Perceraian bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sebuah pengalaman yang membuatku tak lagi berpikir untuk menikah lagi. Sejak ketuk palu pun aku berusaha untuk menaruh perhatianku sepenuhnya pada diri sendiri, pekerjaan dan anak. Menikmati waktu-waktu tanpa ikatan pernikahan. Aku tidak benci menikah. Namun aku berpikir bahwa pernikahan bukan untuk semua orang. Bukan untuk membenarkan diriku atas kegagalan pernikahan yang dialami. Hanya aku melihat banyak contoh di sekelilingku yang membuktikan bahwa pernikahan bukanlah segalanya. Mereka memilih untuk berkarier dan menikmati hidup sepenuhnya. Bergaul dengan banyak orang, aktif di masyarakat dan kegiatan sosial dan berplesir melihat dunia lebih jauh. Ada dari mereka memiliki pasangan tapi tidak sampai menikah dan mereka baik-baik saja. Hidup bahagia.Aku berpikir bahwa pernikahan bukan untuk semua orang.Nyatanya, untuk berkomitmen sejujurnya tidak perlu sampai menikah. Rasanya kita tetap bisa hidup bersama satu orang sampai akhir hayat meski tidak ada ikatan pernikahan. Kalau memang kita bahagia bersama dengan pasangan, bisa mencintai dan merasa dicintai, menggapai impian dan bertumbuh bersama, saling mendukung, semuanya sebenarnya cukup untuk tidak sampai ke jenjang pernikahan. Jangan sampai kita mendasari pernikahan hanya karena usia atau tekanan-tekanan dari sisi eksternal diri baik keluarga atau teman-teman yang hampir semuanya sudah menikah.
Ketika suamiku yang sekarang melamar, konstan ketakutan dan keraguan menyerang begitu hebat. Tentu saja bukan karena aku tidak yakin bersama dia justru lantaran ingin membuat kesempatan kedua ini lebih baik. Di kesempatan pertama, aku berkontribusi besar akan kegagalannya. Aku yang dulu terbilang seseorang yang sulit. Seseorang yang cukup emosional, tidak mau mendengarkan, dan terlalu berpusat pada pemikiran sendiri. Tentu saja aku tidak lagi ingin merasakan perceraian. Makanya aku berusaha untuk terus merefleksikan diri lebih dalam hingga akhirnya mantap kembali dalam status pernikahan. Aku tahu benar perasaanku dengannya berbeda dari perasaanku dengan suami terdahulu. Kini belajar untuk bisa bersabar, mengendalikan emosi, mendengarkan orang lain, dan terlebih belajar untuk bisa hidup bersanding dengan orang lain. Di kala bersamanya suara hatiku seringkali mengingatkan: “Inilah waktunya aku dewasa, aku harus bisa jadi lebih baik.” Pada akhirnya aku pun setuju mengarungi pernikahan dengannya sebab semua hal baik yang kami percaya akan terjadi termasuk kebaikan untuk anak-anak kami. Menikah menjadi langkah yang tepat untuk kami tempuh.
Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Bagiku, jika masih diberikan kesempatan untuk hidup di hari ini aku akan berusaha sekeras mungkin untuk menjadi lebih baik. Tidak hanya untuk diriku sendiri tapi juga untuk orang di sekitarku. Pemikiran inilah yang membuatku lebih optimis dan positif menatap masa depan. Tidak lama setelah bercerai, jujur aku merasa amat bersalah pada mantan suami. Kembali menjadi teman dan menjadi orangtua untuk anak kami memerlukan waktu yang cukup panjang. Penuh dengan refleksi. Aku tidak pernah menyesal menikah dengannya. Aku pun tidak menyesal berpisah dengannya sebab aku tahu kami akan jauh lebih bahagia tidak bersama. Bagaimanapun juga perpisahan membekaliku pelajaran berharga. Aku jadi punya kesadaran untuk memperbaiki diri hingga kami sekarang punya hubungan yang jauh lebih baik ketimbang saat masih menjadi suami istri. Kami saling terbuka dengan apa yang sedang kami jalani dan sudah saling memaafkan atas apa yang terjadi di masa lalu. Bagi kami sekarang prioritasnya adalah mencintai dan menyayangi anak tunggal kami tanpa ada perubahan apapun. Bagaimana bisa membuat sang buah hati bahagia meski kami tidak lagi bersama. Ini juga yang kami bicarakan pada anak kami agar dia tak perlu khawatir akan perasaan kehilangan. Kami memastikan dia tak akan kekurangan sosok kedua orang tuanya.Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Bagiku, jika masih diberikan kesempatan untuk hidup di hari ini aku akan berusaha sekeras mungkin untuk menjadi lebih baik.
Atas semua yang telah berlangsung, aku pun memahami bahwa jodoh tidak pernah ada yang tahu. Konsep The One di mana ada kehadiran satu orang untuk selamanya sepertinya kurang tepat. Namun aku percaya akan The One pada satu masa tertentu. Itu semua tergantung pada kondisi kita pada satu masa itu. Seperti aku dengan mantan suamiku. Dia adalah The One untuk sekian lama. Dia ada di masa itu untuk memberikan pengajaran padaku. Membuatku menyadari bagaimana tidak menyenangkannya seorang Melissa Karim tujuh tahun lalu. Seperti halnya suamiku yang sekarang memberikan pengajaran di masa kami ini sekarang. Dialah The One pada kesempatan kedua ini. Konsep The One di mana ada kehadiran satu orang untuk selamanya sepertinya kurang tepat. Namun aku percaya akan The One pada satu masa tertentu.
Referensi : Kesempatan Ke Dua