Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim, dari ayah, dari kakek: "Qultu ya Rasulallahi nisauna maa na'ti minhunna wa maa nadzaru qala: a'ti hartsaka anna syi'ta wa ath'imha idza thaimta waksuha izaktasayta wa la tuqabbihil-wajha wa la tadhrib,".
Yang artinya: "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami apa yang wajib kami lakukan dan yang harus kami tinggalkan? Nabi pun menjawab: kamu boleh bersenggama dengannya sesuai selera kamu, berilah ia pakaian ketika kamu bisa berpakaian, dan janganlah mengolok-olok mukanya dan jangan memukul,".
Hadis dari Bahz bin Hakim adalah teks lain yang menegaskan bahwa suami yang baik, shalih, dan bertanggung jawab adalah yang tidak melecehkan. Lelaki atau suami yang baik adalah mereka yang tidak menistakan ataupun memukul istrinya.
Suami mempunyai hak berhubungan intim dengan istri sesuai dengan keinginannya. Namun demikian, suami tetap harus mematuhi ajaran syariat dalam melakukan hubungan intim. Misalnya dijelaskan, hubungan intim tidak boleh dilakukan melalui anus atau pada saat istri sedang mengalami menstruasi (haid).
Hak tersebut kemudian diimbangi dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta komitmen suami untuk tidak berperilaku buruk kepada istri. Suami juga dilarang merendahkan apalagi memukul istri, hal ini dalam syariat jelas dilarang sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekali pun memukul istri-istrinya.
Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman: "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,". Yang artinya: "Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,". Deskripsi ayat tersebut merupakan penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah-tangga.
Terutama kesalingan untuk mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, menyenangkan, dan membahagiakan antara satu dengan yang lain. Dengan prinsip ini, teks hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas bisa dipahami sebagai timbal-balik (mubadalah). Yakni, istri pun berhak memperoleh layanan hubungan intim sesuai seleranya dari suami.
Konteks melayani tak hanya diartikan sebagai bentuk pelayanan dari istri kepada suami semata. Suami pun harus berlaku demikian sebagaimana yang diamanatkan Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 187 tadi.
Tak hanya itu, istri pun bisa berkontribusi untuk kecukupan sandang dan pangan. Baik untuk suami dan keluarga jika si istri mampu melakukannya. Istri juga harus berkomitmen tidak melakukan pelecehan, penghinaan, dan segala tindak kekerasan.
Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi pondasi untuk memenuhi cita-cita Alquran mengenai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Atau rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.
Dalam ungkapan lain sering disebut sebagai rumah tangga surgawi (baiti jannati). Yakni rumah tangga yang merupakan dambaan setiap pasangan, sebab rumah tangga itu terdiri dari pondasi yang kokoh yang terdapat prinsip kesalingan dan kerja sama.
Bolehkah memukul?
Mendidik istri merupakan salah satu tugas suami dalam agama. Tak hanya suami, istri pun memiliki kewajiban yang serupa dalam kadar yang berbeda untuk dapat mendidik suami. Lantas, bolehkan dalam mendidik satu sama lain menggunakan pukulan?
Berdasarkan buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qadir dijelaskan, suatu ketika Rasulullah pernah didatangi seorang sahabat bernama Laqith bin Sabrah. Laqith mengadukan kepada Rasulullah mengenai perilaku istrinya yang lisannya kasar dan menyakitkan saat berbicara. Dalam kondisi seperti itu pun, Rasulullah SAW menasehati Laqith untuk tidak mendidik istrinya dengan memukul.
Rasulullah bersabda: "Izh-ha, fa in yaku fiha khairun fasataf'alu wa la tadhrib zhainataka kadharbika umayyataka,". Yang artinya: "Nasihatilah dia (istrimu, wahai Laqith), kalau dia baik dia pasti berubah. Tetapi janganlah kamu memukulnya sebagaimana kamu memukul hamba sahaya.
Ustaz Faqihuddin menjelaskan, dalam mendidik hal yang paling diutamakan oleh Rasulullah adalah dengan sikap sabar. Tak pernah sekali pun Nabi memberikan rekomendasi bagi umatnya untuk memukul dalam melakukan pendidikan. Bahkan disebutkan, berpisah (bercerai) lebih baik kadarnya ketimbang melakukan tindakan kekerasan.
Sebab Nabi kerap menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Baik atas nama mendidik, mendisiplinkan, apalagi atas nama cinta dan kasih. Bagi setiap orang beriman, tentu saja kekerasan dalam rumah tangga sangatlah dihindari dan ditinggalkan.
Referensi : Nasihat Nabi Muhammad untuk Suami-Istri Agar Bahagia