Rabu, 07 September 2022

Apa jadinya kalau kita bisa tahu ketika seseorang sedang berbohong?

Apa jadinya kalau kita bisa tahu ketika seseorang sedang berbohong?. Kita selalu diingatkan bahwa berbohong adalah hal yang buruk, tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Seorang profesor filsafat etika dan moral, menghadapi sebuah dilema ketika seorang rekannya meminta pendapat tentang sepatu bot barunya. Chidi benar-benar tidak menyukai sepatu bot yang berwarna merah menyala dan berlapiskan kristal itu, tetapi untuk menjaga perasaan rekannya, ia mengatakan bahwa ia menyukainya.  Chidi langsung menyesal karena telah berbohong dan mulai terobsesi dengan kegagalan moralnya, bahkan ketika sang kekasih yang mulai jengkel mencoba meyakinkannya dengan mengatakan, "Terkadang kita berbohong untuk bersikap sopan."  Pada akhirnya, Chidi tak lagi merasa bersalah dan mengungkapkan hal yang sebenarnya kepada sang rekan: "Sepatu bot itu buruk, dan tampak jelek, aku membencinya!" Sang rekan lantas tersinggung atas perkataannya.  Bagi Chidi dan beberapa filsuf, keharusan untuk jujur mengalahkan semua kewajiban moral lainnya, termasuk untuk tidak menyakiti perasaan orang lain. Namun pada kenyataannya, hanya sedikit orang yang benar-benar menjalankan prinsip untuk menjunjung kejujuran.  Berbohong adalah bagian hal yang dimaklumi dalam kehidupan sehari-hari, dari misalnya menjawab "baik" secara otomatis ketika seseorang menanyakan kabar, hingga pujian yang kita berikan ketika seorang teman meminta pendapat tentang potongan rambutnya yang barunya yang jelek (atau mungkin sepasang sepatu bot yang norak).  Meskipun kebohongan kita temui di mana-mana, kebanyakan dari kita tidak mahir dalam mendeteksinya. Namun, apa yang akan terjadi jika kita tiba-tiba bisa mengetahui, tanpa ragu, ketika kita sedang dibohongi? Mekanisme teknologi atau psikologi yang mampu mengaktifkan keahlian baru yang mustahil ini tidak perlu terlalu dipikirkan. Justru, yang lebih penting adalah peran kebohongan yang sering diabaikan dan tak dianggap dalam hidup kita.  Banyak peneliti yakin manusia mulai berbohong kepada satu sama lain segera setelah mereka menciptakan bahasa, terutama sebagai cara untuk menjadi lebih unggul."Berbohong itu sangat mudah dibandingkan dengan cara-cara lain untuk mendapatkan kekuasaan," ujar Sisella Bok, pakar etika Universitas Harvard, kepada National Geographic.  "Jauh lebih mudah berbohong demi mendapatkan uang atau harta orang lain, daripada memukul kepala mereka atau merampok bank."Sepanjang sejarah manusia, berbohong juga menjadi "suatu kebutuhan yang terus berevolusi untuk melindungi diri kita dari hal-hal buruk," ungkap Michael Lewsi, profesor pediatri dan psikiatri terkemuka dari Universitas Rutgers.  Termasuk perlindungan dari aksi persekusi - sebuah alasan berbohong yang masih digunakan orang-orang di seluruh dunia saat ini. Jika kita tiba-tiba bisa mendeteksi semua bentuk kebohongan, kehidupan di negara-negara di mana pengkhianatan, homoseksualitas atau agama tertentu itu ilegal, akan terancam.Berbohong juga berguna bagi kita ketika risikonya rendah, salah satunya dalam bekerja.  Jika kita mengatakan kepada bos kita apa yang benar-benar kita pikirkan tentangnya, atau kenapa kita gagal memenuhi tenggat waktu, kita bisa saja dipecat atau diturunkan pangkatnya. Kita juga berbohong untuk membuat diri kita kelihatan lebih baik dan menjaga profesionalisme.  "Baru-baru ini, saya terlambat datang ke suatu rapat, dan saya beralasan bahwa kereta yang saya tumpangi berjalan lambat," ungkap Kang Lee, profesor psikologi terapan dan perkembangan manusia di Universitas Toronto.  "Sebenarnya, kereta itu tidak membuat saya terlambat - saya telat karena kesalahan saya sendiri - tetapi saya pikir akan buruk bagi profesionalisme saya jika rekan-rekan saya mengetahuinya."  