Jumat, 09 September 2022

Dampak Negatif dari Pekerjaan Haram

Ilustrasi : Dampak Negatif dari Pekerjaan Haram Dampak Negatif dari Pekerjaan Haram. Sebagaimana halnya racun yang merusak organ tubuh peminumnya, pekerjaan haram juga punya efek serupa (hanya saja yang rusak adalah amal ibadahnya, red). Hal tersebut sudah menjadi aksioma di sisi ahlul ‘ilmi (dari zaman dahulu hingga sekarang). Namun terkadang, nada pesimistis masih sering kita dengar dari sebagian saudara-saudara kita yang mengatakan, “La wong nyari pekerjaan yang haram saja sulit je, apalagi yang halal rek!”, atau pernyataan, “Boro-boro nyari duit halal, la wong nyari yang haram saja susah!” atau pernyataan sejenis lainnya. Ada dua kemungkinan (yang menimpa orang-orang seperti ini, red), pertama; ia benar-benar belum mengetahui, atau kedua; ia sudah mengetahui namun tidak mengimani firman Allah Azza wa Jall –yang sering kita dengar di ceramah-ceramaah keagamaan- berikut;  وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ  “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkannya (i.e keperluannya).” (QS. ath-Thalaq: 2-3)  Atau sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu dari beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;  (( لَو أَنَّكُم تَوكَّلُون على اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطاناً ))  “Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang hakiki, niscaya Dia memberikan kalian rizki seperti Dia memberi rizki kepada burung-burung yang keluar (pada) pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian pulang (pada) sore hari dalam keadaan kenyang.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad 1/20, 52, at-Tirmidzi no. 2344, an-Nasaa’i 8/79, Ibnu Majah no. 4164, Ibn al-Mubarak dalam az-Zuhdu no. 559, al-Baghaawi dalam Syarh as-Sunnah hadits no. 4108. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban hadits no. 730 dan al-Hakim 4/318)  al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan;  وحقيقة التوكّل : هو صدقُ اعتماد القلب على الله U في استجلاب المصالح ، ودفعِ المضارِّ من أمور الدنيا والآخرة كُلِّها ، وكِلَةُ الأمور كلّها إليه ، وتحقيق الإيمان بأنه لا يُعطي ولا يمنعُ ولا يَضرُّ ولا ينفع سواه  “Hakikat tawakkal adalah ketergantungan hati dengan jujur kepada Allah Azza wa Jall dalam mendatangkan kemashlahatan dan menolak mudzarat dari seluruh urusan dunia dan akhirat. Tawakkal juga berarti menyerahkan seluruh persoalan kepada Allah. Tawakkal juga berarti merealisir iman bahwa tidak ada yang bisa memberi, menahan pemberian, membuat mudzarat, dan mendatangkan kemashlahatan kecuali Allah.”  Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- juga mengatakan;  واعلم أنَّ تحقيق التوكل لا يُنافي السَّعي في الأسباب التي قدَّر الله سبحانه المقدورات بها ، وجرت سُنَّته في خلقه بذلك ، فإنَّ الله تعالى أمر بتعاطي الأسباب مع أمره بالتوكُّل ، فالسَّعيُ في الأسباب بالجوارح طاعةٌ له ، والتوكُّلُ بالقلب عليه إيمانٌ به، كما قال الله تعالى  “Ketahuilah bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan upaya mencari sebab-sebab yang ditakdirkan Allah dan merupakan ketentuan-Nya di makhluk, karena Allah Ta’ala memerintahkan mengambil sebab-sebab sekaligus memerintahkan tawakkal. Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan organ tubuh adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala;  } يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ {  “Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kalian.” (QS. an-Nisa’: 71)  Allah Ta’ala berfirman;  وقال : } وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ {  “Dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat.” (QS. al-Anfal: 60)  Allah Ta’ala berfirman;  وقال : } فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ {  “Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)  وقال سهل التُّستَرِي : من طعن في الحركة - يعني : في السعي والكسب - فقد طعن في السُّنة ، ومن طعن في التوكل ، فقد طعن في الإيمان ، فالتوكل حالُ النَّبيِّ r ، والكسب سنَّتُه ، فمنعمل على حاله ، فلا يتركنّ سنته  Shahl at-Tusturi berkata, ‘Barangsiapa mencela kerja, sungguh ia mencela sunnah. Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia mencela iman.’ Karena tawakkal adalah kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan kerja adalah sunnah beliau. Oleh sebab itu, barangsiapa beramal seperti kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ia jangan sekali-kali meninggalkan sunnah beliau.”[Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/496-497, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]  Kerja yang dimaksud di atas tentunya pekerjaan yang halal. Maka dari itu sangatlah aneh jika ada di antara kita yang khusyu’ bertawakkal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala (khususnya ketika membutuhkan sesuatu), namun secara bersamaan memilih sebab-sebab yang bertentangan dengan syariat-Nya dalam mencari rizki. Baiklah, mari kita fokus kembali kepada topic utama artikel ini, i.e mengenai bahayanya harta yang diperoleh dari pekerjaan haram (atau harta yang diperoleh dengan cara yang haram) terhadap dunia dan akhirat seseorang. Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan; Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;  (( إنَّ الله طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إلاَّ طيِّباً ، وإنَّ الله تعالى أمرَ المُؤْمِنينَ بما أمرَ به المُرسَلين ، فقال : } يَا أَيُّهَاالرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحا { ، وقال تعالى : } يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُم { ، ثمَّ ذكَرَ الرَّجُلَ يُطيلُ السَّفرَ : أَشْعَثَ أَغْبَرَ ، يمُدُّ يدَيهِ إلى السَّماءِ : يا رَب يا رب ، وَمَطْعَمُهُ حَرامٌ ، ومَشْرَبُهُ حَرامٌ ، وَمَلْبَسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالحَرَامِ ، فأنَّى يُستَجَابُ لِذلكَ ؟))  “Sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul, ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun: 51). Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.’ (al-Baqarah: 172).” Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangan ke langit seraya berkata, “Ya Rabbku, Ya Rabbku,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dengan sesuatu yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?.” (HR. Muslim no. 1015, at-Tirmidzi no. 2989, Imam Ahmad 2/328, dan ad-Darimi 2/300)  al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan hadits di atas; “Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal. Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, ‘Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ itu lebih luas, maksudnya yaitu Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi kata, ‘baik/ suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan dan keyakinan. Ketiga hal tersebut terbagi ke dalam dua bagian; baik dan buruk.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/259, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]  Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan; “Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi orang Mukmin adalah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik, amalnya menjadi berkembang. Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makanan yang halal dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ beliau bersabda bahwa Allah memerintahkan kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’ala berfirman;  } يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً {  ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun: 51)  Allah Ta’ala berfirman;  } يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ {  ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.’ (al-Baqarah: 172).’  Maksudnya bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan (untuk) makan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/260, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]  Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;  وقال أبو عبد الله الناجي الزاهد رحمه الله : خمسُ خصال بها تمامُ العمل : الإيمان بمعرفة الله U ، ومعرفةُ الحقِّ ، وإخلاصُ العمل للهِ ، والعمل على السُّنَّةِ ، وأكلُ الحلالِ، فإن فُقدَتْ واحدةٌ، لم يرتفع العملُ ، وذلك أنَّك إذا عرَفت اللهU ، ولم تَعرف الحقَّ ، لم تنتفع ، وإذا عرفتَ الحقَّ ، ولم تَعْرِفِ الله ، لم تنتفع ، وإنْ عرفتَ الله ، وعرفت الحقَّ ، ولم تُخْلِصِ العمل ، لم تنتفع ، وإنْ عرفت الله ، وعرفت الحقَّ، وأخلصت العمل ، ولم يكن على السُّنة ، لم تنتفع ، وإنْ تمَّتِ الأربع ، ولم يكن الأكلُ من حلال لم تنتفع  “Abu Abdullah an-Naji –raheemahullahu- berkata, ‘Ada lima hal dimana dengannya amal menjadi sempurna; Pertama, Beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jall. Kedua, mengenal kebenaran. Ketiga, mengikhlaskan amal karena Allah. Keempat beramal sesuai sunnah. Kelima, memakan (makanan) halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jall namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tak berguna. Jika engkau mengenal Allah dan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran dan mengikhlaskan amal namun tidak sesuai dengan sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi empat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna.’” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/262-263, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]  Dari keterangan yang panjang di atas anda bisa menarik benang merahnya sendiri, bagaimanakah kiranya nilai sedekah seseorang (termasuk juga amal shalih yang lain e.g memerdekakakan budak, membangun masjid, memperbaiki jalan dll yang manfaatnya dirasakan oleh manusia, red) di sisi Allah ‘Azza wa Jall jika uang yang ia gunakan itu berasal dari hasil pencurian, korupsi, mengambil harta orang lain dengan cara bathil (e.g maks/ pajak/ bea cukai atau praktek ribawi), atau hasil perjudian, atau hasil jual beli barang-barang haram (e.g daging babi, minuman keras, narkoba, rokok dll)?. Akan-kah ia mendapatkan pahala?.  Dalam sebuah hadits berderajat hasan yang diriwayatkan dari Diraj dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;  (( من كسب مالاً حراماً ، فتصدق به ، لم يكن له فيه أجرٌ ، وكان إصرُه عليه ))  “Barangsiapa mendapatkan harta haram kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3368)  Hadits ini sekaligus merupakan jawaban yang gamblang terhadap pertanyaan di atas. Itu baru mengenai amal shalih yang terkait langsung dengan harta e.g sedekah dll, lantas bagaimana kiranya dengan doa-doa yang ternyata juga tidak dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jall sekalipun sebab-sebab terkabulnya doa melekat pada dirinya semisal safar dalam keadaan lusuh, mengangkat tangan ketika berdoa, bertawassul dengan nama Allah dll (sebagaimana redaksi akhir hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu di atas)?. Jika demikian pahitnya akibat yang bakal dirasakan (oleh seseorang) yang menggeluti pekerjaan haram secara syar’i, tentu orang yang berakal akan berpikir dua kali, kemudian berkata, “Apalah artinya kedudukan yang tinggi, status sosial yang membanggakan, kekayaan yang melimpah, popularitas yang memabukkan, namun harta yang kami peroleh berasal dari perkerjaan yang haram atau dari jalan-jalan yang haram. Lalu harta itu kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok diri-diri kami dan keluarga kami (i.e anak dan istri kami) seperti makan, minum, pakaian, kendaraan, rumah, sedekah dll yang ternyata dengannya amal ibadah menjadi tidak bernilai dan doa-doa tidak terkabulkan.” Duhai ruginya orang-orang seperti ini,.. Bersyukurlah mereka yang meskipun pendapatannya kecil, masih bisa hidup dari pekerjaan yang halal dan baik.

