Setelah menikah selama tujuh tahun, Sophie Turner dan suaminya mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan. Sebelum virus corona menyebar ke seluruh penjuru dunia, pasangan itu tidak pernah membahas kemungkinan terburuk dari rumah tangga mereka. Namun selama pandemi, hubungan mereka memburuk."Saya menjadi lebih tertekan dan situasi buruk itu terus memuncak. Kami akhirnya memutuskan, barangkali, untuk menjalani percobaan 'pisah ranjang'," ujar Sophie yang bekerja di pusat layanan sosial khusus anak di Suffolk, Inggris."Dengan cepat kami menyadari bahwa perpisahan ini akan berlangsung selamanya," ucapnya.Situasi yang dihadapi Sophie dan suaminya merupakan hal yang dihadapi banyak rumah tangga selama pandemi. Permohonan perceraian di Inggris dan di berbagai negara lainnya melonjak.
'Virus corona mengakhiri pernikahan kami': Cerita pasangan yang cerai akibat stres karena pandemi.'Ratusan kasus pernikahan anak terjadi selama pandemi', orang tua 'menyesal sekali' dan berharap 'anak kembali sekolah' Virus corona dan hubungan seks: Apa saja yang perlu Anda ketahui di tengah pandemi.
Firma hukum di Inggris, Stewarts, memasukkan 12% lebih banyak dokumen permohonan perceraian selama Juli hingga Oktober tahun ini, ketimbang periode yang sama pada 2019.Badan amal yang memberikan bantuan hukum serta konseling urusan domestik, Citizens Advice, juga menyebut bahwa permintaan konsultasi terkait perceraian meningkat.
Di Amerika Serikat, situs penyedia jasa pembuatan kontrak hukum menyatakan pendapatan mereka dari dokumen perceraian naik hingga 34%. Pasangan yang baru menikah dalam lima bulan terakhir menyumbang 20% di antaranya.Tren yang sama juga terjadi di China, salah satu negara yang memberlakukan karantina wilayah paling ketat di dunia.Di Swedia, di mana penanganan Covid-19 diserahkan secara swadaya kepada warganya, tren perceraian ini juga melonjak.
Pandemi yang berdampak buruk pada rumah tangga merupakan bukan berita baru. Namun para pengacara, psikolog, dan akademisi mulai mendapat pemahaman yang lebih jelas tentang berbagai faktor di balik tren ini.Mereka memprediksi peningkatan perceraian akan terus terjadi tahun 2021.Perceraian akibat persoalan yang muncul selama pandemi Covid-19 dialami Richard Cunha Schmidt, dan Rafaela Carolina Ferreira. Pasangan yang tinggal di Brasil ini bercerai November lalu.
Di firma hukum Stewarts, pengacara Carly Kinch menggambarkan pandemi sebagai "badai yang sempurna" untuk pasangan suami-istri. Karantina wilayah dan prinsip jarak sosial memaksa banyak pasangan menghabiskan lebih banyak waktu bersama.
Situasi ini, menurut Kinch, dalam banyak kasus menjadi katalisator perceraian yang barangkali sudah pernah dipertimbangkan suami-istri itu. Faktor ini sangat vital, terutama jika kesibukan sehari-hari sebelumnya mereka gunakan untuk menutupi masalah.
"Menurut saya, penyebab orang-orang bercerai sudah berubah. Anda selalu memiliki alasan umum bahwa 'saya tidak senang dengan hal ini atau itu di rumah'. Tapi saya pikir itu membuat urusan rumah tangga menjadi persoalan yang jauh lebih besar daripada yang seharusnya. "
Firma hukum yang dipimpin Kinch tidak terkejut melihat lonjakan permohonan perceraian setelah 'lockdown' skala nasional pertama di Inggris berakhir. Perceraian, menurut riset mereka, biasanya meningkat setelah sebuah keluarga menghabiskan waktu lebih lama bersama, seperti selama liburan sekolah atau liburan Natal. "Karantina wilayah pada dasarnya seperti periode yang berkepanjangan, tapi dengan tekanan tambahan yang sangat besar," kata Kinch.
Namun tren berbeda yang terjadi pada pandemi ini adalah peningkatan signifikan jumlah perempuan yang memulai perceraian. Sekitar 76% kasus perceraian baru diajukan perempuan. Sebagai perbandingan, tahun 2019 persentasenya 60%.
Kinch yakin tren ini berkaitan dengan temuan banyak penelitian tentang orang tua yang bekerja selama pandemi Covid-19, bahwa pembagian tugas rumah tangga yang tidak proporsional menjatuhkan beban pekerjaan rumah dan pengasuhan anak kepada perempuan.
Situasi itu terjadi bahkan pada pasangan heteroseksual di mana pasangan laki-laki juga bekerja dari rumah.
"Saya pikir beberapa orang menjalani lockdown sambil berpikir 'Oh, bukankah ini akan menyenangkan! Kami akan menghabiskan banyak waktu berkualitas bersama.'
