang hidup jauh setelah Ibnu Jarir menyebutkan contoh nyata dari rizki halal lagi lezat tersebut. Beliau berkata: “Rizki yang baik itu berupa beraneka ragam tanaman, buah-buahan, daging, susu serta berbagai makanan yang enak dimakan serta lezat. Sebagaimana Allah juga melimpahkan rizki berupa pemandangan indah, pakaian mewah, terbuat dari berbagai bahan serta bentuk dan warna yang beraneka ragam pula. Beraneka ragam makanan dan pakaian yang dapat mereka dapatkan dari hasil karya tangan sendiri atau didatangkan dari berbagai penjuru dunia.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/97)
Berdasarkan ayat ini, al-Qurthubi al-Maliki menyebutkan bahwa tidak dibenarkan bagi siapapun untuk merendahkan martabatnya, yaitu dengan meninggalkan makanan yang layak dimakan oleh manusia dan menggantikannya dengan makanan binatang. Yang demikian itu dikarenakan Allah telah menjadikan biji gandum sebagai bahan makanan manusia, sedangkan kulitnya untuk makanan binatang ternak. Karena itu tidak layak bagi manusia untuk menyaingi binatang ternak dengan turut memakan jerami.” (Tafsir Al Qurthubi 10/295)
Saudaraku! Sadarlah bahwa Allah Ta’ala menciptakan bumi beserta isinya ini adalah untuk anda?
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik.” Katakanlah:”Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Qs. Al A’araf: 32)
Renungkanlah ayat di atas? Betapa Allah Ta’ala secara khusus menyediakan segala kenikmatan dunia yang lezat lagi halal ini hanya untuk orang-orang yang beriman. Untuk merekalah Allah Ta’ala menurunkan dan menciptakan berbagai kenikmatan yang ada. Andai bukan karena untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya yang taat, niscaya Allah tidak akan menurunkan rizki-Nya. [1]
Oleh karena itu, bila anda renungkan dan amati dengan seksama, anda akan menemukan bahwa kenikmatan dunia yang dihalalkan untuk anda nikmati melebihi jumlah barang-barang yang diharamkan. Bahkan barang-barang yang diharamkan sangatlah sedikit jumlahnya. Dan selanjutnya, bila anda kembali merenungkan barang-barang haram, niscaya anda dapatkan bahwa pengharaman itu demi kepentingan anda sendiri.
Tidaklah ada barang yang diharamkan, melainkan karena mengandung madharat dan dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup anda. Cepat atau lambat, anda pasti akan menyaksikan dan membuktikan kemadharatan barang-barang haram tersebut. Walaupun, mungkin saja untuk saat ini pandangan anda menjadi kabur karena silau oleh kilauan sedikit manfaat yang terdapat padanya.
Saudaraku! Pada kesempatan ini saya mengajak saudara untuk sedikit merenungkan berbagai keuntungan yang anda peroleh dengan mencukupkan diri dengan rizki yang halal. Sebagaimana saya juga mengajak saudara untuk sedikit meninjau berbagai kerugian yang akan anda derita bila anda melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala dalam hal halal-haram.
MANFAAT HARTA HALAL
Manfaat Pertama: Mewariskan Amal Shaleh
Saudaraku! Maha Agung Allah Ta’ala yang telah menciptakan dunia ini dengan penuh hikmah. Anda tidak akan pernah mendapatkan pada ciptaan Allah dan syari’at-Nya sesuatu yang saling bertentangan. Rizki yang halal adalah bekal dan sekaligus pembangkit semangat amal shaleh. Simaklah firman Allah berikut:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Mukminun: 51)
Ibnu Katsir menyatakan: “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimussalaam agar makan makanan halal, dan beramal shaleh. Disandingkannya dua perintah ini mengisyaratkan bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Dan sungguh mereka benar-benar telah mentaati kedua perintah ini.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/477, baca juga: Adwaa’ul Bayan 5/339)
Saudaraku! apakah selama ini anda merasakan malas, dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila saudara mengoreksi kembali makanan dan minuman anda. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang.
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang sholeh.” (Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani)
أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَخَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ أَكْثَرَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ بَرَكَاتِ الأَرْضِ . قِيلَ وَمَا بَرَكَاتُ الأَرْضِ قَالَ : زَهْرَةُ الدُّنْيَا . فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ هَلْ يَأْتِى الْخَيْرُ بِالشَّرِّ فَصَمَتَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ يُنْزَلُ عَلَيْهِ ، ثُمَّ جَعَلَ يَمْسَحُ عَنْ جَبِينِهِ فَقَالَ : أَيْنَ السَّائِلُ . قَالَ أَنَا . قَالَ : لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ مَا أَنْبَتَ الرَّبِيعُ يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ ، إِلاَّ آكِلَةَ الْخَضِرَةِ ، أَكَلَتْ حَتَّى إِذَا امْتَدَّتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ ، فَاجْتَرَّتْ وَثَلَطَتْ وَبَالَتْ ، ثُمَّ عَادَتْ فَأَكَلَتْ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوَةٌ ، مَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ فِى حَقِّهِ ، فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ ، كَانَ الَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ. متفق عليه.
