Senin, 26 September 2022

Jangan Ada Pencitraan dengan Allah Swt

Jangan ada pencitraan dengan Allah. Pencitraan itu bagaimana orang menilai sisi baik kita. Sehingga orang pun terpesona, tertarik, dan memuji kita. Tapi, bagaimana jika itu dalam urusan privasi kita dengan Allah?  Dalam keseharian, semua mungkin terbiasa dengan pencitraan. Disadari atau tidak. Di rumah kita mengenakan baju sederhana, sementara jika keluar dengan baju istimewa. Di rumah kita agak galak, tapi ketika di luar ramahnya luar biasa. Ada yang lain lagi. Di rumah kita irit tenaga. Tapi ketika di luar, rajinnya luar biasa. Di rumah kita agak biasa bicara kasar. Tapi di luar, lembutnya bukan main.  Mungkin masih banyak yang lain lagi. Sesuatu yang menggambarkan seolah diri kita memiliki dua isi yang berbeda. Satu isi menampakkan nilai biasa, tapi isi lain menunjukkan istimewa.Perbedaan drastis itu hanya muncul ketika ada mata-mata lain yang berbeda. Bukan mata yang biasa.  Tapi, dari mata orang lain, dari mata orang banyak, dan dari mata yang akan menilai siapa kita.  Jangan Jadikan Hubungan dengan Allah sebagai Bagian Pencitraan. Dalam urusan muamalah, boleh jadi, itu sudah menjadi kelaziman. Lazim jika orang yang berada di luar rumah mengenakan baju bagus untuk memenuhi standar adab dan budaya.  Lazim juga orang menahan diri untuk tidak mudah marah ketika di luar rumah. Dan masih banyak lagi yang lain.  Namun, jangan disamakan ketika ada hubungan khusus dengan Allah subhanahu wata’ala. Jangan jadikan hubungan itu sebagai bagian dari variabel pencitraan.  Jangan sampai kita menampakkan dua isi diri kita dalam hal hubungan khusus ini, hanya karena ingin menaikkan penilaian orang lain terhadap kita.  Karena hubungan khusus ini teramat sakral, teramat mahal, teramat agung untuk dijadikan modifikasi tentang siapa kita.  Allah bukan busana. Allah bukan tata krama. Allah bukan hiasan. Allah bukan logo tentang kita. Allah bukan itu semua.  Dan Allah Maha Tahu tentang isi diri kita Di mana pun kita berada.  Di mana pun kita berada, Allahnya sama. Dengan siapa pun kita bersama saat beribadah, Allahnya juga sama.  Di momen apa pun kita menunjukkan ketaatan dan ketakwaan, Allahnya juga itu-itu juga. Lalu, kenapa seolah ada Allah yang berbeda ketika kita sendiri dan ketika bersama orang lain, sedikit atau banyak.  Kenapa seolah ada Allah yang berbeda ketika kita di rumah dan ketika di momen besar bersama orang banyak.  Sadarkah kalau ini yang kita lakukan, kita seperti sedang mempermainkan Allah. Kita seperti sedang menjadikan Allah sebagai alat untuk menaikkan citra diri kita.  Allah Maha Agung dari yang mungkin kita lakukan itu. Dia Pemilik dan Penguasa alam raya. Dia Pencipta dari semua yang ada.  Dia Berkehendak melakukan apa pun sesuka-Nya. Lalu siapa kita yang berani menjadikan Allah sebagai alat untuk menaikkan citra.  “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu melalui perbuatan yang aku sadari, dan yang tak kusadari.”  Ibadah itu sakral. Tidak boleh ada yang ngedompleng di momen agung ini. Di mana pun itu dilakukan: ketika sendiri, saat berada di rumah, maupun ketika disaksikan orang banyak

Jangan ada pencitraan dengan Allah. Pencitraan itu bagaimana orang menilai sisi baik kita. Sehingga orang pun terpesona, tertarik, dan memuji kita. Tapi, bagaimana jika itu dalam urusan privasi kita dengan Allah?

