Adapun pola untuk perkataan khulu yang di sampaikan suami kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) ”[7] [6]. Istri kemudian menjawab “ Aku menerimanya”[6][7][8][8]. Apabia perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) sebagai tebusan kepada pemilik akad ialah suami[7] [6][8]. Sedangkan apabila istri telah bertanya tidak disebutkan oleh suami tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu, catatan: Sang istri telah bertanya lansung kepada suami dengan sakral serta disaksikan oleh keluarga sang istri dan suami tersebut[7] [6][8].
Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah[6]. Si istri khawatir, membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar[6]. Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus[6]. Sebaliknya, suami khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan istrinya itu, seperti menampar, memukul, dan lain sebagainya[6]. Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan[6].
Persyaratan
Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT[6] [7].
Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya[6] [7]. Jika ia menyakiti istrinya debgan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya[6] [7].
Khulu itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami[6] [7]. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya dengan cara menceraikannya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta bawaan dari istrinya[6] [7].
Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru karena telah dinyatakan cerai oleh suaminya di hadapan istri dan disaksikan pengadilan agama yaitu hakim ketua dan deretannya[6] [7].
Hukum
Mubah atau boleh
Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya, sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan khulu kepada suaminya[11]
Mustahab atau wajib
Jika suami melalaikan hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat, suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan islam, dan yang semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu[11]. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah[11].
Haram
Jika istri mengajukan cerai gugat (khulu) kepada suaminya bukan karena 4 (empat) alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam, seperti karena sang suami buruk rupa, sang istri merasa tidak bahagia karena tidak pernah bersyukur, sang suami selalu salah menurut istri, memfitnah sang suami tidak ada perhatian dan menyayangi istri dan lain sebagainya maka cerai gugat tersebut menjadi hukumnya adalah Haram[11].
Rukun
Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri[11]. Dengan syarat, si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara sadar/atau wali nikah, keturunan sedarah/atau se-kandung, dalam artian tidak gila dan berakal[11][12].
Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah menceraikan istrinya[11][12].
Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami di hadapan Istri dengan sakral disaksikan oleh para saksi[11][12].
Batasan
Suami tidak boleh mengambil harta istrinya melebihi mahar yang dia berikan dan juga sesuai dalam perkataan khulu yang telah di setujui oleh Istri. Catatan: Apabila Istri memiliki harta bawaan dan bukan harta yang di dapat setelah berumah tangga dengan suaminya[5].
Khulu dapat dilakukan oleh istri, baik dalam keadaan suci atau haid[7] [1].
Iwadh atau harta tebusan tidak dapat berupa jasa[11]. Menurut pendapat ulama golongan safi’I dan maliki[11].
Khulu tidak sah apabiila tidak ada keikhlasan di hati sang suami[11].
Khulu harus suci Istri yang bertanya langsung kepada suami dan terjawab oleh suami di depan saksi yaitu keluarga se-darah/atau se-kandung, bapak, ibu dari istri dan suami tersebut atau hakim ketua pengadilan[13].
Pengadilan Agama melalui Hakim Ketua beserta deretannya tidak memiliki hak untuk memutus paksa sakral pemilik akad mutlak yaitu suami. Karena dalih-dalih peraturan serta perundang-undangan itu bukan berdasarkan Al-Qur'an yang menjadi pedoman bagi umat Islam semesta alam, namun apabila peraturan tersebut berdasarkan kitab suci maka hakim wajib merealisasikannya walaupun perceraian itu sebenarnya sangat dibenci Allah SWT dan rasul-Nya[14].
4 (empat) Alasan Perceraian Yang Diperbolehkan Agama Islam
- Penganiayaan atau penyiksaan fisik,
- Kegagalan untuk memenuhi maksut dan tujuan pernikahan,
- Perselingkuhan,
- Kegagalan suami untuk memberi nafkah selama berjalannya pernikahan