Mendengar kata perselingkuhan sebenarnya sangat menyeramkan untuk hampir semua pasangan, khususnya mereka yang menjadi korban. Pelaku justru menikmati adrenalin yang dihasilkan, seolah-olah baru merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tetapi buatku, sebagai pelaku dari perselingkuhan, justru itu menjadi hal paling aku sesali.
Kalau bisa waktu diubah, aku ingin kembali di saat semua masih bersama suamiku. Meski rumah tangga kami sedang didera badai, namun rasanya tidak sesakit ini. Namaku Dila, aku memiliki kekasih saat SMA di sebuah sekolah swasta.
Hubungan kami berakhir ketika lulus dari perguruan tinggi. Cukup lama kami bersama, hampir enam tahun. Selama itu, kedua keluarga kami sudah saling mengenal dan berharap hubungan itu bisa berlanjut hingga ke pernikahan. Namun sayangnya, kami harus berpisah karena merasa hubungan itu saling menyakiti satu sama lain.
Setelah berpisah, aku memutuskan untuk pindah ke kota lain dan mencari pekerjaan di sana. Kalau aku berada di kota yang sama, terlalu menyakitkan buatku melihat dia bersama wanita lain. Aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang akuntan di salah satu perusahaan besar.
Sejak baru pindah ke kota itu, banyak yang sepertinya tertarik denganku tetapi aku masih tidak bisa melupakannya. Setiap hari aku masih terngiang tentangnya, keinginan untuk kembali mengirimkan pesan singkat padanya sudah ada tetapi aku urungkan. “Ini sudah keputusan bersama” ucapku berkali-kali.
Dua tahun aku berusaha melupakannya dengan sangat tersiksa, enam tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk begitu saja dilupakan. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang pria, ia adalah manajer di sebuah bank swasta. Aku sering bertemu dengannya hanya karena urusan pekerjaan.
Cukup sering kami bertemu hingga saling bertukar nomor kontak. Mulanya isi pesan itu hanya terkait soal pekerjaan, tetapi lama-lama ia membahas soal banyak hal. Kami jadi sering bercerita tentang hal-hal ringan, seperti kejadian di kantor atau apa yang ditemui hari itu.
Kami berusaha menghibur satu sama lain karena tanggung jawab pekerjaan sudah cukup berat sehingga rasanya tidak ingin membicarakan hal-hal berat lainnya. Ia selalu melemparkan lelucon yang terkadang membuatku cekikikan sendiri saat membacanya.
Perlahan, ingatan tentang mantanku hilang dan mulai digantikan olehnya. Kami bertukar pesan setiap hari dan malamnya terkadang video call. Pembicaraan kami cukup ‘receh’ sehingga saat video call dengannya perutku terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.
Suatu ketika saat sedang berada di kantornya untuk urusan pekerjaan, ia mengajakku untuk makan malam setelah pulang kantor. Aku mengiyakan karena memang tidak ada acara setelah itu. Tepat jam 20.00, ia sudah berada di depan kantorku dengan mobilnya.
Ia membukakan pintu untukku lalu kami pergi ke daerah yang cukup jauh. Kami makan malam dengan suguhan pemandangan yang sangat indah. Makanan itu sederhana, tetapi terasa mewah karena memang pemandangannya sangat tidak biasa.
Kami bertukar cerita soal latar belakang, asmara, cita-cita, sampai hobi. Ia sangat menarik karena selalu menanyakan apa yang aku inginkan ke depannya, sedangkan aku adalah orang yang membiarkan hidup mengalir begitu saja. Ia yang mengajariku untuk bermimpi hal-hal sederhana.
“Kamu harus terus bermimpi supaya kamu bisa terus maju dan berubah menjadi lebih baik” katanya, “bukankah hidup sudah diatur Yang Maha Kuasa? Bahkan ketika kita tidak bermimpi sekalipun, semua itu akan terjadi” jawabku. “Tidak ada salahnya bermimpi, mencoba merencanakan hidup versi kita yang mungkin lebih baik dari sekarang” lanjutnya “silahkan bermimpi, aku hanya percaya hidup sudah punya takdirnya sendiri” ucapku tetap pada pendirianku.
Dia tidak memaksaku untuk mengikuti jalannya, tetapi kami justru merasa saling mengisi. Ia sempat mengutarakan kalau ingin mengajak aku ke dalam mimpinya, aku bertanya apa maksudnya namun ia hanya menjawab “suatu saat juga kamu akan mengerti.”
Dia mengalihkan pembicaraan, meninggalkan aku yang kebingungan atas pernyataannya. Sepulang dari makan malam, ia mengantarku hingga ke depan kos-kosan. “Sampai ketemu lagi” ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.
Keesokkan harinya kami bertemu kembali di kantornya karena memang urusan pekerjaan. Sejak malam itu, ia jadi terus mengajakku keluar, aku selalu mengiyakan ajakkannya. Kami selalu pergi ke tempat-tempat yang indah saat dikunjungi pada malam hari.
