Jumat, 16 September 2022

Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris Dari Kerajaan Kubu

Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris Dari Kerajaan Kubu Apabila kita mengkaji sejarah para ‘alim Ulama yang ada di Indonesia pada umumnya dan yang ada di propinsi Kalimantan Barat pada khususnya, maka di tengah-tengah masyarakat muslim, kita akan menemukan beberapa nama yang sampai saat ini masih harum dan terhormat. Di antara nama-nama tersebut adalah Maharaja Imam Basuni Imran, Syekh Khatib al Sambasi, Syekh H. Ismail Mundu. dll. Penghormatan tersebut diperoleh karena mereka memiliki kepribadian yang mulia dan keilmuan yang tinggi, khususnya di bidang Agama Islam.  Ismail Mundu berasal dari keturunan raja Sawitto di Sulawesi Selatan. Kerajaan pertama yang berdiri di Sulawesi Selatan pada awal abat ke 14 adalah kerajaan “Luwu” yang mana sebelumnya bernama kerajaan “Ussu” yang diperintah oleh Dinasti Tamanurung Simpuru Siang. pada abad ke XVI dapat dikatakan sebagai abad penyebaran Agama Islam. Sebab pada saat itu terkenal salah seorang raja yang giat menyebarkan agama Islam, beliau adalah Sultan Babullah dari Ternate. Tepatnya pada tahun 1580 beliau berkunjung ke Makassar dan kemudian membuat suatu perjanjian persahabatan dengan Raja Gowa ke XII yang bernama I Manggorai Daeng Mameto alias Karaeng Tunijalla. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Babullah menyerahkan pulau Selayar kepada kerajaan Gowa sebagai imbalan adanya jaminan kebebasan dalam menyiarkan agama Islam.  Di Kerajaan Gowa, Islam menjadi agama resmi sejak masa pemerintahan I Mangarangi Daeng Manrabia, yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Sebelumnya, Mangku Bumi Malingkang Daeng Manyanri juga memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awalul Islam, beliau diangkat sebagai mangku bumi kerajaan Gowa, sebab ketika dinobatkan sebagai raja Gowa, Sultan Alaudin masih berusia 7 (tujuh) tahun.(lihat: Nasruddin Hars., dkk.,1994: hlm.14). Menurut Ust.H. Rival bin H, Abbas, dari kerajaan Islam tersebut, lahirlah raja Sawitto yang merupakan nenek moyang dari Guru H. Ismail Mundu, (Hasil wawancara pada tanggal 17 Pebruari 2002).  Guru Haji Ismail Mundu lahir pada tahun 1287 H. bertepatan dengan tahun 1870 M. dari pernikahan seorang Mursyid Thariqah Abdul Qadir Jailani yang berasal dari Bugis dengan seorang putri yang bernama Zahra (wak Soro) berasal dari daerah Kakap Kalimantan Barat. Adapun ayah beliau bernama Daeng (gelar yang diberikan kepada kaum bangsawan suku Bugis) Abdul Karim alias Daeng Talengka bin Daeng Palewo Arunge Lamongkona bin Arunge Kacenang Appalewo bin Arunge Betteng Wajo’ Sulawesi Selatan keturunan Maduk Kelleng.  Dengan demikian, Beliau masih memiliki keturunan (nasab) salah seorang raja pada suatu kerajaan di Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, H. Ismail Mundu lebih banyak berkiprah di Kalimantan Barat dari pada di tempat leluhur beliau yakni Sulawesi Selatan.  Selain Guru Haji Ismail Mundu, di Sulawesi Selatan juga terdapat seorang Sufi yang ‘alim dan termasyhur yang bernama Syekh Yusuf. Dalam “Hikayat Syekh Yusuf” diceritakan, bahwa ketika Syekh Yusuf berada di Makkah untuk menunaikan ibadah H. dan menuntut Hmu kepada keempat imam mazhab.  Ternyata keempat imam tersebut tidak menerima beliau sebagai murid karena mereka menganggap bahwa Syekh Yusuf sudah memiliki ilmu yang cukup dan memiliki ilmu yang lebih khusus yaitu ilmu Sufi, selanjutnya mereka menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid. Kemudian dari beliau Syekh Yusuf di anjurkan untuk belajar kepada Syekh Abdul Qadir al Jailani.  Adapun karya Ilmiyah yang telah ditulis oleh Syekh Yusuf dalam Handlist of Arabic Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other Colections in the Netherlands, yang dikumpulkan oleh P. Voorhoeve, Leiden 1957, pada halaman 539 tertulis beberapa karangan Syekh Yusuf al-Taj Abul Mahasin, di antaranya: al-Barakat al-Sailaniya, al-Nafhat al-Sailaniyya, al-Fawaih al-Yusufiyya, Bidayat al-Mubtadi, Kaifiyat al-Munghi, Matalib al-Salikin, Qurrat alAin, Sirr al-Asrar, Taj al-Asrar, Zubdat al-Asrar, Path Kaifiyat al-Dhikr, Daf al-Bala, Hadhihi Fawaid azima Dhikr La ilaha illallah, Muqaddimat al-Fawaid allati ma la budda min al-‘aqaid, Tahsil al-Inaya wal Hidaya, Risala Ghayat al-Ikhtisar wa Nihayat al Intizar, Tuhfat al-Amr fi Fadilat al-Dhikir, Tuhfat al-Abrar li Ahl al-Asrar, al-Munjijiyya ‘an Madarrat al-Hijaiba, dan lain-lain.  Merujuk pada informasi yang disampaikan oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah (seorang penulis sejarah asal Malaysia). Pada saat Guru Haji Ismail Mundu diberi amanah menjabat sebagai seorang Mufti Kerajaan Kubu, dalam waktu yang bersamaan dikenal ada tiga orang ulama di Kalimantan Barat yang bernama Ismail. Ketiga orang yang kami maksud: 1) Ismail bin Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan Ismail Mundu. 2) Ismail bin Haji Abdul Majid al-Kalantani, yang lebih dikenal dengan Ismail Kelantan. Beliau menjabat sebagai Mufti kerajaan Pontianak, dan 3) Ismail bin Abdul Latif, yang lebih dikenal dengan Ismail Jabal.  Beliau menjabat sebagai Adviseur penasehat Rad Agama Kerajaan Pontianak. Ust. Haji Riva’I menambahkan bahwa selain ketiga nama Ismail tersebut, juga dikenal seorang nama Ismail yang ‘alim tetapi kurang dikenal oleh kalangan Kerajaan. Beliau adalah Ismail Bone, seorang Ulama yang berda’wah di daerah Kakap.  Menurut sejarah dalam naskah “Hikayat Upu Daeng Manambun”, diceritakan bahwa orang-orang Bugis pertama kali berkelana ke tanah Melayu sekitar pada abad ke XVI (enam belas). Pada abad ke XVI kelima anak raja Bugis yakni Daeng Rilaga berangkat dari tanah Makasar menuju ke negeri-negeri tanah Melayu yaitu Johor, Pahang, Selangor dan Kedah serta Kalimantan Barat.  