Tujuan hidupku untuk membahagiakan orang tuaku
Acap kali aku mendengar kalimat ini keluar dari anak-anak Indonesia, baik yang memang masih anak-anak, atau bahkan sudah menginjak usia dewasa. Kenapa aku bilang anak-anak? Karena, biar bagaimanapun juga, setua apapun kita, kita akan selalu menjadi seorang anak bagi orang tua kita.
Aku salah satu dari anak-anak itu, yang dulunya berpikiran bahwa tujuan hidupku adalah untuk membahagiaan orang tuaku. Menuruti apa yang mereka inginkan, karena dulu aku percaya mereka tahu yang terbaik. Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasa kurang tepat jika itu menjadi tujuan hidupku.
Aku tidak akan membahas dari sisi semua orang secara umum, karena keadaan dan pengalaman hidup tiap orang akan berbeda. Jadi, ini kisah dan pemikiranku. Anak tunggal perempuan berusia seperempat abad.
Tidaklah salah kalau aku ingin orang tuaku bahagia. Apapun yang terjadi, seberapa kesalnya aku dengan mereka di satu titik, mereka adalah orang yang membesarkanku, mengasihiku tanpa syarat. Dua kata terakhir barusan itu nyata, dan benar adanya, dan seharusnya memang demikian selamanya. Namun, tidak, mereka juga manusia, mereka terkadang lupa.
Terkadang mereka lupa bahwa aku adalah seorang manusia, anak mereka, yang seharusnya mereka besarkan menjadi seorang individu yang mandiri, bahagia, dan berempati. Biasanya orang tua akan menambahkan satu hal lagi disini, yaitu, sukses. Hal ini yang kerap kali membutakan orang tua, dan timbullah syarat-syarat.
Apa sih sukses? Tiap orang akan mempunyai definisi yang berbeda akan hal ini, bahkan orang tua dan anak pun bisa berbeda definisinya. Bahkan mungkin suami dan istri bisa berbeda. Keinginan untuk menjadi sukses, biasanya akan diiringi dengan ambisi. Disini, sudah mulai masuk zona bahaya.
Orang tuaku dulu mempunyai satu visi mengenai kesuksesan, dan mereka mempunyai ambisi untuk itu. Mereka berambisi aku bisa memenuhi itu, dan mereka merasa itu akan membuat mereka dan anaknya bahagia. Dari pendidikan, pekerjaan, sampai urusan jodoh. Tentu, tanpa bertanya kepadaku.
Aku mengerti kepada para orang tua yang “controlling” terhadap hidup anaknya. They think they know best. Iya, mungkin banyak hal yang kalian tahu lebih, karena pengalaman hidup kalian lebih banyak. Itulah kenapa kalian menjadi orang tua dan membimbing anak-anak kalian. Tapi bukan berarti, kalian tahu segala hal di dunia ini, ingat, kalian bukan Tuhan.
Terdengar kasar kalimat barusan? Iya memang. Tapi dalam hidup terkadang kita butuh tamparan keras seperti itu untuk sadar. Bukankah begitu?
Banyak hal di dunia ini, yang tidak bisa kalian atur. Ada kalanya dimana kalian harus menerima, bahwa hidup penuh akan ketidakpastian. Tentu kalian sudah tahu dengan pengalaman hidup kalian yang lebih banyak, bukan? Itu juga berlaku terhadap hidup anak kalian. Kita tidak akan seratus persen selalu bahagia.
Anak kalian ini, akan terluka, akan sedih, akan terpuruk, akan marah, dan itu adalah bagian dari hidup. Mungkin aku akan mengambil keputusan yang salah dalam hidup, and that’s okay. Aku harus belajar jatuh, untuk belajar bangkit sendiri. That’s how I’d learn my lesson. I will be okay.
Baik untuk mempunya visi dalam membesarkan anak, tapi tolong, jangan masukkan mimpi-mimpi yang dulunya tidak bisa kalian raih sendiri, dan menjadikan anak untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, demi kalian.
You’re a parent, before anything else. Hanya kalian yang aku tahu di dunia ini yang akan menerimaku pada saat terburukku. Dan betapa takutnya aku membuat kalian kecewa. Ya, aku tidak takut kalian marah, aku takut kalian kecewa.
Kekecewaan orang tua merupakan ketakutan terbesarku.
Dengan mengetahui itu, tolong jangan gunakan itu sebagai “alat” untuk membuatku memenuhi mimpimu.
Sebagai orang tua kalian pasti berpikir bahwa semua visi yang kalian miliki adalah untuk kebaikan anak kalian. Tapi pernahkah kalian berpikir tentang kebahagiaan anak kalian? Sudah? Lalu, pernahkah kalian menanyakan kepada anak kalian apakah dia bahagia?
Jawabannya mungkin tidak akan kalian sangka. Mungkin pada momen itu dia tidak bahagia. Tapi tenang saja, aku mengusahakan yang terbaik, berdamai dengan ambisi, dan belajar ikhlas. Hal yang anak paling butuhkan adalah penerimaan orang tuanya. Tidak ada hal yang lebih berharga bagi seorang anak, selain senyuman dan tangan terbuka orang tuanya, tanpa memperdulikan tingkat “kesuksesan” dia. Itulah, cinta tanpa syarat.
Lalu setelah paragraf-paragraf panjang ini, apa tujuan hidupku sekarang? Simpel, mencari kebahagiaan dan sebongkah berlian. Hahaha
Bercanda, aku masih dalam proses pencarian, my life is at the crossroad. I’m in a struggle, but I’m thriving. Galau, tapi bukan berarti aku diam dan menyerah terhadap kehidupan.
Referensi : Tujuan hidupku untuk membahagiakan Keluarga