Abu Sa’id Al Khudri mengisahkan: Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar lalu beliau berkhutbah:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian ialah keberkahan bumi yang akan Allah keluarkan untuk kalian.”
Sebagian sahabat bertanya: “Apakah keberkahan bumi itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Perhiasan kehidupan dunia.”
Selanjutnya seorang sahabat kembali bertanya: “Apakah kebaikan (perhiasan dunia) itu dapat mendatangkan kejelekan?”
Mendengar pertanyaan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi terdiam, sampai-sampai kami mengira bahwa beliau sedang menerima wahyu. Selanjutnya beliau menyeka peluh dari dahinya, lalu bersabda: “Manakah penanya tadi?”
Sahabat penanyapun menyahut: “Inilah aku.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda ini terasa manis, barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa kenyang, (hingga akhirnya iapun celaka karenanya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada riwayat Imam Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ
“Sesungguhnya kebaikan yang sebenarnya tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan, apakah harta benda itu benar-benar kebaikan?”
Ibnu Hajar al-Asqalaani dan lainnya menjelaskan bahwa maksud dari hadits ini ialah: “Harta kekayaan dunia ini diperumpamakan dengan ladang gembalaan binatang ternak. Maka barang siapa yang mendapatkannya dengan benar, yaitu seperlunya, dari jalan yang benar dan dibelanjakan pada jalan yang benar pula, baik pada nafkah yang wajib atau sunnah, maka harta itu menjadi sebaik-baik bekal dalam beramal ketaatan. Dengan harta kekayaan, ia dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian sebaik-baik bekal dalam beragama adalah harta kekayaan. Dengan demikian hadits ini semakna dengan hadits:
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang sholeh.”
Sedangkan orang yang mengumpulkan harta kekayaan dengan cara yang tidak benar, melebihi keperluannya, dari jalan haram dan ia tidak membelanjakannya di jalan yang diridhai Allah, maka perumpamannya bagaikan orang yang makan akan tetapi tidak pernah merasa kenyang. Akibatnya ia ditimpa penyakit berbahaya dan terjerumus kebinasaan. Bagaikan binatang yang tidak pernah kenyang, atau orang sakit yang senantiasa kehausan, setiap kali ia minum, ia semakin bertambah haus, akibatnya perutnyapun semakin bengkak. Dan kelak pada hari kiamat, harta bendanya itu akan menjadi saksi atas ketamakannya, dan perilakunya yang senantiasa membelanjakan harta benda pada jalan-jalan yang dimurkai Allah. (Fathul Bari 11/246-249 & Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi 7/141-144.)
Demikianlah saudaraku perbandingan antara kehidupan manusia yang menjadikan harta kekayaan sebagai sarana penunjang bagi peribadahannya kepada Allah dengan orang yangmenjadikan harta kekayaan sebagai pujaannya.
Saudaraku! termasuk kelompok manakah diri anda?
Manfaat Kedua: Menjadi Penyebab Diterimanya Amalan
Rizki halal, bukan hanya menjadi pembangkit semangat untuk beramal shaleh. Rizki halal juga menjadi penentu diteri atau tidaknya amalan anda. Simaklah beberapa dalil berikut:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ. وَقَالَ :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah itu Baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Mukminun: 51). Dan Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang lelaki yang berpergian jauh, hingga penampilannya menjadi kusut dan lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata: ‘Ya Rab, Ya Rab,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan.” (Riwayat Muslim)
Ibnu Rajab menjelaskan hadits ini dengan berkata: Pada hadits ini terdapat isyarat bahwa suatu amalan tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makanan halal. Dan sesungguhnya memakan makanan haram dapat merusak dan menjadikan amalan tidak diterima. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seusai bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula.” Beliau melanjutkannya dengan ucapan: “Sesungghnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Mukminun: 51)
Dan Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu.” Dengan demikian yang dimaksud dari sabda beliau ini ialah: Bahwa seluruh rasul dan umatnya diperintahkan agar senantiasa memakan makanan yang baik yaitu yang halal, dan juga agar beramal shaleh. Sehingga selama makanannya halal, maka amal shalehnyapun akan diterima. Dan bila makannya tidak halal, maka bagaimana mungkin amalannya dapat diterima?” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Syarah hadits ke-10)
Manfaat Ketiga: Pencegah dan Penawar Berbagai Penyakit
Saudaraku! Coba amati dan cermati berbagai penyakit yang diderita masyarakat. Berbagai tindakan preventif dan upaya pencegahan dan pengobatan telah ditempuh, akan tetapi penyakit seakan tak kenal gentar. Dari hari ke hari jumlah penderita penyakit terus bertambah, dan jenis penyakitpun juga berlipat ganda, dan silih berganti. Tidakkah keadaan ini menarik perhatian anda? Tidakkah fenomena pilu ini mengusik perhatian anda, untuk kemudian mencari penyebab dan solusinya?
