Perceraianku dengan mantan suami memang penuh dengan drama. Maklum, kami adalah lovebirds sejak zaman SMA. Terlalu sulit untuk aku bisa menerima kenyataan ini. Meski perceraian ini adalah sesuatu yang aku sepakati, tapi aku masih tidak bisa terima dengan apa yang sudah dia lakukan kepadaku.
Intinya, aku masih tidak bisa terima jika anak-anak mendapat sentuhan pendidikan yang tidak baik dari ayahnya. Aku takut, anak-anak akan merasa bingung dengan perbedaan pola asuh antara aku dan ayahnya. Terlebih, dia seenaknya mengenalkan “mamah baru” kepada anak-anak. Dia pikir anak-anak akan ikut bahagia dengan kabar bahagia yang dia bawa? Dia pikir, anak-anak tidak akan sedih dengan semua itu? Tidak, kami sedih. Dan jujur, maaf kami tidak ikut bahagia.
Aku sudah cukup mendapat banyak nasihat dari berbagai pihak. Dari psikolog, konsultan pernikahan, hingga ustazah. Intinya, mereka mengingatkan aku bahwa anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Meski ayahnya tidak menafkahinya. Jujur, sisi egoisku menolak semua itu. Kok enak sekali ya jadi mantan suamiku? Seenaknya selingkuh, seenaknya menelantarkan kami, lalu sekarang, bukannya aku dikuatkan, malah aku yang terus didesak untuk memaafkan dan menerima dia demi anak-anak. Aku sampai stres, merasa sepertinya dunia ini tidak ada yang memihakku.
Aku pernah sampai melampiaskannya pada banyak hal. Dari mulai mogok ikut pengajian, memblokir komunikasi dengan teman-teman ngaji, sampai menjalin kedekatan dengan banyak laki-laki. Aku kembali diingatkan, katanya, aku nggak pantes deket-deket sama banyak cowok gitu. Apalagi posisiku sebagai seorang janda, yang tentu bisa menimbulkan banyak fitnah, dan pandangan negatif dari orang-orang sekitar.
Kembali, sisi egoisku menolak semua itu. Kenapa jika aku yang melakukan, semua serba salah? Semua serba dilarang? Kenapa saat mantan suamiku selingkuh, tidak ada yang berani menyalahkannya? Padahal sudah jelas-jelas dia menginjak-injak harga diriku dengan mengatakan bahwa dia sudah menikah dengan perempuan itu dan sudah menceraikanku. Padahal memasukkan berkas ke pengadilan saja belum. Aku merasa terhina ketika itu. Tapi apa yang dikatakan teman-temanku ketika itu? “Sabar,” katanya.
Aku sampai bertanya-tanya, sampai kapan tepatnya aku harus bersabar hanya untuk tidak kehilangan dia? Padahal hati ini sudah tidak ada lagi rasa sejak aku merasa diinjak-injak oleh sikapnya. Aku jadi ragu untuk menuruti nasehat teman-temanku, apakah benar itu baik untukku? Apakah aku akan bahagia dengan semua itu?
Sebenarnya, untuk apakah aku bersabar? Agar aku bahagia, atau agar aku dipandang baik oleh orang-orang? Jujur saja, entah kenapa, aku mulai tidak memedulikan pandangan baik dari orang-orang. Untuk apa terus-menerus menjadi baik di mata orang, padahal aku sendiri tidak bahagia?
Akhirnya, aku pun mulai mencoba hidup dengan jalan yang aku pilih sendiri. Meski dengan risiko, aku akan menjalani semuanya sendirian. Mungkin aku akan dikucilkan. Mungkin, aku akan banyak mendapatkan kritik dari sana sini. Tapi aku terus menjalaninya, karena aku hanya ingin merasakan setitik saja kebahagiaan.
Di tengah perjalananku menggapai mimpi, tiba-tiba aku bertemu dengan beberapa orang single mom. Awalnya kami nyambung, saling sharing tentang pekerjaan, anak-anak, hingga pengalaman masing-masing saat struggle menjadi seorang single mom. Namun aku merasa tertampar ketika kami membahas tentang parenting. Mereka memperkenalkanku dengan istilah co-parenting. Yang artinya adalah bekerja sama dengan mantan suami untuk memberikan pendidikan keluarga yang baik kepada anak-anak.