Dampak Negatif dari Pekerjaan Haram. Sebagaimana halnya racun yang merusak organ tubuh peminumnya, pekerjaan haram juga punya efek serupa (hanya saja yang rusak adalah amal ibadahnya, red). Hal tersebut sudah menjadi aksioma di sisi ahlul ‘ilmi (dari zaman dahulu hingga sekarang). Namun terkadang, nada pesimistis masih sering kita dengar dari sebagian saudara-saudara kita yang mengatakan, “La wong nyari pekerjaan yang haram saja sulit je, apalagi yang halal rek!”, atau pernyataan, “Boro-boro nyari duit halal, la wong nyari yang haram saja susah!” atau pernyataan sejenis lainnya. Ada dua kemungkinan (yang menimpa orang-orang seperti ini, red), pertama; ia benar-benar belum mengetahui, atau kedua; ia sudah mengetahui namun tidak mengimani firman Allah Azza wa Jall –yang sering kita dengar di ceramah-ceramaah keagamaan- berikut;

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkannya (i.e keperluannya).” (QS. ath-Thalaq: 2-3)

Atau sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu dari beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;

(( لَو أَنَّكُم تَوكَّلُون على اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطاناً ))

“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang hakiki, niscaya Dia memberikan kalian rizki seperti Dia memberi rizki kepada burung-burung yang keluar (pada) pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian pulang (pada) sore hari dalam keadaan kenyang.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad 1/20, 52, at-Tirmidzi no. 2344, an-Nasaa’i 8/79, Ibnu Majah no. 4164, Ibn al-Mubarak dalam az-Zuhdu no. 559, al-Baghaawi dalam Syarh as-Sunnah hadits no. 4108. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban hadits no. 730 dan al-Hakim 4/318)

al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan;

وحقيقة التوكّل : هو صدقُ اعتماد القلب على الله U في استجلاب المصالح ، ودفعِ المضارِّ من أمور الدنيا والآخرة كُلِّها ، وكِلَةُ الأمور كلّها إليه ، وتحقيق الإيمان بأنه لا يُعطي ولا يمنعُ ولا يَضرُّ ولا ينفع سواه

“Hakikat tawakkal adalah ketergantungan hati dengan jujur kepada Allah Azza wa Jall dalam mendatangkan kemashlahatan dan menolak mudzarat dari seluruh urusan dunia dan akhirat. Tawakkal juga berarti menyerahkan seluruh persoalan kepada Allah. Tawakkal juga berarti merealisir iman bahwa tidak ada yang bisa memberi, menahan pemberian, membuat mudzarat, dan mendatangkan kemashlahatan kecuali Allah.”