Di sisi lain, terkadang akan menguntungkan juga ketika kita tahu bahwa seseorang sedang berbohong kepada kita di lingkungan kerja, ujar Clark Freshman, profesor hukum di Universitas California, Hastings, dan seorang spesialis dalam deteksi kebohongan. Dengan menanyakan pertanyaan yang tepat dalam negosiasi kerja dan mendapat kepastian atas jawaban-jawaban yang akurat, karyawan dengan latar belakang minoritas, misalnya, bisa dengan lebih mudah mendapatkan gaji dan jabatan yang setingkat dengan sejawatnya yang berasal dari kelompok mayoritas.  "Bagi saya, dunia di mana orang-orang bisa mengetahui sejujurnya hal-hal yang berarti bagi mereka adalah dunia yang sempurna," ujar Freshman.  "Kita akan melihat lebih sedikit diskriminasi dan lebih banyak kesetaraan."  Kita juga akan merasakan lebih banyak rasa sakit. Bagi sebagian besar di antara kita, dunia tanpa kebohongan akan menyebabkan langsung jatuhnya citra diri, ujar Dan Ariely, profesor psikologi dan ekonomi perilaku di Universitas Duke.  "Hidup dengan kejujuran akan membuat Anda kerap mendapatkan masukan yang lebih jujur dan kejam tentang pekerjaan Anda, cara Anda berpakaian, cara Anda berciuman - hal-hal semacam itu," tuturnya.  "Anda akan menyadari bahwa orang-orang tidak sebegitunya memperhatikan Anda dan Anda tidak sepenting dan secakap yang Anda pikir."  Sementara itu, masukan yang benar-benar jujur akan memberi kita kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri - tetapi apakah hal itu sebuah pertukaran yang bermanfaat? Ariely tidak yakin. Tamparan terhadap citra diri ini bermula ketika kita belajar berbicara - merusak perkembangan anak dengan cara yang tidak terduga.  "Bayangkan seorang anak menghampiri orang tuanya sambil berkata, 'Ayah, ibu, lihatlah gambar yang kubuat!' dan Anda menjawabnya, 'Jelek sekali!'", tutur Lee.  "Dampaknya akan langsung terasa."  Sebagian kepolosan anak-anak juga akan hilang, termasuk hal-hal ajaib seperti Santa Klaus, Peri gigi, dan Kelinci Paskah. Sebaliknya, dengan rasa ingin tahu mereka, anak-anak akan lebih awal terpapar kerasnya kenyataan hidup - yang belum tentu merupakan hal yang baik.  "Ada banyak hal yang mana jika anak-anak mengetahuinya, mereka akan sulit memahaminya," kata Paul Ekman, pensiunan profesor psikologi di Universitas California, San Fransisco.  "Semua hal yang disembunyikan itu, terutama oleh orang tua kepada anak-anaknya, tidak bersifat jahat."  Anak-anak sendiri mempelajari nilai sosial dari kebohongan itu sejak dini.  "Seorang ibu mungkin berkata pada anaknya, 'Dengarkan, nenek akan memberimu hadiah untuk Hanukkah, dan kamu harus bilang ke nenek bahwa kamu menyukainya, kalau tidak, ia akan tersinggung," ujar Lewis.  Menurut penelitian, saat berumur tiga atau empat tahun, banyak anak yang telah menguasai seni berbohong demi kesopanan.  Pada eksperimen-eksperimen dalam sebuah artikel yang belum dipublikasikan, Lewis menemukan bahwa semakin cerdas dan dewasa emosi seorang anak, semakin besar kemungkinan ia akan berbohong ketika ditanya apakah ia mengintip mainan yang diminta untuk tak ia lihat.  Kang dan sejawatnya juga menemukan bahwa belajar berbohong memiliki manfaat kognitif bagi anak-anak.  Ketika kita dewasa, kebanyakan dari kita terbiasa berbohong. Dalam sebuah penelitian bersejarah tahun 1996, Bella DePaulo, seorang psikolog sosial di Universitas California, Santa Barbara, mengungkap bahwa mahasiswa berbohong setidaknya satu kali dari tiga interaksi sosial, dan orang yang lebih dewasa berbohong setidaknya satu kali dari lima interaksi sosial.  "Dalam banyak kebohongan sehari-hari, orang berpura-pura bersikap lebih positif dari apa yang sebenarnya mereka rasakan," tulis DePaulo dalam PsychCentral.  "Jika mereka tidak menyukai Anda, mereka akan berusaha menutupinya. Jika mereka bosan dengan omongan Anda, mereka akan berusaha terlihat antusias."  Tentu saja, dalam hal hubungan interpersonal, "akan menjadi sebuah bencana apabila kita mampu mendeteksi kebohongan dan tipu daya," ujar Lewis.  "Berbohong adalah sebuah kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam budaya di mana pemahaman moral yang dianut adalah bahwa Anda tidak mau menyakiti perasaan orang lain."  Kita semua adalah konspirator dalam penyebaran hal yang disebut-sebut sebagai kebohongan demi kebaikan.  "Kebanyakan orang secara tidak sadar bersekongkol dengan si pembohong untuk membiarkan diri mereka diperdaya," kata Ekman.  Contohnya saat pesta makan malam berakhir, kita biasanya mengatakan pada sang tuan rumah bahwa kita merasa senang - meskipun kita sama sekali tidak menikmatinya.  Mereka lantas begitu saja mempercayainya, tanpa niatan untuk mengetahui seburuk apa makanan dan kebersamaan yang mereka berikan.  Efek buruk dari berbohong demi sopan santun ini, menurut Lewis, adalah kita mungkin akan kembali diundang oleh mereka - "namun itulah harga yang harus dibayar demi menjaga perasaan mereka."  Dalam dunia tanpa kebohongan tersebut, hubungan pertemanan akan hancur berantakan, hubungan kerja akan penuh ketegangan, dan pertemuan keluarga akan terasa lebih menakutkan daripada yang seharusnya.  Hubungan romantis dengan pasangan kita juga tak terhindar dari kebohongan.  Dalam sebuah penelitian klasik pada tahun 1989 oleh Sandra Metts dari Universitas Illinois, hanya 33 dari 390 orang yang bisa mengingat situasi di mana mereka "tidak benar-benar jujur" terhadap kekasih mereka.  Demikian juga, pada tahun 2013, Jennifer Guthrie dan Adrianne Kunkel dari Universitas Kansas menemukan bahwa hanya dua dari 67 peserta penelitian yang tidak memperdaya pasangan mereka dalam kurun satu minggu.  Dalam kedua penelitian itu, sebagian besar peserta mengatakan bahwa mereka berbohong agar tidak menyakiti perasaan pasangan atau merusak hubungan mereka.  Jika hubungan percintaan tiba-tiba melibatkan kejujuran mutlak dalam segala hal, mulai dari bagaimana penampilan pasangan kita di pagi hari hingga apakah kita pernah tidak setia, maka banyak hubungan yang tak akan bertahan. "Saya sering berkelakar, alasan saya dan istri sudah menikah selama 40 tahun adalah karena kami punya kamar mandi yang terpisah," tutur Ekman.  "Namun, itu sesungguhnya hanya setengah bercanda, karena memang ada hal-hal yang Anda tak ingin orang ketahui, bahkan pasangan Anda sendiri, dan bukan cuma tentang kebiasaan Anda di kamar mandi."  Namun demikian, ada cara-cara agar kemampuan mendeteksi kebohongan menjadi sangat bermanfaat. Salah satunya, ketika kita dapat langsung memergoki pembohong patologis, atau mereka yang melakukan kebohongan secara berseri yang bersifat merusak, serta tidak memberikan keuntungan sosial apapun, ujar Lewis.  Pembohong patologis biasanya adalah orang-orang narsistik yang kebutuhannya untuk memperdaya diri sendiri dipicu oleh rasa gengsi yang ekstrem dan sangat mengakar sampai-sampai mereka memercayai kebohongan yang mereka ciptakan - bahkan jika mereka bertentangan dengan fakta-fakta atau pernyataan yang pernah mereka buat sebelumnya.  Menurut Lewis, Donald Trump adalah contoh klasik hal tersebut. "Tipu dayanya terhadap diri sendiri sangat luar biasa sampai-sampai ia tak tahu ia sedang berbohong," ujarnya.  Berbohong dalam dunia politik, tentu saja, bukan hal baru, ungkap Vian Bakir, profesor komunikasi politik dan jurnalisme dari Bangor University in Wales.  Plato mengakui manfaat dari suatu "kebohongan mulia," ujarnya, sementara tulisan politik klasik "The Prince for deception" berperan penting dalam kepemimpinan politik.  