Jadi, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa semakin berat. Karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan kemuliaannya di hadapan Allah, dan ini sekaligus menjadi takdir Allah yang diberikan kepada hambanya. Suatu contoh orang yang paling dicintai Allah adalah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada manusia lainnya. Contohnya Nabi Ayub AS. Allah SWT mengujinya dengan kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, tapi ia tetap sabar.
Setelah para Nabi dan Rasul, orang yang ujiannya sangat berat adalah para shalihin dan para ulama. Demikianlah secara berurutan, hingga Allah SWT menimpakan ujian yang ringan kepada orang-orang awam, termasuk kita di dalamnya. Yang pasti, ketika setelah seseorang mengikrarkan diri beriman, maka Allah akan menyiapkan ujian baginya.
Dalam Alquran tertulis janji Allah, ''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta'' (QS Al Ankabut: 2-3).
Suatu ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya pelacur. Dengan usil, lelaki itu menggoda si wanita sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, si wanita-pun marah. Lantaran terkejut, lelaki itu menoleh ke belakang, hingga mukanya terbentur tembok dan ia pun terluka. Pasca kejadian, lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya. Rasulullah SAW berkomentar, ''Engkau seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik''. Setelah itu, Rasul mengucapkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.
SADARILAH bahwa masing-masing kita akan ada ujiannya, ujian juga merupakan takdir Allah yang wajib diterima minimal dengan kesabaran. Dan ini tentunya harus mengucapkan Alhamdulillah jika mampu diterima dengan ridha bahkan rasa syukur. Tidak ada manusia yang tidak pernah tidak mendapat ujian dengan mengalami kesusahan dan kesedihan. Setiap ujian pasti Allah timpakan sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya, dan ini berarti justru wujud cintanya Allah Kepada kita.
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi, shahih).
Mari renungkan hadist ini. Apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kepada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia agar Allah tidak menghukum kita lagi diakhirat. Tentunya hukuman di akhirat jauh lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Maka tentu orang yang berakal dan beriman kepada hari akhirat, akan lebih memilih hukuman disegerakan di dunia daripada ditunda di hari kiamat kelak.
Apakah kita ridha atau murka dengan takdir Allah, Kemudian apabila kita murka dan tidak terima, apakah bisa merubah takdir dan keadaan kita saat ini. Untuk itu mari kita ridha dan bahagia dengan takdir Allah. Kita harus berprasangka baik kepada Allah karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Apabila kita murka dan tidak ridha, berarti itulah kenyataannya bahwa musibah ini turun sebagai adzab bagi kita.
Apabila kita ridha dan berusaha memperbaiki diri, semoga ini adalah ujian yang mengangkat derajat kita. Sebagaimana kata Allah, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila aditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157).
Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.
Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.
Alasan Suatu Harta Diharamkan?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:
Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.
Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.
Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]
Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.”[1]
Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.
Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”[2]
Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya”[3]
Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.
Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[4]
Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]
Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.
Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[6]
Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:
لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]
Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”
Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:
تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[8]
Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.
Cara Bertaubat Dari Kedua Jenis Harta Haram
Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:
Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.
Bertekad untuk tidak mengulanginya.
Memohon ampun kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya. Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang tata cara bertaubat dari harta riba:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 279]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]
Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.
Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.
Hal itu mungkin ditangguhkan juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah, yang memiliki sifat Al-Halim (Yang Mahalembut).
Atau karena orang yang terzalimi sebelumnya telah berbuat zalim kepada yang lain pada masa hidupnya, lalu kezaliman yang menimpa dirinya merupakan hukuman atas kezaliman dia sendiri pada masa lalu.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
لَيْسَ شَيْءٌ أُطِيعُ اللهَ فِيهِ أَعْجَلَ ثَوَابًا مِنْ صِلَةِ الرَّحِمِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ أَعْجَلَ عِقَابًا مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada sesuatu yang aku patuhi kepada Allah di dalamnya (amalan itu) lebih cepat mendapat ganjaran lebih dari menyambung tali silaturahim, dan tidak ada sesuatu yang lebih cepat hukumannya dari berbuat zalim dan memutus tali silaturahim.” (HR Baihaqy).
