Rabu, 28 September 2022

Empat Dosa Besar Yang Dilaknat Pelakunya Oleh Allah Azza Wa Jalla

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله  حَدَّثَنَا أَبُوْ الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاس غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِيْ بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا ، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ  Abu ath-Thufail ‘Amir bin Watsilah menuturkan kepada kami, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib[1] Radhiyallahu anhu , lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata rahasia kepadamu?’ Maka ‘Ali Radhiyallahu anhu marah dan ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata satu rahasia pun kepadaku yang ia sembunyikan dari orang lain, tetapi Beliau pernah bertutur kepadaku dengan empat kalimat.’ Maka orang tersebut berkata, ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut, wahai Amirul Mukminin?’ ‘Ali Radhiyallahu anhu berkata:  Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh  Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya  Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan  Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah.”  TAKHRIJ HADITS  Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh :  Muslim (no. 1978 [42] dan 1978 [43])  Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 17 An-Nasa`i, VII/232 Ahmad, I/108, 118, 152 Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 22327  Abu Ya’la, no. 602 Al-Baihaqi, VI/99 Al-Hakim, IV/153 KOSA KATA HADITS  بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : Dengan empat kata, maksudnya empat kalimat  لَعَنَ اللهُ : Makna al-la’n yaitu menjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla  آوَى : Menjaga, melindungi  مُحْدِثًا : Orang yang berbuat kejahatan dan berhak mendapat hukuman hadd  مَنَار : Jamak dari مَنَارَة yang berarti tanda  SYARAH (PENJELASAN) HADITS  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya terhadap empat kejahatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tersebut dari rahmat-Nya, yaitu:  Pertama, bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , sesuatu yang tidak berhak mendapat peribadahan.  Kedua, orang yang mendo’akan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun menjadi sebab terjadinya hal tersebut, misalnya seseorang melakukan kejelekan-kejelekan di atas terhadap orang tua orang lain lalu orang lain tersebut membalasnya dengan perbuatan jelek serupa, maka itu sama dengan melakukan perbuatan jelek terhadap orang tuanya sendiri.  Ketiga, orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, misalnya dengan menghalang pelaksanaan hukum tersebut kepada orang itu, atau ia ridha terhadap kebid’ahan dalam agama dan mengakuinya.  Keempat, orang yang mengubah tanda batas tanah yang memisahkan hak pemilik masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempatnya yang benar. Sehingga dengan sebab itu terjadilah pengambilan sebagian tanah orang lain secara zhalim. [2]  Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :  لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ  Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh  Menyembelih binatang pada asalnya adalah ibadah yang diperintahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ  Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allâh).” [Al-Kautsar/108:2]  Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menggabungkan dua ibadah tersebut, yaitu shalat dan berkurban. Keduanya menunjukkan perbuatan taqarrub (yang mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla , kerendahan hati, butuh  kepada Allâh, berbaik sangka, kuatnya keyakinan, dan tenangnya hati kepada Allâh dan kepada janji-Nya.  Dan ini berlawanan dengan keadaan para penyembah kubur dan orang yang seakan tidak butuh kepada Allâh Azza wa Jalla , yang mereka tidak shalat kepada-Nya dan tidak menyembelih kurban karena takut kefakiran. Karena inilah Allâh Azza wa Jalla menggabungkan kedua ibadah tersebut dalam firman-Nya:  قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ  Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).’” [Al-An’âm/6:162-163]  Makna nusuk adalah penyembelihan untuk Allâh semata karena mengharapkan pahala dari-Nya. Keduanya (shalat dan menyembelih) merupakan ibadah yang paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dalam surat al-Kautsar, perintah tersebut didahului dengan huruf fa’, yang menunjukkan sebab, karena mengerjakan kedua ibadah tersebut merupakan sebab yang menuntun seseorang untuk bersyukur kepada Allâh atas apa yang Allâh Azza wa Jalla beri dari al-Kautsar.  Ibadah fisik yang paling mulia adalah shalat dan ibadah harta yang paling mulia adalah menyembelih. Tidak terkumpul pada ibadah shalat dalam diri seseorang sebagaimana yang terkumpul pada ibadah lainnya, sebagaimana yang diketahui oleh para pemilik hati yang hidup. Dan tidak terkumpul pada diri seorang hamba dalam ibadah penyembelihan –jika diiringi dengan iman dan ikhlas– dari kuatnya keyakinan dan husnuz zhann (berbaik sangka) melainkan perkara yang menakjubkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang banyak melakukan shalat dan berkurban.”[3]  Tetapi jika seseorang menyembelih binatang untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berhala, patung, pohon, batu, jin, dan selainnya, maka Allâh Azza wa Jalla melaknat orang tersebut. Setiap orang yang menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , maka orang tersebut dilaknat oleh Allâh Azza wa Jalla . Ini menunjukkan betapa dosa itu sangat besar, karena Allâh l tidak melaknat kecuali terhadap perkara dosa yang berbahaya. Ini menunjukkan besarnya dosa menyembelih untuk selain Allâh, bagaimanapun bentuk penyembelihan tersebut, baik sedikit atau banyak, dengan binatang yang besar atau kecil.  