Enam bulan kami seperti itu, rasanya sudah terbiasa dan ada yang kurang saat kami tidak bersama. Semua berjalan begitu saja hingga ia yang mengumumkan kami adalah sepasang kekasih di depan teman-temannya. Kami menjalin kasih selama satu tahun kemudian memutuskan untuk menikah.
Karena jarak kantor kami tidak terlalu jauh, jadi setelah menikah kami tinggal di sebuah rumah yang letaknya lebih dekat ke kantorku. “Supaya aku bisa antar-jemput kamu” katanya, setahun menikah suamiku naik jabatan. Ia semakin sibuk dan selalu pulang larut malam.
Dua tahun menikah, kami dikaruniai anak kembar. Sulitnya mengurus dua bayi sekaligus membuat aku harus keluar dari kantor dan fokus merawat mereka. Suamiku pun semakin giat bekerja dan berusaha untuk pulang lebih awal agar aku tidak merasa sendiri.
Meski dibantu oleh mertuaku, tetapi terkadang aku harus merawat mereka seorang diri. Aku tidak percaya dengan baby sitter, sudah terlalu banyak pengalaman buruk dari orang-orang sekitarku. Semua berjalan dengan baik hingga usia anakku menginjak lima tahun.
Aku sempat berdebat karena ingin kembali kerja, namun ia tidak mengizinkan. Ia hanya ingin kalau anak-anak dirawat olehku. Ia juga tidak ingin anak-anak merasa kekurangan kasih sayang karena kedua orang tuanya bekerja.
Aku tidak bisa menolak, sebagai istri aku hanya bisa menuruti kemauannya. Bertahun-tahun aku hanya menjadi ibu rumah tangga, anakku pun semakin besar dan dewasa. Mereka memiliki dunianya sendiri bahkan terkadang sudah mengenalkan pasangannya kepadaku.
Keinginanku untuk bekerja sudah tidak ada lagi sampai suatu hari ketika aku sedang bermain Facebook, salah satu teman SMA-ku mengirimkan pesan. Mengajakku untuk masuk ke dalam grup SMA, aku senang sekali karena sudah lama tidak bercanda dengan mereka.
Ketika aku masuk ke grup itu, benar saja semua heboh dan kami mulai bernostalgia. Membahas masa-masa indah SMA dan membandingkannya dengan kehidupan kami sekarang. “Sebentar lagi kita akan jadi aki-aki dan nini-nini” kata salah seorang teman, aku tertawa dan ikut membalas obrolan di grup itu.
Suamiku tahu kalau aku sedang bernostalgia bersama teman-teman SMA dan dia merasa tidak ada masalah dengan itu. Kehidupan pernikahan kami lumayan baik, kami masih bisa bertahan di tengah badai rumah tangga yang silih berganti. Setiap hari ada saja foto yang dibagikan oleh teman satu grup, mengingatkan aku pada masa-masa muda dulu.
Seorang teman mengusulkan untuk kami mengadakan reuni akbar karena sudah 25 tahun kami tidak bertemu. Semua orang di dalam grup itu setuju, termasuk aku. Aku sangat ingin melihat mereka saat sudah berubah menjadi tua.
Mereka sibuk membentuk panitia dan mengurus banyak keperluan seputar reuni. Aku tidak ingin terlibat, selain rumahku yang jauh sekarang suamiku semakin overprotective. Tanggal dan tempat reuni sudah ditentukan, sudah banyak orang yang menyatakan akan ikut dalam reuni itu hingga aku melihat satu nama dalam daftar hadir.
Dia adalah mantanku, banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku “bagaimana keadaannya? Berapa anaknya? Bagaimana kehidupan rumah tangganya? Apa dia bahagia?” Aku menuliskan namaku tepat di bawahnya, semua menggodaku karena mereka tahu kalau kami sempat berpacaran sangat lama.
Beberapa minggu sebelum reuni itu digelar, suamiku semakin bertingkah aneh. Ia mulai memarahiku tanpa alasan dan menyuruhku melakukan banyak hal aneh. Aku semakin gerah menghadapi kelakuannya. Saat itu ia baik-baik saja ketika tahu aku bernostalgia dengan teman-teman SMA, tetapi entah kenapa sekarang ia menjadi sangat sensitif.
Selama ini, suamiku tidak pernah tahu kalau aku pernah berpacaran dengan seseorang hingga kami hampir menikah. Aku tidak menceritakannya karena itu terlalu sulit bagiku. Aku takut akan kembali terngiang tentangnya di saat aku sudah berkeluarga.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku menghadiri acara reuni itu dengan sangat antusias, aku memasuki ruangan dan disambut oleh banyak orang. Mereka sudah banyak berubah, aku menggoda beberapa dari mereka karena sudah memiliki uban.
Aku bertemu dengan teman-teman sekelasku. Kami bercerita banyak hal, tertawa, sambil menyantap makanan yang sudah disediakan. Salah seorang teman memberitahu kalau mantanku ada di sini. Mataku mulai mencari-cari di antara banyak kerumunan orang.
