Meski begitu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar tidak sembarangan orang melakukan perceraian dengan mudah, dan mencoreng kesakralan sebuah pernikahan.
Tujuan disyariatkannya pernikahan dalam Islam adalah untuk mencapai sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam kehidupan berumah tangga. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
(Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja'ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn)
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21)
Namun kenyataannya, permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga banyak yang berakhir dengan perceraian dengan segala alasan.
Dalam bahasa Arab, Al-Khulu (الخُلْعُ) berarti melepas. Secara istilah adalah saat istri meminta suaminya untuk melepasnya dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
(Hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunna)
Artinya: “Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah: 187)
Untuk pengertian syari’at, para ulama mengartikan bahwa Khulu’ adalah terjadinya perpisahan (perceraian) suami-istri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran dari istri pada suami. Jumhur ulama mengatakan terdapat lima rukun Khulu‘, yakni:
Sama seperti akad, Khulu’ juga mengharuskan adanya serah terima di antara pihak-pihak yang terlibat dalam akad nikah.
Besaran iwadh tidak dipermasalahkan, baik senilai, lebih kecil, atau lebih besar dari mahar. Selain itu, iwadh bisa juga berupa barang atau uang, tunai atau hutang.
Yang penting adalah apapun yang bisa dijadikan mahar, maka boleh dijadikan tebusan Khulu’. Khulu’ termasuk dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah SWT:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
(Wa lā yaḥillu lakum an ta`khużụ mimmā ātaitumụhunna syai`an illā ay yakhāfā allā yuqīmā ḥudụdallāh, fa in khiftum allā yuqīmā ḥudụdallāhi fa lā junāḥa 'alaihimā fīmaftadat bih, tilka ḥudụdullāhi fa lā ta'tadụhā, wa may yata'adda ḥudụdallāhi fa ulā`ika humuẓ-ẓālimụn)
Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
(Fa in khiftum allā yuqīmā ḥudụdallāhi fa lā junāḥa 'alaihimā fīmaftadat bih)
Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS Al-Baqarah: 229). Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dengan mengatakan bahwasa Khulu’ ialah saat suami menceraikan istrinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami.
Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT. Ini bisa karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya.
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Khulu’ bagi istri jika dirinya membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya.
2. Haram (Dilarang)
Hal ini dapat terjadi karena dua keadaan, yakni dari sisi suami dan juga istri. Dari sisi suami, jika dirinya menyusahkan isteri dan sengaja memutus hubungan komunikasi.
Atau sengaja tidak memberikan hak-haknya agar istri membayar tebusan, maka Khulu’ dilarang dan tebusannya dikembalikan kepada istrinya.
Sedangkan status istrinya tetap seperti asalnya jika Khulu’ tidak dilakukan dengan lafazh talak. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
(Wa lā ta'ḍulụhunna litaż-habụ biba'ḍi mā ātaitumụhunna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah)
Artinya: “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (QS An-Nisa: 19)
Selanjutnya dilihat dari sisi istri jika meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan, serta tidak ada alasan syar’i maka ini dilarang. Rasulullah SAW bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَاْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Artinya: “Semua perempuan yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
3. Mustahabbah (Sunnah)
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah SWT, maka sang isteri disunnahkan melakukan Khulu’. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.
4. Wajib
Ini bisa jadi wajib karena beberapa alasan, misalnya tidak pernah salat padahal telah diingatkan. Ini juga berlaku saat suamu memiliki keyakinan dan perbuatan yang menjurus pada pemurtadan. Itulah penjelasan mengenai Khulu’ dalam Islam. Semoga terhindar dari hal tersebut dan rumah tangga yang dibangun mendapat keberkahan dari Allah SWT. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Baqarah: 229). Bukan hanya dalam Alquran, hal ini juga diperkuat dengan salah satu hadis dari Ibnu Abbas RA, yakni:
جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
Artinya: “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur.” Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?’ Ia menjawab, ‘Ya’, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah SAW memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya.” (HR Bukhari). Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Khulu’ terdapat beberapa hukum, yakni:
1. Mubah (Diperbolehkan)
Ketentuannya, istri tidak ingin lagi tinggal bersama suami karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya, dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah SWT dalam ketaatan kepadanya.
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Dalam studi UIN SMH Banten Institutional Repository Khulu’ yang dilakukan di Pengadilan Agama memungkinkan adanya catatan mengenai sebab terjadinya perceraian dan mengantisipasi kekurangan yang merugikan salah satu pihak.
Akibat hukum yang timbul karena Khulu’ ialah suami tidak memiliki hak untuk ruju’, karena talak yang jatuh adalah talak bain sughra, kecuali suami mengembalikan iwadh dan dengan akad baru, dan disaksikan orang lain.
- Pihak yang memasrahkan khulu’, yaitu suami
- Pihak yang menerima khulu’, yaitu istri
- Iwadh atau tebusan
- Perkara yang ditebus, yaitu kesenangan dari perkawinan
- Shigat atau redaksi khulu’.