Senin, 26 September 2022

Memilih Menjadi Golongan Bertaubat

Memilih Menjadi Golongan Bertaubat. Ketahuilah sesungguhnya golongan orang yang bertaubat itu lebih utama. Mereka memahami kehidupannya, tak akan pernah luput dari perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, keinginannya untuk selalu menghadapkan dirinya dihadapan Allah Azza Wa Jalla, dan memohon ampunan, jalan menuju taubat, yang akan dapat menghapus segala  dosanya.  Orang-orang yang memilih jalan bertaubat itu, menemukan alasan yang paling asasi, dan mereka akan sungguh-sungguh menempuh jalan taubat itu. Diantara alasan mereka adalah :  Pertama, ubudiyah orang yang bertaubat merupakan ‘ubudiyah yang sangat dicintai dan dimuliakan Allah. Karena Dia mencintai orang-orang yang bertaubat. Seandainya taubat bukan merupakan sesuatu yang paling dicintai Allah, niscaya tidak mungkin Dia menguji makhluk yang pailng mulia ini dengan dosa. Demi cinta-Nya terhadap taubat hamba-Nya, diuji-Nya lah seorang hamba dengan dosa, yang mengharuskannya melakukan sesuatu yang dicintai-Nya yaitu taubat.  Kedua, taubat mempunyai kedudukan disisi Allah yang tidak dimiliki oleh ketaatan-ketaatan lainnya. Allah Azza Wa Jalla sangat gembira dengan taubat hamba-Nya, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam dengan kegembiraan seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang. Seraya membawa perbekalannya berupa makanan dan minuman di lembah yang membahayakan, dia berputus asa untuk dapat hidup lebih lanjut. Tetapi Allah Azza Wa Jalla bergembira dengan taubat hamba-Nya, melebihi orang yang menemukan kembali untanya. Kegembiraan semacam ini tidak didapati di dalam ketaatan manapun, selain taubat. Kegembiraan seperti ini memiliki pengaruh yagn besar kondisi dan hati orang yang bertaubat.  Ketiga, di dalam ‘ubudiyah taubat terhadap sikap merasa rendah, hina, tunduk dan selalu pasrah kepada Allah, dan merendahkan diri kepada-Nya. Hal ini lebih dicintai oleh-Nya daripada kebanyakan amalan lahir lainnya. Karena merasa rendah diri dan hina merupakan ruh ‘ubudiyah.  Keempat, sesungguhnya tingkatan perasaan hina dan rendah pada orang yang bertaubat lebih sempurna daripada selainnya. Karena ia dan orang yang tidak berdosa sama-sama merasakan kehinaan kefakiran, ‘ubudiyah, dan mahabbah (kecintaan), tetapi berbeda dari orang yang tidak berdosa dalam soal remuk redamnya hati, karena maksiat yang dilakukannya. Hati orang-orang yang bermaksiat, dan tidak bertaubat menjadi hancur, dan tidak dapat lagi menerima hidayah-Nya.  Sabda baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam :  “Bahwa Dia akan berfirman pada hari kiamat : “Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberi-Ku makan”. Anak Adam bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana aku memberi makan kepada-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?” Allah menjawab, “Hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi. Ketahuilah, bahwa seandainya engkau memberi makan, niscaya engkau dapati hal itu disisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu tetapi engkau tidak mau memberi-Ku minum, padahal Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?” Allah menjawab, “Hamba-Ku si fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak engkau beri minum.Ketahuilah, seandainya engkau memberinya minum niscaya engkau dapati hal itu disisi-Ku. Waha anak Adam, Aku sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku”. Hamba bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkau Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta? Allah menjawab,”Ketahuilah bahwasanya hamba-Ku si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya. Ingatlah, seandainya engkau menjenguknya niscaya engkau dapat aku disisinya”.   Mengapa do’a tiga orang manusia pasti dikabulkan, yaitu, orang yang dianiaya, musafir, dan orang yang berpuasa. Karena hati mereka gundah gulana, merasa terasing dan resah. Demikian pula, puasa menghancurkan kebuasan jiwa kebinatangan dan menundukkannya. Maksudnya, lilin kekuasaan, keutamaan, dan anugerah itu turun di tempat lilin kegelisahan. Pelaku ahli maksiat yang telah bertaubat mendapatkan bagian yang banyak ketika sudah berubah hidupnya.  Kelima, dosa kadang-kadang bermanfaat, bila diiringi dengan taubat, daripada ketaatan yang banyak. Inilah makna perkataan Salaf, “Kadang-kadang seorang hamba melakukan dosa, teapi karena dosa itu dia masuk surga, dan kadang-kadang melakukan ketaatan, tetapi karena dia masuk neraka”. Lalu, orang-orang bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” Ia menjawab, “Dia melakukan suatu dosa, kemudian dosanya selalu tampak di pelupuk matanya. Ketika berdiri, duduk, dan berjalan, ia selalu ingat dosanya. Sehingga hatinya remuk redam, bertaubat, beristighfar, dan menyesal. Semuanya itu menjadi penyebab kesalamatan dirinya. Sebaliknya orang yang senantiasa melakukan amal kebaikan, kemudian kebaikannya itu selalu nampak di pelupuk matanya, ketika berdiri, duduk, dan berjalan. Setiap kali ingat kebaikannya, ia merasa ujub, takabur, dan merasa telah berjasa, sehingga menjadi penyebab kebinasaan.  Dosa itu telah menjadikan dirinya selalu meningkatkan berbagai ketaatan, kebaikan dan kesadaran hatinya, seperti takut kepada Allah Azza Wa Jalla, malu kepada-Nya, datang kepada-Nya dengan menundukkan kepala dan hati yang resah gelisah, dengan menangis dan menyesal, dan mengakui semua kesalahan dan kelalaian dihadapan Rabbnya.

