Kamis, 22 September 2022

Dalam perkara cerai talak, di mana istri hadir dalam proses persidangan, atau tidak hadir, namun diketahui keberadaanya

Dalam perkara cerai talak, di mana istri hadir dalam proses persidangan, atau tidak hadir, namun diketahui keberadaanya, maka mungkin untuk adanya  pembebanan.  Dalam kasus istri hadir dalam persidangan, Pembebanan bisa muncul karena rekonvensi (gugatan balik) dari istri, atau juga muncul karena hak ex officio hakim.    Sementara itu, dalam kasus istri tidak hadir dalam persidangan, namun diketahui keberadaannya, pembebanan bisa dilakukan dengan penggunaan mekanisme hak ex officio hakim.  Di dalam putusan perkara cerai talak, di mana istri hadir dalam proses persidangannya, pembebanan kerap kali muncul. Pada umumnya, pembebanan dalam kasus seperti ini berbasis rekonvensi.  Namun, dalam perkara cerai talak, di mana Termohon tidak hadir, namun diketahui keberadaannya, kita jarang temui adanya pembebanan. Padahal, itu itu mungkin dilakukan. Ini jadi problem tersendiri.     Dari segi jumlah dan macam, memang pembebanan sangat variatif. Relatif. Hal ini menyesuaikan dengan kondisi pihak dengan memperhatikan asas keadilan, asas kewajaran, asas kemampuan, dan asas-asas penting lainnya.  Tidak adanya pembebanan dalam kasus demikian, secara hipotetik justru bertentangan dengan keadilan. Di mana istri yang sebetulnya punya hak, terutama hak nafkah. Apakah itu nafkah lampau atau nafkah iddah. Namun, dia tidak mendapatkan hak tersebut.  Dengan melihat asas keadilan, dan  juga melihat kuatnya perspektif maslahah dalam konteks ini, apakah mungkin status pembebanan terhadap perkara cerai talak non gaib dapat dikatakan wajib? Pertanyaan ini yang akan didiskusikan dalam ulasan singkat ini.  Pembahasan  Pada bagian pembahasan ini, ada beberapa sub isu yang dihadirkan. Di antaranya adalah soal perceraian di Indonesia beserta akibatnya, nafkah iddah, nafkah madiah, mut’ah, dan nafkah anak. Lalu, diulas pula soal perkara non-gaib.  Kemudian dibicarakan pula asas-asas yang perlu diperhatikan dalam pembebanan. Dalam hal, ini asas pembebanan yang diajukan adalah asas keadilan, kewajaran, dan kemampuan. Kemudian, dilanjutkan dengan mekanisme dan eksekusi pembebanan.  Dan di akhir bagian pembahasan ini, penulis melakukan analisis singkat tentang isu ini dengan perspektif maslahah. Yang membuka kemungkinan status pembebanan dalam konteks ini menjadi wajib.    Dalam bagian pembahasan ini, penulis menghadirkan substansi isu yang kemudian dilihat dari perspektif Yuridis dan filosofis. Beberapa isu penting juga diikuti dengan upaya rekonstruksi atas isu tersebut untuk menghadirkan pengertian paling mutakhir dari isu tersebut.  Perceraian di Indonesia dan Akibatnya  Putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 113 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan”.  Senada dengan itu, pasal 113 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.” Dari pasal ini , dapat dipahami bahwa perkawinan bisa putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.  Kemudian, diperjelas dengan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. pasal 115 KHI.  Dalam pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.  Pasal 115 KHI juga demikian, bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”  Masih dalam pasal 39, di ayat  (2) disebutkan bahwa “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.” Yang artinya, untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.  Untuk alasan perceraian ini, dijelaskan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI).  Dalam pasal PP 1975 disebutkan bahwa, “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”  Kemudian, pasal 116 KHI menyebutkan bahwa, “ Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.”  Adapun akibat perceraian dijelaskan dalam pasal 41 UU Tentang Perkawinan. Dalam pasal ini sebutkan bahwa, “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.  Dari sub bagian ini, bisa simpulkan bahwa sebuah ikatan perkawinan bisa putus paling tidak karena tiga hal, yaitu   karena kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan. Yang mana masing-masing menimbulkan akibat bagi kedua belah pihak.  