Oleh karena itu, balasan bagi orang zalim di dunia ini mungkin muncul pada kesimpulannya, yaitu akhir hidupnya akan sangat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda:
إن اللهَ ليُملي للظالمِ، حتّى إذا أخذه لم يفلتْهُ، قال: ثمّ قرأ: وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
"Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya." Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: 'Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.' (Qs Hud ayat 102).
Sebagaimana Allah menghinakan pelaku zalim saat di dunia, yang merasakan kepahitan hidup dan kehinaannya, Allah juga akan menyiksanya pada hari kiamat. Di antara hukuman duniawi pelaku kezaliman ialah diharamkannya dia dari keberkahan dan dihilangkannya nikmat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qalam yang menceritakan tentang para pemilik kebun, dan mereka pelit, mereka bertekad untuk tidak memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Allah berfirman:
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ*وَلَا يَسْتَثْنُونَ*فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ*فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ*فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ*أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ*فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ*أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ*وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ*فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ*بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " lalu kebun itu diliputi malapelaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." (QS Al Qalam ayat 17-27).
Ancaman Allah SWT
Meski perbuatan zalim sudah ada ancaman hukumannya baik di dunia maupun di akhirat, tetap saja perbuatan itu digemari. Padahal pelakunya orang berpendidikan, orang yang tahu hukum manusia dan hukum Allah SWT, dan orang yang beragama.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat.
Sebab, zalim merupakan perbuatan yang dilarang agama. Maka, Allah SWT menunda siksaan mereka dan ajal mereka, agar mereka segera bertaubat atau mereka kian bertambah zalim dan melampaui batas?
Dalam QS Ali Imran 178, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.
Itulah firmanNya, bahwa Allah SWT menangguhkan orang-orang zalim tetap berada di dunia untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah.
Kisah nyata
Terkait Zalim ini, ada kisah nyata yang mirip sesuai janji Allah SWT untuk seseorang. Mungkin ini kisah hanya sekadar mirip. Tetapi, bila dilihat kasusnya, mungkin benar sebagai hukuman orang zalim di dunia. Selama hidupnya, saat seharusnya amanah, tetapi malah bersikap sebaliknya, hukuman atau balasan dari Allah itu justru sudah ditunjukkan saat masih hidup di dunia dengan sakit menahun yang hanya tergeletak di tempat tidur.
Banyak kisah-kisah nyata lainnya tentang orang-orang yang tak amanah ini. Ada yang selama hidupnya terus nampak tak terjadi apa-apa. Tetapi ada, yang masih hidup di dunia saja sudah dihukum. Seperti contoh yang saya sebut.
Inilah balasan langsung dari Allah atas sikap sebelumnya yang bisa disebut bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, kejam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap itu adalah zalim.
Yah, sikap zalim bisa dilakukan oleh perseorangan, kelompok, hingga golongan. Bila yang melakukan adalah perseorangan, contohnya adalah yang sakit menahun itu.
Kini, di depan mata, orang-orang juga telah dan terus menjadi saksi, ada yang kukuh bersikap menzalimi, yaitu menindas, menganiaya, dan berbuat sewenang-wenang.
Padahal, orang-orang yang sayang kepada mereka, sudah mengingatkan agar menghentikan sikap zalim dan menzalimi melalui berbagai cara. Namun, nampaknya mereka sudah buta mata, buta telinga dan buta hati. Tak ada pengingatan yang digubris. Luar biasa, seolah dunia ini milik mereka.
Mereka tetap asik-masyuk dengan tingkah polah kezaliman, yaitu bengis, kejam, tidak adil, dan merampas hak orang lain.
Orang waras jangan mengalah
Melihat fenomena kezaliman ini, banyak orang yang bilang, sing waras ngalah, orang yang waras mengalah sebab kita sedang melawan orang gila, orang zalim.
Lha, kalau yang waras ngalah, maka kezaliman akan terus bergulir, dong? Kasihan orang-orang yang ada urusan dengan orang gila yang zalim. Sampai kapan orang-orang ini akan dizalimi?
Bila yang waras ngalah, maka balasan kepada orang gila yang zalim, juga akan seperti seseorang yang zalim, balasannya masih di dunia nyata, belum di duniaNya.
Untuk itu, bagi orang yang waras, janganlah pernah mengalah kepada orang yang zalim dan menzalimi kita. Meski kita telah disakiti oleh mereka, mari terus kita balas perbuatan mereka dengan perbuatan baik.