Kelima putra tersebut: Upu Daeng Perani, Upu Daeng Manambun, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Chelak dan Upu Daeng Kemasi. Adapun Upu Daeng Menambun pada akhirnya berhasil merajai kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat, sedangkan Daeng Perani berhasil berjaya menguasai kerajaan Johor di Malaysia pada tahun 1722 M. (Rogayah A.Hamid, 1980: him. XV).  Pada masa kecil, H. Ismail Mundu lebih dikenal dengan nama Mundu. Sejak kecil, pada kepribadian Mundu telah tanpak sebagai anak yang taat dalam mengamalkan ajaran Agama Islam. Pada awalnya sekitar umur 7 tahun beliau belajar kepada pamannya sendiri (adik dari Ibunya) yang bernama H. Muhammad bin H. Ali, dengan kecerdasannya, dalam jangka waktu tujuh bulan Mundu berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an dengan sempurna.  Selanjutnya Syekh Abdul Karim (Ayahanda Mundu) mengutus Mundu untuk belajar ilmu agama kepada seorang ‘Ulama besar di masanya yang bernama H. Abdullah Ibnu Salam, yang dikenal juga dengan nama H. Abdullah Bilawa. Beliau memiliki gelar ‘Ulama Batu Penguji yang berdomisili di Desa Sungai Kakap Kabupaten Pontianak. Setelah H. Abdullah Ibnu Salam berpulang ke Rahmatullah, maka Mundu melanjutkan belajar agama kepada seorang ‘Ulama yang bernama Sayyed Abdullah Azzawawi. Beliau adalah seorang Mufti di Makkatul Mukarramah.  Di samping itu, Mundu juga belajar kepada dua orang Guru yang bernama Tuan Umar Sumbawa dan Makabro alias Puang Lompo. Makabro adalah salah seorang ‘ulama yang berasal dari suku Bogis, dari beliau Guru H.Ismail Mundu banyak belajar tentang menghafal kitab-kitab yang menjelaskan tentang ilmu-ilmu agama Islam.  Sekitar usia 20 tahun Mundu menunaikan ibadah H. yang pertama kalinya. Pada saat itu, masih belum menikah, oleh sebab itu beliau mengakhiri masa lajangnya di Makkah, dengan menikahi seorang wanita yang berasal dari suku Habsyi yang bernama Ruzlan. Sebagaimana galibnya, salah satu tujuan diselenggarakannya pernikahan adalah untuk mendapatkaA keturunan, tetapi dalam kenyataannya keinginan tersebut tidak selamanya dapat terwujud, sebagaimana yang dialami oleh H. Mundu. Setelah berselang beberapa waktu hidup bersama membangun keluar-ga yang Sakinah, ternyata sang istri tercinta telah berpulang ke Rahmatullah, sebelum dikarunia seorang putra. Oleh sebab itu, tidak lama kemudian Mundu kembali menikah yang ke dua kalinya dengan seorang wanita yang berasal dari pulau Sarasan bernama Hj. Aisyah.  Kemudian Mundu kembali ke Indonesia, sejak itulah beliau lebih dikenal dengan nama H. Ismail Mundu. Seperti halnya pernikahan yang pertama, Allah Swt menguji kesabaran H. Ismail Mundu, yang mana baru saja membina keluarga dengan Hj. Aisyah, ternyata istri yang tercinta segera dipanggil untuk kembali ke Rahmatullah, padahal pada saat itu beliau belum dikaruniai seorang putra, demikianlah kehendak Allah Swt.  Setelah meninggalnya Hj. Aisyah, maka H. Ismail Mundu kembali ke desa Sungai Kakap Pontianak, di sanalah beliau menikah yang ke tiga kalinya dengan seorang wanita yang masih memiliki ikatan saudara dengan beliau (sepupu) yang bernama Hafifa binti H. Sema’ila.  Dari pernikahan tersebut barulah H. Ismail dikaruniai tiga orang anak, dua orang anak laki-laki yang bernama Ambo’ Saro alias Openg dan Ambo’ Sulo serta seorang anak perempuan yang bernama Fatma. Sayangnya tidak lama setelah kelahiran putra yang ke tiga, Hafifa binti H. Sema’ila meninggal dunia.  Begitu pula dengan putra-putri H. Ismail Mundu meninggal dunia pada usia yang relatif muda, sehingga dapat dikatakan bahwa beliau tidak memiliki keturunan (dzuriyah). Dengan meninggalnya Hafifa berarti H. Ismail Mundu dalam keadaan duda. Hal ini tidak dikehendaki oleh H. Ismail Mundu, oleh sebab itu H. Ismail Mundu kembali menikah yang keempat kalinya dengan seorang wanita yang berkebangsaan Arab suku Natto yang bernama Hj. Asmah binti Sayyid Abdul Kadir. Bersama dengan Hj. Asmah, H. Ismail Mundu menunaikan Ibadah H. yang ke dua kalinya. Di samping menunaikan ibadah H., beliau juga menuntut ilmu kepada seorang Mufti Makkah al Mukarramah yang bernama Saeyed Abdullah Azzawawi.  Setelah dianggap menguasai ilmu yang cukup, maka pada tahun 1904 M/1324 H H. Ismail kembali ke Indonesia (turun ke jawi), kemudian berdomisili di desa Teluk Pakedai yang termasuk dalam wilayah kerajaan Kubu Pontianak Kalimantan Barat. Disanalah beliau terpanggil untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah beliau terima dan kuasai. Sebagai seorang yang ‘alim dan wara’ segala sesuatu yang diupayakan senantiasa memiliki keterkaitan dengan syi’ar Islam dan menegakkan kebenaran serta menumpas kebatilan yang pada saat itu mulai merajalela.  Tak jarang terjadi saling membunuh baik di antara sesama muslim, maupun dengan non muslim. Padahal hanya disebabkan oleh persoalan yang sebenarnya sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan. Sehingga seakan nilai perdamaian yang diajarkan oleh setiap agama sudah tidak diindahkan lagi. Situasi seperti ini merupakan suatu akibat dari kurangnya pemahaman terhadap ilmu agama dan nilai-nilai kemanusiaan.  Menurut keterangan dari salah seorang murid dari Guru H. Ismail Mundu yang bernama H. Arsyad, sebelum kedatangan Syech H. Ismail Mundu di Teluk Pakedai, sudah menjadi tradisi dalam masyarakat bahwa setiap tamu yang datang ke daerah Teluk Pakedai akan diuji dulu ketinggian keilmuannya melalui suatu perkelahian, apabila sang tamu kalah maka ia tidak diperkenankan tinggal di Teluk Pakedai, bahkan terkadang dibunuh di medan pengujian, medan tersebut dikenal dengan nama Tanjung Salai.  Menurut bahasa setempat, Salai artinya adalah panggang, yang mana biasanya, orang yang kalah/terbunuh di medan pengujian akan dipanggang jasadnya, tradisi tersebut dilakukan oleh orang Dayak Laut. Tetapi apabila sang tamu menang dalam pengujian karena memiliki ilmu yang tinggi, maka tamu tersebut mendapat penghormatan yang tinggi pula dari masyarakat dan dipersilahkan untuk dapat tinggal di Teluk Pakedai, bahkan dianggap sebagai seorang guru yang layak untuk ditimba ilmunya.  