Saudaraku! bila anda kembali kepada syari’at agama anda, niscaya dengan mudah anda menemukan jawaban dan solusinya. Berbagai penyakit dan wabah yang melanda adalah sebagian dari akibat perbuatan dosa umat manusia yang semakin hari semakin merajalela dan berlipat ganda. Dan diantara kemaksiatan yang telah mendarah daging di masyarakat ialah memakan makanan haram. Hampir-hampir keperdulian masyarakat kita terhadap kehalalan makanannya telah sirna. Kebanyakan dari kita hanya mengejar rasa enak dan nilai ekonomisnya.
Bila anda mulai merasa jenuh dan terusik dengan berbagai penyakit dan mahalnya biaya pengobatan yang sering kali tidak mendatangkan manfaat, maka kembalilah kepada syari’at agama anda. Hendaknya anda bersikap selektif terhadap makanan dan minuman yang anda konsumsi, Dengan demikian anda akan terhidar dari berbagai penyakit dan dapat menanggulangi derita penyakit yang terlanjur menimpa anda.
Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang baik lagi baik akibatnya.” (Qs. An Nisa’: 4)
Ibnu Jarir At Thabari menafsirkan akhir ayat di atas dengan berkata: “Makna firman Allah:
فكلوه هنيئًا مريئًا
Adalah: “Maka makanlah pemberian itu niscaya menjadi obat yang menawarkan.” (Tafsir Ibnu Jarir 7/560)
Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud firman Allah Ta’ala:
هنيئًا مريئًا
“Al Hani’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif, sedangkan Al Mari’ ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau gangguan.” (Tafsir Al Qurthubi 5/27)
Pada suatu hari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu memberikan petuah kepada kita tentang salah satu aplikasi ayat di atas. Beliau berkata:
إذا أراد أحدكم الشفاء فليكتب آية من كتاب الله في صَحْفَة، وليغسلها بماء السماء، وليأخذ من امرأته درهما عن طيب نفس منها، فليشتر به عسلا فليشربه بذلك، فإنه شفاء.
“Bila engkau menginginkan kesembuhan dari penyakit, hendaknya ia menuliskan satu ayat dari Al Qur’an pada piring, lalu hendaknya ia membasuh tulisan ayat itu dengan air hujan. Seterusnya hendaknya ia meminta uang satu dirham (sejumlah uang) dari istrinya dengan syarat ia benar-benar rela memberikannya guna membeli madu, lalu minumlah, karena itu (campuran air basuhan dan madu yang dibeli dengan uang itu) adalah obat yang manjur.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya, dan sanadnya oleh Ibnu Hajar dinyatakan hasan Fathul Bari 10/170)
Saudaraku! kebanyakan wabah penyakit, petaka, dan bencana yang menimpa umat manusia zaman sekarang ini, adalah akibat dari harta haram dan ambisi manusia mengeruk harta kekayaan dengan segala cara. Banyak dari pengusaha, badan usaha, bahkan pemerintahan yang tidak mempedulikan halal-haram dalam usaha-usahanya. Apapun barangnya asalkan mendatangkan keuntungan maka akan mereka perniagaan. Dengan cara apapun, asalkan menguntungkan dirinya, maka ia pasti menempuhnya. Bila tidak bisa mengambilnya dengan tangan sendiri, maka ia akan menyewa tangan orang lain guna mengambilnya.
[1] Walau demikian bukan berarti orang-orang kafir tidak bisa mendapatkan kenikmatan dunia. Sekali lagi tidak demikian. Karena Allah Maha Pemurah, sedangkan kehidupan dunia adalah remeh di sisi Allah, maka Ia membiarkan orang-orang kafir turut menikmati lezatnya kehidupan dunia.
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Andai dunia ini di sisi Allah senilai sehelai sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir walau hanya seteguk air.” (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah)
Akan tetapi kelak, pada kehidupan yang berharga nan kekal, yaitu di akhirat, tidak ada kesempatan sedikitpun bagi orang kafir untuk turut menikmatinya.