Maka dari itu, "berbohong dalam ranah politik tampaknya telah menjadi sangat menggairahkan dalam beberapa tahun terakhir," ujar Bakir. "Hal yang menjadi sangat buruk saat ini adalah bahwa sejumlah politikus penting seperti Trump, Vladimir Putin dan orang-orang kuat lainnya di seluruh dunia telah berani berbohong karena sudah terbiasa, menjadi sebuah cara, dan tidak peduli jika mereka ketahuan."  Menurut PolitiFact, situs pemeriksa fakta yang dimiliki organisasi nirlaba Poynter Institute for Media Studies, 70% pernyataan Donald Trump kebanyakan salah, bohong atau "ketahuan berbohong", dibandingkan Hillary Clinton yang hanya 32%.  Lembaga-lembaga juga bisa tanpa ragu berbohong, tambahnya. Organisasi kampanye Britain's Vote Leave berulang kali menyatakan bahwa Uni Eropa merugikan Inggris £350 juta setiap minggunya - sebuah klaim yang oleh Otorita Statistik Inggris kemudian disebut sebagai "bentuk penyalahgunaan data statistik resmi."  "Karena klaim tersebut bukan hanya salah namun juga menjadi bagian dari materi kampanye yang penting dan direncanakan matang oleh mereka, maka adil untuk mengatakan bahwa ada niat menipu di sana," ujar Bakir. Meskipun banyak bukti kebohongan di antara sejumlah politikus dan kelompok politik, dukungan dari pendukung inti cenderung tetap kuat. Bakir menunjukkan bahwa penelitian memperlihatkan bahwa orang-orang yang sangat mempercayai informasi yang salah sangat sulit untuk diyakinkan sebaliknya, ia menambahkan bahwasanya sebagai sebuah spesies, manusia memiliki bias konfirmasi atau kecenderungan untuk meyakini hal-hal yang sesuai dengan cara pandangnya.  Namun, dalam dunia di mana manusia dapat secara otomatis mendeteksi kebohongan, dukungan terhadap politikus yang tidak jujur bisa runtuh begitu saja. "Banyak di antara pendukung Trump berpikir bahwa ia jadi sasaran tuduhan yang salah alamat, bahwa sebenarnya ia tidak berbohong," ujar Freshman. "Namun jika orang-orang dapat mengetahui dengan sendirinya bahwa mereka tengah dibohongi, saya rasa banyak di antara mereka akan berhenti mencari-cari alasan."  Dunia tanpa kebohongan akan membuat hubungan dan diplomasi internasional menjadi kacau, tetapi pada akhirnya, masyarakat dapat diuntungkan oleh keberadaan para politikus dan pejabat yang jujur. Hal yang sama berlaku dalam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum.  Tingkat kekerasan dan bias polisi dapat menurun - aparat dapat menanyai tersangka apabila mereka membawa senjata atau bertanggung jawab atas suatu tindak kejahatan - dan persidangan dapat digantikan dengan serangkaian pertanyaan sederhana untuk memvonis bersalah atau tidaknya seorang tersangka. "Saya sangat yakin bahwa hal ini dapat diterapkan dengan baik dalam sistem penegakkan hukum," ungkap Ekman. "Kita ingin pelaku ditemukan dan kita tidak mau salah menghakimi seseorang yang tidak bersalah dan menghukum mereka yang tidak melakukan tindak kejahatan."  Sulit untuk memprediksi apa saja yang keuntungan dan kerugian yang bisa kita dapat jika semua kebohongan terungkap, namun yang pasti bahwa dunia akan menjadi tempat yang sangat berbeda daripada yang kita tinggali saat ini. Namun demikian, manusia adalah makhluk yang bisa beradaptasi, dan "seiring waktu, kita bisa menumbuhkan norma-norma yang baru dan tata perilaku sosial yang bisa diterima," ungkap Bakir.  Di saat yang sama, lanjutnya, kita mungkin akan mencari segala cara untuk mengembangkan cara-cara baru dalam berbohong dan menipu sesama, baik melalui teknologi, obat-obatan, perilaku sosial atau pelatihan mental.  Kang setuju. "Saya yakin 100% bagaimanapun juga kita akan terus membohongi satu sama lain, kita hanya akan menemukan cara lain dalam melakukannya. Itu adalah kebutuhan hidup."  Referensi : Apa jadinya kalau kita bisa tahu ketika seseorang sedang berbohong?

