Rabu, 07 September 2022

Ketika Suami Berpenghasilan Haram

Ketika Suami Berpenghasilan Haram. Ketika Suami Berpenghasilan Haram Ketika Suami Berpenghasilan Haram. Pertanyaan:  Assalamu’alaikum Ustadz.  Afwan, terkait suami yang memberikan nafkah kepada keluarganya dari pekerjaan yang haram, saya masih bingung memahami antara hadis  “Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih layak baginya.”  Dengan kaidah fikih perubahan kepemilikan akan merubah status (merubah yang haram menjadi halal).  Seperti pada kasus seorang suami yang menjadi hakim yang berhukum tidak dengan hukum Islam. Gaji yang diterimanya haram, tetapi ketika diberikan kepada anak isterinya, maka statusnya menjadi halal.  1. Apakah itu artinya gaji haram dari suami tadi, boleh dimanfaatkan oleh istri dan anaknya untuk kebutuhan makan/minum? Lalu bagaimana dengan hadis Nabi di atas?  2. Apakah cukup bagi istri dengan mengingkari pekerjaan suaminya dan selalu berusaha memberikan nasihat kepada si suami agar meninggalkan pekerjaannya?  3. Ataukah si istri harus mencari nafkah sendiri yang ia bisa memastikan kehalalannya dan menolak nafkah dari suaminya?  Mohon nasihatnya. Jazakallaahu khairan.  Dari: Fulanah  Jawaban:  Wa’alaikumussalam  Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,  Salah satu diantara musibah besar yang menimpa sebagian keluarga muslim adalah, penghasilan sang suami sebagai penanggung jawab nafkah dari sumber yang haram. Meskipun bisa jadi mereka terlihat tidur nyenyak, di rumah megah nan sejuk ber-AC, dengan mobil mewah anti debu dan polusi, namun sejatinya hati mereka tidak akan bisa tenang. Sehebat apapun fasilitas yang mereka miliki, mereka tidak akan bisa menggapai ketenangan, layaknya orang yang berpenghasilan murni halal.  Dalam sebuah kesempatan, saya bertemu dengan salah satu jamaah masjid yang cukup berada. Setelah saling akrab, saya bertanya, “Bapak PNS?” “Bukan hanya pegawai swasta.” Jawab beliau. Merasa penasaran, saya melanjutkan bertanya, “Perusahaan apa Pak?” Yang aneh dari sang Bapak, beliau tidak menjawab langsung, tapi terdiam sejenak. Setelah lama ditunggu, dengan malu-malu beliau menjawab, “…mm saya di BPR.”  Allah Akbar… Siapa saya, sehingga beliau sampai harus malu menjawabnya. Siapa saya, sampai orang yang usianya tidak layak dibandingkan dengan penanya harus malu menjawabnya. Saya semakin yakin, seperti itu pula yang akan dialami oleh setiap orang memegang harta haram. Karena seperti itulah yang Allah nashkan dalam Alquran,  وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا  “Siapa yang berpaling dari peringatan yang Aku turunkan, dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124).  Sementara mereka yang bergelut dengan harta haram tidak jauh dari ayat ini.  Daging-daging Bahan Bakar Neraka Dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ  “Tidak ada daging yang tumbuh dari as-suht, kecuali neraka lebih layak baginya.” (HR. Turmudzi 614 dan dishahihkan al-Albani).  Dalam riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,  لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ  “Tidak akan masuk surga, daging yang tumbuh dari as-suht, maka neraka lebih layak baginya.” (HR. Ahmad 14032 dengan sanad jayid sebagaimana keterangan al-Albani).  