"'Pasangan saya, yang biasanya bekerja di pusat kota atau menghabiskan waktu untuk perjalanan kantor rumah akan berada di rumah dan dia akan memberikan lebih banyak bantuan.'
"Menurut saya, kenyataan yang dihadapi banyak orang sangat jauh dari itu," kata Kinch.Sophie Turner menyebut keputusan untuk berpisah dengan pasangannya diambil secara bersama. Setelahnya pun, kata mereka, dia tetap berteman dengan mantan pasangannya.Bagi Sophie dan bekas suaminya, pemicunya perpisahan itu adalah kesepakatan untuk tidur di kamar terpisah demi mengurangi risiko infeksi. Alasannya, Sophie memiliki penyakit bawaan.
Menurut Sophie, kesepakatan itu tidak terlalu memengaruhi kualitas hubungan mereka. Tapi seperti banyak perpisahan selama pandemi, mereka juga dirundung masalah komunikasi."Kami saling membuat marah dan tidak benar-benar berbicara dengan benar," ujarnya.Bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga Sophie--menemani putranya mengikuti pelajaran dari rumah dan menjaga anak-anak kerabat--juga menyebabkan perselisihan.
Sophie berkata, mantan suaminya tak bisa menerima situasi saat perhatiannya tertuju ke banyak hal lain.Sebaliknya, Sophie berjuang memahami mantan suaminya yang meninggalkan rumah untuk bertemu kawan-kawan kantor. Padahal, kata Sophie, dia terjebak di rumah.
Bagi pasangan lain, bertambahnya masalah kesehatan mental yang terkait pandemi berperan dalam putusnya hubungan mereka.Ketika Marie, seorang editor berusia 43 tahun di Amsterdam, Belanda, terjangkit Covid-19 pada bulan Maret, dia cemas pasangannya akan 'lepas kendali'."Saya harus menangani semuanya saat kami menjalani isolasi selama hampir sebulan. Itu benar-benar melelahkan," kata Marie.
Marie adalah salah satu orang yang cukup lama terjangkit Covid-19. Juli lalu dia masih kesulitan mengatur waktu untuk bekerja paruh waktu dan menjaga anak mereka yang berusia empat tahun.
"Sayangnya, hubungan kami menuntut terlalu banyak usaha dari pihak saya, baik secara emosional, mental dan fisik. Akhirnya saya meminta berpisah. Rasanya seperti masalah hidup atau mati," ujar Marie.
Namun para pakar pernikahan yakin, pasangan yang tidak menghadapi masalah sebelum pandemi dan menghindari perubahan besar dalam kesehatan atau dinamika rumah tangga juga rentan bercerai.
Tren ini terjadi karena pandemi menghilangkan rutinitas yang menawarkan kenyamanan, stabilitas, dan ritme, kata Ronen Stilman, psikoterapis sekaligus juru bicara Dewan Psikoterapi Inggris.Ketiadaan rutinitas itu membuat pasangan memiliki kesempatan terbatas untuk "mencari bentuk dukungan atau stimulasi lain" di luar hubungan mereka.
"Semakin banyak orang menemukan diri mereka sedang terjebak dalam situasi di mana mereka berjuang mengatasi apa yang terjadi pada diri mereka maupun dengan pasangan mereka," ujar Stilman.
"Seperti panci presto yang tidak membiarkan tekanan keluar, tutupnya pada akhirnya bisa terlepas dan hubungan pasangan itu rusak," tuturnya.Situasi itu dialami Nora, warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Stockholm, Swedia. Dia putus dengan pacarnya yang berasal dari Spanyol, beberapa bulan setelah pandemi atau setahun setelah mereka tinggal satu atap.
Perempuan berusia 29 tahun itu menyebut pasangannya sangat serius pada risiko tertular Covid-19. Dia memilih untuk bekerja dari rumah dan menghindari acara yang tidak penting."Kami melepaskan kehidupan sosial dan aktivitas yang membebaskan kami, basket untuknya dan panjat tebing bagi saya," ujar Nora.
"Perbedaan kami menjadi semakin besar, terutama sifat introvert saya dan dia yang ekstrovert."Kami tidak dapat menyegarkan pikiran ketika kami bermasalah. Dia perlu berada di sekitar banyak orang, sementara saya butuh lebih banyak ruang," kata Nora.Nora berkata, mereka berusaha keras menemukan solusi, tapi pada akhirnya tidak berhasil.
Menurut pengacara Carly Kinch pandemi Covid-19 menjadi salah satu tantangan besar pertama yang dihadapi pasangan muda. Inilah yang dia sebut dapat menjelaskan mengapa permohonan perceraian dari pengantin baru meningkat di beberapa negara, termasuk AS dan Kanada.
"Jika Anda adalah pengantin baru atau relatif masih muda dalam hubungan, Anda mungkin belum teruji seperti yang telah menikah selama 30 tahun dengan cobaan dan bermacam kesengsaraan," kata Kinch.