Khusus untuk cerai dengan talak, muncul beberapa kewajiban bagi suami seperti memberikan mut`ah jika status istri ba'da ad dukhul, memberi nafkah kepada bekas istri selama dalam iddah, melunasi mahar yang masih terhutang, dan memberikan biaya pemeliharaan anak.  Pembebanan Dalam Perkara Cerai Talak  Bagian ini mengulas beberapa jenis pembebanan yang kerap kali muncul dalam perara cerai talak. Yaitu tentang nafkah Inddah, nafkah lampau (madliyah), nafkah anak, dan mut’ah.   Pertama, tentang nafkah iddah. Ketika seorang istri diceraikan, dia harus menjalani masa iddah. Masa menunggu, di mana dalam masa ini dia tidak boleh menerima pinangan orang lain. Apa lagi menikah.  Iddah salah satunya berfungsi untuk mengetahui apakah istri hamil atau tidak. Apakah bekas istri ada kemungkinan mengandung anak dari bekas suami atau tidak. Jadi, ini perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan istri steril atau tidak.  Dalam pasal 11 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa "Pasal 11 (1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut."  Kemudian, dalam pasal 39 PP Tahun 1975 disebutkan bahwa:" Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan."  Dengan demikian, perempuan yang dijatuhi talak harus menjalani masa tunggu. Dalam hal ini, para ulama fiqih sepakat bahwa perempuan yang dijatuhi talak harus mendapatkan nafkah.    Kedua, tentang nafkah lampau (madliyah). Dalam Pasal 80 KHI disebutkan tentang kewajiban-kewajiban suami. Termasuk di dalamnya soal nafkah. Pasal 80 ayat (4) menyebutkan sebagai berikut: “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak.”  Kemudian dalam pasal 77 KHI, disebutkan bahwa "jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama." dari sini, nafkah yang merupakan suatu hal yang harus ditanggung suami, apabila tidak ditunaikan dapat digugat.  Ketiga, tentang nafkah anak. Nafkah anak juga menjadi isu yang cukup signifikan dalam hal pembebanan. Meski, hubungan suami istri telah terputus. Namun, hubungan orang tua dan anak tidak pernah putus.  Begitu juga dengan kewajiban memberi nafkah, kewajiban ini tidak terputus. Ini merupakan hak anak terhadap orang tua. Yaitu salah satunya adalah nafkah, hingga anak tersebut mandiri. Dewasa atau menikah.  Tentang kewajiban orang tua ini dijelaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahan 1974 dari Pasal 45. Undang-Undang No.1 Tahan 1974 Pasal 45 menyebukan bahwa, “(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.  Kemudian, bagaimana jika terjadi perceraian? Dalam kasus seperti ini. Jika anak belum umur 12 tahun, maka hak pemeliharaan anak jatuh ke ibunya. Tapi jika anak sudah mencapai 12 tahun, dia bisa memilih apakah mau ikut ibu atau ayahnya. Namun, biaya pemeliharaan ditanggung ayah. Ketentuan ini sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 105 yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”  Dari ketentuan di atas,  dapat dipahami bahwa, biaya pemeliharaan anak pasca perceraian menjadi tanggung jawab Ayah. Dari situ, jika suami istri bercerai, anak tetap punya hak nafkah dari Ayah.     Keempat, tentang mut’ah. Mut’ah adalah pemberian dari suami kepada istri ketika terjadi perceraian. Pasal 158 KHI menyebutkan bahwa: "Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul b. perceraian itu atas kehendak suami.”  Dalam al-Qur`an Surat al-Baqarah ayat 241 dijelaskan bahwa “Dan bagi perempuan-perempuan yang ditalak/diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah: 241). Dari ayat ini, dapat dilihat bahwa mut’ah adalah suatu keharusan bagi suami yang menceraikan istri. Meskipun bentuknya belum ditentukan.  Mengapa Harus Perkara Non-Gaib?  Dalam konteks peradilan agama di Indonesia, istilah gaib merujuk pada kondisi di mana Termohon atau Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. Dalam kondisi tersebut, Termohon atau Tergugat tetap dipanggil dengan prosedur yang telah ditentukan. Kita tidak perlu bicarakan di sini.  Pada intinya, perkara cerai talak yang putus dalam keadaan Termohon tidak diketahui keberadaannya, maka akan menjadi problem dalam eksekusinya, jika ada pembebanan.  Karena itu, dalam perkara gaib, kita kecualikan dari pembebanan. Meskipun dalam perkara cerai talak, pemohon cerai talak mampu dan layak dibebani. Saya pikir, ini cukup jelas mengapa perkara seperti ini dikecualikan.  