Bebauan khas sawit bercampur lembabnya aroma lembah menyeruak kuat ke udara. Sinyal gawai timbul tenggelam dari dua bar 4G, E, hingga ketiadaan akses sama sekali. Jalanan sempit, dataran kecokelatan bergelombang, taburan kerikil bebatuan, dan juga lubang-lubang dengan air yang tergenang.
Membutuhkan lebih dari 5 kilometer jarak tempuh menggunakan kendaraan pribadi dengan kondisi jalan demikian jika bertolak dari titik bekas jalur kereta api di Simpang Semadam hingga tiba di Stasiun Restorasi Kawasan Hutan Tenggulun, Aceh Tamiang.
Jika di sepanjang perjalanan sebelumnya pohon pohon sawit berjejer tegap, di lokasi hutan lindung tersebut pepohonan sawit justru telah tumbang, membusuk, tergantikan beragam tumbuhan lainnya: gaharu, durian, cempedak, damar, petai, dan berbagai jenis tanaman keras hutan. Keberagaman tumbuhan di lokasi restorasi tak hanya terlihat menawan, tetapi juga menawarkan udara yang jauh lebih segar.
Banjir tetap terjadi, tetapi intensitasnya berkurang,” jelas Amran, Ketua Poktan Tukul Lestari. Dia tambahkan, tahun 2019 dan 2021 muncul dua poktan lainnya, Sungai Rambe dan Mudah Sepakat, sehingga luas hutan kelola masyarakat kini mencapai 509 ha.
Staf Lapangan Forum Konservasi Leuser (FKL) yang telah menetap di Desa Tenggulun sejak tahun 1977 ini menuturkan bahwa restorasi menargetkan 60 persen tanaman produktif dan 40 % tanaman keras.
Menurutnya, sekitar 30 perwakilan negara dunia pernah singgah ke lokasi restorasi, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Belanda, dan Australia.
Amran memaparkan bahwa kawasan restorasi juga berfungsi sebagai pusat studi dan penelitian keanekaragaman hayati.
Tergeraknya masyarakat Aceh Tamiang, termasuk Tenggulun, untuk memakmurkan kawasan restorasi tidak terlepas dari pengalaman pahit akan banjir bandang yang pernah menimpa mereka tahun 2006.
Doles, salah seorang warga Tenggulun, yang berpindah haluan dari seorang “preman sawit” menjadi pejuang restorasi lingkungan mengisahkan bagaimana kesadaran akan pentingnya penjagaan lingkungan hidup membuat hatinya tergerak untuk peduli dan berhenti melakukan aktivitas yang dapat merusak alam dalam jangka panjang. “Saat keluar dari ‘lingkaran setan’ memang sulit. Ada banyak ancaman, termasuk ancaman nyawa.
Namun, kalau niat kita tulus untuk memperjuangkan kebenaran, maka semua akan Allah mudahkan,” tuturnya. “Awal mula masyarakat melakukan restorasi seluas 232 hektare dengan melibatkan tiga kelompok tani (poktan) hutan: Tukul Lestari, Subur Lestari, dan Karya Bersama.
Doles menceritakan bagaimana transisi hidup yang terjadi padanya dari seorang yang hanya terpicu dengan uang dan tak ambil pusing akan keselamatan lingkungan, menjadi sosok yang sangat cinta akan kelestarian alam. Hati yang telah tersentuh kesadaran dan wawasan yang semakin terbuka membuatnya paham bahwa harta sesungguhnya yang dimiliki masyarakat Tamiang bukanlah puluhan juta rupiah yang dikantongi, melainkan keberadaan keseimbangan kawasan hutan dengan keanekaragamannya yang asri. “Dulu, saat menjadi ‘preman sawit’, uang saya banyak, tetapi saya seperti gembel.
Uangnya habis begitu saja, tidak berkah. Kini, saya sadar dan menjadi sangat cinta untuk menjaga serta merestorasi kawasan hutan. Terkadang, kalau ingat betapa saya dulu tidak peduli terhadap alam, saya merasa begitu emosional,” kisah staf Stasiun Restorasi Kawasan Hutan Tenggulun ini.