Berkaitan dengan ketinggian Ilmu Syech H.lsmail Mundu, terdapat suatu kisah nyata, bahwa pada suatu hari setelah Sholat Subuh Syach H.Ismail Mundu jalan-jalan, di tengah-tengah perjalanan beliau dihadang oleh lima orang yang bersenjata, pada saat itu Syach H.Ismail Mundu masih berusia + 25 th., sementara pembegal rata-rata berusia 40 th. yang sudah cukup berpengalaman dalam hal pembegalan. Kelima orang tersebut mempersilakan Syech H.lsmail untuk menggunanakan segala senjata yang dimiliki. Dengan penuh wibawa beliau mengatakan bahwa kehadirannya ke Teluk Pakedai bukan untuk mencari musuh, tetapi kehadiran beliau adalah untuk menyebarkan kebenaran.  Ternyata jawaban Syech Ismail tidak menyurutkan keinginan para pembegal untuk melaksanakan aksi pengujian. Oleh sebab itu, sebelum pertikaian dimulai, Syech H.Ismail menyuruh mereka untuk menjabut ranggas kelapa yang tertanam sebagian. Ternyata kelima orang tersebut tidak ada yang mampu melaksanakannya, oleh sebab itu Syech H.Ismail menasehati agar mereka tidak sombong.  Selanjutnya, dengan membaca basmalah tanpa mengalami kesulitan Syech H.Ismail berhasil menjabut ranggas kelapa, sementara itu mandau yang dimiliki oleh kelima orang tersebut satu dibengkongkan oleh beliau, seraya mengatakan bahwa mandau saja bisa sujud kepada Allah SWT, bagaimana dengan kalian? Sejak peristiwa tersebut, mereka menyatakan bertaubat dan mengakui ketinggian ilmu Syach H.Ismail Mundu. (Hasil wawancara dengan H.Irsyad pada tanggal 24 pebruari 2002).  Berkat Rahmat Allah yang menghadirkan H. Ismail Mundu di Teluk Pakedai, maka wajah situasi daerah tersebut sedikit demi sedikit semakin membaik, sehingga masyarakat dapat kembali pada jalan yang lurus dan meninggalkan kejahilan yang mana pada saat itu melanda masyarakat. Keberhasilan H. Ismail Mundu dalam mengentas masyarakat Kubu dari kejahilan, mendapat simpati dari Raja Kubu, sehingga pada tahun 1907 M (1326!!) Guru H. Ismail Mundu mendapat kepercayaan dari pemerintah Kerajaan Kubu untuk memegang jabatan Mufti kerajaan Kubu.  Dengan jabatan tersebut, maka Guru H. Ismail menjadi tumpuan tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah agama yang datang dari berbagai kalangan baik dari kalangan kerajaan maupun dari kalangan masyarakat luas, khususnya berbagai masalah yang berkaitan dengan problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin. Semua permasalahan yang diajukan kepada beliau, diupayakan dapat diputuskan dengan penuh bijaksana (hikmah) dan nasehat yang baik (mauidzah hasanah).  Atas segala kemampuan dan kharisma serta besarnya pengaruh yang dimiliki oleh H. Ismail Mundu, maka pada tanggal 31 Agustus 1930 M (1349 H) beliau mendapat penghargaan dari pemerintahan Belanda berupa bintang jasa dan Honorrarium dari Ratu Wihel Mina. Jabatan Mufti disandang oleh H.Ismail Mundu sampai beliau kembali menunaikan ibadah H. yang ketiga kalinya.  Pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M) Guru H. Ismail bersama seorang murid dan sekaligus menjadi teman karibnya yang bernama Datuk Penghulu H. Haruna bin H. Ismail, beliau berasal dari Desa Batu Pahat Johor Malaya, untuk membangun masjid Batu. Menurut keterangan dari salah seorang cucu H.Haruna yakni H.Harun al Rasyid, bahwa H.Haruna adalah putra Bugis yang sudah lama tinggal di Malaya yang mana pada saat ini lebih dikenal dengan negara Malaysia. Sebutan Haruna berasal dari lafadz Harun, karena bahasa Bugis tidak mengenal lafadz yang diakhiri oleh huruf mati, maka lafadz Harun menjadi lafadz Haruna. (Hasil wawancara dengan H.Harun al Rasyid pada tanggal 19 pebruari 2002). Partisipasi dan pengorbanan harta dan jiwa (amwal wal anfus) Datuk Penghulu sangat besar jasanya dalam keberhasilan pembangunan Masjid Batu. Pada rencana awal, Masjid Batu dibangun tidak mempergunakan bahan dari kayu, yaitu hanya menggunakan bahan dari batu bata.  Oleh sebab itu dikenal dengan masjid Batu, adapun nama masjid yang sebenarnya adalah masjid Nasrullah yang baru mulai difungsikan sebagai tempat untuk shalat Jum’at pada tahun igzgM (1348H). (Hasil wawancara dengan H. Riva’I pada tanggal 11 Pebruari 2oo2yang mana diharapkan menjadi amal jariyah).  Pada tahun 1930 M\i349 H Guru H. Ismail Mundu dikunjungj oleh dua orang ‘Ulama yang berasal dari kota Madinah, yakni: Sayyid Nasir dan Sayyid Abdul Satar. Beliau adalah seorang Imam Masjid Madinah yang hafal kitab suci al-Qur’an dan pernah belajar kepada Guru H.Ismail Mundu. Mereka berkunjung ke Teluk Pakedai kurang lebih selama tiga bulan, disaat bertepatan dengan bulan Ramadhan. Maka Sayyid Abdul Satar mendapat penghormatan untuk menjadi Imam shalat Taraweh.  Dalam shalat tersebut, beliau berhasil mengkhatamkan kitab suci Al-Qur’an sebanyak dua kali khataman pada setiap bulan Ramadhan. Setelah genap tiga bulan, mereka kembali ke kota Madinah. Berselang beberapa lama kemudian Guru H. Ismail dikunjungi lagi tiga orang ulama besar yang bernama:  Sayyed Hasan Japri yaitu seorang Mufti Hadral Maut (Hadrami); Sayyed Alwi yaitu seorang Ulama dari Kota Yaman; Sayyed Achmad Jablawi yaitu seorang Ulama dari kota Mesir. Sebenarnya seorang di antara Ulama tersebut yakni Sayyed Achmad Jablawi datang ke Teluk Pakedai bermaksud untuk mengajar para murid dalam hal menghafal kitab suci Al-Qur’an, tetapi karena syarat yang ditargetkan oleh beliau tidak terpenuhi, maka beliau mengurungkan niat tersebut.  Syekh Ahmad Jablawi mensyaratkan murid yang akan diajar untuk menghafal al-Qur’an sudah mampu membaca ayat suci al-Qur’an dengan balk dan benar minimal berjumlah 40 santri, tetapi karena pada saat itu di Teluk Pakedai masih langka orang yang pandai membaca al-Qur’an, maka syarat tersebut tidak dapat terpenuhi. Setelah diadakan suatu pengetesan (imtihan), ternyata hanya sekitar tujuh orang yang dapat memenuhi persyaratan dan dinilai lulus ujian. Pada tahun 1973 M (1356 H) Guru H. Ismail berangkat lagi ke tanah suci Makkah bersama keluarganya untuk menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya. Disamping itu beliau mengajar pula di Masjidil Haram bagian sebelah Shapah dengan nama perkumpulan JAMI’UT THANASUH, sedang di sebelah Marwah diasuh oleh Guru H. Ja’far.  