Kamis, 15 September 2022

Janda dan Anak Korban Perceraian Perlu Diperhatikan Serius

Penghujung tahun dan menyambut tahun baru, ada rutinitas yang sudah empat tahun saya lakukan, yaitu menutup beberapa buku catatan dan mempersiapkan buku catatan baru, salah satunya  buku adalah buku catatan penerimaan perkara dan pembagian perkara kepada majelis hakim.  Selama 5  kali menutup buku catatan, ada hal yang sama, menarik perhatian sekaligus membuat hati saya galau dan selalu merenung.      Hal yang sama adalah perceraian semakin meningkat, Perempuan lebih banyak mengajukan gugatan cerai yang menghampiri 4 : 1,  anak-anak korban perceraian makin bertambah  dan perempuan sebagai kepala rumah tangga semakin meningkat.  Di tahun 2011, saya pernah menulis artikel “Perceraian Meningkat, Solusi atau Tragedi”. Ketika itu saya berpikir perceraian adalah solusi bagi pasangan suami istri yang rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan keharmonisannya, rumah tangganya subah pecah dan terjadi perselisihan terus menerus yang tidak mungkin ada jalan keluarnya, dan tragedi bagi pasangan suami istri yang hanya dengan masalah kecil, lalu mengajukan perceraian ke Pengadilan. Di akhir tahun 2012, saya mencoba meneliti kembali alasan-alasan percerian yang diajukan para pihak berperkara, saya merenung dan mengambil kesimpulan sementara bahwa percerian meningkat adalah sebuah tragedi. Perceraian meningkat bukan lagi khusus ditempat penulis bertugas, namun merata di seluruh Indonesia, sehingga tragedinya bukan lagi tragedi daerah, namun tragedi nasional.  Asumsi itu dilatarbelakangi oleh pemikiran:  Perceraian meningkat akan menimbulkan persoalan bagi anak-anak bangsa.  Biasanya perceraian terjadi bagi pasangan suami istri yang telah melahirkan 1 sampai 3 orang anak, bahkan ada pasangan suami istri yang telah dikarunia 6 sampai 7 orang anak.  Hal itu akan menimbulkan permasalahan besar bagi pemenuhan kebutuhan dasar anak, menyangkut kebutuhan nafkah, pendidikan, figure yang dapat diteladani dalam rumah tangga, perlindingan dan pengawasan dari hal-hal negative dan dari segi fsikologi diperlukan pemdamingan untuk anak-anak korban perceraian. Perceraian juga menimbulkan dampak bagi pasangan suami istri (janda dan duda) terutama yang masih muda. Perceraian rentang menimbulkan konplik karena perebutan harta gonogini dan masalah-masalah yang terkait dengan gonogini, perebutan hak pemeliharaan anak dan lain sebagainya. Permasalah-permasalah yang ditimbulkan akibat dari perceraian, kini belum mendapat perhatian yang serius, apalagi penanganan khusus bagi anak-anak korban perceraian daan janda-janda yang hidup dalam frustrasi, janda-janda yang harus hidup dengan beban memelihara dan membiayai anak sendiri pasca perceraian. Persoalan keluarga seperti ini sangat memungkinkan menjadi tragedi nasional karena dapat menjadi salah satu sumber kemiskinan, kebodohan dan penganggugan karena korbannya muda kehilangan semangat untuk menciptakan prestasi dan inovasi.  Rapuhnya nilai-nilai sakralitas perkawinan yang pada gilirannya menyebabkan perceraian semakin meningkat disebabkan:  Perkawinan dilaksanakan tanpa kesiapan dari masing-masing pasangan.  Dari segi ekonomi misalnya, tidak sedikit perempuan mengajukan gugatan cerai karena sejak menikah tidak pernah diberi nafkah oleh sang suami karena suami tidak mempunyai pekerjaan, perkawinan dilaksanakan pada usia masih muda dan belum siap untuk bekerja mencari nafkah.  Dari segi kesiapan mental, tidak berbilang lagi cerai gugat atau cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama khususnya tempat tugas penulis karena alasan perbedaan keinginan mengenai tempat tinggal, sang istri tidak mau berpisah dengan orang tuanya demikian sebaliknya atau ada salah satu pihak yang ingin mandiri.  Apabila perkawinan terlaksana oleh pasangan yang sudah matang pemikirannya dan memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga, perbedaan tentang tempat tinggal bersama tidak akan menjadi prahara dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Perubahan pola pikir.  Pengaruh mas media.  Suatu hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia kini adalah pengaruh mas media.  