Dimanakah Anda wahai para kepala keluarga! Halalkah pekerjaan Anda wahai para penanggung jawab nafkah! Jika Anda sangat mengkhawatirkan kesehatan mereka, sudahkah Anda mencemaskan keselamatan daging-daging mereka? Pernahkah Anda mengkhawatirkan anak dan istri Anda ketika mereka makan bara api neraka? Berusahalah mencari yang halal, dan jangan korbankan diri Anda dan tubuh Anda.  Syaikhul Islam mengatakan,  الطَّعَامَ يُخَالِطُ الْبَدَنَ وَيُمَازِجُهُ وَيَنْبُتُ مِنْهُ فَيَصِيرُ مَادَّةً وَعُنْصُرًا لَهُ ، فَإِذَا كَانَ خَبِيثًا صَارَ الْبَدَنُ خَبِيثًا فَيَسْتَوْجِبُ النَّارَ ؛ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (كُلُّ جِسْمٍ نَبَتَ مَنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ) . وَالْجَنَّةُ طَيِّبَةٌ لَا يَدْخُلُهَا إلَّا طَيِّبٌ  Makanan akan bercampur dengan tubuh dan tumbuh menjadi jaringan dan sel penyusunnya. Jika makanan itu jelek maka badan menjadi jelek, sehingga layak untuknya neraka. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, ‘Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka neraka layak untuknya.‘ Sementara surga adalah kebaikan, yang tidak akan dimasuki kecuali tubuh yang baik. (Ma’mu’ al-Fatawa, 21:541).  Mereka yang Cemas ketika Makan Harta Haram Aisyah menceritakan,  Abu Bakar memiliki seorang budak. Pada suatu hari, sang budak datang dengan membawa makanan dan diberikan kepada Abu Bakar. Setelah selesai makan, sang majikan yang wara’ bertanya, ‘Itu makanan dari mana?’ Si budak menjawab: “Dulu saya pernah berpura-pura jadi dukun semasa jahiliyah. Kemudian aku meramal seseorang. Sebenarnya saya tidak bisa meramal, namun dia hanya saya tipu. Baru saja saya bertemu dengannya dan dia memberi makanan itu, yang baru saja tuan santap.” Seketika itu, Abu Bakar langsung memasukkan jarinya dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Abu Bakar mengatakan,  لو لم تخرج إلا مع نفسي لأخرجتها اللهم إني أبرأ إليك مما حملت العروق وخالط الأمعاء  Andaikan makanan itu tidak bisa keluar kecuali ruhku harus keluar (mati), aku akan tetap mengeluarkannya. Ya Allah, aku berlepas diri dari setiap yang masuk ke urat dan yang berada di lambung. (HR. Bukhari, 3554).  Kisah yang lain,  Abu Said al-Khadimy (ulama mazhab Hanafi, wafat: 1156H) meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah menitipkan 70 helai kain kepada Bisyr untuk dijual di Mesir. Tidak lupa Abu Hanifah menulis surat kepadanya bahwa kain yang telah diberi tanda, ada cacatnya. Beliau juga memintanya untuk menjelaskan cacat tersebut kepada calon pembeli.  Setelah kembali ke Irak, Bisyr menyerahkan uang hasil penjualan kepada Abu Hanifah sebanyak 3000 keping dinar (± 12,75 kg emas, dengan asumsi 1 dinar=4,25 gr).  Lalu Abu Hanifah menanyakan kepada Al Bisyr, ‘Apakah satu kain yang cacat telah kamu jelaskan kepada pembeli saat menjual?  Bisyr menjawab, “Aku lupa”.  Syahdan sang imam (Abu Hanifah) berdiri, lalu mensedekahkan seluruh hasil penjualan 70 helai kain tersebut. Sebuah nilai yang sangat besar, 12,75 kg emas.  Bantulah sang Suami untuk Mencari Nafkah yang Halal Menyadari keselamatan nafkah keluarga ada di tangan suami, selayaknya setiap wanita berusaha memotivasi suaminya untuk mencari rezeki yang halal. Tunjukkan sikap qanaah (merasa cukup dengan apa yang halal) dan bukan menjadi tipe penuntut.  