Menerima nasehat dan masukan dari orang lain dengan lapang dada merupakan akhlak yang mulia. Itu merupakan ciri kebersihan hati serta tanda sifat tawadhuk.
Sebaliknya, kalau orang yang sombong, bila dinasehati ia malah akan melawan dan meradang. Sebagaimana firman Allah:
﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ ﴾ (البقرة: 206)
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepadanya, “Bertaqwalah kepadaNya,” bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya neraka jahannam. Dan itu merupakan tempat tinggal yang terburuk.” (QS Al Baqarah: 206).
Bahkan sikap menolak nasehat dan masukan itu merupakan salah satu dosa besar. Dari hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ من أكبر الذنب، أن يقول الرجل لأخيه: اتق الله فيقول: عليك نفسك أنت تأمرني؟
Artinya: “Sesungguhnya termasuk dosa yang paling besar adalah ketika seseorang berkata kepada saudaranya, “Takutlah kepada Allah,” lalu dia menjawab saudaranya itu: “Urus saja dirimu. Aku pula yang kamu suruh.” (HR Baihaqi).
Sikap mau menerima saran nasehat merupakan cerminan kesadaran akan kekurangan diri sebagai manusia yang tidak sempurna. Baik yang menerima nasehat itu orang biasa ataupun orang ‘alim. Sebab seluruh anak keturunan Adam takkan luput dari kesalahan.
Disamping itu, orang yang mau menerima nasehat, menujukkan ia adalah orang yang suka dengan kebaikan dan juga suka kepada yang memberi nasehat. Sebab, dengan mendapatkan nasehat ia menjadi tahu sisi kekurangannya. Yang itu biasanya lebih bisa dibaca oleh orang lain dari pada dirinya sendiri. Ketika ia perbaiki, maka semakin berkuranglah keburukannya. Dan bila ia menolak nasehat, justru ia akan rugi. Karena, ia kehilangan momen untuk menambah kebaikan atau mengurangi keburukannya.
Rasul kita yang mulia, senantiasa senang menerima nasehat, saran dan masukan dari para sahabatnya. Dan Beliau shallallahu ‘alaihi wassallam juga tidak sungkan-sungkan meminta nasehat dan masukan kepada para sahabat.
Ketika akan berkecamuk perang Badar, Rasulullah SAW sudah kumpulkan pasukannya di lokasi sebelum sumur Badar. Tapi sahabat mulia Hubab bin Mundzir melihat tempat tersebut tidak tepat. Dengan sopan dia mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar memajukan pasukan setelah sumur Badar, dan menutup sumber mata air yang lain. Sehingga pasukan Rasul menguasai air, dan pasukan lawan tidak punya sumber air.
Usulan dan saran ini diterima oleh Rasulullah SAW dengan senang hati. Dan pasukan dimajukan ke depan sumur Badar. Kejadian yang sama terulang di saat pengepungan benteng-benteng Khaibar. Perkumpulan pasukan Rasul SAW terlalu dekat ke benteng. Kembali Hubab mengusulkan agar jarak pasukan diperjauh dari benteng Khaibar, agar tidak disasar oleh panah-panah orang yahudi. Rasulullah pun menerima usulan ini.
Ketika selesai perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW bersama para sahabat batal melaksanakan umrah, dan diganti tahun depannya. Maka Beliau menyuruh para sahabatnya untuk menyembelih dam (tahallul) dari ihram mereka. Tapi mereka belum mau melaksanakannya sama sekali. Sampai 3x Rasulullan SAW memerintahkannya.
Lalu Beliau bangkit dan masuk ke tenda istri Beliau Ummu Salamah. Tampak sekali Beliau kurang berkenan dengan sikap para sahabat, dan Beliau sampaikan kondisi tersebut kepada Ummu Salamah. Maka ketika itu Ummu Salamah menyarankan agar Rasulullah SAW pergi sendiri, tidak bicara apapun, lalu menyembelih damnya dan memanggil tukang cukurnya.
Saran Ummu Salamah ini diterima oleh Rasul SAW dan dikerjakannya. Para sahabat begitu melihat Beliau SAW seperti itu, semua mereka langsung menyembelih dam masing-masing. Begitulah Baginda Nabi berkenan menerima nasehat dan saran dari sahabat dan juga istrinya.
Beratnya menerima nasehat
Memang berat kadang mendapat nasehat dari orang lain. Apalagi kalau kita sudah punya keinginan tertentu, atau rencana yang matang yang berbeda dengan nasehat tersebut. Saya pribadi merasakan hal itu. Banyak orang memberi saya masukan. Kadang saya terima, kadang tidak saya terima. Itulah kelemahan sifat-sifat manusiawi kita.
Umar ra. pernah menyatakan:
رحم الله امرأً أهدى إلينا مساوئنا.
Artinya: “Semoga Allah merahmati orang yang menunjuki kita kekurangan-kekurangan kita.” (Adabuddin wad Dunya).
Abu Hurairah ra. juga pernah menyatakan:
المؤمن مرآة أخيه إذا رأى فيها عيبا أصلحه.
Artinya: “Seorang mukmin itu cermin bagi saudaranya. Jika dia lihat ada kekurangan, maka dia memperbaikinya.” (Adabul Mufrad – Bukhari).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kita merasa berat menerima nasehat dan saran orang lain. Bahkan kadang cenderung menolak dan membantah. Antara lain adalah:
- Merasa lebih tinggi dari si pemberi nasehat. Baik karena tinggi jabatan, usia, pangkat dan kedudukan lainnya. Sehingga ada perasaan tidak siap untuk menerima masukan dari bawahan atau orang yang dibawahnya.
- Merasa lebih hebat dan lebih tahu dari si pemberi nasehat. Baik karena merasa banyak ilmu, luas pengetahuan atau tinggi gelar akademisnya. Maka seorang profesor atau doktor misalnya, terkadang agak susah menerima saran atau nasehat dari orang yang masih strata 1. Apalagi dari mahasiswa dan orang umum. Kecuali orang-orang yang rendah hati.
- Cara menasehati yang kurang bijak dan kurang mengena. Mungkin bahasanya yang agak kasar, sangat menggurui, atau bahkan merendahkan. Maka nasehat menjadi tidak bermanfaat. Yang dinasehati tidak menerimanya. Malah menimbulkan perlawanan dan bantahan.
Dan banyak lagi faktor-faktor lainnya. Namun yang jelas, siapapun kita dan apapun posisi kita, sikap orang beriman itu adalah lapang dada dan siap untuk menerima nasehat. Hati harus senantiasa kita jaga, sehingga mudah menerima nasehat. Sebab agama kita ini adalah nasehat. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya: Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari ra, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim).
Referensi : Menerima nasehat dan masukan dari orang lain dengan lapang dada merupakan akhlak yang mulia