Intinya, aku masih tidak bisa terima jika anak-anak mendapat sentuhan pendidikan yang tidak baik dari ayahnya. Aku takut, anak-anak akan merasa bingung dengan perbedaan pola asuh antara aku dan ayahnya. Terlebih, dia seenaknya mengenalkan “mamah baru” kepada anak-anak. Dia pikir anak-anak akan ikut bahagia dengan kabar bahagia yang dia bawa? Dia pikir, anak-anak tidak akan sedih dengan semua itu? Tidak, kami sedih. Dan jujur, maaf kami tidak ikut bahagia.
Aku sudah cukup mendapat banyak nasihat dari berbagai pihak. Dari psikolog, konsultan pernikahan, hingga ustazah. Intinya, mereka mengingatkan aku bahwa anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Meski ayahnya tidak menafkahinya. Jujur, sisi egoisku menolak semua itu. Kok enak sekali ya jadi mantan suamiku? Seenaknya selingkuh, seenaknya menelantarkan kami, lalu sekarang, bukannya aku dikuatkan, malah aku yang terus didesak untuk memaafkan dan menerima dia demi anak-anak. Aku sampai stres, merasa sepertinya dunia ini tidak ada yang memihakku.
Aku pernah sampai melampiaskannya pada banyak hal. Dari mulai mogok ikut pengajian, memblokir komunikasi dengan teman-teman ngaji, sampai menjalin kedekatan dengan banyak laki-laki. Aku kembali diingatkan, katanya, aku nggak pantes deket-deket sama banyak cowok gitu. Apalagi posisiku sebagai seorang janda, yang tentu bisa menimbulkan banyak fitnah, dan pandangan negatif dari orang-orang sekitar.
Kembali, sisi egoisku menolak semua itu. Kenapa jika aku yang melakukan, semua serba salah? Semua serba dilarang? Kenapa saat mantan suamiku selingkuh, tidak ada yang berani menyalahkannya? Padahal sudah jelas-jelas dia menginjak-injak harga diriku dengan mengatakan bahwa dia sudah menikah dengan perempuan itu dan sudah menceraikanku. Padahal memasukkan berkas ke pengadilan saja belum. Aku merasa terhina ketika itu. Tapi apa yang dikatakan teman-temanku ketika itu? “Sabar,” katanya.
Referensi : Belajar Memaafkan Mantan Suami, Meski Sulit Menjalankan Co-Parenting Bersamanya