Dalam mengajar di Masjiddil Haram beliau mandapat bantuan dari Ratu Wilhel Mina, kemudian bantuan itu oleh Guru H. Ismail dibagikan kepada tiap orang muridnya pula berupa uang sebanyak 10 Riyal dan beras 10 Kg. (tiap minggu). Pada waktu Presiden Republik Indonesia yang pertama yakni Ir. Soekarno menunaikan ibadah Haji, beliau disambut oleh Guru H. Ismail Mundu bersama Saiyed Ali Azzawawi bin Saiyed Abdullah Azzawawi dan Raja Makkah. Dalam kesempatan tersebut, Sultan Hamid II menceritakan kepada Guru H. Ismail bahwa keluarga dan murid-murid beliau di Pontianak sangat rindu, bahkan ada yang mengira bahwa beliau sudah meninggal dunia dan membacakan do’a arwah.  Dengan adanya berita dari Sultan Hamid II itulah maka pada tahun 1367 H (1948 M) Guru H. Ismail pulang ke Indonesia dengan menggunakan kapal air. Para penumpang kapal air itu yang berjumlah 1.500 orang mengaku murid Guru H. Ismail, sehingga mereka semuanya itu dibebaskan dari biaya kapal, karena nama besar Guru H. Ismail semua biaya ditanggung oleh Ratu Wilhel Mina.  Sewaktu beliau tiba di Jakarta disambut oleh muridnya yang bernama Kyai H. Wahid Hasyim yaitu menteri Agama RepubUk Indonesia yang pertama, kemudian beliau menemui dua orang teman semuridnya yang bernama: pertama, Habib AM Habsi di Kuwitang dan kedua Kyai Pala di Kota Bogor, Jawa Barat.  Selanjutnya beliau meneruskan perjalanannya pulang ke kota Pontianak, Kalimantan Barat dan setelah di Pontianak, beliau disambut oleh murid-muridnya yang ada di Pontianak dengan sangat gembira dan mencucurkan air mata melihat beliau rupanya masih hidup dan segar bugar, seolah-olah mereka bermimpi melihat kenyataan ini. Dan akhirnya beliau meneruskan perjalanannya ke desa Teluk Pakedai dan menetap di sanasampai berpulang ke rahmatullah. Dua tahun kemudian beliau menikah lagi dengan seorang wanita dari suku Bugis yang bernama Saleha binti H. Muhammad Said (suku Bugis).  Pada tanggal 30 Jumadil Awal 1377!!. (1957 M) kesehatan Guru H. Ismail mulai menurun, sedang rumah beliau belum rampung diperbaharui dan untuk sementara beliau menginap di kantornya di samping Masjid Batu(Nasrullah), pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1377 H. Beliau memanggil beberapa orang muridnya diantaranya Husin H. Akhmad, H. Abbas bin H. Supu’, Muhammad Saleh, H. Ya’kob dan banyak lagi murid-murid selain mereka yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu pada kesempatan ini.  Setelah muridnya berkumpul, maka mulailah belau menceriterakan tentang mimpinya tadi malam : “Aku bermimpi melihat langit terbuka dan diperbelahan langit itu aku melihat satu tanggga yang ujungnya disebelah bawah berkebetulan dalam kamarku ini, setelah itu aku lihat dua orang yang turun dengan membawa ceper didalamnya lengkap dengan alat-alat kapan. Setelah dua orang itu naik kembali maka aku lihat satu orang turun lagi dengan membawa meter, lalu aku diukurnya dan aku katakan kepadanya bahwa aku ini belum mati, setelah itu aku lihat lagi orang itu naik kembali ke langit, lantas akupun sadar dari tidurku.”  Selanjutnya beliau berkata kepada murid-muridnya : “Segera siapkan rumahku! karena pada hari Rabu nanti aku akan memindahinya”, perkataan beliau ini sungguh cukup menyedihkan dan menimbulkan kecemasan bagi keluarga dan murid-muridnya. Tepat pada hari Rabu beliau memindahi rumahnya, kelihatan penyakitnya bertambah berat, laksana kapal cukup muatan. Maka beliau berkata kepada H. Alibin H. Haruna: “Panggilkan aku Ibrahim bin H. Basir dan H. Ibrahim bin H. Usman alias H. Do-eng”, oleh sebab itu dipanggillah H. Do-eng. Kehadliran H. Do-eng disertai oleh seorang dokter, tetapi setelah H. Do-eng bertemu beliau, lalu beliau berkata: “sesuatu yang diobati itu adalah penyakit, adapun aku ini tidak sakit, melainkan ajal”.  Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Guru Haji berwasiat agar merawat dan memakmurkan Masjid, khususnya Masjid Nasrullah(Batu) Teluk Pakedai. Beliau berpesan agar menyampaikan salam perpisahan kepada murid-murid yang pernah belajar bersama mengkaji dan mengamalkan ajaran Agama Islam bersama Guru Haji. Seperti H. Ahmad Tatapantas; H. Burhan, Mohtar dan Ibrahim bin H. Basir supaya datang ke sini, lalu dijawab H. Ali bahwa ibrahim bin H. basir belum datang. Selanjutnya beliau beramanah kepada H. Ali bin H. Haruna:  Ini ada penulis dawat (tempat tinta) tembaga serahkan kepada Ibrahim bin H. Basir dan semua kitab-kitabku serahkan kepada Mahkamah SAR’IYAH ISLAMIAH Pontianak, kalau Mahkamah ini juga tidak paham, maka kirimlah ke MAKKATUL MUKARRMAH di Makkah, karena disana banyak murid-muridku. Yang mana pelajaran dari aku semuanya dari pada jalan Ahlusunah Waljama’ah, andaikata dikemudian hari setelah aku meninggal dunia ada orang yang mengajar, kalau sama pelajaran dari aku bersama-samalah kamu, kalau berkelainan kamu pikirkan lebih dahulu, inilah amanah beliau kepada muridnya.  Keadaan meliputi suasana tegang dan kesedihan memuncak sampailah saatnya beliau menghembuskan napas yang terakhir dengan melafatkan kalimah: “Laa ilaha’ illallah”, pada hari Kamis Jam : 10.00 Wita, “Inna lillahi wainna ilairi raji’un” sesungguhnya segala sesuatu milik Allah dan pada saatnya akan kembali pada Allah SWT. Guru Haji Ismail Mundu meninggalkan dunia yang fana(rusak)ini menuju ke alam baqa(kekal), dalam keadaan husnul khatimah karena dapat mengakhiri hayatnya dengan kalimah Thoyyibah berialan dengan tenang dan sempurna menurut ajaran Islam. Mudah-mudahan Beliau dan murid-murid Beliau mendapat tempat yang baik di sisi Allah SWT.

