Tidak ada seorangpun yang mengingkari bahwa inti perbedaan yang terjadi antara para ulama tidak disebabkan karena faktor kepentingan pribadi dan nafsu. Namun lebih disebabkan karena adanya persoalan keilmuan semata. Mereka melakukan ijtihad untuk mencari kebenaran semampu mungkin, dan tidak pernah terlintas sama sekali dalam benak mereka bahwa hasil ijtihad yang dihasilkannya adalah wahyu yang diperoleh dan wajib diikuti oleh seluruh manusia. Bahkan salah seorang imam berkata: “Inilah pendapatku, ianya benar, dan kemungkinan adanya kesalahan.
Sedangkan pendapat selainku keliru dan kemungkinan adanya kebenaran”.Oleh karena para ulama sangat menjaga etika dalam menyikapi perbedaan pendapat. Sehingga tidak pernah ada rasa ingin menfitnah sesama muslim pada agama dan akhlaknya. Bahkan para ulama tersebut menjadi teladan dalam rasa saling menghargai dan menghormati sesama. Fenomena ini berbanding terbalik dengan sikap sebagian kita yang begitu fanatik terhadap pendapat tertentu dan menolak pendapat yang berbeda dengan pemahaman yang diyakini.
Ada beberapa penyebab perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha:
- Perbedaan dalam memahami Nas Al-Qur’an antara ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, qath‘i dan zhanni, sharih dan muawwal. Seandainya Allah berkehendak menurunkan Al-Qur’an dalam satu pemahaman, niscaya tidak ada yang sulit bagi-Nya. Akan tetapi Allah memberi kelapangan kepada para hamba-Nya dalam memahami Al-Qur’an, sesuai dengan tingkatan keilmuan dan sudut pandang yang beragam.
- Perbedaan para ulama dalam berinteraksi dengan hadis-hadis Nabi saw, baik dalam menerima hadis atau menolaknya. Perbedaan mereka dalam memahaminya, juga berbeda pada tatacara mengkompromikan antara dalil yang nampak saling berlawanan secara zahir.
- Perbedaan yang disebabkan dilalat kebahasaan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Di dalam keduanya mencakup lafazh musytarak yang memiliki banyak makna, terdiri dari; hakikat, majaz, dan lain-lain sehingga menjadi ladang subur timbulnya perbedaan pendapat.
- Perbedaan pendapat yang disebabkan perbedaan para mujtahid dalam melakukan istimbat hukum; kekuatan dalam meneliti, dan menyelami kedalaman makna Al-Qur’an dan sunnah.
Syeikh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat; “sesungguhnya perbedaan ijtihad memperkaya khazanah fikih Islam. Fikih Islam berkembang dan bertambah maju. Hal ini disebabkan karena setiap pakar menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang dihasilkan oleh para pakar dalam berijtihad dan beristimbat, melakukan qiyas, istihsan, menimbang dan mentarjih, serta menghasilkan kaedah-kaedah yang memiliki banyak furu’ dan persoalan. Dengan perbedaan sudut pandang, dan cara melakukan istidlal yang berbeda, meluaslah perbendaharaan fikih Islam. Beragam coraknya; dari madrasah hadis/atsar, madrasah ra’y/pendapat, madrasah Dhahiriyah, yang pada akhirnya akan memunculkan perbendaharaan yang sangat bernilai, dan simpanan yang begitu berharga, hanya diketahui oleh mereka yang mau peneliti.
Sesungguhnya perbedaan merupakan rahmat bagi umat, kelapangan bagi mereka, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam banyak karya mereka. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “aku tidak menyukai melainkan ada khilafiyah di kalangan para sahabat Rasulullah. Karena kalau semua mereka memiliki satu pendapat, sungguh akan menyulitkan umat Islam yang datang setelah mereka. Para sahabat merupakan ikutan, jika seseorang mengambil pendapat mereka, maka terdapat kelapangan di dalamnya.
Adapun perbedaan yang dilarang dalam Islam adalah perbedaan dalam persoalan akidah, yaitu persoalan yang berbeda dengan jumhur ummat. Perbedaan yang berorientasi mengikuti hawa nafsu tanpa menghiraukan dalil syara’. Memaksakan dalil untuk tunduk pada hawa nafsu. Perbedaan jenis ini menyebabkan perpecahan umat dan kehancuran.
Sebagaimana telah disebutkan, sesungguhnya para ulama dan fuqaha telah meletakkan aturan yang telah mereka terapkan pada diri mereka, yaitu akhlak dan etika dalam berbeda pendapat. Dapat diringkaskan aturan-aturan yang mesti dijaga dalam menyikapi persoalan khilafiyah, yang digali dari perkataan dan perbuatan para ulama sebagai berikut;
• Tidak memaksakan orang lain dengan pendapat atau pandangan yang dipilih
• Tidak mengingkari pendapat orang lain dalam persoalan ijtihad
• Tidak malu untuk kembali kepada kebenaran jika ia melihat pandangannya keliru, dan tidak merasa risih dengan kebenaran yang muncul atas lisannya atau lisan orang lain.