Asas keadilan, Kewajaran, Kemampuan dalam Pembebanan  Pemberian beban oleh hakim pada pihak yang dalam hal ini adalah pemohon cerai talak, bukan didasarkan atas kebencian pada laki-laki. Karena dalam kasus perceraian, kesalahan tidak sepenuhnya datang dari laki-laki.  Tapi, perkara perceraian yang telah sampai di pengadilan akumulasi atas berbagai persoalan yang mereka alami. Di mana, ketika perkara tersebut masuk ke pengadilan, maka kedua pihak bisa dikatakan salah. Karena itu, pembebanan harus didasarkan atas asas keadilan, kewajaran, dan kemampuan.  Asas itu bersifat konseptual dan teoritik. Lalu, bagaimana penerapan asas keadilan dalam konteks ini? Keadilan dalam konteks ini adalah ketika masing-masing pihak mendapatkan kepentingan mereka. Karena itu, hakim harus mempertimbangkan segala detail persoalan untuk memberikan keadilan setinggi mungkin.  Sebagai contoh sederhana, dalam kasus perkara cerai talak yang dikabulkan oleh majelis hakim dengan disertai pembebanan secara ex officio. Maka, pemohon cerai talak mendapat kepentingannya untuk menceraikan istrinya. Sementara itu, istri yang telah diceraikan mendapat hak-haknya melalui pembebanan itu. Ini adalah salah satu contoh keadilan.  Kasus seperti itu juga bisa muncul dengan prosedur rekonvensi/ gugatan balik. Di mana termohon cerai talak bersedia diceraikan, dengan syarat tuntutan gugatan baliknya dipenuhi.    Lebih jauh, memang keadilan itu relatif. Baik itu dari perspektif pihak maupun hakim. Karena itu, majelis hakim harus berusaha keras dalam melakukan ijtihad, untuk memberikan keadilan setinggi mungkin bagi para pihak.      Lalu, asas kewajaran. Apa yang dimaksud kewajaran? Kewajaran itu proporsional. Sesuai dengan konteks persoalan. Pembebanan 100 juta itu wajar, jika pendapatan pemohon cerai talak setiap bulan di atas 20 juta. Atau pihak Pemohon adalah seorang yang kaya.  Namun, 100 juta tidak wajar jika penghasilan pihak hanya 1 juta setiap bulan. Apa lagi jika yang bersangkutan tergolong ekonomi tidak mampu. Apa lagi tidak bekerja.  Karena itu, konsep wajar itu juga sangat relatif. Sesuai dengan konteks perkara. Karena itu, hakim lagi-lagi harus berijtihad untuk menerjemahkan konsep wajar dalam tiap kasus.  Kemudian asas kemampuan. Kemampuan lebih kepada kondisi yang dibebani. Karena itu, harus dipastikan bagaimana kondisi ekonomi pemohon cerai talak. Termasuk juga penghasilan mereka. Pada intinya, harus dipastikan bahwa yang bersangkutan mampu menjalankan beban tersebut.  Asas kemampuan sebetulnya efektif untuk menghindari putusan yang tidak dapat dieksekusi (non executable). Jika pihak tidak mampu membayar beban, putusan tidak dapat dieksekusi. Padahal, salah satu prinsip penting putusan yang baik adalah harus bisa dieksekusi.      Pembebanan dan PERMA No.3 Tahun 2017  PERMA No.3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum sedikit banyak berpengaruh terhadap pembebanan. PERMA ini memang didesain untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan.     Apa pengaruhnya terhadap pembebanan dalam perkara cerai talak? Salah satu penerjemahan PERMA tersebut adalah dengan pencantuman amar bahwa pembebanan harus dibayarkan sejenak sebelum ikrar.  Ada konsekuensi yang berbeda dengan pencantuman amar seperti itu. Yang artinya, suami tidak bisa melakukan ikrar talak tanpa memberikan beban pada Termohon cerai talak.  Eksekusi Pembebanan dalam perkara Cerai Talak  Sudah saya singgung di atas. Bahwa ikrar talak maupun penyerahan beban pada Termohon cerai talak adalah wilayah eksekusi.  Eksekusi ikrar talak diberikan waktu sampai enam bulan. Dalam waktu ini, ikrar talak dilakukan dalam sidang ikrar talak. Pemohon akan mengikrarkan talaknya terhadap istri di hadapan sidang pengadilan agama.    Problemnya adalah, kadang pihak datang untuk sidang ikrar yang telah ditentukan waktunya. Namun, mereka belum siap dengan beban. Maka, ikrar tidak bisa dilaksanakan. Itu konsekuensi pencantuman amar bahwa beban harus diserahkan sejenak sebelum ikrar. Itu jika Termohon cerai talak hadir dalam persidangan.  Maka, dalam kasus demikian, sidang harus ditunda sampai dengan waktu yang tidak ditentukan paling lambat enam bulan. Dalam waktu ini, jika Pemohon sudah siap dengan beban, dia harus melapor agar ditetapkan hari sidang ikrar yang baru.  