Apabila kita mengkaji sejarah para ‘alim Ulama yang ada di Indonesia pada umumnya dan yang ada di propinsi Kalimantan Barat pada khususnya, maka di tengah-tengah masyarakat muslim, kita akan menemukan beberapa nama yang sampai saat ini masih harum dan terhormat. Di antara nama-nama tersebut adalah Maharaja Imam Basuni Imran, Syekh Khatib al Sambasi, Syekh H. Ismail Mundu. dll. Penghormatan tersebut diperoleh karena mereka memiliki kepribadian yang mulia dan keilmuan yang tinggi, khususnya di bidang Agama Islam.

  1. Ismail Mundu berasal dari keturunan raja Sawitto di Sulawesi Selatan. Kerajaan pertama yang berdiri di Sulawesi Selatan pada awal abat ke 14 adalah kerajaan “Luwu” yang mana sebelumnya bernama kerajaan “Ussu” yang diperintah oleh Dinasti Tamanurung Simpuru Siang. pada abad ke XVI dapat dikatakan sebagai abad penyebaran Agama Islam.

Sebab pada saat itu terkenal salah seorang raja yang giat menyebarkan agama Islam, beliau adalah Sultan Babullah dari Ternate. Tepatnya pada tahun 1580 beliau berkunjung ke Makassar dan kemudian membuat suatu perjanjian persahabatan dengan Raja Gowa ke XII yang bernama I Manggorai Daeng Mameto alias Karaeng Tunijalla. Dalam perjanjian tersebut, Sultan Babullah menyerahkan pulau Selayar kepada kerajaan Gowa sebagai imbalan adanya jaminan kebebasan dalam menyiarkan agama Islam.

Di Kerajaan Gowa, Islam menjadi agama resmi sejak masa pemerintahan I Mangarangi Daeng Manrabia, yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Sebelumnya, Mangku Bumi Malingkang Daeng Manyanri juga memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awalul Islam, beliau diangkat sebagai mangku bumi kerajaan Gowa, sebab ketika dinobatkan sebagai raja Gowa, Sultan Alaudin masih berusia 7 (tujuh) tahun.(lihat: Nasruddin Hars., dkk.,1994: hlm.14). Menurut Ust.H. Rival bin H, Abbas, dari kerajaan Islam tersebut, lahirlah raja Sawitto yang merupakan nenek moyang dari Guru H. Ismail Mundu, (Hasil wawancara pada tanggal 17 Pebruari 2002).

Guru Haji Ismail Mundu lahir pada tahun 1287 H. bertepatan dengan tahun 1870 M. dari pernikahan seorang Mursyid Thariqah Abdul Qadir Jailani yang berasal dari Bugis dengan seorang putri yang bernama Zahra (wak Soro) berasal dari daerah Kakap Kalimantan Barat. Adapun ayah beliau bernama Daeng (gelar yang diberikan kepada kaum bangsawan suku Bugis) Abdul Karim alias Daeng Talengka bin Daeng Palewo Arunge Lamongkona bin Arunge Kacenang Appalewo bin Arunge Betteng Wajo’ Sulawesi Selatan keturunan Maduk Kelleng.

Dengan demikian, Beliau masih memiliki keturunan (nasab) salah seorang raja pada suatu kerajaan di Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, H. Ismail Mundu lebih banyak berkiprah di Kalimantan Barat dari pada di tempat leluhur beliau yakni Sulawesi Selatan.

Selain Guru Haji Ismail Mundu, di Sulawesi Selatan juga terdapat seorang Sufi yang ‘alim dan termasyhur yang bernama Syekh Yusuf. Dalam “Hikayat Syekh Yusuf” diceritakan, bahwa ketika Syekh Yusuf berada di Makkah untuk menunaikan ibadah H. dan menuntut Hmu kepada keempat imam mazhab.

Ternyata keempat imam tersebut tidak menerima beliau sebagai murid karena mereka menganggap bahwa Syekh Yusuf sudah memiliki ilmu yang cukup dan memiliki ilmu yang lebih khusus yaitu ilmu Sufi, selanjutnya mereka menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid. Kemudian dari beliau Syekh Yusuf di anjurkan untuk belajar kepada Syekh Abdul Qadir al Jailani.

Adapun karya Ilmiyah yang telah ditulis oleh Syekh Yusuf dalam Handlist of Arabic Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other Colections in the Netherlands, yang dikumpulkan oleh P. Voorhoeve, Leiden 1957, pada halaman 539 tertulis beberapa karangan Syekh Yusuf al-Taj Abul Mahasin, di antaranya: al-Barakat al-Sailaniya, al-Nafhat al-Sailaniyya, al-Fawaih al-Yusufiyya, Bidayat al-Mubtadi, Kaifiyat al-Munghi, Matalib al-Salikin, Qurrat alAin, Sirr al-Asrar, Taj al-Asrar, Zubdat al-Asrar, Path Kaifiyat al-Dhikr, Daf al-Bala, Hadhihi Fawaid azima Dhikr La ilaha illallah, Muqaddimat al-Fawaid allati ma la budda min al-‘aqaid, Tahsil al-Inaya wal Hidaya, Risala Ghayat al-Ikhtisar wa Nihayat al Intizar, Tuhfat al-Amr fi Fadilat al-Dhikir, Tuhfat al-Abrar li Ahl al-Asrar, al-Munjijiyya ‘an Madarrat al-Hijaiba, dan lain-lain.

Merujuk pada informasi yang disampaikan oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah (seorang penulis sejarah asal Malaysia). Pada saat Guru Haji Ismail Mundu diberi amanah menjabat sebagai seorang Mufti Kerajaan Kubu, dalam waktu yang bersamaan dikenal ada tiga orang ulama di Kalimantan Barat yang bernama Ismail. Ketiga orang yang kami maksud: 1) Ismail bin Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan Ismail Mundu. 2) Ismail bin Haji Abdul Majid al-Kalantani, yang lebih dikenal dengan Ismail Kelantan. Beliau menjabat sebagai Mufti kerajaan Pontianak, dan 3) Ismail bin Abdul Latif, yang lebih dikenal dengan Ismail Jabal.

Beliau menjabat sebagai Adviseur penasehat Rad Agama Kerajaan Pontianak. Ust. Haji Riva’I menambahkan bahwa selain ketiga nama Ismail tersebut, juga dikenal seorang nama Ismail yang ‘alim tetapi kurang dikenal oleh kalangan Kerajaan. Beliau adalah Ismail Bone, seorang Ulama yang berda’wah di daerah Kakap.

Menurut sejarah dalam naskah “Hikayat Upu Daeng Manambun”, diceritakan bahwa orang-orang Bugis pertama kali berkelana ke tanah Melayu sekitar pada abad ke XVI (enam belas). Pada abad ke XVI kelima anak raja Bugis yakni Daeng Rilaga berangkat dari tanah Makasar menuju ke negeri-negeri tanah Melayu yaitu Johor, Pahang, Selangor dan Kedah serta Kalimantan Barat.