Apa jadinya kalau kita bisa tahu ketika seseorang sedang berbohong?. Kita selalu diingatkan bahwa berbohong adalah hal yang buruk, tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Seorang profesor filsafat etika dan moral, menghadapi sebuah dilema ketika seorang rekannya meminta pendapat tentang sepatu bot barunya. Chidi benar-benar tidak menyukai sepatu bot yang berwarna merah menyala dan berlapiskan kristal itu, tetapi untuk menjaga perasaan rekannya, ia mengatakan bahwa ia menyukainya.

Chidi langsung menyesal karena telah berbohong dan mulai terobsesi dengan kegagalan moralnya, bahkan ketika sang kekasih yang mulai jengkel mencoba meyakinkannya dengan mengatakan, "Terkadang kita berbohong untuk bersikap sopan."

Pada akhirnya, Chidi tak lagi merasa bersalah dan mengungkapkan hal yang sebenarnya kepada sang rekan: "Sepatu bot itu buruk, dan tampak jelek, aku membencinya!" Sang rekan lantas tersinggung atas perkataannya.

Bagi Chidi dan beberapa filsuf, keharusan untuk jujur mengalahkan semua kewajiban moral lainnya, termasuk untuk tidak menyakiti perasaan orang lain. Namun pada kenyataannya, hanya sedikit orang yang benar-benar menjalankan prinsip untuk menjunjung kejujuran.

Berbohong adalah bagian hal yang dimaklumi dalam kehidupan sehari-hari, dari misalnya menjawab "baik" secara otomatis ketika seseorang menanyakan kabar, hingga pujian yang kita berikan ketika seorang teman meminta pendapat tentang potongan rambutnya yang barunya yang jelek (atau mungkin sepasang sepatu bot yang norak).

Meskipun kebohongan kita temui di mana-mana, kebanyakan dari kita tidak mahir dalam mendeteksinya. Namun, apa yang akan terjadi jika kita tiba-tiba bisa mengetahui, tanpa ragu, ketika kita sedang dibohongi? Mekanisme teknologi atau psikologi yang mampu mengaktifkan keahlian baru yang mustahil ini tidak perlu terlalu dipikirkan. Justru, yang lebih penting adalah peran kebohongan yang sering diabaikan dan tak dianggap dalam hidup kita.

Banyak peneliti yakin manusia mulai berbohong kepada satu sama lain segera setelah mereka menciptakan bahasa, terutama sebagai cara untuk menjadi lebih unggul."Berbohong itu sangat mudah dibandingkan dengan cara-cara lain untuk mendapatkan kekuasaan," ujar Sisella Bok, pakar etika Universitas Harvard, kepada National Geographic.

"Jauh lebih mudah berbohong demi mendapatkan uang atau harta orang lain, daripada memukul kepala mereka atau merampok bank."Sepanjang sejarah manusia, berbohong juga menjadi "suatu kebutuhan yang terus berevolusi untuk melindungi diri kita dari hal-hal buruk," ungkap Michael Lewsi, profesor pediatri dan psikiatri terkemuka dari Universitas Rutgers.

Termasuk perlindungan dari aksi persekusi - sebuah alasan berbohong yang masih digunakan orang-orang di seluruh dunia saat ini. Jika kita tiba-tiba bisa mendeteksi semua bentuk kebohongan, kehidupan di negara-negara di mana pengkhianatan, homoseksualitas atau agama tertentu itu ilegal, akan terancam.Berbohong juga berguna bagi kita ketika risikonya rendah, salah satunya dalam bekerja.

Jika kita mengatakan kepada bos kita apa yang benar-benar kita pikirkan tentangnya, atau kenapa kita gagal memenuhi tenggat waktu, kita bisa saja dipecat atau diturunkan pangkatnya. Kita juga berbohong untuk membuat diri kita kelihatan lebih baik dan menjaga profesionalisme.

"Baru-baru ini, saya terlambat datang ke suatu rapat, dan saya beralasan bahwa kereta yang saya tumpangi berjalan lambat," ungkap Kang Lee, profesor psikologi terapan dan perkembangan manusia di Universitas Toronto.