Bagaimana dalam kasus Termohon tidak pernah hadir? Dalam kasus demikian, lagi-lagi majelis harus berijtihad, bagaimana supaya hak Termohon terlindungi.  Mekanisme eksekusi di mana Termohon tidak hadir atau tidak pernah hadir, adalah dengan dititipkan beban itu ke pengadilan. Lalu, beban itu harus disampaikan melalui juru sita saat pemberitahuan isi putusan.  Bagaimana jika Termohon tidak hadir atau tidak pernah hadir dan Pemohon belum siap dnegan bebannya saat mau melakukan ikrar?  Lagi-lagi hakim harus berijtihad. Apakah dengan membuat surat pernyataan bahwa beban tersebut menjadi hutang Pemohon terhadap Termohon cerai?  Jika pemohon belum siap dengan bebannya, mekanisme eksekusi seperti itu dapat dilakukan. Bahkan jika Termohon cerai talak hadir juga bisa dilakukan mekanisme itu jika Termohon bersedia.  Yakni dengan membuat surat pernyataan bahwa beban itu menjadi hutang Pemohon terhadap Termohon. Kemudian, surat pernyataan itu diberikan pada Termohon. Karena surat pernyataan itu, nanti yang akan menjadi alas hukum bagi Termohon untuk mengajukan gugatan baru. Atau mengajukan eksekusi ulang.      Pembebanan dalam Perspektif Maslahah  Dalam hal ini, saya ingin mengkutip Imam Ghozali yang mengemukakan bahwa pada intinya, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan, dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.  Lalu, apa tujuan syara’ itu? Dalam hal ini, bisa bisa mengkutip teori Imam Syatibi yang diformulasikan dalam teori tentang qasd as-syari’. Di mana, salah satu bagian dari qasd as-syari’ adalah maslahah. Yang selanjutnya dibagi lagi menjadi dharuryyat, hajiyat, dan tahsiniyyat.  Maslahat yang bergerak pada level dharuriyat, menurut Syatibi adalah agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-‘aql). Karena itu, kelima hal ini harus dijaga.  Lalu, apa relevansinya dalam konteks pembebanan dalam perkara cerai talak non gaib? Tentu, pembebanan adalah dalam rangka untuk menjaga paling tidak jiwa (al-nafs) Termohon.  Nafkah lampau, juga nafkah iddah adalah upaya untuk melindungi jiwa Termohon. Nafkah, paling utama adalah makan, tentu untuk menjaga agar Termohon tetap hidup. Agar jiwa atau nyawa Termohon tetap terjaga.  Begitu juga dengan nafkah iddah, hak itu harus dipenuhi. Pasca perceraian, Termohon harus menjalani iddah. Di mana dalam masa itu, Termohon tidak boleh menerima pinangan orang lain. Juga harus menjaga diri di rumah. Dalam konteks ini, dia juga butuh makan untuk menjaga jiwanya.  Bagaimana jika mereka tidak diberi nafkah, sementara mereka harus menjalani iddah? Maka mafasid yang akan menimpa. Ini berseberangan dengan konsep malsahah.  Lalu, soal nafkah anak. Jelas ini adalah upaya untuk menjaga   keturunan (al-nasl). Karena itu, nafkah anak tidak bisa diabaikan. Karena akan terjadi mafsadat jika ditinggalkan.  Jadi, muatan maslahat dalam pemberian beban terhadap Pemohon sangat kuat. Artinya, akan ada maslahat bagi Termohon. Sebaliknya, akan ada mafsadat yang timbul jika tidak diberikan beban pada Pemohon.  Kesimpulan dan Refleksi Singkat  Dari diskusi singkat di atas, pembebanan dalam perkara cerai talak non gaib, di mana istri hadir dalam proses persidangannya, atau istri tidak hadir namun diketahui keberadaannya, dan melihat kuatanya perspektif maslahah dalam konteks ini, maka dapat dikatakan bahwa status pembebanan dalam perkara seperti itu adalah wajib.  Selain perspektif maslahat. Kewajiban atau keharusan itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan berimbang untuk para pihak. Namun, dalam implementasi pembebanan ini, hakim harus tetap memperhatikan asas keadilan, kewajaran, dan kemampuan pihak.  Ingat, tugas hakim adalah berupaya maksimal untuk menciptakan dan mendistribusikan keadilan setinggi mungkin bagi para pencari keadilan. Dalam melakukan itu, hakim bisa menempuh banyak cara.  Memang, keadilan itu relatif. Karena itu, hakim dituntut untuk membaca setiap persoalan dengan detail dan jernih. Karena setiap persoalan bersifat kasusitik. Yang artinya, membutuhkan perspektif khusus untuk melihatnya.
Dalam perkara cerai talak, di mana istri hadir dalam proses persidangan, atau tidak hadir, namun diketahui keberadaanya, maka mungkin untuk adanya pembebanan. Dalam kasus istri hadir dalam persidangan, Pembebanan bisa muncul karena rekonvensi (gugatan balik) dari istri, atau juga muncul karena hak ex officio hakim.  