Bahasa cinta konservasionis
Perjalanan mengelilingi Aceh Tamiang sejak 1-4 Agustus 2022 tersebut mempertemukan saya tidak hanya dengan kelompok tani, staf restorasi, dan warga desa, tetapi juga dengan para konservasionis, yaitu orang-orang yang hatinya telah terpaut untuk menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan hidup.
“Jika dilihat dari sisi ekonomi ekologi, kita butuh memahami efek jangka panjang suatu siklus kehidupan.
Sawit memang memberi penghidupan, tetapi apakah efek jangka panjang dari kerusakan yang ditimbulkannya itu setimpal?” tutur Farwiza Farhan, chairperson HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh) saat kami menghabiskan waktu menyantap hidangan makan siang bersama di kawasan restorasi Tenggulun.
Wiza, panggilan akrab sang eco-activist ini, menilai bahwa idealnya, setengah dari isi bumi ini seharusnya dikonservasi.Adapun Rubama, Program Officer HAkA, menjelaskan bahwa pada dasarnya konservasi hutan terbagi dalam tiga hal, yaitu perlindungam, pemanfaatan, dan pengawetan. Sang advokat komunitas Provinsi Aceh ini menjelaskan bentuk pengawetan hutan bisa melalui ilmu pengetahuan yang didukung oleh kehadiran stasiun riset atau kembali membudidayakan tanaman-tanaman yang mulai langka.
“Jadi, bukan dengan mengawetkan kayu di hutan ya,” tegasnya. Adapun bentuk pemanfaatan bidang konservasi, jelas sang penggagas desa wisata di Gampong Nusa, Aceh Besar, ini dilakukan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), sektor jasa lingkungan, pengelolaan tata air, dan juga ekowisata yang dapat menggerakkan ekonomi masyarakat. Dia juga memaparkan bahwa restorasi biasanya dilakukan pada lahan yang sudah pernah rusak yang kemudian dikembalikan lagi fungsinya sebagai hutan lindung.
“Restorasi itu berarti mengembalikan fungsi, bisa dengan menanam, merawat, dan memanfaatkan.
Restorasi itu bagian dari konservasi, spesifikasinya masuk bagian pengawetan dan perlindungan,” tuturnya.
Rubama menjelaskan, kawasan hutan lindung (KHL) memiliki fungsi-fungsi lindung, semisal untuk menyimpan sumber mata air. Dia tambahkan, hutan lindung juga berfungsi sebagai rumah satwa. Satwa berperan penting dalam proses penyerbukan hutan secara alami untuk mendukung keseimbangan keanekaragaman hayati.
“Yang terpenting, hutan lindung berfungsi sebagai sumber-sumber kehidupan manusia. Ada air, tanaman obat, patahan ranting untuk kayu bakar, dan sebagainya. Hutan lindung juga penting untuk mitigasi dan adaptasi bencana,” jelas Rubama.
Ru, panggilan akrabnya, melihat tidak ada larangan memanfaatkan hutan selama tidak berlebihan dan tidak menyalahi aturan keseimbangan fungsi alam dan lingkungan hidup.
Menurutnya, tidak ada yang salah dengan sawit selama penanamannya diselang dengan pepohonan lain seperti durian dan petai.
Dia menilai hutan tidak boleh ditanami satu jenis pohon saja (homogen). Pernyataan tersebut disepakati Doles. Dia bercermin pada pengalamannya sendiri. Menurutnya, Tuhan membuat kebutuhan manusia itu tidak banyak, tetapi ketika manusia menuruti hal yang melebihi kebutuhan, maka di situlah muncul ketidakberkahan. “Buah naga, buah semangka. Hutan terjaga, masyarakat sejahtera,” tutupnya sembari berpantun.
Referensi : Penyebab Penyesalan Selalu Datang Terlambat