"Sebenarnya, kereta itu tidak membuat saya terlambat - saya telat karena kesalahan saya sendiri - tetapi saya pikir akan buruk bagi profesionalisme saya jika rekan-rekan saya mengetahuinya."

Di sisi lain, terkadang akan menguntungkan juga ketika kita tahu bahwa seseorang sedang berbohong kepada kita di lingkungan kerja, ujar Clark Freshman, profesor hukum di Universitas California, Hastings, dan seorang spesialis dalam deteksi kebohongan. Dengan menanyakan pertanyaan yang tepat dalam negosiasi kerja dan mendapat kepastian atas jawaban-jawaban yang akurat, karyawan dengan latar belakang minoritas, misalnya, bisa dengan lebih mudah mendapatkan gaji dan jabatan yang setingkat dengan sejawatnya yang berasal dari kelompok mayoritas.

"Bagi saya, dunia di mana orang-orang bisa mengetahui sejujurnya hal-hal yang berarti bagi mereka adalah dunia yang sempurna," ujar Freshman.

"Kita akan melihat lebih sedikit diskriminasi dan lebih banyak kesetaraan."

Kita juga akan merasakan lebih banyak rasa sakit. Bagi sebagian besar di antara kita, dunia tanpa kebohongan akan menyebabkan langsung jatuhnya citra diri, ujar Dan Ariely, profesor psikologi dan ekonomi perilaku di Universitas Duke.

"Hidup dengan kejujuran akan membuat Anda kerap mendapatkan masukan yang lebih jujur dan kejam tentang pekerjaan Anda, cara Anda berpakaian, cara Anda berciuman - hal-hal semacam itu," tuturnya.

"Anda akan menyadari bahwa orang-orang tidak sebegitunya memperhatikan Anda dan Anda tidak sepenting dan secakap yang Anda pikir."

Sementara itu, masukan yang benar-benar jujur akan memberi kita kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri - tetapi apakah hal itu sebuah pertukaran yang bermanfaat? Ariely tidak yakin. Tamparan terhadap citra diri ini bermula ketika kita belajar berbicara - merusak perkembangan anak dengan cara yang tidak terduga.

"Bayangkan seorang anak menghampiri orang tuanya sambil berkata, 'Ayah, ibu, lihatlah gambar yang kubuat!' dan Anda menjawabnya, 'Jelek sekali!'", tutur Lee.

"Dampaknya akan langsung terasa."

Sebagian kepolosan anak-anak juga akan hilang, termasuk hal-hal ajaib seperti Santa Klaus, Peri gigi, dan Kelinci Paskah. Sebaliknya, dengan rasa ingin tahu mereka, anak-anak akan lebih awal terpapar kerasnya kenyataan hidup - yang belum tentu merupakan hal yang baik.

"Ada banyak hal yang mana jika anak-anak mengetahuinya, mereka akan sulit memahaminya," kata Paul Ekman, pensiunan profesor psikologi di Universitas California, San Fransisco.

"Semua hal yang disembunyikan itu, terutama oleh orang tua kepada anak-anaknya, tidak bersifat jahat."

Anak-anak sendiri mempelajari nilai sosial dari kebohongan itu sejak dini.

"Seorang ibu mungkin berkata pada anaknya, 'Dengarkan, nenek akan memberimu hadiah untuk Hanukkah, dan kamu harus bilang ke nenek bahwa kamu menyukainya, kalau tidak, ia akan tersinggung," ujar Lewis.

Menurut penelitian, saat berumur tiga atau empat tahun, banyak anak yang telah menguasai seni berbohong demi kesopanan.

Pada eksperimen-eksperimen dalam sebuah artikel yang belum dipublikasikan, Lewis menemukan bahwa semakin cerdas dan dewasa emosi seorang anak, semakin besar kemungkinan ia akan berbohong ketika ditanya apakah ia mengintip mainan yang diminta untuk tak ia lihat.

Kang dan sejawatnya juga menemukan bahwa belajar berbohong memiliki manfaat kognitif bagi anak-anak.

Ketika kita dewasa, kebanyakan dari kita terbiasa berbohong. Dalam sebuah penelitian bersejarah tahun 1996, Bella DePaulo, seorang psikolog sosial di Universitas California, Santa Barbara, mengungkap bahwa mahasiswa berbohong setidaknya satu kali dari tiga interaksi sosial, dan orang yang lebih dewasa berbohong setidaknya satu kali dari lima interaksi sosial.

