Al Qur’an adalah kitab suci yang senantiasa berbicara akan sejarah, karena menunjukan pentingnya sejarah. Dengan sejarah manusia akan memahami pelajaran masa lalu dan menghindari dari keterjebakan kesalahan kaum terdahulu. Sehingga memahami sejarah adalah kekuatan kunci peradaban Islam, karena dalam setiap sejarah ada pelajaran bagi mereka yang memiliki mata hati.
Dalam ayat ini memberikan pelajaran bahwa Bani Israil adalah kaum yang senantiasa melakukan kedzaliman terhadap diri mereka sendiri, karena mereka tidak mengikuti perintah Allah SWT, bahkan kedzaliman tertinggi mereka adalah kemusyrikan yang mereka lakukan, yaitu menyembelih anak sapi.
Kemusyrikan dalam al Qur’an disebut sebagai inna syirka ladzulmun ‘adziim (sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang besar). Logikan syirik sebagai kedzaliman yang sangat besar akan selalu berlaku sampai dunia ini hancur. Ketika manusia sudah menghambakan diri kepada materi (materialisme), semuanya mereka ukur dengan materi, bahkan mereka menjadikan sesembahan yang berbentuk materi.
Kemusyrikan yang dilakukan manusia adalah bentuk penganiayaan kepada hati manusia, karena hati adalah subtansi manusia itu sendiri. Sedangkan nutrisi terbaik hati adalah tauhid, maka kemusyrikan adalah pembunuhan hati itu sendiri. Ketika hati telah mati atau rusak maka seluruh anggota tubuh manusia akan mengalami kerusakan. Ketika manusia rusak hati, fikiran dan raganya, maka dia akan melakukan kerusakan di muka bumi.
Itulah mengapa syirik menjadi dosa sangat besar dalam Islam, dan kematian dalam kemusyrikan adalah kematian tanpa ampunan, kekal dalam neraka. Akan tetapi Allah SWT membuka jalan keselamatan bagi pelaku syirik selama mereka masih hidup, yaitu menjalani pertaubatan. Taubat yang benar-benar mengakui kesyirikanya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi,serta menjalani segala perintah Allah SWT.
Konsep pertaubatan hakikatnya setiap nabi berbeda-beda, sebagaimana dalam ayat di atas syari’at taubat Nabi Musa adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Secara subtansial, hakikatnya tidak berbeda dengan pertaubatan pada syariat Nabi Muhammad saw, yaitu Taubat membutuhkan pengorbanan. Hanya pada syari’atnya saja yang ada perbedaan.
Kaum bani Israil mereka ketika menjadikan anak lembu sebagai sesembahan maka Allah SWT memerintahkan mereka untuk bertaubat, akan tetapi pertaubatan mereka akan diterima dengan mereka bunuh diri. Bunuh diri di sini banyak penafsiran, ada yang mengatakan mereka berperang satu sama lain, sehingga saling membunuh, dan yang terbunuh maka telah diterima taubatnya. Ada yang mengatakan mereka yang tidak menyembah anak lembu, diperintahkan membunuh kaum yang menyemabah anak lembu, dan masih ada beberapa pendapat lagi. Akan tetapi intinya adalah pertaubatan yang berujung pada kematian mereka.
Esensi taubat sepanjang zaman adalah pengorbanan, orang yang bertaubat hendaknya memiliki jiwa pengorbanan. Mengorbankan dirinya untuk meninggalkan segala yang mereka pernah lakukan dan bertentangan dengan syariat Allah SWT. Pertaubatan tanpa pengorbanan tidak akan diterima oleh Allah SWT.
Jika dalam hukum hudud, contoh pencuri yang telah terbukti mencuri maka dosanya akan diampuni oleh Allah SWT ketika dia telah di had sariqah (hukuman pencuri) yaitu dipotong tanganya. Atau jika dia mendapatkan permaafan maka mengembalikan apa yang telah dicuri dan membayar diyad yang ditentukan.
Saat ini sedang rame hukuman bagi koruptor, sebagai dosa yang lebih besar dari hanya sekedar pencurian biasa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Karena korupsi adalah pencurian terencana, terstruktur dan merugikan banyak manusia. Sehingga mereka disebut orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Hukumanya apakah had sariqah (hukuman pencuri) atau had al qatl (hukuman membunuh manusia) yaitu hukuman mati. Sehingga pertaubatan mereka akan benar-benar terpenuhi ketika mereka benar-benar berkorban untuk mendapatkan had tersebut. Akan tetapi ketika hudud sebagai bentuk konsekwensi pengorbanan tidak ada dalam UU di negara kita, maka mereka hendaknya melakukan pengorbanan dalam bentuk lain, sehingga seseorang tidak mudah melakukan suatu kedzaliman.
Allah SWT Maha menerima taubat, akan tetapi semuanya adalah membutuhkan sebuah syariat dan pengorbanan dalam pertaubatan. Tidak semua dosa diampuni dengan hanya istighfar, kecuali dosa-dosa kecil, akan tetapi segala bentuk dosa besar akan Allah SWT ampuni dengan taubat dan konsekwensi taubat, salah satunya hukum hudud.
Akan tetapi saat ini logika hudud dalam islam seakan menjadi logika yang tidak menarik bagi pengkajian hukum pidana, sedangkan hudud memiliki konsekwensi ampunan Allah SWT, bukan hanya konsekwensi sosial saja. Inilah yang menjadikan seorang wanita pada masa nabi yang berzina, meminta Nabi Muhammad saw untuk merajamnya, walau nabi enggan. Karena wanita sohabiah memahami bahwa rajam adalah jalan pengorbanan dalam taubatnya.
Insan profetis hendaknya membangun logika taubat ini, sehingga mereka memahami konsekwensi akan setiap dosa yang mereka lakukan, apakah dosa itu membutuhkan pengorbanan atau hanya sekedar penyesalan dan istighfar.