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- juga mengatakan;

واعلم أنَّ تحقيق التوكل لا يُنافي السَّعي في الأسباب التي قدَّر الله سبحانه المقدورات بها ، وجرت سُنَّته في خلقه بذلك ، فإنَّ الله تعالى أمر بتعاطي الأسباب مع أمره بالتوكُّل ، فالسَّعيُ في الأسباب بالجوارح طاعةٌ له ، والتوكُّلُ بالقلب عليه إيمانٌ به، كما قال الله تعالى

“Ketahuilah bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan upaya mencari sebab-sebab yang ditakdirkan Allah dan merupakan ketentuan-Nya di makhluk, karena Allah Ta’ala memerintahkan mengambil sebab-sebab sekaligus memerintahkan tawakkal. Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan organ tubuh adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala;

} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ {

“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kalian.” (QS. an-Nisa’: 71)

Allah Ta’ala berfirman;

وقال : } وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ {

“Dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat.” (QS. al-Anfal: 60)

Allah Ta’ala berfirman;

وقال : } فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ {

“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)

وقال سهل التُّستَرِي : من طعن في الحركة - يعني : في السعي والكسب - فقد طعن في السُّنة ، ومن طعن في التوكل ، فقد طعن في الإيمان ، فالتوكل حالُ النَّبيِّ r ، والكسب سنَّتُه ، فمنعمل على حاله ، فلا يتركنّ سنته

Shahl at-Tusturi berkata, ‘Barangsiapa mencela kerja, sungguh ia mencela sunnah. Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia mencela iman.’ Karena tawakkal adalah kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan kerja adalah sunnah beliau. Oleh sebab itu, barangsiapa beramal seperti kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ia jangan sekali-kali meninggalkan sunnah beliau.”[Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/496-497, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]

Kerja yang dimaksud di atas tentunya pekerjaan yang halal. Maka dari itu sangatlah aneh jika ada di antara kita yang khusyu’ bertawakkal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala (khususnya ketika membutuhkan sesuatu), namun secara bersamaan memilih sebab-sebab yang bertentangan dengan syariat-Nya dalam mencari rizki. Baiklah, mari kita fokus kembali kepada topic utama artikel ini, i.e mengenai bahayanya harta yang diperoleh dari pekerjaan haram (atau harta yang diperoleh dengan cara yang haram) terhadap dunia dan akhirat seseorang. Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan; Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

(( إنَّ الله طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إلاَّ طيِّباً ، وإنَّ الله تعالى أمرَ المُؤْمِنينَ بما أمرَ به المُرسَلين ، فقال : } يَا أَيُّهَاالرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحا { ، وقال تعالى : } يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُم { ، ثمَّ ذكَرَ الرَّجُلَ يُطيلُ السَّفرَ : أَشْعَثَ أَغْبَرَ ، يمُدُّ يدَيهِ إلى السَّماءِ : يا رَب يا رب ، وَمَطْعَمُهُ حَرامٌ ، ومَشْرَبُهُ حَرامٌ ، وَمَلْبَسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالحَرَامِ ، فأنَّى يُستَجَابُ لِذلكَ ؟))

“Sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul, ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun: 51). Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.’ (al-Baqarah: 172).” Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangan ke langit seraya berkata, “Ya Rabbku, Ya Rabbku,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dengan sesuatu yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?.” (HR. Muslim no. 1015, at-Tirmidzi no. 2989, Imam Ahmad 2/328, dan ad-Darimi 2/300)

al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan hadits di atas; “Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal. Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, ‘Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ itu lebih luas, maksudnya yaitu Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi kata, ‘baik/ suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan dan keyakinan. Ketiga hal tersebut terbagi ke dalam dua bagian; baik dan buruk.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/259, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan; “Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi orang Mukmin adalah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik, amalnya menjadi berkembang. Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makanan yang halal dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ beliau bersabda bahwa Allah memerintahkan kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’ala berfirman;

} يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً {

‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun: 51)

Allah Ta’ala berfirman;

} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ {

‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.’ (al-Baqarah: 172).’