Bentuk penyembelihan kepada selain Allâh yaitu seseorang menyebut nama selain nama Allâh saat menyembelih, atau dengan niat dan hati serta keyakinannya untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh dengan penyembelihan tersebut. Atau dengan sembelihan tersebut, dia ingin menolak bahaya dari sesuatu yang dia sembelih untuknya, seperti misalnya menyembelih untuk jin dengan maksud untuk menolak bahaya yang ditakutkan dari mereka atau karena takut kepada mereka, atau menyembelih untuk berhala agar mendapat manfaat dari berhala tersebut, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh. Jika sudah lama tidak datang hujan, mereka menyembelih kerbau atau hewan lainnya di tempat tertentu, atau di kuburan tertentu dimana mereka ingin hujan turun di tempat tersebut. Terkadang mereka diuji dengan turunnya hujan itu, jadi terkabulnya doa mereka merupakan ujian dan cobaan dari Allâh Azza wa Jalla , bukan menunjukkan bolehnya perbuatan mereka yang termasuk syirik dan mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla .  Barangsiapa melakukan hal tersebut, ia termasuk musyrik (orang yang berbuat syirik atau menyekutukan Allâh) yang terlaknat, baik ia melafazhkan dengan berkata ‘Sembelihan ini untuk kuburan fulan’ dan lafazh semisalnya atau ia hanya meniatkan dengan hatinya saja. Sembelihan ini haram, karena termasuk dalam firman Allâh Azza wa Jalla :  إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ  Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allâh [Al-Baqarah/2:173]  Semua yang disembelih untuk selain Allâh mencakup apa-apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allâh, atau disembelih dengan nama Allâh tetapi diniatkan untuk berhala, jin, dan semisalnya.  Jadi, yang tercakup dalam penyembelihan untuk selain Allâh yaitu:  Sesuatu yang disembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla dalam rangka mendekatkan diri kepadanya. Walaupun dia menyebut bismillah, ini tetap haram sesuai ijma’ dan termasuk syirik, seperti menyembelih untuk berhala, penghuni kubur dan lainnya.  Sesuatu yang disembelih untuk dimakan dagingnya, tetapi dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa Jalla . Sesuatu yang disembelih ketika musim kemarau di tempat tertentu atau di kuburan tertentu agar hujan segera turun. Sesuatu yang disembelih ketika pertama kali memasuki rumah baru karena takut kepada jin. Menyembelih sapi atau kurban untuk ditanam kepala binatang tersebut agar bangunan menjadi kokoh dan kuat. Menyembelih binatang untuk menolak malapetaka, seperti menyembelih untuk Nyi Roro Kidul di Pantai Selatan, atau yang lainnya. Ini semua termasuk penyembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla dan merupakan perbuatan syirik besar (syirk akbar).  Apa saja yang disembelih untuk selain Allâh, maka tidak boleh dimakan, karena termasuk dalam firman-Nya:  وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ   dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allâh  Begitu pula sembelihan-sembelihan yang tidak dibaca Bismillah, maka tidak boleh dimakan.  Allâh Azza wa Jalla berfirman:  وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ  Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allâh, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. [Al-An’âm/6:121]  Sabda Nabi :  لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ  Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya  Allâh Azza wa Jalla menggandengkan hak orang tua dengan hak-Nya dalam firman-Nya:  وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا  Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak…” [An-Nisâ’/4:36]  وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا  Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” [Al-Isrâ’/17:23-24]  Hak orang tua selalu disebutkan setelah hak Allâh Azza wa Jalla , begitu juga larangan berbuat buruk kepada orang tua disebutkan setelah larangan berbuat buruk pada hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ  يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ  Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tiga kali. Kami (para Sahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh !” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan durhaka kepada kedua orang tua.” Awalnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga saksi palsu dan perkataan bohong.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam.”[4]  Jadi tidak boleh seorang anak mencela orang tuanya dan ini merupakan dosa besar. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan laknat terhadap sesuatu menunjukkan bahwa hal itu merupakan dosa besar, baik mencela secara langsung atau menjadi penyebab orang tuanya dicela. Karena sebagian orang ada yang tidak mencela orang tuanya secara langsung, tetapi dengan suatu sebab seperti ia mencela orang tua temannya, yang kemudian temannya itu membalas mencela orang tuanya. Maka ia menjadi sebab dalam pencelaan orang tuanya sendiri.  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ:  نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ  “Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Bagaimana mungkin seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar. Ia mencaci ayah orang lain, lalu orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain, maka orang itu akan mencaci ibunya.”[5]  Seorang Muslim tidak boleh menjadi pelaknat, pencela,  dan berakhlak buruk. Seorang Muslim wajib menjadi orang yang beradab dan berbicara dengan kata-kata yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :  قُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا  … Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia … [Al-Baqarah/2:83]  Jika kepada orang lain kita diperintahkan untuk berkata baik, apalagi kepada orang tua. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:  وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا  … dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.[Al-Isrâ’/17: 23]  Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :  لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا  Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan  Yaitu orang yang melindungi orang lain yang berbuat kejahatan dengan kedudukannya, kekuatannya, kekuasaannya atau dengan pasukannya, agar pelaku kejahatan itu tidak dikenai hukuman hadd. Apa yang dia lakukan ini juga termasuk dosa besar dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya.  Abu as-Sa’adat rahimahullah (Ibnul Atsir, wafat th. 606 H) berkata tentang makna مُحْدِثًا, “Kata tersebut ada yang meriwayatkan dengan mengkasrahkan huruf Dal (مُحْدِثًا) dan ada juga yang memfathahkannya (مُحْدَثًا). Jika dikasrahkan, maka maknanya : pelaku, (jadi makna hadits di atas adalah-red) orang yang menolong pelaku kejahatan, melindunginya, menyelamatkannya dari lawannya, dan menghalanginya agar tidak diqishash.  Sedangkan jika difathahkan huruf Dalnya, maknanya adalah objek, yaitu perkara bid’ah itu sendiri. Jadi makna (hadits di atas jika difathahkan yaitu-red) ridha dan sabar terhadapnya. Karena seseorang jika ridha terhadap suatu bid’ah dan mengakui pelakunya serta tidak mengingkarinya, maka ia telah melindunginya.”[6]  Seorang Muslim tidak boleh melindungi, menolong atau membantu pelaku kejahatan atau pelaku bid’ah, karena hal ini termasuk dalam ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:  وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Mahakeras siksa-Nya   [Al-Mâ`idah/5:2]  Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :  لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ  Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah  Ada tiga pendapat para Ulama tentang maksud dengan tanda-tanda tanah:  Pertama, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu garis tanda batas tanah. Mengubahnya yaitu dengan melebihkannya dari batas yang seharusnya. Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقٍّ، طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ  Barangsiapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) tanpa hak, maka akan dikalungkan padanya dari tujuh bumi pada hari Kiamat[7]  Kedua, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda tanah haram yang diharamkan di sana membunuh hewan buruan, diharamkan menebang pohon dan rerumputannya, dan diharamkan mengambil barang temuan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla menjadikan daerah sekitar Ka’bah haram dari segala sisi. Ini merupakan kota yang tidak boleh dimasuki oleh orang musyrik dan tidak boleh berperang di dalamnya kecuali jika untuk membela diri. Jadi yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ di sini yaitu tanda-tanda yang dijadikan batas di sekitar tanah haram dari semua sisi, dari daerah Tan’im, Hudaibiyyah, ‘Arafah dan Namirah, serta dari Ji’ranah.  Ketiga, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda yang ada di jalan umum yang kita kenal, seperti papan-papan penunjuk lalu lintas di jalan. Maka ini tidak boleh diubah karena dapat menyesatkan orang-orang.  Dan yang paling kuat yaitu pendapat yang pertama. Wallâhu a’lam.[8]  FAWAA-ID[9]  Dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Tidak ada wasiat sama sekali untuk Ali Radhiyallahu anhu untuk menjadi khalifah sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.  Ada dalil tentang dianjurkannya menulis  Ali Radhiyallahu anhu marah kepada orang yang berkata bahwa beliau Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  Kalau ada orang yang berkata bahwa Ali adalah وَصِيّ (yang diberi wasiat) maka perkataan ini adalah dusta dan bohong.  Orang-orang syi’ah adalah para pendusta dan pembohong, tidak boleh dipercaya seumur hidup.  Menyembelih binatang kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya adalah haram dengan keharaman yang sangat keras, baik yang disembelih itu unta, sapi, ayam, atau yang lainnya.  Menyembelih kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla adalah syirik dan dosa besar yang paling besar.  Sembelihan untuk berhala dan yang lain selain Allâh, maka tidak boleh dimakan.  Menyembelih kurban adalah ibadah, wajib dipersembahkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata.  Wajib berkata dengan perkataan yang baik dan mulia kepada kedua orang tua.  Durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan haram.  Durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa besar.  Melaknat (mencaci-maki) kedua orang tua adalah perbuatan haram, baik secara langsung maupun karena menjadi sebab dilaknatnya kedua orang tua oleh orang lain, misalnya dia melaknat kedua orang tua orang lain kemudian orang lain tersebut balas melaknat kedua orang tuanya. Ini sama dengan melaknar kedua orang tua sendiri.  Haramnya menolong dan melindungi para pelaku kejahatan.  Haramnya meridhai atau setuju dengan kebid’ahan  Haramnya mengubah patok tanah dengan tujuan untuk mengambil hak/tanah orang lain.  Bolehnya melaknat orang-orang fasik (secara umum/tanpa menentukan individu tertentu) agar mereka jera dari kemaksiatan.  MARAAJI’  Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq: Usamah bin ‘Athaya bin Utsman al-‘Utaybi. Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh. Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan. I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan. Al-Jadîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz as-Sulaiman al-Qar’awi, tahqiq: Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad. Referensi :Empat Dosa Besar Yang Dilaknat Pelakunya Oleh Allah Azza Wa Jalla