Sadarkan mereka dengan berbagai cara dan upaya, karena perbuatan zalim itu sangat hina dan mendampak buruk kepada siapa saja yang dizalimi. Jadi, kezaliman harus dilawan. Dengan terus kita bantu untuk mengingatkan, mungkin, mata, telinga, dan hati yang selama ini terkunci, akan terbuka dan membikin mereka sadar bahwa mereka telah berbuat zalim.
Namun, sebagai manusia biasa, kemampuan kita hanya sebatas mengingatkan dan tidak mengalah, tidak kalah oleh kezaliman. Bila ternyata pengingatan dan sikap tidak mengalah kita tetap tidak digubris oleh orang yang zalim, ada Allah SWT yang akan mengadilinya.
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
- Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
- Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
- Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
- Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
- Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
- Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
Menengadahkan tangan ke langit.
Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
Mengenal calon pasangan sangat penting pada tahap pertama. Cara terbaik untuk saling mengenal adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Berikut adalah daftar panjang pertanyaan penting untuk diajukan kepada calon suami:
- Berapa umurmu?
- Apa negara tempat tinggal Anda?
- Apa negara kelahiran Anda?
- Bagaimana kamu menggambarkan diri Anda?
- Apa yang kamu cari dalam diri seorang istri?
- Apa pekerjaan yang kamu lakukan?
- Apa hal yang paling Anda hargai dalam hidup Anda?
- Pernahkah kamu menikah sebelumnya?
- Apakah kamu memiliki penyakit fisik atau mental?
- Apa konsep pernikahan kamu?
- Apa harapan kamu pada pernikahan?
- Apa cita-citamu?
- Mengapa kamu memilih saya sebagai pasangan potensial?
- Apa peran agama dalam hidup kamu?
- Apa pemahaman kamu tentang pernikahan Islami?
- Apakah kamu orang yang aktif di komunitas Muslim?
- Apakah kamu terlibat dalam kegiatan sukarela?
- Dalam pemahaman kamu, apa peran seorang suami dan apa peran seorang istri?
- Apakah kamu ingin mempraktikkan poligami?
- Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga kamu?
- Apakah kamu berencana meminta seseorang dari keluarga kamu tinggal bersamamu setelah menikah?
- Apakah kamu punya teman atau sahabat dari lawan jenis?
- Bagaimana tingkat persahabatan kamu?
- Bagaimana kamu menghabiskan uang?
- Bagaimana kamu menghemat uang?
- Apa yang kamu lakukan di waktu luang?
- Bagaimana kamu membuat keputusan?
- Bagaimana kamu mengekspresikan kemarahan?
- Menurut kamu, bagaimana perselisihan perkawinan harus diselesaikan?
- Tolong definisikan pelecehan mental, verbal, dan emosional.
- Apakah kamu bersedia mencari konseling perkawinan jika merasa diperlukan?
- Apakah kamu mendukung gagasan istri yang bekerja?
- Apakah kamu mengharapkan istri ikut berbagi tanggung jawab finansial bersama dengan kamu?
Di dalam surat Al- Qashash ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Ta’ala berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya.
Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Ta’ala. Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia. Allah Ta’ala menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
“Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)
Jelas sudah, bahwa kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.
Menurut KH Abdullah Gymnastiar atau dai yang dikenal dengan sapaan Aa Gym, saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam
“Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya,”ungkapnya dalam salah satu tausiyahnya di MQTV ini.
Aa Gym mengajak kita renungkan pesan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terkandung dalam surat At Takatsur,
“Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8). Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.
Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . Karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.
Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.
Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Memahami amalan qaashir dan amalan muta’addi
Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kita perlu mengenal dua amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi.
Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.
Manakah yang lebih afdal, apakah amalan qaashir ataukah amalan muta’addi?
Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Di antaranya yang dijadikan dalil adalah hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).
Juga hadits,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406; dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan bahwa keutamaan di sini dari sisi jenis, bukan berarti semua amalan muta’addi lebih afdal dari amalan qaashir. Shalat, puasa, dan haji termasuk dalam ibadah qaashirah—dalam hukum asalnya–, namun ibadah ini termasuk dalam rukun Islam dan merupakan amalan Islam paling penting. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8.
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, para ulama berkata,
إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ
“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.
Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.
Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar. Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.
Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya. Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.”
Referensi : Amalan Qaashir dan Muta’addi