Bukankah juga sebuah ironi jika kita bisa bertahan hidup ‘tenang’ di sebuah negara hukum, sementara penegak hukumnya adalah godam yang meluluhlantakkan hukum itu sendiri.
Hanya mereka yang tidak takut kepada Allah sajalah yang dengan senang hati memperjualbelikan ayat demi ayat dan pasal demi pasal untuk kepentingan tertentu.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS An-Nahl 112)
Namun, jika yangkedua yang terjadi, berkaca pada perumpamaan tadi negeri ini sungguh telah berubah menjadi negeri berlimpah bencana dan penuh kesengsaraan. Semua berlangsung seperti di luar kendali ketika rasa aman dan sejahtera telah lenyap bersama hilangnya berkah kehidupan.
Oleh karena itu, pantas jika ironi di bidang hukum, suka pula memunculkan ironi lanjutan ketika orang yang lemah berhadapan dengan hukum. Secara berkelakar ia akan ditanya terkena pasal berapa? Dengan demikian, karena jeratan pasal itu, ia harus menginap di balik jeruji.
Akan tetapi, jika yang bermasalah dengan hukum adalah orang penuh daya, banyak uang, status sosial tinggi, dekat ring kekuasaan, tanpa takut kepada Allah dengan enteng ia akan bertanya, berapa harga pasal yang dikenakan kepadanya.
Di negeri kita, hal begini sering terjadi di depan mata. Hukum telah kehilangan lubb-nya sehingga tak mengandung pesan positif yang dapat berubah menjadi keberkahan hidup. Hukum telah berubah menjadi laknat dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal amat religius, sangat menjunjung nilai-nilai ketimuran, sarat dengan keagungan adat, memiliki tingkat toleransi yang tinggi, sejatinya telah jatuh dalam sumur hukum tanpa dasar.
Jangankan memikirkan cara bagaimana keluar dari sumur itu, membayangkan kesadaran yang tersisa pun kita tak berani. Lihatlah di negeri ini, betapa institusi hukum dibuat hanya untuk dirusak. Lihatlah betapa komisi demi komisi dibuat dan badan demi badan dibentuk, tetapi korupsi terus menguatkan dirinya sendiri.
Semakin canggih perangkat penegaknya dibuat, akan semakin canggih pula baron-baron hukum menyiasatinya. ‘Senjata makan tuan,’ ‘mulutmu harimaumu,’ ‘kau yang mulai kau yang meng akhiri’, serta banyak pameo lain subur di negeri ini.
Di negara hukum inilah, pedang keadilan jamak memenggal lehernya sendiri. Berharap lahirnya tokoh ‘Judge Bao’, bak pungguk merindukan bulan. Sesuatu yang mustahil terjadi tanpa bantuan Allah.
Pada saat-saat seperti itu, seharusnya kesadaran betapa kecilnya diri ini, betapa tak kuasanya bangsa ini, dan betapa butuhnya kita akan pertolongan dari Allah, dimunculkan dalam diri. Segeralah tanamkan rasa takut kepada Allah. Karena kita sudah menyianyiakan anugerah kehidupan. Bersyukurlah kepada-Nya karena begitu banyak nikmat telah kita ingkari.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ “Dan apa saja yang ada pada kamu, maka nikmat itu datangnya dari Allah. Lalu, jika kamu disentuh oleh kemudaratan, hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (QS an-Nahl [16]: 53).
Namun, mungkinkah khosyyah kepada Allah datang di saat kita semua bermain-main dengan kehidupan? Masihkah kita menyisakan rasa khawatir akan sempitnya kehidupan di saat begitu banyak karunia Allah kita kufurkan?
Beginilah nasib hukum yang hilang keberkahannya disebabkan keadilan tak mampu menjangkau mereka yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Hukum yang rusak secara signifikan akan menyebabkan sendi kehidupan lainnya terjerembab. Lihatlah betapa berbedanya antara law (al-hukmu) dengan justice (al-’adalah).
Referensi : Perkara yang Bisa Menyebabkan Keberkahan Hidup Hilang