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

حَدَّثَنَا أَبُوْ الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاس غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِيْ بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا ، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ

Abu ath-Thufail ‘Amir bin Watsilah menuturkan kepada kami, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib[1] Radhiyallahu anhu , lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata rahasia kepadamu?’ Maka ‘Ali Radhiyallahu anhu marah dan ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata satu rahasia pun kepadaku yang ia sembunyikan dari orang lain, tetapi Beliau pernah bertutur kepadaku dengan empat kalimat.’ Maka orang tersebut berkata, ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut, wahai Amirul Mukminin?’ ‘Ali Radhiyallahu anhu berkata:

Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh

Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya

Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan

Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah.”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh :

Muslim (no. 1978 [42] dan 1978 [43])

  • Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 17
  • An-Nasa`i, VII/232
  • Ahmad, I/108, 118, 152

Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 22327

  • Abu Ya’la, no. 602
  • Al-Baihaqi, VI/99
  • Al-Hakim, IV/153

KOSA KATA HADITS

بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : Dengan empat kata, maksudnya empat kalimat

لَعَنَ اللهُ : Makna al-la’n yaitu menjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla

آوَى : Menjaga, melindungi

مُحْدِثًا : Orang yang berbuat kejahatan dan berhak mendapat hukuman hadd

مَنَار : Jamak dari مَنَارَة yang berarti tanda

SYARAH (PENJELASAN) HADITS

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya terhadap empat kejahatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tersebut dari rahmat-Nya, yaitu:

Pertama, bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , sesuatu yang tidak berhak mendapat peribadahan.

Kedua, orang yang mendo’akan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun menjadi sebab terjadinya hal tersebut, misalnya seseorang melakukan kejelekan-kejelekan di atas terhadap orang tua orang lain lalu orang lain tersebut membalasnya dengan perbuatan jelek serupa, maka itu sama dengan melakukan perbuatan jelek terhadap orang tuanya sendiri.