Tentu saja, anak-anak adalah yang paling merasakan dampak dari perceraian ini. Mereka yang paling merasakan kebingungan dengan perbedaan struktur keluarga mereka dibanding keluarga normal lainnya. Mereka yang paling merasakan trauma, bahkan trauma yang dirasakan ibunya.
Anak-anak memiliki kedekatan emosional yang sangat tinggi dengan ibunya. Jika ibunya masih marah, masih merasakan trauma, masih tidak terima dengan apa yang dilakukan ayah mereka, maka anak pun tidak akan bisa menerima ayah mereka kembali. Akibatnya, mereka akan kehilangan sosok ayah dalam hidup mereka. Itu akan berpengaruh cukup berat untuk tumbuh kembangnya. Tentu saja anak yang tumbuh tanpa sosok ayah akan berbeda dengan anak lain yang hidup dalam keluarga utuh. Meski keluarganya penuh dengan cekcok.
Dari situ aku mulai berpikir, ya Allah, apa aku salah? Apa aku salah karena telah mengambil keputusan untuk mendidik anak-anakku sendirian, tanpa campur tangan ayahnya? Lalu aku harus bagaimana? Apakah bisa ayah mereka diajak bekerja sama untuk memberikan pendidikan keluarga terbaik untuk mereka? Tapi aku sejujurnya masih belum sanggup menerima semua ini. mungkin jika hanya dia sendirian, aku masih bisa terima. Tapi dengan hadirnya perempuan itu, aku belum bisa tegar menghadapinya.
Tuhan... aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anakku? Kalau aku harus menurunkan ego, dan harus kembali menjalin komunikasi dengan ayahnya anak-anak, dan menutup rapat-rapat luka hati ini, bagaimana caranya? Sementara komunikasi kami benar-benar tertutup rapat. Hampir tidak ada celah untuk kami menjalin komunikasi kembali.
Sedikit-sedikit, aku mulai belajar dari teman-teman sesama single mom yang sudah membuka diri melakukan co-parenting bersama mantan suaminya. Yang pertama harus dilakukan adalah penerimaan terhadap diri sendiri. Kita harus mengakui bahwa kita turut menyumbang penyebab perceraian itu. Mengakui hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Kita adalah wanita yang kuat karena telah berani mengambil keputusan besar itu. Namun kita akan terjun bebas menjadi wanita yang lemah ketika kita hanya bisa menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang terjadi dalam hidup kita.
Oke, aku mulai bisa menerima. Bercerai memang keputusanku. Setidaknya dengan bercerai, aku sudah terbebas dari rasa tersakiti karena diselingkuhi, dan rasa tertekan dari mantan mertuaku yang terlalu banyak menuntut ini itu. Dengan alasan itu, tidak ada alasan aku membenci mantan suamiku yang telah mencampakkanku. Bercerai telah membuatku menjadi wanita yang kuat. Aku tidak perlu menyesali itu.
Lalu bagaimana aku memulai menjalin komunikasi dengan mantan suamiku terkait pengasuhan anak bersama? Pengacara. Ya, pengacara. Tapi, aku tidak cukup uang untuk menyewa seorang pengacara. Mungkin aku bisa meminta bantuan orang ketiga yang tanpa dibayar, bisa menjembatani komunikasi kami. Beruntunglah, banyak teman-teman yang rela membantu.
Akhirnya, kini aku mulai bisa menerima dia kembali, meski bukan sebagai suami. Demi anak-anakku. Agar mereka mendapatkan pendidikan keluarga yang lengkap, meski kami tidak lagi bersama. Sulit untuk memperkenalkan kembali anak-anak kepada ayahnya. Tapi ketika mereka melihat keikhlasa ibunya, mereka mulai bisa menerima kehadiran ayah mereka kembali.
Terkadang, aku pun masih sedih. Masih tidak terima. Tapi aku ingat anak-anakku, mereka tidak boleh ikut terhukum karena kesalahan kedua orang tuanya. Itulah ceritaku untuk selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik setiap saat. Memaafkan itu bukan perkara mudah, tapi jika kita mencoba melihat segala hal dari sisi positif, semuanya akan menjadi indah. Percaya, Tuhan akan menyiapkan cerita yang indah di depan sana. Asalkan kita ikhlas terhadap yang sudah lalu. Kalau masih terikat dengan masa lalu, gimana kita bisa melihat yang indah-indah di depan sana?
Referensi : Belajar Memaafkan Mantan Suami, Meski Sulit Menjalankan Co-Parenting Bersamanya