Satu demi satu kasus korupsi terkuak yang melibatkan para penyelenggara di semua sektor ketatanegaraan; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berdasarkan data perkara yang ditangani KPK, penyuapan merupakan jenis tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi dengan 168 perkara, diikuti pengadaan barang dan jasa dengan 115 perkara dan penyalahgunaan anggaran dengan 38 perkara.
Bila dicermati, tren perkara penyuapan sejak 2007 cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jumlahnya meningkat secara signifikan sejak 2010-2013 dengan 19 perkara, 25 perkara, 34 perkara dan 50 perkara pada 2013. Hal ini berbanding terbalik dengan pengadaan barang dan jasa, yang justru cenderung menurun.
Modus penyuapan pun kian beragam. Dari sejumlah kasus suap yang melibatkan penyelenggara negara, pengusaha, dan politikus, kebanyakan melakukan transaksi suap di luar negeri untuk mengakali kewenangan KPK yang tak bisa menangkap tangan pelaku kejahatan tersebut di luar negeri.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut modus lain, yakni dengan menaruh uang suap di mobil yang di parkir di sebuah tempat. “Nanti ada orang lain yang mengambil mobil beserta uang suap itu,” katanya beberapa waktu lalu.
Modus transaksi tunai ini memang dilakukan para penjahat kerah putih, karena tidak mungkin lagi melakukan secara transfer bank. Sebab, dengan mudah, KPK yang sudah bekerja sama dengan PPATK mengendus modus seperti ini.
Selain itu, ada cara lain yang dilakukan untuk mempermudah proses transaksi suap berlangsung, yakni penggunaan mata uang asing. Pecahan mata uang asing, sepeti dolar Amerika dan dolar Singapura dalam nilai besar, kata Bambang, dimaksudkan untuk menyiasati uang suap yang jumlahnya juga besar. “Jadi kalau suap miliaran, bisa dengan beberapa gepok uang dolar saja,” katanya.
Bila mencermati kasus korupsi yang terungkap, modus suap juga dilakukan dengan komunikasi simbol untuk menyamarkan aksi penyuapan. Belakangan, ini bisa dilihat dari sebuah kasus suap penegak hukum yang menggunakan simbol “emas 3 ton” untuk menyamarkan maksud uang suap 3 miliar rupiah untuk memenangkan sengketa sebuah pemilihan kepala daerah.
Sebetulnya, penggunaan bahasa simbol yang bermakna konotatif ini sudah digunakan pada sejumlah kasus sebelumnya. Misalnya, penggantian istilah uang dengan “apel”. Apel Washington untuk merujuk kepada dolar AS, dan apel Malang untuk uang rupiah. Tak hanya istilah apel dan emas, dalam kasus lainnya, uang juga diistilahkan dengan “pelumas”.
Tak hanya istilah uang, tetapi juga pihak yang menerima juga disamarkan. Dalam kasus lainnya, istilah “Kiai”, “Ustadz” dan “Pesantren” juga pernah digunakan. Istilah ini merupakan sandi bagi para penerima dana hasil proyek. Kiai merujuk pada para politikus di Senayan, ustadz untuk para pejabat di Kementerian Agama, sedangkan pesantren untuk partai politik.
Bila dicermati, tren perkara penyuapan sejak 2007 cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jumlahnya meningkat secara signifikan sejak 2010-2013 dengan 19 perkara, 25 perkara, 34 perkara dan 50 perkara pada 2013. Hal ini berbanding terbalik dengan pengadaan barang dan jasa, yang justru cenderung menurun.
Modus penyuapan pun kian beragam. Dari sejumlah kasus suap yang melibatkan penyelenggara negara, pengusaha, dan politikus, kebanyakan melakukan transaksi suap di luar negeri untuk mengakali kewenangan KPK yang tak bisa menangkap tangan pelaku kejahatan tersebut di luar negeri.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut modus lain, yakni dengan menaruh uang suap di mobil yang di parkir di sebuah tempat. “Nanti ada orang lain yang mengambil mobil beserta uang suap itu,” katanya beberapa waktu lalu.
Modus transaksi tunai ini memang dilakukan para penjahat kerah putih, karena tidak mungkin lagi melakukan secara transfer bank. Sebab, dengan mudah, KPK yang sudah bekerja sama dengan PPATK mengendus modus seperti ini.
Selain itu, ada cara lain yang dilakukan untuk mempermudah proses transaksi suap berlangsung, yakni penggunaan mata uang asing. Pecahan mata uang asing, sepeti dolar Amerika dan dolar Singapura dalam nilai besar, kata Bambang, dimaksudkan untuk menyiasati uang suap yang jumlahnya juga besar. “Jadi kalau suap miliaran, bisa dengan beberapa gepok uang dolar saja,” katanya.
Bila mencermati kasus korupsi yang terungkap, modus suap juga dilakukan dengan komunikasi simbol untuk menyamarkan aksi penyuapan. Belakangan, ini bisa dilihat dari sebuah kasus suap penegak hukum yang menggunakan simbol “emas 3 ton” untuk menyamarkan maksud uang suap 3 miliar rupiah untuk memenangkan sengketa sebuah pemilihan kepala daerah.
Sebetulnya, penggunaan bahasa simbol yang bermakna konotatif ini sudah digunakan pada sejumlah kasus sebelumnya. Misalnya, penggantian istilah uang dengan “apel”. Apel Washington untuk merujuk kepada dolar AS, dan apel Malang untuk uang rupiah. Tak hanya istilah apel dan emas, dalam kasus lainnya, uang juga diistilahkan dengan “pelumas”.
Tak hanya istilah uang, tetapi juga pihak yang menerima juga disamarkan. Dalam kasus lainnya, istilah “Kiai”, “Ustadz” dan “Pesantren” juga pernah digunakan. Istilah ini merupakan sandi bagi para penerima dana hasil proyek. Kiai merujuk pada para politikus di Senayan, ustadz untuk para pejabat di Kementerian Agama, sedangkan pesantren untuk partai politik.