Ketiga, orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, misalnya dengan menghalang pelaksanaan hukum tersebut kepada orang itu, atau ia ridha terhadap kebid’ahan dalam agama dan mengakuinya.

Keempat, orang yang mengubah tanda batas tanah yang memisahkan hak pemilik masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempatnya yang benar. Sehingga dengan sebab itu terjadilah pengambilan sebagian tanah orang lain secara zhalim. [2]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ

Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh

Menyembelih binatang pada asalnya adalah ibadah yang diperintahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allâh).” [Al-Kautsar/108:2]

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menggabungkan dua ibadah tersebut, yaitu shalat dan berkurban. Keduanya menunjukkan perbuatan taqarrub (yang mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla , kerendahan hati, butuh  kepada Allâh, berbaik sangka, kuatnya keyakinan, dan tenangnya hati kepada Allâh dan kepada janji-Nya.

Dan ini berlawanan dengan keadaan para penyembah kubur dan orang yang seakan tidak butuh kepada Allâh Azza wa Jalla , yang mereka tidak shalat kepada-Nya dan tidak menyembelih kurban karena takut kefakiran. Karena inilah Allâh Azza wa Jalla menggabungkan kedua ibadah tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).’” [Al-An’âm/6:162-163]

Makna nusuk adalah penyembelihan untuk Allâh semata karena mengharapkan pahala dari-Nya. Keduanya (shalat dan menyembelih) merupakan ibadah yang paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dalam surat al-Kautsar, perintah tersebut didahului dengan huruf fa’, yang menunjukkan sebab, karena mengerjakan kedua ibadah tersebut merupakan sebab yang menuntun seseorang untuk bersyukur kepada Allâh atas apa yang Allâh Azza wa Jalla beri dari al-Kautsar.

Ibadah fisik yang paling mulia adalah shalat dan ibadah harta yang paling mulia adalah menyembelih. Tidak terkumpul pada ibadah shalat dalam diri seseorang sebagaimana yang terkumpul pada ibadah lainnya, sebagaimana yang diketahui oleh para pemilik hati yang hidup. Dan tidak terkumpul pada diri seorang hamba dalam ibadah penyembelihan –jika diiringi dengan iman dan ikhlas– dari kuatnya keyakinan dan husnuz zhann (berbaik sangka) melainkan perkara yang menakjubkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang banyak melakukan shalat dan berkurban.”[3]

Tetapi jika seseorang menyembelih binatang untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berhala, patung, pohon, batu, jin, dan selainnya, maka Allâh Azza wa Jalla melaknat orang tersebut. Setiap orang yang menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , maka orang tersebut dilaknat oleh Allâh Azza wa Jalla . Ini menunjukkan betapa dosa itu sangat besar, karena Allâh l tidak melaknat kecuali terhadap perkara dosa yang berbahaya. Ini menunjukkan besarnya dosa menyembelih untuk selain Allâh, bagaimanapun bentuk penyembelihan tersebut, baik sedikit atau banyak, dengan binatang yang besar atau kecil.

Bentuk penyembelihan kepada selain Allâh yaitu seseorang menyebut nama selain nama Allâh saat menyembelih, atau dengan niat dan hati serta keyakinannya untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh dengan penyembelihan tersebut. Atau dengan sembelihan tersebut, dia ingin menolak bahaya dari sesuatu yang dia sembelih untuknya, seperti misalnya menyembelih untuk jin dengan maksud untuk menolak bahaya yang ditakutkan dari mereka atau karena takut kepada mereka, atau menyembelih untuk berhala agar mendapat manfaat dari berhala tersebut, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh. Jika sudah lama tidak datang hujan, mereka menyembelih kerbau atau hewan lainnya di tempat tertentu, atau di kuburan tertentu dimana mereka ingin hujan turun di tempat tersebut. Terkadang mereka diuji dengan turunnya hujan itu, jadi terkabulnya doa mereka merupakan ujian dan cobaan dari Allâh Azza wa Jalla , bukan menunjukkan bolehnya perbuatan mereka yang termasuk syirik dan mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Barangsiapa melakukan hal tersebut, ia termasuk musyrik (orang yang berbuat syirik atau menyekutukan Allâh) yang terlaknat, baik ia melafazhkan dengan berkata ‘Sembelihan ini untuk kuburan fulan’ dan lafazh semisalnya atau ia hanya meniatkan dengan hatinya saja. Sembelihan ini haram, karena termasuk dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allâh [Al-Baqarah/2:173]

Semua yang disembelih untuk selain Allâh mencakup apa-apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allâh, atau disembelih dengan nama Allâh tetapi diniatkan untuk berhala, jin, dan semisalnya.