Bisakah Anda memahami, salah satu faktor suami Anda rela untuk bergulat dengan kerasnya hidup adalah dalam rangka membahagiakan Anda dan keluarga. Bila perlu, dia akan berikan seisi dunia ini kepada Anda, agar Anda bisa merasa bahagia bersamanya. Tak heran, sebagian lelaki pecundang, yang merasa tertuntut untuk membahagiakan keluarga, harus tega-tegaan merenggut harta haram, demi mendapatkan target kebahagiaan yang diharapkan. Dari pada pulang dengan disambut wajah cemberut sang istri, lebih pulang dengan harta haram.  Qanaah, itulah kata kuncinya. Merasa cukup dengan yang halal, itulah intinya. Letakkan arti kebahagiaan itu di hati Anda, bukan di mulut dan perut Anda. Karena kesenangan dengan stAndar mulut dan perut adalah ciri khas binatang.  Dulu para wanita, melepas kepergian suaminya yang hendak berangkat mencari nafkah dengan nasehat yang indah. Kalimat menyejukkan yang memberikan semangat luar biasa bagi sang suami untuk mencari nafkah dengan cara yang tidak melanggar syariat. Ketika sang suami hendak berangkat, mereka berpesan,  يا أبا فلان! أطعمنا حلالا، فإنا نصبر على الجوع ولا نصبر على النار وغضب الجبار  Wahai fulan (suamiku), berilah makanan yang halal bagi kami. Kami sanggup untuk menahan diri dengan bersabar dalam kondisi lapar. Namun kami tidak sanggup untuk bersabar dari neraka dan murka al-Jabbar (Dzat Yang Maha Mutlak Ketetapan-Nya).  Sikap semacam inilah yang selayaknya Anda tiru… mereka wanita-wanita sholihah, calon-calon bidadari surga. Menghiasai kecantikan dirinya denagn kecantikan akhlaknya. Betapa bahagianya sebuah keluaga dengan kehadiran mereka di tengah-tengah mereka. Tidakkah Anda ingin menjadi seperti dari mereka…?  Jika Telah Memakan Harta Haram Segeralah bertaubat, dan memohon ampun kepada Allah. Kemudian hiasi hidup Anda dengan amal shaleh. Dalam fatwa islam ketika menjelaskan harta haram, dinyatakan,  وهذا الوعيد إنما هو في حق المصير على أكل المال الحرام الذي لم يتب ، لأن التوبة تهدم ما قبلها من الذنوب ، قال الله تعالى : (قُلْ يَا عِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ)  “Ancaman yang disebutkan dalam hadis di atas, berlaku untuk orang yang tidak bertaubat dari makan harta haram. Karena taubat bisa membinasakan dosa yang telah lewat. Allah berfirman (artinya), “Wahai para hamba-Ku yang telah melampai batas terhadap dirinya, janganlah merasa putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fatwa Islam, no. 139392).  Cara bertaubat dari harta haram ada 2: a. Harta itu diperoleh dengan cara dzalim (tanpa kerelaan). Misalnya: mencuri, merampas, korupsi, dst. Cara taubatnya mengembalikan harta itu ke pemilik atau ahli warisnya. Jika tidak menemukan, disedekahkan kepada fakir miskin atas nama pemiliknya.  b. Harta itu diperoleh dengan cara suka sama suka, seperti suap, riba, hasil zina, dst. Cara taubatnya dengan ‘membuang’ harta itu, baik disalurkan ke fakir miskin atau kegiatan sosial. Dan tidak boleh dikembalikan ke kliennnya.  Kesimpulan cara taubat harta haram ini disarikan dari Majalah Pengusaha Muslim edisi 35, yang secara khusus mengupas tentang hukum menggunakan harta haram dan cara taubatnya. Diantara artikel penting Majalah Pengusaha Muslim edisi 35 adalah,  Harta haram untuk modal usaha, karya Dr. Muhammad Arifin Baderi. Implikasi Usaha Haram, karya Ustadz Kholid Samhudi, Lc. Bertransaksi dengan Pemilik harta haram, oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi. Doa penangkal harta haram, oleh Sufyan Fuad Basweidan, M.A. Zakat dengan harta haram, sahkah? Oleh Muhammad Yasir, Lc.   Referensi : Ketika Suami Berpenghasilan Haram