• Menghindari persoalan yang mengundang kekisruhan
Berikut dua kisah singkat dari kehidupan dua imam mujtahid, yaitu imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. “Dikisahkan dalam biografi Imam Malik bahwa Abu Ja’far al-Mansur bermusyawarah dengannya agar menjadikan kitab Muwatha’ sebagai panduan masyarakat dan meninggalkan ijtihad dan pandangan selain dari kitab Muwatha’. Adapun respon Imam Malik menyikapi permintaan khalifah al-Manshur adalah menolaknya seraya berkata; “wahai Amir Mukminin jangan lakukan itu, karena sesungguhnya mereka telah memiliki pendapat, dan mendengar hadis, meriwayatkan riwayat, setiap kaum memiliki pandangan masing-masing, mereka mengamalkannya. Maka memaksakan pendapat kepada mereka adalah keliru, biarkanlah mereka dan biarkan pula setiap daerah untuk diri mereka.
Sendainya memaksakan orang lain dengan ijtihad dibolehkan, sungguh kedua imam tersebut akan mempraktekkannya. Akan tetapi jelas keduanya menolak mewajibkan pandangan mereka kepada lainnya. Hal ini ditegaskan pada poin pertama yaitu tidak memaksakan orang lain dengan pandangan pribadi, atau pun pandangan yang berasal dari seorang imam yang menurutnya lebih benar dari pendapat yang lain.
Pembahasan ini berkembang lebih meluas; bahwa imam-imam tidak mencela orang yang berbeda dengan mereka, dan tidak sembrono menuduh bid’ah, atau keluar dari kebenaran. Saling memahami untuk tidak mencela, perbedaan yang terjadi dalam ranah ijtihad. Sebagaimana kaedah berbunyi “tidak melakukan pengingkaran dalam persoalan khilafiyah yang berada dalam tataran ijtihad”. Imam Nawawi berkata: “para ulama hanya mengingkari persoalan yang telah jelas diingkari, adapun persoalan khilafiyah, tidak boleh saling mengingkari, karena salah satu dua mazhab, keduanya mendapat pahala. Pendapat ini adalah pendapat yang terpilih menurut kebanyakan para ahli tahqiq. Sedangkan mazhab lain, yang benar adalah salah satunya, sedangkan yang salah belum diketahui. Adapun dosa terangkat, keluar dari khilaf lebih dianjurkan dan terpuji. Sesungguhnya para ulama bersepakat mendorong agar keluar dari khilaf apabila dalam meninggalkannya tidak merusak sunnah dan jatuh pada khilaf yang lain.
Inilah aturan yang harus dijaga dalam menyikapi persoalan khilafiyah antara sesama muslim, dan merupakan cara agar khilafiyah bisa diambil faedahnya. Sebagaimana pula aturan ini menampilkan etika para ulama besar dalam menyikapi khilafiyah. Dalam menyikapi khilafiyah para ulama memiliki sikap sebagai berikut:
• Para imam saling memuji di antara mereka
Banyak buku biografi memuat kata-kata yang baik dan pujian-pujian para imam terhadap guru dan murid-murid mereka yang berasal dari rasa cinta dan penghormatan yang tulus dari hati mereka. Di antara beberapa contohnya; Imam Malik memuji kekuatan hujjah Imam Abu Hanifah; “seandainya Abu Hanifah mendebatku bahwa setengah tiang ini terbuat dari emas dan setengah lagi terbuat dari perak, sungguh ia akan mampu mengemukakan hujjahnya. Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah; “setiap ulama setelah Abu Hanifah berhutang budi padanya. Imam Syafi’i memuji Imam Malik; “apabila disebut ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Imam Ahmad memuji Imam Syafi’i; tidak seorangpun peneliti kecuali ia berhutang pada al-Syafi’i. Demikian pula Imam Syafi’i memuji Imam Ahmad bin Hanbal; aku keluar dari kota Baghdad, tidak ada yang aku tinggalkan orang yang lebih wara’, taqwa, faqih, alim dari Ahmad bin Hanbal. Ia juga berkata; “setiap yang ada di dalam kitabku kalimat “telah menceritakan kepadaku seorang yang terpecaya” orang itu adalah Ahmad bin Hanbal.