Kelima putra tersebut: Upu Daeng Perani, Upu Daeng Manambun, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Chelak dan Upu Daeng Kemasi. Adapun Upu Daeng Menambun pada akhirnya berhasil merajai kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat, sedangkan Daeng Perani berhasil berjaya menguasai kerajaan Johor di Malaysia pada tahun 1722 M. (Rogayah A.Hamid, 1980: him. XV).

Pada masa kecil, H. Ismail Mundu lebih dikenal dengan nama Mundu. Sejak kecil, pada kepribadian Mundu telah tanpak sebagai anak yang taat dalam mengamalkan ajaran Agama Islam. Pada awalnya sekitar umur 7 tahun beliau belajar kepada pamannya sendiri (adik dari Ibunya) yang bernama H. Muhammad bin H. Ali, dengan kecerdasannya, dalam jangka waktu tujuh bulan Mundu berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an dengan sempurna.

Selanjutnya Syekh Abdul Karim (Ayahanda Mundu) mengutus Mundu untuk belajar ilmu agama kepada seorang ‘Ulama besar di masanya yang bernama H. Abdullah Ibnu Salam, yang dikenal juga dengan nama H. Abdullah Bilawa. Beliau memiliki gelar ‘Ulama Batu Penguji yang berdomisili di Desa Sungai Kakap Kabupaten Pontianak. Setelah H. Abdullah Ibnu Salam berpulang ke Rahmatullah, maka Mundu melanjutkan belajar agama kepada seorang ‘Ulama yang bernama Sayyed Abdullah Azzawawi. Beliau adalah seorang Mufti di Makkatul Mukarramah.

Di samping itu, Mundu juga belajar kepada dua orang Guru yang bernama Tuan Umar Sumbawa dan Makabro alias Puang Lompo. Makabro adalah salah seorang ‘ulama yang berasal dari suku Bogis, dari beliau Guru H.Ismail Mundu banyak belajar tentang menghafal kitab-kitab yang menjelaskan tentang ilmu-ilmu agama Islam.

Sekitar usia 20 tahun Mundu menunaikan ibadah H. yang pertama kalinya. Pada saat itu, masih belum menikah, oleh sebab itu beliau mengakhiri masa lajangnya di Makkah, dengan menikahi seorang wanita yang berasal dari suku Habsyi yang bernama Ruzlan. Sebagaimana galibnya, salah satu tujuan diselenggarakannya pernikahan adalah untuk mendapatkaA keturunan, tetapi dalam kenyataannya keinginan tersebut tidak selamanya dapat terwujud, sebagaimana yang dialami oleh H. Mundu. Setelah berselang beberapa waktu hidup bersama membangun keluar-ga yang Sakinah, ternyata sang istri tercinta telah berpulang ke Rahmatullah, sebelum dikarunia seorang putra. Oleh sebab itu, tidak lama kemudian Mundu kembali menikah yang ke dua kalinya dengan seorang wanita yang berasal dari pulau Sarasan bernama Hj. Aisyah.

Kemudian Mundu kembali ke Indonesia, sejak itulah beliau lebih dikenal dengan nama H. Ismail Mundu. Seperti halnya pernikahan yang pertama, Allah Swt menguji kesabaran H. Ismail Mundu, yang mana baru saja membina keluarga dengan Hj. Aisyah, ternyata istri yang tercinta segera dipanggil untuk kembali ke Rahmatullah, padahal pada saat itu beliau belum dikaruniai seorang putra, demikianlah kehendak Allah Swt.

Setelah meninggalnya Hj. Aisyah, maka H. Ismail Mundu kembali ke desa Sungai Kakap Pontianak, di sanalah beliau menikah yang ke tiga kalinya dengan seorang wanita yang masih memiliki ikatan saudara dengan beliau (sepupu) yang bernama Hafifa binti H. Sema’ila.

Dari pernikahan tersebut barulah H. Ismail dikaruniai tiga orang anak, dua orang anak laki-laki yang bernama Ambo’ Saro alias Openg dan Ambo’ Sulo serta seorang anak perempuan yang bernama Fatma. Sayangnya tidak lama setelah kelahiran putra yang ke tiga, Hafifa binti H. Sema’ila meninggal dunia.

Begitu pula dengan putra-putri H. Ismail Mundu meninggal dunia pada usia yang relatif muda, sehingga dapat dikatakan bahwa beliau tidak memiliki keturunan (dzuriyah). Dengan meninggalnya Hafifa berarti H. Ismail Mundu dalam keadaan duda. Hal ini tidak dikehendaki oleh H. Ismail Mundu, oleh sebab itu H. Ismail Mundu kembali menikah yang keempat kalinya dengan seorang wanita yang berkebangsaan Arab suku Natto yang bernama Hj. Asmah binti Sayyid Abdul Kadir. Bersama dengan Hj. Asmah, H. Ismail Mundu menunaikan Ibadah H. yang ke dua kalinya. Di samping menunaikan ibadah H., beliau juga menuntut ilmu kepada seorang Mufti Makkah al Mukarramah yang bernama Saeyed Abdullah Azzawawi.

Setelah dianggap menguasai ilmu yang cukup, maka pada tahun 1904 M/1324 H H. Ismail kembali ke Indonesia (turun ke jawi), kemudian berdomisili di desa Teluk Pakedai yang termasuk dalam wilayah kerajaan Kubu Pontianak Kalimantan Barat. Disanalah beliau terpanggil untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah beliau terima dan kuasai. Sebagai seorang yang ‘alim dan wara’ segala sesuatu yang diupayakan senantiasa memiliki keterkaitan dengan syi’ar Islam dan menegakkan kebenaran serta menumpas kebatilan yang pada saat itu mulai merajalela.

Tak jarang terjadi saling membunuh baik di antara sesama muslim, maupun dengan non muslim. Padahal hanya disebabkan oleh persoalan yang sebenarnya sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan. Sehingga seakan nilai perdamaian yang diajarkan oleh setiap agama sudah tidak diindahkan lagi. Situasi seperti ini merupakan suatu akibat dari kurangnya pemahaman terhadap ilmu agama dan nilai-nilai kemanusiaan.

Menurut keterangan dari salah seorang murid dari Guru H. Ismail Mundu yang bernama H. Arsyad, sebelum kedatangan Syech H. Ismail Mundu di Teluk Pakedai, sudah menjadi tradisi dalam masyarakat bahwa setiap tamu yang datang ke daerah Teluk Pakedai akan diuji dulu ketinggian keilmuannya melalui suatu perkelahian, apabila sang tamu kalah maka ia tidak diperkenankan tinggal di Teluk Pakedai, bahkan terkadang dibunuh di medan pengujian, medan tersebut dikenal dengan nama Tanjung Salai.

Menurut bahasa setempat, Salai artinya adalah panggang, yang mana biasanya, orang yang kalah/terbunuh di medan pengujian akan dipanggang jasadnya, tradisi tersebut dilakukan oleh orang Dayak Laut. Tetapi apabila sang tamu menang dalam pengujian karena memiliki ilmu yang tinggi, maka tamu tersebut mendapat penghormatan yang tinggi pula dari masyarakat dan dipersilahkan untuk dapat tinggal di Teluk Pakedai, bahkan dianggap sebagai seorang guru yang layak untuk ditimba ilmunya.