Jadi, yang tercakup dalam penyembelihan untuk selain Allâh yaitu:

Sesuatu yang disembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla dalam rangka mendekatkan diri kepadanya. Walaupun dia menyebut bismillah, ini tetap haram sesuai ijma’ dan termasuk syirik, seperti menyembelih untuk berhala, penghuni kubur dan lainnya.

  • Sesuatu yang disembelih untuk dimakan dagingnya, tetapi dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa Jalla .
  • Sesuatu yang disembelih ketika musim kemarau di tempat tertentu atau di kuburan tertentu agar hujan segera turun.
  • Sesuatu yang disembelih ketika pertama kali memasuki rumah baru karena takut kepada jin.
  • Menyembelih sapi atau kurban untuk ditanam kepala binatang tersebut agar bangunan menjadi kokoh dan kuat.
  • Menyembelih binatang untuk menolak malapetaka, seperti menyembelih untuk Nyi Roro Kidul di Pantai Selatan, atau yang lainnya.
  • Ini semua termasuk penyembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla dan merupakan perbuatan syirik besar (syirk akbar).

Apa saja yang disembelih untuk selain Allâh, maka tidak boleh dimakan, karena termasuk dalam firman-Nya:

وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ 

dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allâh

Begitu pula sembelihan-sembelihan yang tidak dibaca Bismillah, maka tidak boleh dimakan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allâh, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. [Al-An’âm/6:121]

Sabda Nabi :

لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ

Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya

Allâh Azza wa Jalla menggandengkan hak orang tua dengan hak-Nya dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak…” [An-Nisâ’/4:36]

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” [Al-Isrâ’/17:23-24]

Hak orang tua selalu disebutkan setelah hak Allâh Azza wa Jalla , begitu juga larangan berbuat buruk kepada orang tua disebutkan setelah larangan berbuat buruk pada hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ  يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tiga kali. Kami (para Sahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh !” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan durhaka kepada kedua orang tua.” Awalnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga saksi palsu dan perkataan bohong.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam.”[4]

Jadi tidak boleh seorang anak mencela orang tuanya dan ini merupakan dosa besar. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan laknat terhadap sesuatu menunjukkan bahwa hal itu merupakan dosa besar, baik mencela secara langsung atau menjadi penyebab orang tuanya dicela. Karena sebagian orang ada yang tidak mencela orang tuanya secara langsung, tetapi dengan suatu sebab seperti ia mencela orang tua temannya, yang kemudian temannya itu membalas mencela orang tuanya. Maka ia menjadi sebab dalam pencelaan orang tuanya sendiri.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ:  نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Bagaimana mungkin seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar. Ia mencaci ayah orang lain, lalu orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain, maka orang itu akan mencaci ibunya.”[5]

Seorang Muslim tidak boleh menjadi pelaknat, pencela,  dan berakhlak buruk. Seorang Muslim wajib menjadi orang yang beradab dan berbicara dengan kata-kata yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

… Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia … [Al-Baqarah/2:83]

Jika kepada orang lain kita diperintahkan untuk berkata baik, apalagi kepada orang tua. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

… dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.[Al-Isrâ’/17: 23]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا

Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan

Yaitu orang yang melindungi orang lain yang berbuat kejahatan dengan kedudukannya, kekuatannya, kekuasaannya atau dengan pasukannya, agar pelaku kejahatan itu tidak dikenai hukuman hadd. Apa yang dia lakukan ini juga termasuk dosa besar dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya.

Abu as-Sa’adat rahimahullah (Ibnul Atsir, wafat th. 606 H) berkata tentang makna مُحْدِثًا, “Kata tersebut ada yang meriwayatkan dengan mengkasrahkan huruf Dal (مُحْدِثًا) dan ada juga yang memfathahkannya (مُحْدَثًا). Jika dikasrahkan, maka maknanya : pelaku, (jadi makna hadits di atas adalah-red) orang yang menolong pelaku kejahatan, melindunginya, menyelamatkannya dari lawannya, dan menghalanginya agar tidak diqishash.