Ketika Suami Berpenghasilan Haram. Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Ustadz.

Afwan, terkait suami yang memberikan nafkah kepada keluarganya dari pekerjaan yang haram, saya masih bingung memahami antara hadis

Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih layak baginya.”

Dengan kaidah fikih perubahan kepemilikan akan merubah status (merubah yang haram menjadi halal).

Seperti pada kasus seorang suami yang menjadi hakim yang berhukum tidak dengan hukum Islam. Gaji yang diterimanya haram, tetapi ketika diberikan kepada anak isterinya, maka statusnya menjadi halal.

1. Apakah itu artinya gaji haram dari suami tadi, boleh dimanfaatkan oleh istri dan anaknya untuk kebutuhan makan/minum? Lalu bagaimana dengan hadis Nabi di atas?

2. Apakah cukup bagi istri dengan mengingkari pekerjaan suaminya dan selalu berusaha memberikan nasihat kepada si suami agar meninggalkan pekerjaannya?

3. Ataukah si istri harus mencari nafkah sendiri yang ia bisa memastikan kehalalannya dan menolak nafkah dari suaminya?

Mohon nasihatnya. Jazakallaahu khairan.

Dari: Fulanah

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Salah satu diantara musibah besar yang menimpa sebagian keluarga muslim adalah, penghasilan sang suami sebagai penanggung jawab nafkah dari sumber yang haram. Meskipun bisa jadi mereka terlihat tidur nyenyak, di rumah megah nan sejuk ber-AC, dengan mobil mewah anti debu dan polusi, namun sejatinya hati mereka tidak akan bisa tenang. Sehebat apapun fasilitas yang mereka miliki, mereka tidak akan bisa menggapai ketenangan, layaknya orang yang berpenghasilan murni halal.

Dalam sebuah kesempatan, saya bertemu dengan salah satu jamaah masjid yang cukup berada. Setelah saling akrab, saya bertanya, “Bapak PNS?” “Bukan hanya pegawai swasta.” Jawab beliau. Merasa penasaran, saya melanjutkan bertanya, “Perusahaan apa Pak?” Yang aneh dari sang Bapak, beliau tidak menjawab langsung, tapi terdiam sejenak. Setelah lama ditunggu, dengan malu-malu beliau menjawab, “…mm saya di BPR.”

Allah Akbar… Siapa saya, sehingga beliau sampai harus malu menjawabnya. Siapa saya, sampai orang yang usianya tidak layak dibandingkan dengan penanya harus malu menjawabnya. Saya semakin yakin, seperti itu pula yang akan dialami oleh setiap orang memegang harta haram. Karena seperti itulah yang Allah nashkan dalam Alquran,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Siapa yang berpaling dari peringatan yang Aku turunkan, dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124).

Sementara mereka yang bergelut dengan harta haram tidak jauh dari ayat ini.

Daging-daging Bahan Bakar Neraka

Dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Tidak ada daging yang tumbuh dari as-suht, kecuali neraka lebih layak baginya.” (HR. Turmudzi 614 dan dishahihkan al-Albani).

Dalam riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Tidak akan masuk surga, daging yang tumbuh dari as-suht, maka neraka lebih layak baginya.” (HR. Ahmad 14032 dengan sanad jayid sebagaimana keterangan al-Albani).

Dimanakah Anda wahai para kepala keluarga! Halalkah pekerjaan Anda wahai para penanggung jawab nafkah! Jika Anda sangat mengkhawatirkan kesehatan mereka, sudahkah Anda mencemaskan keselamatan daging-daging mereka? Pernahkah Anda mengkhawatirkan anak dan istri Anda ketika mereka makan bara api neraka? Berusahalah mencari yang halal, dan jangan korbankan diri Anda dan tubuh Anda.