Berkaitan dengan ketinggian Ilmu Syech H.lsmail Mundu, terdapat suatu kisah nyata, bahwa pada suatu hari setelah Sholat Subuh Syach H.Ismail Mundu jalan-jalan, di tengah-tengah perjalanan beliau dihadang oleh lima orang yang bersenjata, pada saat itu Syach H.Ismail Mundu masih berusia + 25 th., sementara pembegal rata-rata berusia 40 th. yang sudah cukup berpengalaman dalam hal pembegalan. Kelima orang tersebut mempersilakan Syech H.lsmail untuk menggunanakan segala senjata yang dimiliki. Dengan penuh wibawa beliau mengatakan bahwa kehadirannya ke Teluk Pakedai bukan untuk mencari musuh, tetapi kehadiran beliau adalah untuk menyebarkan kebenaran.

Ternyata jawaban Syech Ismail tidak menyurutkan keinginan para pembegal untuk melaksanakan aksi pengujian. Oleh sebab itu, sebelum pertikaian dimulai, Syech H.Ismail menyuruh mereka untuk menjabut ranggas kelapa yang tertanam sebagian. Ternyata kelima orang tersebut tidak ada yang mampu melaksanakannya, oleh sebab itu Syech H.Ismail menasehati agar mereka tidak sombong.

Selanjutnya, dengan membaca basmalah tanpa mengalami kesulitan Syech H.Ismail berhasil menjabut ranggas kelapa, sementara itu mandau yang dimiliki oleh kelima orang tersebut satu dibengkongkan oleh beliau, seraya mengatakan bahwa mandau saja bisa sujud kepada Allah SWT, bagaimana dengan kalian? Sejak peristiwa tersebut, mereka menyatakan bertaubat dan mengakui ketinggian ilmu Syach H.Ismail Mundu. (Hasil wawancara dengan H.Irsyad pada tanggal 24 pebruari 2002).

Berkat Rahmat Allah yang menghadirkan H. Ismail Mundu di Teluk Pakedai, maka wajah situasi daerah tersebut sedikit demi sedikit semakin membaik, sehingga masyarakat dapat kembali pada jalan yang lurus dan meninggalkan kejahilan yang mana pada saat itu melanda masyarakat. Keberhasilan H. Ismail Mundu dalam mengentas masyarakat Kubu dari kejahilan, mendapat simpati dari Raja Kubu, sehingga pada tahun 1907 M (1326!!) Guru H. Ismail Mundu mendapat kepercayaan dari pemerintah Kerajaan Kubu untuk memegang jabatan Mufti kerajaan Kubu.

Dengan jabatan tersebut, maka Guru H. Ismail menjadi tumpuan tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah agama yang datang dari berbagai kalangan baik dari kalangan kerajaan maupun dari kalangan masyarakat luas, khususnya berbagai masalah yang berkaitan dengan problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin. Semua permasalahan yang diajukan kepada beliau, diupayakan dapat diputuskan dengan penuh bijaksana (hikmah) dan nasehat yang baik (mauidzah hasanah).

Atas segala kemampuan dan kharisma serta besarnya pengaruh yang dimiliki oleh H. Ismail Mundu, maka pada tanggal 31 Agustus 1930 M (1349 H) beliau mendapat penghargaan dari pemerintahan Belanda berupa bintang jasa dan Honorrarium dari Ratu Wihel Mina. Jabatan Mufti disandang oleh H.Ismail Mundu sampai beliau kembali menunaikan ibadah H. yang ketiga kalinya.

Pada tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M) Guru H. Ismail bersama seorang murid dan sekaligus menjadi teman karibnya yang bernama Datuk Penghulu H. Haruna bin H. Ismail, beliau berasal dari Desa Batu Pahat Johor Malaya, untuk membangun masjid Batu. Menurut keterangan dari salah seorang cucu H.Haruna yakni H.Harun al Rasyid, bahwa H.Haruna adalah putra Bugis yang sudah lama tinggal di Malaya yang mana pada saat ini lebih dikenal dengan negara Malaysia.
Sebutan Haruna berasal dari lafadz Harun, karena bahasa Bugis tidak mengenal lafadz yang diakhiri oleh huruf mati, maka lafadz Harun menjadi lafadz Haruna. (Hasil wawancara dengan H.Harun al Rasyid pada tanggal 19 pebruari 2002).
Partisipasi dan pengorbanan harta dan jiwa (amwal wal anfus) Datuk Penghulu sangat besar jasanya dalam keberhasilan pembangunan Masjid Batu. Pada rencana awal, Masjid Batu dibangun tidak mempergunakan bahan dari kayu, yaitu hanya menggunakan bahan dari batu bata.

Oleh sebab itu dikenal dengan masjid Batu, adapun nama masjid yang sebenarnya adalah masjid Nasrullah yang baru mulai difungsikan sebagai tempat untuk shalat Jum’at pada tahun igzgM (1348H). (Hasil wawancara dengan H. Riva’I pada tanggal 11 Pebruari 2oo2yang mana diharapkan menjadi amal jariyah).

Pada tahun 1930 M\i349 H Guru H. Ismail Mundu dikunjungj oleh dua orang ‘Ulama yang berasal dari kota Madinah, yakni: Sayyid Nasir dan Sayyid Abdul Satar. Beliau adalah seorang Imam Masjid Madinah yang hafal kitab suci al-Qur’an dan pernah belajar kepada Guru H.Ismail Mundu. Mereka berkunjung ke Teluk Pakedai kurang lebih selama tiga bulan, disaat bertepatan dengan bulan Ramadhan. Maka Sayyid Abdul Satar mendapat penghormatan untuk menjadi Imam shalat Taraweh.

Dalam shalat tersebut, beliau berhasil mengkhatamkan kitab suci Al-Qur’an sebanyak dua kali khataman pada setiap bulan Ramadhan. Setelah genap tiga bulan, mereka kembali ke kota Madinah. Berselang beberapa lama kemudian Guru H. Ismail dikunjungi lagi tiga orang ulama besar yang bernama:

  1. Sayyed Hasan Japri yaitu seorang Mufti Hadral Maut (Hadrami);
  2. Sayyed Alwi yaitu seorang Ulama dari Kota Yaman;
  3. Sayyed Achmad Jablawi yaitu seorang Ulama dari kota Mesir.

Sebenarnya seorang di antara Ulama tersebut yakni Sayyed Achmad Jablawi datang ke Teluk Pakedai bermaksud untuk mengajar para murid dalam hal menghafal kitab suci Al-Qur’an, tetapi karena syarat yang ditargetkan oleh beliau tidak terpenuhi, maka beliau mengurungkan niat tersebut.

Syekh Ahmad Jablawi mensyaratkan murid yang akan diajar untuk menghafal al-Qur’an sudah mampu membaca ayat suci al-Qur’an dengan balk dan benar minimal berjumlah 40 santri, tetapi karena pada saat itu di Teluk Pakedai masih langka orang yang pandai membaca al-Qur’an, maka syarat tersebut tidak dapat terpenuhi. Setelah diadakan suatu pengetesan (imtihan), ternyata hanya sekitar tujuh orang yang dapat memenuhi persyaratan dan dinilai lulus ujian.
Pada tahun 1973 M (1356 H) Guru H. Ismail berangkat lagi ke tanah suci Makkah bersama keluarganya untuk menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya. Disamping itu beliau mengajar pula di Masjidil Haram bagian sebelah Shapah dengan nama perkumpulan JAMI’UT THANASUH, sedang di sebelah Marwah diasuh oleh Guru H. Ja’far.