Dalam keseharian, semua mungkin terbiasa dengan pencitraan. Disadari atau tidak. Di rumah kita mengenakan baju sederhana, sementara jika keluar dengan baju istimewa. Di rumah kita agak galak, tapi ketika di luar ramahnya luar biasa. Ada yang lain lagi. Di rumah kita irit tenaga. Tapi ketika di luar, rajinnya luar biasa. Di rumah kita agak biasa bicara kasar. Tapi di luar, lembutnya bukan main.

Mungkin masih banyak yang lain lagi. Sesuatu yang menggambarkan seolah diri kita memiliki dua isi yang berbeda. Satu isi menampakkan nilai biasa, tapi isi lain menunjukkan istimewa.Perbedaan drastis itu hanya muncul ketika ada mata-mata lain yang berbeda. Bukan mata yang biasa.

Tapi, dari mata orang lain, dari mata orang banyak, dan dari mata yang akan menilai siapa kita.  Jangan Jadikan Hubungan dengan Allah sebagai Bagian Pencitraan. Dalam urusan muamalah, boleh jadi, itu sudah menjadi kelaziman. Lazim jika orang yang berada di luar rumah mengenakan baju bagus untuk memenuhi standar adab dan budaya.

Lazim juga orang menahan diri untuk tidak mudah marah ketika di luar rumah. Dan masih banyak lagi yang lain.

Namun, jangan disamakan ketika ada hubungan khusus dengan Allah subhanahu wata’ala. Jangan jadikan hubungan itu sebagai bagian dari variabel pencitraan.

Jangan sampai kita menampakkan dua isi diri kita dalam hal hubungan khusus ini, hanya karena ingin menaikkan penilaian orang lain terhadap kita.

Karena hubungan khusus ini teramat sakral, teramat mahal, teramat agung untuk dijadikan modifikasi tentang siapa kita.

Allah bukan busana. Allah bukan tata krama. Allah bukan hiasan. Allah bukan logo tentang kita. Allah bukan itu semua.

Dan Allah Maha Tahu tentang isi diri kita

Di mana pun kita berada.

Di mana pun kita berada, Allahnya sama. Dengan siapa pun kita bersama saat beribadah, Allahnya juga sama.

Di momen apa pun kita menunjukkan ketaatan dan ketakwaan, Allahnya juga itu-itu juga. Lalu, kenapa seolah ada Allah yang berbeda ketika kita sendiri dan ketika bersama orang lain, sedikit atau banyak.

Kenapa seolah ada Allah yang berbeda ketika kita di rumah dan ketika di momen besar bersama orang banyak.

Sadarkah kalau ini yang kita lakukan, kita seperti sedang mempermainkan Allah. Kita seperti sedang menjadikan Allah sebagai alat untuk menaikkan citra diri kita.

Allah Maha Agung dari yang mungkin kita lakukan itu. Dia Pemilik dan Penguasa alam raya. Dia Pencipta dari semua yang ada.

Dia Berkehendak melakukan apa pun sesuka-Nya. Lalu siapa kita yang berani menjadikan Allah sebagai alat untuk menaikkan citra.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu melalui perbuatan yang aku sadari, dan yang tak kusadari.”

Ibadah itu sakral. Tidak boleh ada yang ngedompleng di momen agung ini. Di mana pun itu dilakukan: ketika sendiri, saat berada di rumah, maupun ketika disaksikan orang banyak.


Referensi : Jangan Ada Pencitraan dengan Allah Swt




Kita diperintahkan untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,  اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ  “Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).  Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,  وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى  “Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)  Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,  لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ  “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).  Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,  تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ  “Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).  Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,  وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ  “Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)  Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.  ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,  مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ  “Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”  ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,  لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا  “Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)  Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.  Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.  Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,  يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ  “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)  Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:  Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah). Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair). Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair). Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan. Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.  Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh  Dalam ayat disebutkan,  يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ  “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.  Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).  Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.  Sebagaimana disebutkan dalam ayat,  وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ  “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)  Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.  Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,  فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا  “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)  Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).  Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ  “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)  Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ  “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).  Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.  Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.  Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,  يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ  “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).  Kelima: Doa sulit dikabulkan  Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه  ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)  Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:  Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).  Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).  Menengadahkan tangan ke langit.  Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.  Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.  Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina  Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ  “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).         Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi  Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,    إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ    “Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).

Kita diperintahkan untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).

Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,

وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى

“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)

Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)

Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)

Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.

Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.

Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:

  • Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
  • Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
  • Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
  • Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
  • Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
  • Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.

Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh

Dalam ayat disebutkan,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).

Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.

Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).

Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).

Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.

Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.

Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Kelima: Doa sulit dikabulkan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه

‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)

Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:

Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).

Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).

Menengadahkan tangan ke langit.

Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.

Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.

Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).

Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).

Pertanyaan yang harus ditanyakan setiap gadis saat taaruf sangat penting diketahui. Pernikahan adalah perjanjian penting yang harus diperhatikan oleh setiap gadis Muslim dengan sangat serius.  Mengenal calon pasangan sangat penting pada tahap pertama. Cara terbaik untuk saling mengenal adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan.  Berikut adalah daftar panjang pertanyaan penting untuk diajukan kepada calon suami:   Berapa umurmu? Apa negara tempat tinggal Anda? Apa negara kelahiran Anda? Bagaimana kamu menggambarkan diri Anda? Apa yang kamu cari dalam diri seorang istri? Apa pekerjaan yang kamu lakukan? Apa hal yang paling Anda hargai dalam hidup Anda? Pernahkah kamu menikah sebelumnya? Apakah kamu memiliki penyakit fisik atau mental? Apa konsep pernikahan kamu? Apa harapan kamu pada pernikahan? Apa cita-citamu? Mengapa kamu memilih saya sebagai pasangan potensial? Apa peran agama dalam hidup kamu? Apa pemahaman kamu tentang pernikahan Islami? Apakah kamu orang yang aktif di komunitas Muslim? Apakah kamu terlibat dalam kegiatan sukarela? Dalam pemahaman kamu, apa peran seorang suami dan apa peran seorang istri? Apakah kamu ingin mempraktikkan poligami? Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga kamu? Apakah kamu berencana meminta seseorang dari keluarga kamu tinggal bersamamu setelah menikah? Apakah kamu punya teman atau sahabat dari lawan jenis? Bagaimana tingkat persahabatan kamu? Bagaimana kamu menghabiskan uang? Bagaimana kamu menghemat uang? Apa yang kamu lakukan di waktu luang? Bagaimana kamu membuat keputusan? Bagaimana kamu mengekspresikan kemarahan? Menurut kamu, bagaimana perselisihan perkawinan harus diselesaikan? Tolong definisikan pelecehan mental, verbal, dan emosional. Apakah kamu bersedia mencari konseling perkawinan jika merasa diperlukan? Apakah kamu mendukung gagasan istri yang bekerja? Apakah kamu mengharapkan istri ikut berbagi tanggung jawab finansial bersama dengan kamu?
Pertanyaan yang harus ditanyakan setiap gadis saat taaruf sangat penting diketahui. Pernikahan adalah perjanjian penting yang harus diperhatikan oleh setiap gadis Muslim dengan sangat serius.

Mengenal calon pasangan sangat penting pada tahap pertama. Cara terbaik untuk saling mengenal adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan.

Berikut adalah daftar panjang pertanyaan penting untuk diajukan kepada calon suami: 

  1. Berapa umurmu?
  2. Apa negara tempat tinggal Anda?
  3. Apa negara kelahiran Anda?
  4. Bagaimana kamu menggambarkan diri Anda?
  5. Apa yang kamu cari dalam diri seorang istri?
  6. Apa pekerjaan yang kamu lakukan?
  7. Apa hal yang paling Anda hargai dalam hidup Anda?
  8. Pernahkah kamu menikah sebelumnya?
  9. Apakah kamu memiliki penyakit fisik atau mental?
  10. Apa konsep pernikahan kamu?
  11. Apa harapan kamu pada pernikahan?
  12. Apa cita-citamu?
  13. Mengapa kamu memilih saya sebagai pasangan potensial?
  14. Apa peran agama dalam hidup kamu?
  15. Apa pemahaman kamu tentang pernikahan Islami?
  16. Apakah kamu orang yang aktif di komunitas Muslim?
  17. Apakah kamu terlibat dalam kegiatan sukarela?
  18. Dalam pemahaman kamu, apa peran seorang suami dan apa peran seorang istri?
  19. Apakah kamu ingin mempraktikkan poligami?
  20. Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga kamu?
  21. Apakah kamu berencana meminta seseorang dari keluarga kamu tinggal bersamamu setelah menikah?
  22. Apakah kamu punya teman atau sahabat dari lawan jenis?
  23. Bagaimana tingkat persahabatan kamu?
  24. Bagaimana kamu menghabiskan uang?
  25. Bagaimana kamu menghemat uang?
  26. Apa yang kamu lakukan di waktu luang?
  27. Bagaimana kamu membuat keputusan?
  28. Bagaimana kamu mengekspresikan kemarahan?
  29. Menurut kamu, bagaimana perselisihan perkawinan harus diselesaikan?
  30. Tolong definisikan pelecehan mental, verbal, dan emosional.
  31. Apakah kamu bersedia mencari konseling perkawinan jika merasa diperlukan?
  32. Apakah kamu mendukung gagasan istri yang bekerja?
  33. Apakah kamu mengharapkan istri ikut berbagi tanggung jawab finansial bersama dengan kamu?