Di berbagai tayangan dipertontonkan pasangan muda yang begitu mudahnya bercerai.  Hal ini disadari atau tidak, sangat besar pengaruhnya untuk merubah pola pikir dan prilaku masyarakat umumnya menyangkut perkawinan dan rumah tangga, sehingga persoalan yang hanya sepele menjadi pemicu perselisihan dan perceraian.  Misalnya, sang suami menerima telpon salah sambung, lalu sang istri mencurigai ada wanita lain, menjadi penyebab perselisihan dan tidak terselesaikan karena tidak ada komunikasi yang sehat dalam rumah tangga,  berakhir dengan perceraian. Tanggung jawab terhadap anak tidak dipahami dan dampak perceraian tidak pernah dipikirkan. Dari ketiga indikator tersebut, yang perlu mendapat catatan khusus adalah dampak perceraian bagi anak-anak.  Semakin meningkat perceraian semakin  meningkat pula jumlah anak sebagai generasi pelanjut yang secara psikis menderita.  Dari pengalaman penulis  sebagai praktisi, dampak yang paling ringan adalah menurunnya prestasi belajar anak akibat perceraian orang tuanya.  (anak menjadi bingung mau ikut siapa, ayah atau ibu, kehilangan idola yang harus diteladani dalam rumah tangga).  Gejolak hati tidak dipahami oleh para orang  tua, tetapi menjadi salah satu indikator ketidak seimbang anak dalam meniti hidup dan kehidupannya.  Ketika perceraian makin meningkat, semakin meningkat pula anak yang broken home.  Hasil akhirnya adalah mengurangi jumlah generasi (anak bangsa) yang berkualitas.  Anak sangat memerlukan cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan.  Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur  orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri.  Anak sangat butuh cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya dalam pembentukan jati diri dan indentitas diri.  Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata.  Dengan latar belakang pemikiran itu, meningkatnya perceraian merupakan tragedi, dan pantaslah apabila  persoalan meningkatnya perceraian menjadi keprihatinan banyak kalangan, namun bukan  keprihatian yang dibutuhkan kini, tetapi solusi mengatasi dan meredam terjadinya prahara rumah tangga, menekan perceraian serta pemdapingan bagi anak dan perempuan korban percraian.  Ada beberapa hal yang perlu dikaji  menyangkut masalah perkawinan:  Tentang Usia Perkawinan.  Pada Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur usia perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki.  Pada kenyataannya tidak sedikit  perkara yang penulis tangani karena menikah dengan usia sekitar itu (usia masih belia).  Usia belia, belum matang secara emosional,  belum mandiri dari sisi ekonomi dan secara spiritual (kecenderungan beragama) juga belum mantap. Adanya kecenderungan beragama misalnya merupakan hijab untuk berbuat sesuatu yang menjadi pemicu keretakan rumah tangga.  Agama mengajarkan untuk menjalin komunikasi dengan baik (musyawarah), bertutur sapa dengan lemah lembut, sederhana dalam segala hal dan lain sebagainya.  Dari segi ekonomi, rumah tangga dibangun sangat ditopang dengan kemampuan finansial, walau tidak berorientasi materialistik.  Rumah tangga tidak bisa tenang apabila pada malam harinya pasangan suami istri masih memikirkan apa yang akan dimakan esok harinya.  Penyuluhan/Pembekalan tentang tujuan perkawinan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga sebelum menikah kepada calon mempelai pria dan wanita benar-benar dilakukan secara bersunguh-sunguh. Penyuluh yang akan memberi pembekalan bagi pasangan yang akan menikah adalah personal yang betul memahami masalah perkawinan terutama tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan juga dapat memberi keteladanan. Tayangan tentang kawin cerai di media massa diminimalisir atau sekaligus ditiadakan.   Referensi : Janda dan Anak Korban Perceraian Perlu Diperhatikan Serius

Penghujung tahun dan menyambut tahun baru, ada rutinitas yang sudah empat tahun saya lakukan, yaitu menutup beberapa buku catatan dan mempersiapkan buku catatan baru, salah satunya  buku adalah buku catatan penerimaan perkara dan pembagian perkara kepada majelis hakim.  Selama 5  kali menutup buku catatan, ada hal yang sama, menarik perhatian sekaligus membuat hati saya galau dan selalu merenung.  