Dalam mengajar di Masjiddil Haram beliau mandapat bantuan dari Ratu Wilhel Mina, kemudian bantuan itu oleh Guru H. Ismail dibagikan kepada tiap orang muridnya pula berupa uang sebanyak 10 Riyal dan beras 10 Kg. (tiap minggu).
Pada waktu Presiden Republik Indonesia yang pertama yakni Ir. Soekarno menunaikan ibadah Haji, beliau disambut oleh Guru H. Ismail Mundu bersama Saiyed Ali Azzawawi bin Saiyed Abdullah Azzawawi dan Raja Makkah. Dalam kesempatan tersebut, Sultan Hamid II menceritakan kepada Guru H. Ismail bahwa keluarga dan murid-murid beliau di Pontianak sangat rindu, bahkan ada yang mengira bahwa beliau sudah meninggal dunia dan membacakan do’a arwah.

Dengan adanya berita dari Sultan Hamid II itulah maka pada tahun 1367 H (1948 M) Guru H. Ismail pulang ke Indonesia dengan menggunakan kapal air. Para penumpang kapal air itu yang berjumlah 1.500 orang mengaku murid Guru H. Ismail, sehingga mereka semuanya itu dibebaskan dari biaya kapal, karena nama besar Guru H. Ismail semua biaya ditanggung oleh Ratu Wilhel Mina.

Sewaktu beliau tiba di Jakarta disambut oleh muridnya yang bernama Kyai H. Wahid Hasyim yaitu menteri Agama RepubUk Indonesia yang pertama, kemudian beliau menemui dua orang teman semuridnya yang bernama: pertama, Habib AM Habsi di Kuwitang dan kedua Kyai Pala di Kota Bogor, Jawa Barat.

Selanjutnya beliau meneruskan perjalanannya pulang ke kota Pontianak, Kalimantan Barat dan setelah di Pontianak, beliau disambut oleh murid-muridnya yang ada di Pontianak dengan sangat gembira dan mencucurkan air mata melihat beliau rupanya masih hidup dan segar bugar, seolah-olah mereka bermimpi melihat kenyataan ini. Dan akhirnya beliau meneruskan perjalanannya ke desa Teluk Pakedai dan menetap di sanasampai berpulang ke rahmatullah. Dua tahun kemudian beliau menikah lagi dengan seorang wanita dari suku Bugis yang bernama Saleha binti H. Muhammad Said (suku Bugis).

Pada tanggal 30 Jumadil Awal 1377!!. (1957 M) kesehatan Guru H. Ismail mulai menurun, sedang rumah beliau belum rampung diperbaharui dan untuk sementara beliau menginap di kantornya di samping Masjid Batu(Nasrullah), pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1377 H. Beliau memanggil beberapa orang muridnya diantaranya Husin H. Akhmad, H. Abbas bin H. Supu’, Muhammad Saleh, H. Ya’kob dan banyak lagi murid-murid selain mereka yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu pada kesempatan ini.

Setelah muridnya berkumpul, maka mulailah belau menceriterakan tentang mimpinya tadi malam : “Aku bermimpi melihat langit terbuka dan diperbelahan langit itu aku melihat satu tanggga yang ujungnya disebelah bawah berkebetulan dalam kamarku ini, setelah itu aku lihat dua orang yang turun dengan membawa ceper didalamnya lengkap dengan alat-alat kapan. Setelah dua orang itu naik kembali maka aku lihat satu orang turun lagi dengan membawa meter, lalu aku diukurnya dan aku katakan kepadanya bahwa aku ini belum mati, setelah itu aku lihat lagi orang itu naik kembali ke langit, lantas akupun sadar dari tidurku.”

Selanjutnya beliau berkata kepada murid-muridnya : “Segera siapkan rumahku! karena pada hari Rabu nanti aku akan memindahinya”, perkataan beliau ini sungguh cukup menyedihkan dan menimbulkan kecemasan bagi keluarga dan murid-muridnya. Tepat pada hari Rabu beliau memindahi rumahnya, kelihatan penyakitnya bertambah berat, laksana kapal cukup muatan. Maka beliau berkata kepada H. Alibin H. Haruna: “Panggilkan aku Ibrahim bin H. Basir dan H. Ibrahim bin H. Usman alias H. Do-eng”, oleh sebab itu dipanggillah H. Do-eng. Kehadliran H. Do-eng disertai oleh seorang dokter, tetapi setelah H. Do-eng bertemu beliau, lalu beliau berkata: “sesuatu yang diobati itu adalah penyakit, adapun aku ini tidak sakit, melainkan ajal”.

Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Guru Haji berwasiat agar merawat dan memakmurkan Masjid, khususnya Masjid Nasrullah(Batu) Teluk Pakedai. Beliau berpesan agar menyampaikan salam perpisahan kepada murid-murid yang pernah belajar bersama mengkaji dan mengamalkan ajaran Agama Islam bersama Guru Haji. Seperti H. Ahmad Tatapantas; H. Burhan, Mohtar dan Ibrahim bin H. Basir supaya datang ke sini, lalu dijawab H. Ali bahwa ibrahim bin H. basir belum datang. Selanjutnya beliau beramanah kepada H. Ali bin H. Haruna:

Ini ada penulis dawat (tempat tinta) tembaga serahkan kepada Ibrahim bin H. Basir dan semua kitab-kitabku serahkan kepada Mahkamah SAR’IYAH ISLAMIAH Pontianak, kalau Mahkamah ini juga tidak paham, maka kirimlah ke MAKKATUL MUKARRMAH di Makkah, karena disana banyak murid-muridku. Yang mana pelajaran dari aku semuanya dari pada jalan Ahlusunah Waljama’ah, andaikata dikemudian hari setelah aku meninggal dunia ada orang yang mengajar, kalau sama pelajaran dari aku bersama-samalah kamu, kalau berkelainan kamu pikirkan lebih dahulu, inilah amanah beliau kepada muridnya.

Keadaan meliputi suasana tegang dan kesedihan memuncak sampailah saatnya beliau menghembuskan napas yang terakhir dengan melafatkan kalimah: “Laa ilaha’ illallah”, pada hari Kamis Jam : 10.00 Wita, “Inna lillahi wainna ilairi raji’un” sesungguhnya segala sesuatu milik Allah dan pada saatnya akan kembali pada Allah SWT. Guru Haji Ismail Mundu meninggalkan dunia yang fana(rusak)ini menuju ke alam baqa(kekal), dalam keadaan husnul khatimah karena dapat mengakhiri hayatnya dengan kalimah Thoyyibah berialan dengan tenang dan sempurna menurut ajaran Islam. Mudah-mudahan Beliau dan murid-murid Beliau mendapat tempat yang baik di sisi Allah SWT. 


Referensi : Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris Dari Kerajaan Kubu