Sementara itu, dalam kasus istri tidak hadir dalam persidangan, namun diketahui keberadaannya, pembebanan bisa dilakukan dengan penggunaan mekanisme hak ex officio hakim.

Di dalam putusan perkara cerai talak, di mana istri hadir dalam proses persidangannya, pembebanan kerap kali muncul. Pada umumnya, pembebanan dalam kasus seperti ini berbasis rekonvensi.

Namun, dalam perkara cerai talak, di mana Termohon tidak hadir, namun diketahui keberadaannya, kita jarang temui adanya pembebanan. Padahal, itu itu mungkin dilakukan. Ini jadi problem tersendiri.   

Dari segi jumlah dan macam, memang pembebanan sangat variatif. Relatif. Hal ini menyesuaikan dengan kondisi pihak dengan memperhatikan asas keadilan, asas kewajaran, asas kemampuan, dan asas-asas penting lainnya.

Tidak adanya pembebanan dalam kasus demikian, secara hipotetik justru bertentangan dengan keadilan. Di mana istri yang sebetulnya punya hak, terutama hak nafkah. Apakah itu nafkah lampau atau nafkah iddah. Namun, dia tidak mendapatkan hak tersebut.

Dengan melihat asas keadilan, dan  juga melihat kuatnya perspektif maslahah dalam konteks ini, apakah mungkin status pembebanan terhadap perkara cerai talak non gaib dapat dikatakan wajib? Pertanyaan ini yang akan didiskusikan dalam ulasan singkat ini.

Pembahasan

Pada bagian pembahasan ini, ada beberapa sub isu yang dihadirkan. Di antaranya adalah soal perceraian di Indonesia beserta akibatnya, nafkah iddah, nafkah madiah, mut’ah, dan nafkah anak. Lalu, diulas pula soal perkara non-gaib.

Kemudian dibicarakan pula asas-asas yang perlu diperhatikan dalam pembebanan. Dalam hal, ini asas pembebanan yang diajukan adalah asas keadilan, kewajaran, dan kemampuan. Kemudian, dilanjutkan dengan mekanisme dan eksekusi pembebanan.

Dan di akhir bagian pembahasan ini, penulis melakukan analisis singkat tentang isu ini dengan perspektif maslahah. Yang membuka kemungkinan status pembebanan dalam konteks ini menjadi wajib.  

Dalam bagian pembahasan ini, penulis menghadirkan substansi isu yang kemudian dilihat dari perspektif Yuridis dan filosofis. Beberapa isu penting juga diikuti dengan upaya rekonstruksi atas isu tersebut untuk menghadirkan pengertian paling mutakhir dari isu tersebut.

Perceraian di Indonesia dan Akibatnya

Putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 113 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan”.

Senada dengan itu, pasal 113 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.” Dari pasal ini , dapat dipahami bahwa perkawinan bisa putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.

Kemudian, diperjelas dengan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. pasal 115 KHI.

Dalam pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.

Pasal 115 KHI juga demikian, bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Masih dalam pasal 39, di ayat  (2) disebutkan bahwa “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.” Yang artinya, untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.

Untuk alasan perceraian ini, dijelaskan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dalam pasal PP 1975 disebutkan bahwa, “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Kemudian, pasal 116 KHI menyebutkan bahwa, “ Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.”

Adapun akibat perceraian dijelaskan dalam pasal 41 UU Tentang Perkawinan. Dalam pasal ini sebutkan bahwa, “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Dari sub bagian ini, bisa simpulkan bahwa sebuah ikatan perkawinan bisa putus paling tidak karena tiga hal, yaitu   karena kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan. Yang mana masing-masing menimbulkan akibat bagi kedua belah pihak.

Khusus untuk cerai dengan talak, muncul beberapa kewajiban bagi suami seperti memberikan mut`ah jika status istri ba'da ad dukhul, memberi nafkah kepada bekas istri selama dalam iddah, melunasi mahar yang masih terhutang, dan memberikan biaya pemeliharaan anak.

Pembebanan Dalam Perkara Cerai Talak

Bagian ini mengulas beberapa jenis pembebanan yang kerap kali muncul dalam perara cerai talak. Yaitu tentang nafkah Inddah, nafkah lampau (madliyah), nafkah anak, dan mut’ah. 

