Tahun keempat rumah tangga Nina dan Herman mulai terasa agak berat. Mengasuh anak menjadi hal yang harus mereka pelajari bersama. Namun berbekal dukungan orang tua dan rasa cinta mereka, apapun selalu ada solusinya dan mereka bisa melewati masa sulit tersebut.
Beberapa tahun berlalu hingga Lilo sudah menginjak kelas empat SD. Mengasuh satu anak hingga sebesar ini rupanya membuat Herman ingin memiliki anak lagi. Namun Nina agak menolak, dengan alasan masih ingin mengecek ke dokter perihal kondisinya.
"Kok sering pulang telat, Mas?" tanya Nina.
"Lembur.." Herman menjawab pendek sambil mengganti pakaiannya. Ia sebenarnya masih mencintai Nina, namun di sisi lain ia makin dekat dengan Jenny. Ia merasa hubungannya dengan Nina hambar serta membosankan akhir-akhir ini. Kali ini bukan karena Nina menolak punya anak lagi, namun kesibukan Nina dan Herman membuat pria ini merasa jarak mereka makin jauh dan Nina seolah tak melihat hal itu sama sekali.
"Aku kerja. Aku kan juga nggak pernah protes ketika kamu pulang malam, Nina," kata Herman dengan nada tinggi.
"Kamu berubah, Mas. Kerja juga nggak mungkin pulang malam terus kan?" Nina membalas.
Herman mendengus sebal dan menyahut, "Kamu tanya saja sendiri pada dirimu, kenapa aku jadi nggak betah. Kamu terlalu sibuk dengan karirmu, aku juga bisa kalau begini caranya." Ia sebenarnya sakit mengucapkan hal ini pada Nina. Namun emosinya sudah lama tertahan dan kali ini ia merasa muak pada omelan istrinya.
Jenny juga mulai berani mempengaruhi Herman untuk menceraikan istrinya. Awalnya Herman ragu, namun makin sering ia dan Nina bertengkar di belakang anaknya. Hal ini mulai membuat Herman merasa tidak nyaman. Ia pun mulai menyampaikan keinginannya untuk bercerai. Tentu saja hal ini membuat Nina hancur setengah mati. Ia menolak perceraian itu karena tidak ingin Lilo merasakan keluarga yang retak.
"Aku akan menandatanganinya setelah 30 hari. Dalam 30 hari itu, aku ingin Mas selalu menggendong aku dari ranjang ke meja makan untuk sarapan setiap pagi. Juga dari ruang keluarga ke kamar tidur setiap malam," ujar Nina dengan suara setengah serak seperti orang yang semalaman belum tidur.
Herman agak aneh dengan permintaan istrinya, namun ia tetap menyanggupi permintaan itu. Ia pikir istrinya hanya ingin mengulur waktu cerai dan membuat Herman kembali. Mendengar cerita itu, Jenny sedikit menertawai ulah Nina. "Ada-ada saja. Setelah kondisi seperti ini, baru istrimu merajuk untuk bisa kembali."
Begitulah, sesuai janjinya, Herman selalu menggendong Nina setiap pagi dan malam. Ia bisa merasakan Nina lebih bersandar padanya, namun di sisi lain Herman berpikir bahwa Nina mungkin juga sedang menikmati momen-momen akhir bersamanya. Sebentar lagi Herman tetap akan menceraikannya dan membawa Jenny dalam kehidupan barunya.
Diam-diam, Herman merasa istrinya makin kurus dari hari ke hari. Setiap gendongannya terasa makin ringan. Herman memandangi wajah istrinya sesekali ketika menggendongnya sembari mengecup keningnya. Nina nampak lelah belakangan ini, kantung matanya sering kelihatan membesar dan ia sering menyandarkan kepalanya ke dada Herman. Hal ini membuat Herman mulai ragu dengan keputusannya bercerai, ada kehangatan merasuk di dadanya setiap kali menggendong Nina.
Tanpa terasa, Herman mulai merasakan cinta kembali bersemi pada hubungannya dengan Nina. Ia merasa istrinya makin cantik dari hari ke hari, hingga hari-hari penandatanganan surat ceri itu makin dekat. Saat Herman hendak menggendong Nina di pagi hari ke 31, Nina menahan tangan Herman.
"Ini, Mas. Terima kasih selama ini sudah mencintaiku," ujarnya sambil menitikkan air mata. Herman terpana, namun surat itu diterimanya lalu sebelum berangkat ke kantor, Herman memeluk Nina.
Di kantor, Herman mengatakan pada Jenny bahwa ia mengurungkan niatnya bercerai. Tentu saja wanita itu begitu kesal dan menampar herman keras-keras. Herman tahu dengan konsekwensi ini, ia siap menerimanya karena sejauh ini ia dan Jenny belum sampai berhubungan badan. Ia bersyukur masih bisa mengendalikan dirinya selama ini dari berzina.
Sekarang yang ada di benaknya adalah Nina. Ia masih ingat dengan bulir air mata Nina yang hangat jatuh di tangannya tadi pagi. Herman merasakan cinta itu dan tak sabar ingin segera pulang. Ia bahkan menyempatkan diri membeli buket bunga paling indah kesukaan Nina dan bergegas pulang sore itu.
Kepergian Nina menjadi penyesalan yang tak terperi bagi Herman. Rupanya selama ini Nina mengidap penyakit parah yang tak sempat disampaikannya pada Herman. Di kala istrinya itu tengah memikirkan sendirian dan berjuang melawan penyakitnya, Herman malah sibuk dengan rencana perceraian mereka. Nina dimakamkan keesokan harinya, diiringi rasa sedih dan duka dari Herman dan putra mereka,
“Aku tersesat, aku hilang arah, aku menyesal, ternyata perceraian yang selama ini aku inginkan tidak benar-benar membuatku bahagia. Aku merasa hidupku menjadi tidak karuan, orang-orang bahkan tidak mendukungku dan justru menyalahkanku karena perceraian ini. Sebagian lainnya bahkan menyalahkanku karena dulu memilih mantan suami sebagai pendamping hidupku. Aku bingung, yang mana yang harus aku ikuti. Jalan mana yang sebenarnya bisa membuatku bahagia?”
Terjebak di dalam luka, kesedihan dan penyesalan memang bukan hal yang menyenangkan. Terlebih jika perasaan tersebut muncul akibat perceraian. Banyak pasangan yang memilih bercerai karena merasa tidak cocok satu sama lain, ada juga yang memilih karena munculnya orang ketiga, bahkan ada pula yang memilih bercerai hanya karena emosi sesaat. Apapun alasannya, perceraian mungkin menjadi satu-satunya solusi bagi pasangan yang sering mengalami konflik di dalam rumah tangga.
Referensi : Penyesalan Sang Suami