Maksudnya bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan (untuk) makan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/260, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وقال أبو عبد الله الناجي الزاهد رحمه الله : خمسُ خصال بها تمامُ العمل : الإيمان بمعرفة الله U ، ومعرفةُ الحقِّ ، وإخلاصُ العمل للهِ ، والعمل على السُّنَّةِ ، وأكلُ الحلالِ، فإن فُقدَتْ واحدةٌ، لم يرتفع العملُ ، وذلك أنَّك إذا عرَفت اللهU ، ولم تَعرف الحقَّ ، لم تنتفع ، وإذا عرفتَ الحقَّ ، ولم تَعْرِفِ الله ، لم تنتفع ، وإنْ عرفتَ الله ، وعرفت الحقَّ ، ولم تُخْلِصِ العمل ، لم تنتفع ، وإنْ عرفت الله ، وعرفت الحقَّ، وأخلصت العمل ، ولم يكن على السُّنة ، لم تنتفع ، وإنْ تمَّتِ الأربع ، ولم يكن الأكلُ من حلال لم تنتفع

“Abu Abdullah an-Naji –raheemahullahu- berkata, ‘Ada lima hal dimana dengannya amal menjadi sempurna; Pertama, Beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jall. Kedua, mengenal kebenaran. Ketiga, mengikhlaskan amal karena Allah. Keempat beramal sesuai sunnah. Kelima, memakan (makanan) halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jall namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tak berguna. Jika engkau mengenal Allah dan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran dan mengikhlaskan amal namun tidak sesuai dengan sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi empat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna.’” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/262-263, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]

Dari keterangan yang panjang di atas anda bisa menarik benang merahnya sendiri, bagaimanakah kiranya nilai sedekah seseorang (termasuk juga amal shalih yang lain e.g memerdekakakan budak, membangun masjid, memperbaiki jalan dll yang manfaatnya dirasakan oleh manusia, red) di sisi Allah ‘Azza wa Jall jika uang yang ia gunakan itu berasal dari hasil pencurian, korupsi, mengambil harta orang lain dengan cara bathil (e.g maks/ pajak/ bea cukai atau praktek ribawi), atau hasil perjudian, atau hasil jual beli barang-barang haram (e.g daging babi, minuman keras, narkoba, rokok dll)?. Akan-kah ia mendapatkan pahala?.

Dalam sebuah hadits berderajat hasan yang diriwayatkan dari Diraj dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

(( من كسب مالاً حراماً ، فتصدق به ، لم يكن له فيه أجرٌ ، وكان إصرُه عليه ))

“Barangsiapa mendapatkan harta haram kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3368)

Hadits ini sekaligus merupakan jawaban yang gamblang terhadap pertanyaan di atas. Itu baru mengenai amal shalih yang terkait langsung dengan harta e.g sedekah dll, lantas bagaimana kiranya dengan doa-doa yang ternyata juga tidak dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jall sekalipun sebab-sebab terkabulnya doa melekat pada dirinya semisal safar dalam keadaan lusuh, mengangkat tangan ketika berdoa, bertawassul dengan nama Allah dll (sebagaimana redaksi akhir hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu di atas)?. Jika demikian pahitnya akibat yang bakal dirasakan (oleh seseorang) yang menggeluti pekerjaan haram secara syar’i, tentu orang yang berakal akan berpikir dua kali, kemudian berkata, “Apalah artinya kedudukan yang tinggi, status sosial yang membanggakan, kekayaan yang melimpah, popularitas yang memabukkan, namun harta yang kami peroleh berasal dari perkerjaan yang haram atau dari jalan-jalan yang haram. Lalu harta itu kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok diri-diri kami dan keluarga kami (i.e anak dan istri kami) seperti makan, minum, pakaian, kendaraan, rumah, sedekah dll yang ternyata dengannya amal ibadah menjadi tidak bernilai dan doa-doa tidak terkabulkan.” Duhai ruginya orang-orang seperti ini,.. Bersyukurlah mereka yang meskipun pendapatannya kecil, masih bisa hidup dari pekerjaan yang halal dan baik.


Referensi : Dampak Negatif dari Pekerjaan Haram