Ada sejumlah hadits yang salah dipahami oleh sebagian Muslim. Misal, hadits tentang sujud kepada suami. Rasulullah bersabda, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang sujud kepada seorang niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya,” (HR Tirmidzi).
Hadits tersebut disalapahami beberapa orang sehingga muncul pemikiran istri sepenuhnya patuh kepada suaminya. Kepatuhan ini menjadikan kepribadiannya lebur pada kepribadian suaminya dan tidak lagi memiliki hak untuk menolak atau membantah. Quraish Shihab mengatakan dalam bukunya berjudul Islam yang Disalahpahami, maksud Rasulullah bukanlah seperti itu saat mengucapkannya. Untuk memahami maksud dengan baik dari suatu hadits, kata dia diperlukan pengetahuan tentang konteks atau yang diistilahkan ulama hadits, yaitu asbâb al-wurûd. Selain perlu memahami kosakata yang digunakan Rasulullah, perlu juga dilihat bagaimana secara umum tuntunan Islam menyangkut tema yang berkaitan dengan kandungan uraian hadits.
Quraish Shihab menjelaskan dari sisi asbâb al-wurûd (konteks) hadits tersebut diriwayatkan bahwa sahabat Rasulullah, Mu’adz bin Jabal r.a. saat kembali dari Syam dan menghadap beliau, sang sahabat bersujud kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apa ini wahai Mu’adz?”. Lalu Mu’adz menjawab, “Aku baru saja kembali dari Syam dan aku melihat mereka sujud kepada para rahib dan pendeta-pendetanya. Maka aku pun ingin melakukannya untukmu.” Di sinilah Rasulullah melarang untuk melakukan hal serupa sambil berkata, “Janganlah lakukan itu. Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada suaminya,” (HR Tirmidzi dan al-Hakim).
Dari konteks tersebut terlihat alasan pengucapan Rasulullah yang intinya adalah keinginan seorang sahabat beliau untuk sujud sebagai bentuk penghormatan. Namun, beliau melarangnya sambil menekankan tidak ada yang boleh sujud kepada manusia, siapa pun dia dan kendati dia menganugerahkan banyak persembahan.
Sementara dari segi redaksi, terbaca Rasulullah menggunakan kata law yang dalam bahasa Arab digunakan untuk makna perandaian yang mustahil terjadi. Sehingga ini bermakna bahwa sejak awal Rasulullah telah memustahilkan melakukan perintah itu. Beliau dari awal enggan memerintahkan seseorang, siapa pun dia untuk sujud kepada siapa pun selain Allah. Dia mencontohkan dengan istri. Timbul pertanyaan, lantas mengapa istri yang dijadikan contoh?
Menurut Quraish Shihab, hal itu disebabkan adanya keaneka ragam dan banyaknya kewajiban suami terhadap istri. Kewajiban yang harus dilakukan atas dasar pemenuhannya, istri hendaknya juga melakukan kewajiban.
Perlu diingat, beberapa kewajiban suami yang harus dipenuhi dalam kehidupan rumah tangga antara lain, pertama, berkewajiban memberi nafkah lahir dan batin untuk istri dan anak-anak. Walaupun sang istri sudah kaya raya. Kedua, wajib sabar menghadapi istri dan selalu bermusyawarah dengannya. Ketiga, suami diingatkan Alquran untuk menahan diri terhadap gangguan istrinya. Bahkan mempertahankan kehidupan rumah tangganya kendati ada sifat-sifat atau penampilan istri yang tidak berkenan di hatinya. Keempat, suami membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga.
Semua kewajiban itu terlihat betapa banyak kewajiban yang ditetapkan agama atas suami terhadap istrinya, sehingga wajar jika Rasulullah mengangkat contoh “istri” untuk menekankan bahwa betapa pun banyak persembahan yang diterima seseorang dari orang lain, maka itu bukan menjadi alasan yang membuatnya sujud kepada yang mempersembahkannya.
Referensi : Penjelasan Quraish Shihab Soal Hadits Istri Sujud ke Suami