Pertama, tentang nafkah iddah. Ketika seorang istri diceraikan, dia harus menjalani masa iddah. Masa menunggu, di mana dalam masa ini dia tidak boleh menerima pinangan orang lain. Apa lagi menikah.

Iddah salah satunya berfungsi untuk mengetahui apakah istri hamil atau tidak. Apakah bekas istri ada kemungkinan mengandung anak dari bekas suami atau tidak. Jadi, ini perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan istri steril atau tidak.

Dalam pasal 11 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa "Pasal 11 (1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut."

Kemudian, dalam pasal 39 PP Tahun 1975 disebutkan bahwa:" Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan."

Dengan demikian, perempuan yang dijatuhi talak harus menjalani masa tunggu. Dalam hal ini, para ulama fiqih sepakat bahwa perempuan yang dijatuhi talak harus mendapatkan nafkah.  

Kedua, tentang nafkah lampau (madliyah). Dalam Pasal 80 KHI disebutkan tentang kewajiban-kewajiban suami. Termasuk di dalamnya soal nafkah. Pasal 80 ayat (4) menyebutkan sebagai berikut: “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak.”

Kemudian dalam pasal 77 KHI, disebutkan bahwa "jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama." dari sini, nafkah yang merupakan suatu hal yang harus ditanggung suami, apabila tidak ditunaikan dapat digugat.

Ketiga, tentang nafkah anak. Nafkah anak juga menjadi isu yang cukup signifikan dalam hal pembebanan. Meski, hubungan suami istri telah terputus. Namun, hubungan orang tua dan anak tidak pernah putus.

Begitu juga dengan kewajiban memberi nafkah, kewajiban ini tidak terputus. Ini merupakan hak anak terhadap orang tua. Yaitu salah satunya adalah nafkah, hingga anak tersebut mandiri. Dewasa atau menikah.

Tentang kewajiban orang tua ini dijelaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahan 1974 dari Pasal 45. Undang-Undang No.1 Tahan 1974 Pasal 45 menyebukan bahwa, “(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

Kemudian, bagaimana jika terjadi perceraian? Dalam kasus seperti ini. Jika anak belum umur 12 tahun, maka hak pemeliharaan anak jatuh ke ibunya. Tapi jika anak sudah mencapai 12 tahun, dia bisa memilih apakah mau ikut ibu atau ayahnya. Namun, biaya pemeliharaan ditanggung ayah. Ketentuan ini sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 105 yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Dari ketentuan di atas,  dapat dipahami bahwa, biaya pemeliharaan anak pasca perceraian menjadi tanggung jawab Ayah. Dari situ, jika suami istri bercerai, anak tetap punya hak nafkah dari Ayah.   

Keempat, tentang mut’ah. Mut’ah adalah pemberian dari suami kepada istri ketika terjadi perceraian. Pasal 158 KHI menyebutkan bahwa: "Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul b. perceraian itu atas kehendak suami.”

Dalam al-Qur`an Surat al-Baqarah ayat 241 dijelaskan bahwa “Dan bagi perempuan-perempuan yang ditalak/diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah: 241). Dari ayat ini, dapat dilihat bahwa mut’ah adalah suatu keharusan bagi suami yang menceraikan istri. Meskipun bentuknya belum ditentukan.

Mengapa Harus Perkara Non-Gaib?

Dalam konteks peradilan agama di Indonesia, istilah gaib merujuk pada kondisi di mana Termohon atau Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. Dalam kondisi tersebut, Termohon atau Tergugat tetap dipanggil dengan prosedur yang telah ditentukan. Kita tidak perlu bicarakan di sini.

Pada intinya, perkara cerai talak yang putus dalam keadaan Termohon tidak diketahui keberadaannya, maka akan menjadi problem dalam eksekusinya, jika ada pembebanan.

Karena itu, dalam perkara gaib, kita kecualikan dari pembebanan. Meskipun dalam perkara cerai talak, pemohon cerai talak mampu dan layak dibebani. Saya pikir, ini cukup jelas mengapa perkara seperti ini dikecualikan.

Asas keadilan, Kewajaran, Kemampuan dalam Pembebanan

Pemberian beban oleh hakim pada pihak yang dalam hal ini adalah pemohon cerai talak, bukan didasarkan atas kebencian pada laki-laki. Karena dalam kasus perceraian, kesalahan tidak sepenuhnya datang dari laki-laki.