Berlomba-lomba Dalam Kemegahan Dunia, Apa yang Didapat? Dalam sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia. Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termahsyur adalah kisah Qarun. Di dalam surat Al- Qashash ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Ta’ala berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya.  Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Ta’ala. Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia. Allah Ta’ala menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman,  الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡ‌ۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ  “Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)  Jelas sudah, bahwa kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.  Menurut KH Abdullah Gymnastiar atau dai yang dikenal dengan sapaan Aa Gym, saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam  “Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya,”ungkapnya dalam salah satu tausiyahnya di MQTV ini.  Aa Gym mengajak kita renungkan pesan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terkandung dalam surat At Takatsur,  “Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8). Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.  Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . Karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.  Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.  Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan
Berlomba-lomba Dalam Kemegahan Dunia, Apa yang Didapat? Dalam sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia. Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termahsyur adalah kisah Qarun.

Di dalam surat Al- Qashash ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Ta’ala berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya.

Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Ta’ala. Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia. Allah Ta’ala menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡ‌ۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

“Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)

Jelas sudah, bahwa kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.

Menurut KH Abdullah Gymnastiar atau dai yang dikenal dengan sapaan Aa Gym, saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam

“Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya,”ungkapnya dalam salah satu tausiyahnya di MQTV ini.

Aa Gym mengajak kita renungkan pesan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terkandung dalam surat At Takatsur,

“Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8). Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.

Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . Karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.

Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.

Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.

Amalan Qaashir dan Muta’addi. Apa itu amalan qaashir dan amalan muta’addi?   Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ    “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)     Memahami amalan qaashir dan amalan muta’addi  Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kita perlu mengenal dua amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi.  Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).    Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.     Manakah yang lebih afdal, apakah amalan qaashir ataukah amalan muta’addi?  Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.    Di antaranya yang dijadikan dalil adalah hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,    وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ    “Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).  Juga hadits,    فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ    “Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406; dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).  Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,    مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا    “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)    Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)    Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan bahwa keutamaan di sini dari sisi jenis, bukan berarti semua amalan muta’addi lebih afdal dari amalan qaashir. Shalat, puasa, dan haji termasuk dalam ibadah qaashirah—dalam hukum asalnya–, namun ibadah ini termasuk dalam rukun Islam dan merupakan amalan Islam paling penting. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8.    Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, para ulama berkata,  إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ      “Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)    Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.    Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.    Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar. Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.    Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya. Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.”    Referensi : Amalan Qaashir dan Muta’addi


Amalan Qaashir dan Muta’addi. Apa itu amalan qaashir dan amalan muta’addi?   Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ


Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)

 

Memahami amalan qaashir dan amalan muta’addi


Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kita perlu mengenal dua amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi.

Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).


Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.

 

Manakah yang lebih afdal, apakah amalan qaashir ataukah amalan muta’addi?


Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.


Di antaranya yang dijadikan dalil adalah hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ


“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).

Juga hadits,


فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ


“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406; dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا


“Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)


Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)


Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan bahwa keutamaan di sini dari sisi jenis, bukan berarti semua amalan muta’addi lebih afdal dari amalan qaashir. Shalat, puasa, dan haji termasuk dalam ibadah qaashirah—dalam hukum asalnya–, namun ibadah ini termasuk dalam rukun Islam dan merupakan amalan Islam paling penting. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8.


Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, para ulama berkata,

إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ



“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)


Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.


Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.


Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar. Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.


Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya. Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.”


Referensi : Amalan Qaashir dan Muta’addi