Hal yang sama adalah perceraian semakin meningkat, Perempuan lebih banyak mengajukan gugatan cerai yang menghampiri 4 : 1,  anak-anak korban perceraian makin bertambah  dan perempuan sebagai kepala rumah tangga semakin meningkat.

Di tahun 2011, saya pernah menulis artikel “Perceraian Meningkat, Solusi atau Tragedi”. Ketika itu saya berpikir perceraian adalah solusi bagi pasangan suami istri yang rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan keharmonisannya, rumah tangganya subah pecah dan terjadi perselisihan terus menerus yang tidak mungkin ada jalan keluarnya, dan tragedi bagi pasangan suami istri yang hanya dengan masalah kecil, lalu mengajukan perceraian ke Pengadilan. Di akhir tahun 2012, saya mencoba meneliti kembali alasan-alasan percerian yang diajukan para pihak berperkara, saya merenung dan mengambil kesimpulan sementara bahwa percerian meningkat adalah sebuah tragedi. Perceraian meningkat bukan lagi khusus ditempat penulis bertugas, namun merata di seluruh Indonesia, sehingga tragedinya bukan lagi tragedi daerah, namun tragedi nasional.

Asumsi itu dilatarbelakangi oleh pemikiran:

  1. Perceraian meningkat akan menimbulkan persoalan bagi anak-anak bangsa.  Biasanya perceraian terjadi bagi pasangan suami istri yang telah melahirkan 1 sampai 3 orang anak, bahkan ada pasangan suami istri yang telah dikarunia 6 sampai 7 orang anak.  Hal itu akan menimbulkan permasalahan besar bagi pemenuhan kebutuhan dasar anak, menyangkut kebutuhan nafkah, pendidikan, figure yang dapat diteladani dalam rumah tangga, perlindingan dan pengawasan dari hal-hal negative dan dari segi fsikologi diperlukan pemdamingan untuk anak-anak korban perceraian.
  2. Perceraian juga menimbulkan dampak bagi pasangan suami istri (janda dan duda) terutama yang masih muda.
  3. Perceraian rentang menimbulkan konplik karena perebutan harta gonogini dan masalah-masalah yang terkait dengan gonogini, perebutan hak pemeliharaan anak dan lain sebagainya.

Permasalah-permasalah yang ditimbulkan akibat dari perceraian, kini belum mendapat perhatian yang serius, apalagi penanganan khusus bagi anak-anak korban perceraian daan janda-janda yang hidup dalam frustrasi, janda-janda yang harus hidup dengan beban memelihara dan membiayai anak sendiri pasca perceraian. Persoalan keluarga seperti ini sangat memungkinkan menjadi tragedi nasional karena dapat menjadi salah satu sumber kemiskinan, kebodohan dan penganggugan karena korbannya muda kehilangan semangat untuk menciptakan prestasi dan inovasi.

Rapuhnya nilai-nilai sakralitas perkawinan yang pada gilirannya menyebabkan perceraian semakin meningkat disebabkan:

  1. Perkawinan dilaksanakan tanpa kesiapan dari masing-masing pasangan.  Dari segi ekonomi misalnya, tidak sedikit perempuan mengajukan gugatan cerai karena sejak menikah tidak pernah diberi nafkah oleh sang suami karena suami tidak mempunyai pekerjaan, perkawinan dilaksanakan pada usia masih muda dan belum siap untuk bekerja mencari nafkah.  Dari segi kesiapan mental, tidak berbilang lagi cerai gugat atau cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama khususnya tempat tugas penulis karena alasan perbedaan keinginan mengenai tempat tinggal, sang istri tidak mau berpisah dengan orang tuanya demikian sebaliknya atau ada salah satu pihak yang ingin mandiri.  Apabila perkawinan terlaksana oleh pasangan yang sudah matang pemikirannya dan memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga, perbedaan tentang tempat tinggal bersama tidak akan menjadi prahara dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian.
  2. Perubahan pola pikir.  Pengaruh mas media.  Suatu hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia kini adalah pengaruh mas media.  Di berbagai tayangan dipertontonkan pasangan muda yang begitu mudahnya bercerai.  Hal ini disadari atau tidak, sangat besar pengaruhnya untuk merubah pola pikir dan prilaku masyarakat umumnya menyangkut perkawinan dan rumah tangga, sehingga persoalan yang hanya sepele menjadi pemicu perselisihan dan perceraian.  Misalnya, sang suami menerima telpon salah sambung, lalu sang istri mencurigai ada wanita lain, menjadi penyebab perselisihan dan tidak terselesaikan karena tidak ada komunikasi yang sehat dalam rumah tangga,  berakhir dengan perceraian.
  3. Tanggung jawab terhadap anak tidak dipahami dan dampak perceraian tidak pernah dipikirkan.

Dari ketiga indikator tersebut, yang perlu mendapat catatan khusus adalah dampak perceraian bagi anak-anak.  Semakin meningkat perceraian semakin  meningkat pula jumlah anak sebagai generasi pelanjut yang secara psikis menderita.  Dari pengalaman penulis  sebagai praktisi, dampak yang paling ringan adalah menurunnya prestasi belajar anak akibat perceraian orang tuanya.  (anak menjadi bingung mau ikut siapa, ayah atau ibu, kehilangan idola yang harus diteladani dalam rumah tangga).  Gejolak hati tidak dipahami oleh para orang  tua, tetapi menjadi salah satu indikator ketidak seimbang anak dalam meniti hidup dan kehidupannya.  Ketika perceraian makin meningkat, semakin meningkat pula anak yang broken home.  Hasil akhirnya adalah mengurangi jumlah generasi (anak bangsa) yang berkualitas.

Anak sangat memerlukan cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan.  Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur  orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri.  Anak sangat butuh cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya dalam pembentukan jati diri dan indentitas diri.  Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata.

Dengan latar belakang pemikiran itu, meningkatnya perceraian merupakan tragedi, dan pantaslah apabila  persoalan meningkatnya perceraian menjadi keprihatinan banyak kalangan, namun bukan  keprihatian yang dibutuhkan kini, tetapi solusi mengatasi dan meredam terjadinya prahara rumah tangga, menekan perceraian serta pemdapingan bagi anak dan perempuan korban percraian.

Ada beberapa hal yang perlu dikaji  menyangkut masalah perkawinan:

  1. Tentang Usia Perkawinan.  Pada Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur usia perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki.  Pada kenyataannya tidak sedikit  perkara yang penulis tangani karena menikah dengan usia sekitar itu (usia masih belia).  Usia belia, belum matang secara emosional,  belum mandiri dari sisi ekonomi dan secara spiritual (kecenderungan beragama) juga belum mantap.

Adanya kecenderungan beragama misalnya merupakan hijab untuk berbuat sesuatu yang menjadi pemicu keretakan rumah tangga.  Agama mengajarkan untuk menjalin komunikasi dengan baik (musyawarah), bertutur sapa dengan lemah lembut, sederhana dalam segala hal dan lain sebagainya.

Dari segi ekonomi, rumah tangga dibangun sangat ditopang dengan kemampuan finansial, walau tidak berorientasi materialistik.  Rumah tangga tidak bisa tenang apabila pada malam harinya pasangan suami istri masih memikirkan apa yang akan dimakan esok harinya.

  1. Penyuluhan/Pembekalan tentang tujuan perkawinan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga sebelum menikah kepada calon mempelai pria dan wanita benar-benar dilakukan secara bersunguh-sunguh.
  2. Penyuluh yang akan memberi pembekalan bagi pasangan yang akan menikah adalah personal yang betul memahami masalah perkawinan terutama tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan juga dapat memberi keteladanan.
  3. Tayangan tentang kawin cerai di media massa diminimalisir atau sekaligus ditiadakan.


Referensi : Janda dan Anak Korban Perceraian Perlu Diperhatikan Serius