Syaikhul Islam mengatakan,

الطَّعَامَ يُخَالِطُ الْبَدَنَ وَيُمَازِجُهُ وَيَنْبُتُ مِنْهُ فَيَصِيرُ مَادَّةً وَعُنْصُرًا لَهُ ، فَإِذَا كَانَ خَبِيثًا صَارَ الْبَدَنُ خَبِيثًا فَيَسْتَوْجِبُ النَّارَ ؛ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (كُلُّ جِسْمٍ نَبَتَ مَنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ) . وَالْجَنَّةُ طَيِّبَةٌ لَا يَدْخُلُهَا إلَّا طَيِّبٌ

Makanan akan bercampur dengan tubuh dan tumbuh menjadi jaringan dan sel penyusunnya. Jika makanan itu jelek maka badan menjadi jelek, sehingga layak untuknya neraka. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, ‘Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka neraka layak untuknya.‘ Sementara surga adalah kebaikan, yang tidak akan dimasuki kecuali tubuh yang baik. (Ma’mu’ al-Fatawa, 21:541).

Mereka yang Cemas ketika Makan Harta Haram

Aisyah menceritakan,

Abu Bakar memiliki seorang budak. Pada suatu hari, sang budak datang dengan membawa makanan dan diberikan kepada Abu Bakar. Setelah selesai makan, sang majikan yang wara’ bertanya, ‘Itu makanan dari mana?’ Si budak menjawab: “Dulu saya pernah berpura-pura jadi dukun semasa jahiliyah. Kemudian aku meramal seseorang. Sebenarnya saya tidak bisa meramal, namun dia hanya saya tipu. Baru saja saya bertemu dengannya dan dia memberi makanan itu, yang baru saja tuan santap.” Seketika itu, Abu Bakar langsung memasukkan jarinya dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Abu Bakar mengatakan,

لو لم تخرج إلا مع نفسي لأخرجتها اللهم إني أبرأ إليك مما حملت العروق وخالط الأمعاء

Andaikan makanan itu tidak bisa keluar kecuali ruhku harus keluar (mati), aku akan tetap mengeluarkannya. Ya Allah, aku berlepas diri dari setiap yang masuk ke urat dan yang berada di lambung. (HR. Bukhari, 3554).

Kisah yang lain,

Abu Said al-Khadimy (ulama mazhab Hanafi, wafat: 1156H) meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah menitipkan 70 helai kain kepada Bisyr untuk dijual di Mesir. Tidak lupa Abu Hanifah menulis surat kepadanya bahwa kain yang telah diberi tanda, ada cacatnya. Beliau juga memintanya untuk menjelaskan cacat tersebut kepada calon pembeli.

Setelah kembali ke Irak, Bisyr menyerahkan uang hasil penjualan kepada Abu Hanifah sebanyak 3000 keping dinar (± 12,75 kg emas, dengan asumsi 1 dinar=4,25 gr).

Lalu Abu Hanifah menanyakan kepada Al Bisyr, ‘Apakah satu kain yang cacat telah kamu jelaskan kepada pembeli saat menjual?

Bisyr menjawab, “Aku lupa”.

Syahdan sang imam (Abu Hanifah) berdiri, lalu mensedekahkan seluruh hasil penjualan 70 helai kain tersebut. Sebuah nilai yang sangat besar, 12,75 kg emas.

Bantulah sang Suami untuk Mencari Nafkah yang Halal

Menyadari keselamatan nafkah keluarga ada di tangan suami, selayaknya setiap wanita berusaha memotivasi suaminya untuk mencari rezeki yang halal. Tunjukkan sikap qanaah (merasa cukup dengan apa yang halal) dan bukan menjadi tipe penuntut.

Bisakah Anda memahami, salah satu faktor suami Anda rela untuk bergulat dengan kerasnya hidup adalah dalam rangka membahagiakan Anda dan keluarga. Bila perlu, dia akan berikan seisi dunia ini kepada Anda, agar Anda bisa merasa bahagia bersamanya. Tak heran, sebagian lelaki pecundang, yang merasa tertuntut untuk membahagiakan keluarga, harus tega-tegaan merenggut harta haram, demi mendapatkan target kebahagiaan yang diharapkan. Dari pada pulang dengan disambut wajah cemberut sang istri, lebih pulang dengan harta haram.