Sedangkan jika difathahkan huruf Dalnya, maknanya adalah objek, yaitu perkara bid’ah itu sendiri. Jadi makna (hadits di atas jika difathahkan yaitu-red) ridha dan sabar terhadapnya. Karena seseorang jika ridha terhadap suatu bid’ah dan mengakui pelakunya serta tidak mengingkarinya, maka ia telah melindunginya.”[6]

Seorang Muslim tidak boleh melindungi, menolong atau membantu pelaku kejahatan atau pelaku bid’ah, karena hal ini termasuk dalam ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Mahakeras siksa-Nya   [Al-Mâ`idah/5:2]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ

Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah

Ada tiga pendapat para Ulama tentang maksud dengan tanda-tanda tanah:

Pertama, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu garis tanda batas tanah. Mengubahnya yaitu dengan melebihkannya dari batas yang seharusnya. Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقٍّ، طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

Barangsiapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) tanpa hak, maka akan dikalungkan padanya dari tujuh bumi pada hari Kiamat[7]

Kedua, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda tanah haram yang diharamkan di sana membunuh hewan buruan, diharamkan menebang pohon dan rerumputannya, dan diharamkan mengambil barang temuan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla menjadikan daerah sekitar Ka’bah haram dari segala sisi. Ini merupakan kota yang tidak boleh dimasuki oleh orang musyrik dan tidak boleh berperang di dalamnya kecuali jika untuk membela diri. Jadi yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ di sini yaitu tanda-tanda yang dijadikan batas di sekitar tanah haram dari semua sisi, dari daerah Tan’im, Hudaibiyyah, ‘Arafah dan Namirah, serta dari Ji’ranah.

Ketiga, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda yang ada di jalan umum yang kita kenal, seperti papan-papan penunjuk lalu lintas di jalan. Maka ini tidak boleh diubah karena dapat menyesatkan orang-orang.

Dan yang paling kuat yaitu pendapat yang pertama. Wallâhu a’lam.[8]

FAWAA-ID[9]

Dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Tidak ada wasiat sama sekali untuk Ali Radhiyallahu anhu untuk menjadi khalifah sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Ada dalil tentang dianjurkannya menulis

Ali Radhiyallahu anhu marah kepada orang yang berkata bahwa beliau Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kalau ada orang yang berkata bahwa Ali adalah وَصِيّ (yang diberi wasiat) maka perkataan ini adalah dusta dan bohong.

Orang-orang syi’ah adalah para pendusta dan pembohong, tidak boleh dipercaya seumur hidup.

Menyembelih binatang kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya adalah haram dengan keharaman yang sangat keras, baik yang disembelih itu unta, sapi, ayam, atau yang lainnya.

Menyembelih kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla adalah syirik dan dosa besar yang paling besar.

Sembelihan untuk berhala dan yang lain selain Allâh, maka tidak boleh dimakan.

Menyembelih kurban adalah ibadah, wajib dipersembahkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata.

Wajib berkata dengan perkataan yang baik dan mulia kepada kedua orang tua.

Durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan haram.

Durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa besar.

Melaknat (mencaci-maki) kedua orang tua adalah perbuatan haram, baik secara langsung maupun karena menjadi sebab dilaknatnya kedua orang tua oleh orang lain, misalnya dia melaknat kedua orang tua orang lain kemudian orang lain tersebut balas melaknat kedua orang tuanya. Ini sama dengan melaknar kedua orang tua sendiri.

Haramnya menolong dan melindungi para pelaku kejahatan.

Haramnya meridhai atau setuju dengan kebid’ahan

Haramnya mengubah patok tanah dengan tujuan untuk mengambil hak/tanah orang lain.

Bolehnya melaknat orang-orang fasik (secara umum/tanpa menentukan individu tertentu) agar mereka jera dari kemaksiatan.

MARAAJI’

  • Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya
  • Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq: Usamah bin ‘Athaya bin Utsman al-‘Utaybi.
  • Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.
  • Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
  • I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
  • Al-Jadîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz as-Sulaiman al-Qar’awi, tahqiq: Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad.

Referensi :Empat Dosa Besar Yang Dilaknat Pelakunya Oleh Allah Azza Wa Jalla