Yang dimaksud dalam keadaan baik dalam ayat ini, menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah suci dari kekafiran. Sakaratul maut adalah frasa yang termaktub di dalam Alquran, "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya." (QS Qaf/50: 19).
Bagi pengarang Tafsir Jalalain, sakaratul maut adalah kesusahan dan rasa sakit yang memuncak menjelang maut. Dalam sejarah, rasa sakit sakaratul maut juga dirasakan oleh Nabi. Tentu rasa sakit itu lebih besar dirasakan oleh pengikut beliau. Untuk itu Nabi mengajarkan doa, "Ya Allah, mudahkanlah bagi kami di dalam menempuh sakaratul maut." (HR Turmudzi).
Menurut Syaikh Nawawi dalam kitab Qathrul Ghaits, orang yang sedang mengalami sakaratul maut dapat melihat tempatnya di surga atau di neraka. Dalam keadaan sakaratul maut seperti ini tobat seseorang tidak lagi dapat diterima dengan dua alasan. Pertama, karena tidak ada lagi pelaksanaan perintah yang dapat dilakukan. Kedua, karena tidak ada lagi waktu ikhtiar (kesempatan).
Berberbeda dengan tobat orang yang ruhnya belum sampai di tenggorokan. Seperti sabda Nabi yang dikutip Syaikh Nawawi, "Tobat seorang hamba yang beriman diterima selama belum sampai tenggorokan."
Untuk itu, tak henti-hentinya kepada keluarga dan kolega atau siapa pun untuk mempersiapkan sakaratul maut. Caranya saling memberi nasihat untuk berbaik sangka kepada Allah. Nabi berpesan, "Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal kecuali berbaik sangka kepada Allah." (HR Muslim). Sebab Allah itu tergantung sangka kita kepada-Nya.
Agar dapat berbaik sangka kepada Allah Swt, seorang hamba bisa secara kontinu dan konsisten memohon ampun, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, dan menjalin hubungan secara horisontal kepada sesama. Orang yang berbaik sangka kepada Allah saat sakaratul maut bisa dipastikan husnul khatimah.