Qanaah, itulah kata kuncinya. Merasa cukup dengan yang halal, itulah intinya. Letakkan arti kebahagiaan itu di hati Anda, bukan di mulut dan perut Anda. Karena kesenangan dengan stAndar mulut dan perut adalah ciri khas binatang.

Dulu para wanita, melepas kepergian suaminya yang hendak berangkat mencari nafkah dengan nasehat yang indah. Kalimat menyejukkan yang memberikan semangat luar biasa bagi sang suami untuk mencari nafkah dengan cara yang tidak melanggar syariat. Ketika sang suami hendak berangkat, mereka berpesan,

يا أبا فلان! أطعمنا حلالا، فإنا نصبر على الجوع ولا نصبر على النار وغضب الجبار

Wahai fulan (suamiku), berilah makanan yang halal bagi kami. Kami sanggup untuk menahan diri dengan bersabar dalam kondisi lapar. Namun kami tidak sanggup untuk bersabar dari neraka dan murka al-Jabbar (Dzat Yang Maha Mutlak Ketetapan-Nya).

Sikap semacam inilah yang selayaknya Anda tiru… mereka wanita-wanita sholihah, calon-calon bidadari surga. Menghiasai kecantikan dirinya denagn kecantikan akhlaknya. Betapa bahagianya sebuah keluaga dengan kehadiran mereka di tengah-tengah mereka. Tidakkah Anda ingin menjadi seperti dari mereka…?

Jika Telah Memakan Harta Haram

Segeralah bertaubat, dan memohon ampun kepada Allah. Kemudian hiasi hidup Anda dengan amal shaleh. Dalam fatwa islam ketika menjelaskan harta haram, dinyatakan,

وهذا الوعيد إنما هو في حق المصير على أكل المال الحرام الذي لم يتب ، لأن التوبة تهدم ما قبلها من الذنوب ، قال الله تعالى : (قُلْ يَا عِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ)

“Ancaman yang disebutkan dalam hadis di atas, berlaku untuk orang yang tidak bertaubat dari makan harta haram. Karena taubat bisa membinasakan dosa yang telah lewat. Allah berfirman (artinya), “Wahai para hamba-Ku yang telah melampai batas terhadap dirinya, janganlah merasa putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fatwa Islam, no. 139392).

Cara bertaubat dari harta haram ada 2:

a. Harta itu diperoleh dengan cara dzalim (tanpa kerelaan). Misalnya: mencuri, merampas, korupsi, dst. Cara taubatnya mengembalikan harta itu ke pemilik atau ahli warisnya. Jika tidak menemukan, disedekahkan kepada fakir miskin atas nama pemiliknya.

b. Harta itu diperoleh dengan cara suka sama suka, seperti suap, riba, hasil zina, dst. Cara taubatnya dengan ‘membuang’ harta itu, baik disalurkan ke fakir miskin atau kegiatan sosial. Dan tidak boleh dikembalikan ke kliennnya.

Kesimpulan cara taubat harta haram ini disarikan dari Majalah Pengusaha Muslim edisi 35, yang secara khusus mengupas tentang hukum menggunakan harta haram dan cara taubatnya. Diantara artikel penting Majalah Pengusaha Muslim edisi 35 adalah,

  • Harta haram untuk modal usaha, karya Dr. Muhammad Arifin Baderi.
  • Implikasi Usaha Haram, karya Ustadz Kholid Samhudi, Lc.
  • Bertransaksi dengan Pemilik harta haram, oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi.
  • Doa penangkal harta haram, oleh Sufyan Fuad Basweidan, M.A.
  • Zakat dengan harta haram, sahkah? Oleh Muhammad Yasir, Lc.


Referensi : Ketika Suami Berpenghasilan Haram