Sementara itu, gaya hidup sederhana yang dikehendaki masa krisis berbanding terbalik dengan visi banyak pasangan baru tentang 'kebahagiaan pernikahan dan kesempurnaan hidup'.Selain itu, para ahli hubungan menyebut dampak finansial dari Covid-19 juga berperan dalam perceraian. Alasannya, orang-orang kini berpeluang besar menganggur, diharuskan cuti, atau kehilangan sebagian penghasilan.
"Jumlah perceraian cenderung meningkat selama kemerosotan ekonomi setidaknya sejak Perang Dunia II," kata Glen Sandstrom, yang meneliti sejarah demografis di Universitas Umea, Swedia.
"Mengingat saat ini kita sedang mengalami krisis yang parah, terutama secara ekonomi, kita akan menghadapi ketidakstabilan perkawinan."Uang merupakan salah satu penyebab paling umum perselisihan dalam pernikahan."Pendapatan yang turun meningkatkan potensi ketegangan pada hubungan karena konflik tentang bagaimana memprioritaskan jenis konsumsi yang berbeda," kata Sandstrom.
"Dan ketegangan psikologis meningkat yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan kualitas hubungan karena kecemasan bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan," tuturnya.Pemutusan hubungan kerja juga bisa menjadi pukulan besar bagi harga diri, terutama bagi laki-laki pria yang, "lebih dari wanita, masih menganggap harga diri mereka pada kemampuan memberikan jaminan nafkah untuk keluarga".Situasi ini dapat mencuat menjadi kecemasan, kemarahan, dan frustrasi serta meningkatnya kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, tidak seperti krisis keuangan lainnya, pandemi ini melanda sangat berdampak pada orang-orang dalam kontrak kerja yang rentan di industri berpenghasilan rendah seperti perhotelan, hiburan, ritel, dan pariwisata.Mayoritas pekerja di sektor ini adalah perempuan, kaum muda, dan mereka yang beretnis minoritas.
Nikita Amin, seorang terapis di Culture Minds Therapy yang melayani komunitas kulit hitam dan Asia di Inggris, menyebut melihat permintaan terapi untuk pasangan maupun individu melonjak.
Hal ini, katanya, mencerminkan skala dampak pandemi pada kelompok rentan karena etnis minoritas di Inggris cenderung tidak mencari bantuan untuk menangani masalah kesehatan mental dan hubungan suami-istri.Salah satu alasannya adalah stigma seputar perpisahan dan perceraian.Amin berkata, mungkin ada banyak orang yang tidak dapat mengakses konseling karena kekurangan uang dan waktu atau semata karena mereka takut menghadapi reaksi pasangan atau kerabat saat mereka mempertimbangkan perceraian.
Firma hukum Stewarts sejauh ini juga menerima lebih banyak pertanyaan dari orang-orang yang "mengumpulkan informasi" sebelum memutuskan bercerai.
"Mereka datang kepada kami dengan banyak pertanyaan tentang seperti apa kehidupan pasca-perceraian, seperti 'Bagaimana saya beralih dari titik ini ke kehidupan baru saya di akhir?'" kata pengacara Carly Kinch.
"Saya pikir orang-orang mungkin mencari lebih banyak informasi seperti itu ketimbang periode sebelum pandemi," ujar Kinch.Psikoterapis seperti Noel Bell, spesialis pengembangan personal yang berbasis di London, menyebut pandemi juga mendorong orang memikirkan secara lebih eksistensial tentang apa, dan siapa yang mereka inginkan dalam kehidupan.
"Tren ini jelas terlihat dari bukti yang menunjukkan bahwa orang ingin pindah rumah dan mengubah gaya hidup, contohnya pindah ke pedesaan karena waktu mereka tidak akan habis di perjalanan dari rumah ke kantor atau sebaliknya," kata Bell."Langkah memikirkan ulang sejumlah seperti itu juga terjadi dalam pernikahan, bahwa pasangan menilai kembali pilihan hidup dan kebutuhan emosional mereka.
"Tekanan pandemi mengingatkan kita bahwa hidup mungkin singkat dan kita perlu menilai bagaimana, dan dengan siapa, kita menghabiskan waktu kita yang berharga," ujarnya.Kembali ke Suffolk, Sophie Turner baru saja menandatangani kontrak sewa rumah baru. Ini memungkinkannya tinggal lebih dekat dengan saudara perempuan dan orang tuanya.
Dan walau perpisahan dengan suaminya merupakan proses kehidupan yang menantang, dia yakin itu pilihan terbaik."Hal positif selama pandemi ini membantu kami menyadari bahwa kami benar-benar perlu berpisah. Jika tidak, kami masih akan berbagi kamar dan tetap tidak saling berbicara," kata Sophie."Kami lebih bahagia sebagai teman dan kami tidak merasa terganggu oleh banyak hal yang remeh."