1. Saling menghargai antara sesama
Rasa penghormatan yang dicontohkan oleh para imam merupakan apa yang tersembunyi dalam hati mereka dengan rasa kasih sayang, saling menghormati. Di antara contoh penghormatan sesama ulama;
a) Di riwayatkan dari Imam Syafi’i, beliau berkata; “aku membuka lembaran kertas di depan Imam Malik dengan perlahan-lahan agar Imam Malik tidak mendengarnya karena begitu besar kewibawaannya.
b) Imam Syafi’i shalat subuh di dekat kuburan Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membaca qunut subuh karena menghormati Abu Hanifah. Para imam tidak hanya menghormati sesame mereka ketika hidup saja, namun juga setelah wafat tetap saling menghormati dan menghargai.
2. Saling mendoakan antara sesama.
Ini merupakan bukti kasih sayang dan keikhlasan antara sesama imam mazhab. Di antara contohnya bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata; “tidaklah aku shalat selama 40 tahun melainkan aku selalu mendoakan Imam Syafi’i. Sehingga anaknya bertanya; “betapa mulianya Imam Syafi’i yang selalu engkau doakan dalam setiap doamu, Imam Ahmad menjawab; “wahai anakku, Imam Syafi’i seperti matahari untuk dunia, dan kesehatan bagi manusia.
Pada akhir pembahasan ini penulis merasa perlu menampilkan contoh konkrit dari tokoh pergerakan Islam beliau adalah Syeikh Hasan al Banna. Dimana dia mampu menjadikan persoalan khilafiyah sebagai langkah untuk bekerjasama dalam konteks kekinian. Dalam tulisannya “Dakwatuna” Hasan al Banna menyebutkan bahaya perpecahan, dan betapa pentingnya persatuan umat. Ia berkata: “sesungguhnya cobaan terbesar yang dihadapi oleh kaum muslimin adalah perpecahan dan perbedaan, sedangkan penyebab mereka menang adalah dengan cinta dan persatuan, karena tidak akan berjaya akhir umat ini kecuali dengan mencontoh pendahulu mereka yang terbaik”.
Ia menjelaskan penyebab perbedaan dalam furu’ agama, dan berkata: “kita meyakini bahwa bersatunya umat dalam persoalan furu’ adalah mustahil. Sesungguhnya Allah swt menghendaki agama ini kekal dan sesuai dengan zaman, karena itu ianya dinamis, tidak kaku. Dia juga menjelaskan betapa gerakan Islam harus menyikapi berbagai perbedaan dengan baik. Ia berkata: “kita meyakini realita ini, maka kita membuka pintu maaf sebesar-besarnya bagi orang-orang yang menyelisihi kita dalam persoalan furu’. Perbedaan tidak berbahaya jika hati kita bersatu. Hendaknya kita memahami Islam secara luas melewati batasan yang sempit dan sekat-sekat. Bukankan kita muslim dan mereka pun demikian? Bukankan kita ingin hukum yang menenangkan sama seperti mereka juga berkeinginan? Bukankah kita diperintahkan mencintai mereka sama seperti kita mencintai diri sendiri? kenapa pendapat kita tidak boleh dikritisi jika pendapat mereka boleh kita kritisi? kenapa kita tidak saling memahami dalam kebeningan hati dan cinta jika ada cara kita saling memahami?
Al Banna menambahkah: “mereka para sahabat Rasulullah SAW saling berselisih dalam fatwa, adakah menyebabkan perpecahan di antara mereka?adakah terpecah persatuan dan ikatan cinta sesama mereka? tidak sama sekali. Masih lekat dalam ingatan kita perbedaan para sahabat dalam memahami perintah Nabi pada shalat di Bani Quraidhah, sedangkan mereka paling dekat dengan masa kenabian, dan yang paling memahami hukum. Kenapa kita menyibukkan diri dengan perpecahan?, bukankah para imam mazhab adalah mereka yang sangat alim dalam memahami Al-Qur’an dan sunnah?, mereka berbeda pandangan, tapi mereka saling menghargai. Kenapa kita yang bertikai?
Mereka yang bergelut dalam kebangkitan Islam hendaknya memahami makna persaudaraan dan hendaknya menjauhkan diri dari sifat fanatik dan merasa diri paling benar. Hendaknya mereka memperlakukan guru atau murabbi sebagai penunjuk jalan, bukan tujuan. Tujuan adalah agama Allah semata. Hendaknya mereka fokus untuk menyatukan barisan menghadapi musuh Islam yang begitu kuat. Jika umat Islam mampu menerapkan rasa persaudaraan sesama, maka Allah swt akan memenangkan mereka di atas musuh-musuh Islam. Firman Allah swt “Pada hari itu kaum muslimin berbahagia (4) dengan pertolongan Allah SWT, Ia menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Dianya maha perkasa dan maha penyayang” (QS. Ar Rum: 4, 5).
Referensi : Etika Menyikapi Khilafiyah dalam Islam