Tapi, perkara perceraian yang telah sampai di pengadilan akumulasi atas berbagai persoalan yang mereka alami. Di mana, ketika perkara tersebut masuk ke pengadilan, maka kedua pihak bisa dikatakan salah. Karena itu, pembebanan harus didasarkan atas asas keadilan, kewajaran, dan kemampuan.

Asas itu bersifat konseptual dan teoritik. Lalu, bagaimana penerapan asas keadilan dalam konteks ini? Keadilan dalam konteks ini adalah ketika masing-masing pihak mendapatkan kepentingan mereka. Karena itu, hakim harus mempertimbangkan segala detail persoalan untuk memberikan keadilan setinggi mungkin.

Sebagai contoh sederhana, dalam kasus perkara cerai talak yang dikabulkan oleh majelis hakim dengan disertai pembebanan secara ex officio. Maka, pemohon cerai talak mendapat kepentingannya untuk menceraikan istrinya. Sementara itu, istri yang telah diceraikan mendapat hak-haknya melalui pembebanan itu. Ini adalah salah satu contoh keadilan.

Kasus seperti itu juga bisa muncul dengan prosedur rekonvensi/ gugatan balik. Di mana termohon cerai talak bersedia diceraikan, dengan syarat tuntutan gugatan baliknya dipenuhi.  

Lebih jauh, memang keadilan itu relatif. Baik itu dari perspektif pihak maupun hakim. Karena itu, majelis hakim harus berusaha keras dalam melakukan ijtihad, untuk memberikan keadilan setinggi mungkin bagi para pihak.    

Lalu, asas kewajaran. Apa yang dimaksud kewajaran? Kewajaran itu proporsional. Sesuai dengan konteks persoalan. Pembebanan 100 juta itu wajar, jika pendapatan pemohon cerai talak setiap bulan di atas 20 juta. Atau pihak Pemohon adalah seorang yang kaya.

Namun, 100 juta tidak wajar jika penghasilan pihak hanya 1 juta setiap bulan. Apa lagi jika yang bersangkutan tergolong ekonomi tidak mampu. Apa lagi tidak bekerja.

Karena itu, konsep wajar itu juga sangat relatif. Sesuai dengan konteks perkara. Karena itu, hakim lagi-lagi harus berijtihad untuk menerjemahkan konsep wajar dalam tiap kasus.

Kemudian asas kemampuan. Kemampuan lebih kepada kondisi yang dibebani. Karena itu, harus dipastikan bagaimana kondisi ekonomi pemohon cerai talak. Termasuk juga penghasilan mereka. Pada intinya, harus dipastikan bahwa yang bersangkutan mampu menjalankan beban tersebut.

Asas kemampuan sebetulnya efektif untuk menghindari putusan yang tidak dapat dieksekusi (non executable). Jika pihak tidak mampu membayar beban, putusan tidak dapat dieksekusi. Padahal, salah satu prinsip penting putusan yang baik adalah harus bisa dieksekusi.    

Pembebanan dan PERMA No.3 Tahun 2017

PERMA No.3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum sedikit banyak berpengaruh terhadap pembebanan. PERMA ini memang didesain untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan.   

Apa pengaruhnya terhadap pembebanan dalam perkara cerai talak? Salah satu penerjemahan PERMA tersebut adalah dengan pencantuman amar bahwa pembebanan harus dibayarkan sejenak sebelum ikrar.

Ada konsekuensi yang berbeda dengan pencantuman amar seperti itu. Yang artinya, suami tidak bisa melakukan ikrar talak tanpa memberikan beban pada Termohon cerai talak.

Eksekusi Pembebanan dalam perkara Cerai Talak

Sudah saya singgung di atas. Bahwa ikrar talak maupun penyerahan beban pada Termohon cerai talak adalah wilayah eksekusi.

Eksekusi ikrar talak diberikan waktu sampai enam bulan. Dalam waktu ini, ikrar talak dilakukan dalam sidang ikrar talak. Pemohon akan mengikrarkan talaknya terhadap istri di hadapan sidang pengadilan agama.  

Problemnya adalah, kadang pihak datang untuk sidang ikrar yang telah ditentukan waktunya. Namun, mereka belum siap dengan beban. Maka, ikrar tidak bisa dilaksanakan. Itu konsekuensi pencantuman amar bahwa beban harus diserahkan sejenak sebelum ikrar. Itu jika Termohon cerai talak hadir dalam persidangan.

Maka, dalam kasus demikian, sidang harus ditunda sampai dengan waktu yang tidak ditentukan paling lambat enam bulan. Dalam waktu ini, jika Pemohon sudah siap dengan beban, dia harus melapor agar ditetapkan hari sidang ikrar yang baru.

