Dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis, suatu ketika bisa saja suami istri berselisih paham dari persoalan yang kecil sampai masalah yang menimbulkan perceraian. Dalam kondisi seperti ini, jika kesalahan fatal datang dari pihak suami, maka istri memiliki hak untuk meminta cerai dari suami (khulu’). Khulu’ adalah berpisahnya suami dari istri dengan memberi ganti yang diambil suami dari istri atau selainnya. ‘iwadh khulu’ merupakan pemberian ganti rugi oleh seorang istri untuk memperoleh talak dari suami.
Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah bagaimana penetapan persayaratan hak ‘iwadh khulu’ menurut pendapat Mazhab Maliki, dan bagaimana dalil serta metode istinbath hukum yang digunakan oleh Mazhab Maliki dalam penetapan keabsahan khulu’. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Reaserach), dengan metode pengumpulan data dari dokumentasi , dan penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Dan sumber data primer yaitu kitab-kitab Imam Malik yang berkenaan dengan ‘iwadh khulu’. Berdasarkan hasil penelitian, menurut Imam Malik khulu’ memiliki dua kemungkinan.
Pertama, boleh terjadinya khulu’ tanpa adanya ‘iwadh. Alasan Imam Malik berpendapat seperti ini karena beliau menyamakan khulu’ seperti halnya talak. Kedua, tidak sah khulu’ tanpa adanya ‘iwadh (sesuatu), kecuali si lelaki meniatkan khulu’ istri itu sebagai talak. Serta tidak membolehkan suami mengambil pembayaran khulu’ itu lebih besar dari apa yang diberikan apabila kesalahan itu datang dari suami, akan tetapi jika si istri ridha dan tidak merasa berat hati tidak mengapa.
Kemudian cara penetapan hukum yang digunakan oleh Imam Malik lebih berfokus pada pola penetapan hukum berdasarkan kepada nash al-Bayan bi al-Qaul yaitu penjelasan melalui sabda Rasulullah SAW atau firman Allah SWT. Hal ini berdasarkan kepada Hadis yang telah diriwayatkan dari Imam Malik, dan juga Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Al-Nasaiy dan Ibnu Abbas yaitu perihal Habibah binti Sahal yang mana istrinya tidak lagi ingin bersama suaminya karena khawatir tidak akan dapat menjalankan kewajibannya dan merasa takut akan kufur maka dibolehkan khulu’.
Dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis, suatu ketika bisa saja suami istri berselisih paham dari persoalan yang kecil sampai masalah yang menimbulkan perceraian. Dalam kondisi seperti ini, jika kesalahan fatal datang dari pihak suami, maka istri memiliki hak untuk meminta cerai dari suami (khulu’). Khulu’ adalah berpisahnya suami dari istri dengan memberi ganti yang diambil suami dari istri atau selainnya. ‘iwadh khulu’ merupakan pemberian ganti rugi oleh seorang istri untuk memperoleh talak dari suami.
Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah bagaimana penetapan persayaratan hak ‘iwadh khulu’ menurut pendapat Mazhab Maliki, dan bagaimana dalil serta metode istinbath hukum yang digunakan oleh Mazhab Maliki dalam penetapan keabsahan khulu’. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Reaserach), dengan metode pengumpulan data dari dokumentasi , dan penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Dan sumber data primer yaitu kitab-kitab Imam Malik yang berkenaan dengan ‘iwadh khulu’. Berdasarkan hasil penelitian, menurut Imam Malik khulu’ memiliki dua kemungkinan.
Pertama, boleh terjadinya khulu’ tanpa adanya ‘iwadh. Alasan Imam Malik berpendapat seperti ini karena beliau menyamakan khulu’ seperti halnya talak. Kedua, tidak sah khulu’ tanpa adanya ‘iwadh (sesuatu), kecuali si lelaki meniatkan khulu’ istri itu sebagai talak. Serta tidak membolehkan suami mengambil pembayaran khulu’ itu lebih besar dari apa yang diberikan apabila kesalahan itu datang dari suami, akan tetapi jika si istri ridha dan tidak merasa berat hati tidak mengapa. Kemudian cara penetapan hukum yang digunakan oleh Imam Malik lebih berfokus pada pola penetapan hukum berdasarkan kepada nash al-Bayan bi al-Qaul yaitu penjelasan melalui sabda Rasulullah SAW atau firman Allah SWT.
Hal ini berdasarkan kepada Hadis yang telah diriwayatkan dari Imam Malik, dan juga Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Al-Nasaiy dan Ibnu Abbas yaitu perihal Habibah binti Sahal yang mana istrinya tidak lagi ingin bersama suaminya karena khawatir tidak akan dapat menjalankan kewajibannya dan merasa takut akan kufur maka dibolehkan khulu’.