Memilih Menjadi Golongan Bertaubat. Ketahuilah sesungguhnya golongan orang yang bertaubat itu lebih utama. Mereka memahami kehidupannya, tak akan pernah luput dari perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, keinginannya untuk selalu menghadapkan dirinya dihadapan Allah Azza Wa Jalla, dan memohon ampunan, jalan menuju taubat, yang akan dapat menghapus segala  dosanya.

Orang-orang yang memilih jalan bertaubat itu, menemukan alasan yang paling asasi, dan mereka akan sungguh-sungguh menempuh jalan taubat itu. Diantara alasan mereka adalah :

Pertama, ubudiyah orang yang bertaubat merupakan ‘ubudiyah yang sangat dicintai dan dimuliakan Allah. Karena Dia mencintai orang-orang yang bertaubat. Seandainya taubat bukan merupakan sesuatu yang paling dicintai Allah, niscaya tidak mungkin Dia menguji makhluk yang pailng mulia ini dengan dosa. Demi cinta-Nya terhadap taubat hamba-Nya, diuji-Nya lah seorang hamba dengan dosa, yang mengharuskannya melakukan sesuatu yang dicintai-Nya yaitu taubat.

Kedua, taubat mempunyai kedudukan disisi Allah yang tidak dimiliki oleh ketaatan-ketaatan lainnya. Allah Azza Wa Jalla sangat gembira dengan taubat hamba-Nya, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam dengan kegembiraan seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang. Seraya membawa perbekalannya berupa makanan dan minuman di lembah yang membahayakan, dia berputus asa untuk dapat hidup lebih lanjut. Tetapi Allah Azza Wa Jalla bergembira dengan taubat hamba-Nya, melebihi orang yang menemukan kembali untanya. Kegembiraan semacam ini tidak didapati di dalam ketaatan manapun, selain taubat. Kegembiraan seperti ini memiliki pengaruh yagn besar kondisi dan hati orang yang bertaubat.

Ketiga, di dalam ‘ubudiyah taubat terhadap sikap merasa rendah, hina, tunduk dan selalu pasrah kepada Allah, dan merendahkan diri kepada-Nya. Hal ini lebih dicintai oleh-Nya daripada kebanyakan amalan lahir lainnya. Karena merasa rendah diri dan hina merupakan ruh ‘ubudiyah.

Keempat, sesungguhnya tingkatan perasaan hina dan rendah pada orang yang bertaubat lebih sempurna daripada selainnya. Karena ia dan orang yang tidak berdosa sama-sama merasakan kehinaan kefakiran, ‘ubudiyah, dan mahabbah (kecintaan), tetapi berbeda dari orang yang tidak berdosa dalam soal remuk redamnya hati, karena maksiat yang dilakukannya. Hati orang-orang yang bermaksiat, dan tidak bertaubat menjadi hancur, dan tidak dapat lagi menerima hidayah-Nya.

Sabda baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam :

Bahwa Dia akan berfirman pada hari kiamat : “Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberi-Ku makan”. Anak Adam bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana aku memberi makan kepada-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?” Allah menjawab, “Hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi. Ketahuilah, bahwa seandainya engkau memberi makan, niscaya engkau dapati hal itu disisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu tetapi engkau tidak mau memberi-Ku minum, padahal Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?” Allah menjawab, “Hamba-Ku si fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak engkau beri minum.Ketahuilah, seandainya engkau memberinya minum niscaya engkau dapati hal itu disisi-Ku. Waha anak Adam, Aku sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku”. Hamba bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkau Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta? Allah menjawab,”Ketahuilah bahwasanya hamba-Ku si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya. Ingatlah, seandainya engkau menjenguknya niscaya engkau dapat aku disisinya”.



Mengapa do’a tiga orang manusia pasti dikabulkan, yaitu, orang yang dianiaya, musafir, dan orang yang berpuasa. Karena hati mereka gundah gulana, merasa terasing dan resah. Demikian pula, puasa menghancurkan kebuasan jiwa kebinatangan dan menundukkannya. Maksudnya, lilin kekuasaan, keutamaan, dan anugerah itu turun di tempat lilin kegelisahan. Pelaku ahli maksiat yang telah bertaubat mendapatkan bagian yang banyak ketika sudah berubah hidupnya.

Kelima, dosa kadang-kadang bermanfaat, bila diiringi dengan taubat, daripada ketaatan yang banyak. Inilah makna perkataan Salaf, “Kadang-kadang seorang hamba melakukan dosa, teapi karena dosa itu dia masuk surga, dan kadang-kadang melakukan ketaatan, tetapi karena dia masuk neraka”. Lalu, orang-orang bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” Ia menjawab, “Dia melakukan suatu dosa, kemudian dosanya selalu tampak di pelupuk matanya. Ketika berdiri, duduk, dan berjalan, ia selalu ingat dosanya. Sehingga hatinya remuk redam, bertaubat, beristighfar, dan menyesal. Semuanya itu menjadi penyebab kesalamatan dirinya. Sebaliknya orang yang senantiasa melakukan amal kebaikan, kemudian kebaikannya itu selalu nampak di pelupuk matanya, ketika berdiri, duduk, dan berjalan. Setiap kali ingat kebaikannya, ia merasa ujub, takabur, dan merasa telah berjasa, sehingga menjadi penyebab kebinasaan.

Dosa itu telah menjadikan dirinya selalu meningkatkan berbagai ketaatan, kebaikan dan kesadaran hatinya, seperti takut kepada Allah Azza Wa Jalla, malu kepada-Nya, datang kepada-Nya dengan menundukkan kepala dan hati yang resah gelisah, dengan menangis dan menyesal, dan mengakui semua kesalahan dan kelalaian dihadapan Rabbnya.