Sampai tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Ia berada di depanku, sudah memerhatikanku daritadi, aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Tetapi banyak temanku yang terus-menerus menggodaku.
Kami mengobrol dan mulai bertukar cerita, ternyata satu per satu temanku menyingkir, memberikan ruang untuk kami bernostalgia berdua. Setelah selesai mengobrol kami kembali menikmati acara, aku menemui teman-temanku lagi dan bertukar cerita tentang kehidupan kami. Menyenangkan rasanya saat itu.
Terlalu senang karena bertemu dengan teman-teman, aku sampai tidak memegang ponsel sama sekali. Aku terlalu mengenang suasana saat di sekolah dulu, rasanya semua masih sama. Mereka masih mengeluarkan sifat yang kukenal sejak dulu.
Ketika sudah selesai, aku baru membuka ponsel. Sudah ada puluhan telepon dan pesan dari suamiku, aku menghela napas panjang kemudian menjelaskan semuanya. Ia sangat marah karena aku tidak pergi bersamanya. Aku menjelaskan sebaik mungkin melalui pesan, aku tidak ingin mengangkat teleponnya karena tidak mau teman-temanku jadi tahu tentang dia yang seperti itu.
Aku pulang ke rumah secepat mungkin. Kami bertengkar hebat hanya karena masalah sepele. Ia selalu meributkan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa ia kerjakan sendiri. Aku lelah dan pergi ke kamar kemudian mandi, meninggalkannya yang masih menuduhku bermacam-macam.
Ketika di kamar mandi, ada satu pesan masuk. Aku pikir itu adalah grup yang tengah membagikan foto, ternyata dari mantanku. Ia kembali mengirimiku pesan dan khawatir tentang keadaanku. Mungkin karena terlalu lama bersama, ia jadi mudah menebak apa yang terjadi padaku.
Kami saling berbalas pesan dan bertukar cerita. Dari pesan itu aku tahu kalau ia sedang ada masalah dengan istrinya dan sudah tidak lagi tinggal satu atap. Ia menceritakan banyak hal tentang keluarganya, begitupun aku.
Beberapa hari kemudian ia mengajakku untuk bertemu, butuh mencari bermacam-macam alasan agar suamiku tidak curiga. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dengan alasan belanja bulanan.
Kami hanya bisa meminum kopi bersama kemudian kembali pulang ke rumah. Semenjak itu, kami jadi sering bertemu dan mengirim pesan layaknya sepasang kekasih. Aku memberitahu kapan ia boleh dan tidak boleh menghubungiku.
Tiga bulan hubungan kami berjalan dengan sangat mulus tanpa diketahui oleh suamiku. Kami bertemu saat aku keluar untuk belanja atau arisan. Itu sudah cukup bagi kami untuk melepas rindu.
Semakin hari aku tidak nyaman dengan sikap suamiku yang semakin menjadi-jadi. Mulai terpikirkan olehku untuk berpisah karena pacarku juga sudah pisah atap dengan istrinya. Malam itu, ia kembali marah-marah dan menuduhku banyak hal yang tidak terbukti.
Terlontar begitu saja keinginanku untuk berpisah, ia memohon agar aku tidak melakukannya. Akan tetapi, keputusanku sudah bulat. Aku ingin kembali ke pelukan pacarku. Seminggu kemudian aku menggugat cerai suamiku, ia tidak pulang ke rumah selama beberapa hari.
Ia juga tidak menghubungiku dan tidak datang ke persidangan kami. Keluar dari pengadilan, aku sudah menyandang status baru. Selama ini, sengaja aku tidak memberitahukan pacarku dan ingin memberinya sebuah kejutan. Akan tetapi, malah aku yang terkejut dengan keputusannya.
Ia mengirimiku pesan untuk mengakhiri semuanya denganku. Ia memutuskan untuk kembali bersama istrinya karena anak mereka sedang sakit. Semua ia lakukan demi anaknya, mendengar semua kalimatnya membuat tubuhku lemas. Aku tidak menyangka kalau aku yang terjebak dengan perasaanku sendiri.
Setelah surat cerai itu keluar, mantan suamiku membawa pergi semua bajunya. Anak-anak tetap tinggal denganku, ada perasaan bersalah dan sedih yang mendalam melihatnya menjadi pendiam. Ingin aku batalkan semuanya dan kembali ke dalam pelukannya, tapi aku tahu kalau aku sudah tidak pantas untuknya.
Di sini akulah yang salah, ia hanya menyampaikan cintanya untukku. “Apa salahnya terlalu cemburu?” Pikirku, “aku bisa mengenalkannya pada banyak orang dan kembali bersikap mesra padanya” sesalku kemudian. Melihat lemarinya kosong membuatku sangat sedih, sekarang aku hanya tidur sendiri. Ia bahkan sudah memblokir nomor Whatsapp-ku.
Referensi : Kisah, Menyesal Menceraikan Suami