Bagaimana dalam kasus Termohon tidak pernah hadir? Dalam kasus demikian, lagi-lagi majelis harus berijtihad, bagaimana supaya hak Termohon terlindungi.

Mekanisme eksekusi di mana Termohon tidak hadir atau tidak pernah hadir, adalah dengan dititipkan beban itu ke pengadilan. Lalu, beban itu harus disampaikan melalui juru sita saat pemberitahuan isi putusan.

Bagaimana jika Termohon tidak hadir atau tidak pernah hadir dan Pemohon belum siap dnegan bebannya saat mau melakukan ikrar?  Lagi-lagi hakim harus berijtihad. Apakah dengan membuat surat pernyataan bahwa beban tersebut menjadi hutang Pemohon terhadap Termohon cerai?

Jika pemohon belum siap dengan bebannya, mekanisme eksekusi seperti itu dapat dilakukan. Bahkan jika Termohon cerai talak hadir juga bisa dilakukan mekanisme itu jika Termohon bersedia.

Yakni dengan membuat surat pernyataan bahwa beban itu menjadi hutang Pemohon terhadap Termohon. Kemudian, surat pernyataan itu diberikan pada Termohon. Karena surat pernyataan itu, nanti yang akan menjadi alas hukum bagi Termohon untuk mengajukan gugatan baru. Atau mengajukan eksekusi ulang.    

Pembebanan dalam Perspektif Maslahah

Dalam hal ini, saya ingin mengkutip Imam Ghozali yang mengemukakan bahwa pada intinya, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan, dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.

Lalu, apa tujuan syara’ itu? Dalam hal ini, bisa bisa mengkutip teori Imam Syatibi yang diformulasikan dalam teori tentang qasd as-syari’. Di mana, salah satu bagian dari qasd as-syari’ adalah maslahah. Yang selanjutnya dibagi lagi menjadi dharuryyat, hajiyat, dan tahsiniyyat.

Maslahat yang bergerak pada level dharuriyat, menurut Syatibi adalah agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-‘aql). Karena itu, kelima hal ini harus dijaga.

Lalu, apa relevansinya dalam konteks pembebanan dalam perkara cerai talak non gaib? Tentu, pembebanan adalah dalam rangka untuk menjaga paling tidak jiwa (al-nafs) Termohon.

Nafkah lampau, juga nafkah iddah adalah upaya untuk melindungi jiwa Termohon. Nafkah, paling utama adalah makan, tentu untuk menjaga agar Termohon tetap hidup. Agar jiwa atau nyawa Termohon tetap terjaga.

Begitu juga dengan nafkah iddah, hak itu harus dipenuhi. Pasca perceraian, Termohon harus menjalani iddah. Di mana dalam masa itu, Termohon tidak boleh menerima pinangan orang lain. Juga harus menjaga diri di rumah. Dalam konteks ini, dia juga butuh makan untuk menjaga jiwanya.

Bagaimana jika mereka tidak diberi nafkah, sementara mereka harus menjalani iddah? Maka mafasid yang akan menimpa. Ini berseberangan dengan konsep malsahah.

Lalu, soal nafkah anak. Jelas ini adalah upaya untuk menjaga   keturunan (al-nasl). Karena itu, nafkah anak tidak bisa diabaikan. Karena akan terjadi mafsadat jika ditinggalkan.

Jadi, muatan maslahat dalam pemberian beban terhadap Pemohon sangat kuat. Artinya, akan ada maslahat bagi Termohon. Sebaliknya, akan ada mafsadat yang timbul jika tidak diberikan beban pada Pemohon.

Kesimpulan dan Refleksi Singkat

Dari diskusi singkat di atas, pembebanan dalam perkara cerai talak non gaib, di mana istri hadir dalam proses persidangannya, atau istri tidak hadir namun diketahui keberadaannya, dan melihat kuatanya perspektif maslahah dalam konteks ini, maka dapat dikatakan bahwa status pembebanan dalam perkara seperti itu adalah wajib.

Selain perspektif maslahat. Kewajiban atau keharusan itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan berimbang untuk para pihak. Namun, dalam implementasi pembebanan ini, hakim harus tetap memperhatikan asas keadilan, kewajaran, dan kemampuan pihak.

Ingat, tugas hakim adalah berupaya maksimal untuk menciptakan dan mendistribusikan keadilan setinggi mungkin bagi para pencari keadilan. Dalam melakukan itu, hakim bisa menempuh banyak cara.

Memang, keadilan itu relatif. Karena itu, hakim dituntut untuk membaca setiap persoalan dengan detail dan jernih. Karena setiap persoalan bersifat kasusitik. Yang artinya, membutuhkan perspektif khusus untuk melihatnya.