Jumat, 16 September 2022

Nasihat Nabi Muhammad untuk Suami-Istri Agar Bahagia

Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.  Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)      Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).    Referensi : Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at  Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 15 Agustus 2021 - 05:00 WIB oleh Widaningsih dengan judul "Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at". Untuk selengkapnya kunjungi: https://kalam.sindonews.com/read/511080/72/kewajiban-utama-suami-dalam-islam-mendidik-istrinya-dalam-ilmu-syariat-1628950129  Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan download aplikasi SINDOnews. - Android: https://sin.do/u/android - iOS: https://sin.do/u/ios, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.    Referensi : Nasihat Nabi Muhammad untuk Suami-Istri Agar Bahagia, Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at  Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 15 Agustus 2021 - 05:00 WIB oleh Widaningsih dengan judul "Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at". Untuk selengkapnya kunjungi: https://kalam.sindonews.com/read/511080/72/kewajiban-utama-suami-dalam-islam-mendidik-istrinya-dalam-ilmu-syariat-1628950129  Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan download aplikasi SINDOnews. - Android: https://sin.do/u/android - iOS: https://sin.do/u/ios, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.

Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".

Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".

Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.

Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).

Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.

Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.  Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)      Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).    Referensi : Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at, Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.

Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.

Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.

Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.

Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.

Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.  Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)      Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).    Referensi : Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.

Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.

Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama. 

Bolehkah memukul?

Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?

Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.

Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.  Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)      Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).    Referensi : Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.

Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.

Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.

Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.  Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at. Dalam Islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.   Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain). Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) Baca juga: 2 Perempuan Beriman yang Bisa Jadi Contoh di Masa Kini Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,   ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ   “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَعَلِّمُوهُمْ   “Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis . Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.   Subuh Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.   Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,   وَمُرُوهُمْ   “Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.   Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,  views: 4.218 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا   “Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha : 132)” (Kitab Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).   Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.  Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan   فَأَقِيمُوا فِيهِمْ   “Tinggallah di tengah-tengah mereka.” Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya.  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)  Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).  Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata : “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ   “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim : 6)      Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz). Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz).    Referensi : Kewajiban Utama Suami dalam Islam : Mendidik Istrinya dalam Ilmu Syari'at, Islam adalah agama nasehat. Ada banyak dalil yang mengungkapkan bagaimana keutamaan memberi nasehat dan berbagi ilmu kepada orang lain. Namun, sering kali saat seseorang diberi nasehat, orang tersebut jadi merasa tersinggung. Lalu, apakah memberi nasehat itu buruk?  Pada dasarnya, setiap orang memang berhak mendapatkan nasehat. Akan tetapi, memberikan nasehat juga tidak bisa sembarangan. Ada etika – etika memberi nasehat yang perlu diperhatikan. Dengan begitu, nasehat yang disampaikan bisa sampai dan diterima dengan baik oleh orang lain. Berikut ini adalah beberapa etika memberi nasehat yang perlu diketahui oleh setiap orang.  1. Niat Memberi Nasehat Harus Ikhlas Sebelum memberi nasehat, Anda harus meyakini dengan pasti bahwa niat memberi nasehat dilakukan dengan niat yang ikhlas. Sama seperti kebaikan lainnya, memberi nasehat juga merupakan sebagian dari ibadah. Karena itu, setiap ibadah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas agar bisa mendapatkan pahala dari Allah.  2. Menasehati Dengan Cara yang Benar Pemberian nasehat juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan syariat dan kemampuan orang yang memberi nasehat. Dalam hadits riwayat Muslim disampaikan bahwa ada tiga tingkatan memberi nasehat. Yaitu dengan menggunakan tangan, menggunakan lisan, dan menggunakan hati.  Akan tetapi, memberi nasehat juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jika seseorang tidak mampu memberikan nasehat dengan menggunakan tangan, maka ia bisa dan bahkan harus menyampaikannya dengan lisan. Memberikan nasehat melampaui kemampuan yang dimiliki bisa mendatangkan mudharat dan kesulitan bagi pemberi nasehat.  3. Menggunakan Kata – Kata yang Baik Nasehat juga harus disampaikan dengan kata – kata yang baik. Bahkan, dalam surat Thaha ayat 44, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Sedangkan kita bukan seorang Nabi, dan orang yang kita beri nasehat bukanlah Firaun yang keras kepala, dzalim, dan merasa Tuhan. Karena itu, nasehat yang diberikan haruslah menggunakan kata – kata yang baik.  4. Tabayyun Sebelum Memberi Nasehat Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memberikan nasehat adalah memastikan kebenaran berita yang kita ketahui. Nasehat yang dilakukan dengan dasar berita yang simpang siur tidak akan memberikan manfaat. Bahkan bisa jadi malah membuat orang yang diberi nasehat menjadi sedih dan kecewa.  5. Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang yang Dinasehati Salah satu etika seorang muslim kepada muslim lainnya adalah berusaha berprasangka baik dan terus mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik. Sedangkan menjadi salah satu ciri orang munafik adalah mencari – cari kesalahan orang lain.  6. Jangan Memaksakan Agar Nasehat Diterima Orang yang menasehati orang dan memaksakan nasehatnya diterima bisa disebut sebagai orang yang zhalim. Karena niat memberi nasehatnya adalah untuk ditaatim bukan untuk menunaikan amanah persaudaraan antar sesame muslim.  Nasehat adalah sebuah ibadah. Dan meskipun orang yang diberi nasehat tidak menerima nasehat tersebut, maka orang yang mendapatkan nasehat akan tetap mendapatkan pahala dari Allah.  7. Tidak Menasehati di Depan Umum Islam menjaga dengan baik kehormatan seseorang. Karena itu, sudah sewajarnya umat Islam menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya. Memberi nasehat kepada seseorang di depan umum bukanlah sebuah nasehat.  Bahkan Imam Syafi’I mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah sebuah bentuk pelecehan kepada orang lain. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan bahwa nasehat di depan umum adalah bentuk mempermalukan orang lain. Nasehat seharusnya dilakukan secara rahasia dan empat mata.  8. Jangan Melakukan Tahrisy Tahrisy adalah sikap memancing pertengkaran atau provokasi. Tahrisy juga disebut sebagai bagian dari namimah atau adu domba. Dan adu domba termasuk ke dalam dosa besar. Karena itu, nasehat seharusnya dilakukan dengan cara – cara yang baik dan tidak berupa provokasi yang memancing permusuhan sesame muslim.  Nasehat seringkali disebut sebagai obat yang perih. Karena itu, memberi nasehat harus memperhatikan etika memberi nasehat yang baik. Sehingga, meskipun masih terasa perih bagi yang menerima, tapi rasa perihnya bisa diminimalisir sehingga nasehat bisa lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan., Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan. Dalam pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk itu terdapat beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suami kepada istri berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW.  Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".  Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".  Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.  Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).  Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.  Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.  Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.  Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.  Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.  Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.  Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.   Bolehkah memukul?  Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?  Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.  Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.  Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.  Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.

Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.


Referensi : Nasihat Nabi Muhammad untuk Suami-Istri Agar Bahagia