"Dalam banyak kebohongan sehari-hari, orang berpura-pura bersikap lebih positif dari apa yang sebenarnya mereka rasakan," tulis DePaulo dalam PsychCentral.

"Jika mereka tidak menyukai Anda, mereka akan berusaha menutupinya. Jika mereka bosan dengan omongan Anda, mereka akan berusaha terlihat antusias."  Tentu saja, dalam hal hubungan interpersonal, "akan menjadi sebuah bencana apabila kita mampu mendeteksi kebohongan dan tipu daya," ujar Lewis.

"Berbohong adalah sebuah kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam budaya di mana pemahaman moral yang dianut adalah bahwa Anda tidak mau menyakiti perasaan orang lain."

Kita semua adalah konspirator dalam penyebaran hal yang disebut-sebut sebagai kebohongan demi kebaikan.

"Kebanyakan orang secara tidak sadar bersekongkol dengan si pembohong untuk membiarkan diri mereka diperdaya," kata Ekman.

Contohnya saat pesta makan malam berakhir, kita biasanya mengatakan pada sang tuan rumah bahwa kita merasa senang - meskipun kita sama sekali tidak menikmatinya.

Mereka lantas begitu saja mempercayainya, tanpa niatan untuk mengetahui seburuk apa makanan dan kebersamaan yang mereka berikan.

Efek buruk dari berbohong demi sopan santun ini, menurut Lewis, adalah kita mungkin akan kembali diundang oleh mereka - "namun itulah harga yang harus dibayar demi menjaga perasaan mereka."

Dalam dunia tanpa kebohongan tersebut, hubungan pertemanan akan hancur berantakan, hubungan kerja akan penuh ketegangan, dan pertemuan keluarga akan terasa lebih menakutkan daripada yang seharusnya.

Hubungan romantis dengan pasangan kita juga tak terhindar dari kebohongan.

Dalam sebuah penelitian klasik pada tahun 1989 oleh Sandra Metts dari Universitas Illinois, hanya 33 dari 390 orang yang bisa mengingat situasi di mana mereka "tidak benar-benar jujur" terhadap kekasih mereka.

Demikian juga, pada tahun 2013, Jennifer Guthrie dan Adrianne Kunkel dari Universitas Kansas menemukan bahwa hanya dua dari 67 peserta penelitian yang tidak memperdaya pasangan mereka dalam kurun satu minggu.

Dalam kedua penelitian itu, sebagian besar peserta mengatakan bahwa mereka berbohong agar tidak menyakiti perasaan pasangan atau merusak hubungan mereka.

Jika hubungan percintaan tiba-tiba melibatkan kejujuran mutlak dalam segala hal, mulai dari bagaimana penampilan pasangan kita di pagi hari hingga apakah kita pernah tidak setia, maka banyak hubungan yang tak akan bertahan. "Saya sering berkelakar, alasan saya dan istri sudah menikah selama 40 tahun adalah karena kami punya kamar mandi yang terpisah," tutur Ekman.

"Namun, itu sesungguhnya hanya setengah bercanda, karena memang ada hal-hal yang Anda tak ingin orang ketahui, bahkan pasangan Anda sendiri, dan bukan cuma tentang kebiasaan Anda di kamar mandi."

Namun demikian, ada cara-cara agar kemampuan mendeteksi kebohongan menjadi sangat bermanfaat. Salah satunya, ketika kita dapat langsung memergoki pembohong patologis, atau mereka yang melakukan kebohongan secara berseri yang bersifat merusak, serta tidak memberikan keuntungan sosial apapun, ujar Lewis.

Pembohong patologis biasanya adalah orang-orang narsistik yang kebutuhannya untuk memperdaya diri sendiri dipicu oleh rasa gengsi yang ekstrem dan sangat mengakar sampai-sampai mereka memercayai kebohongan yang mereka ciptakan - bahkan jika mereka bertentangan dengan fakta-fakta atau pernyataan yang pernah mereka buat sebelumnya.

Menurut Lewis, Donald Trump adalah contoh klasik hal tersebut. "Tipu dayanya terhadap diri sendiri sangat luar biasa sampai-sampai ia tak tahu ia sedang berbohong," ujarnya.

Berbohong dalam dunia politik, tentu saja, bukan hal baru, ungkap Vian Bakir, profesor komunikasi politik dan jurnalisme dari Bangor University in Wales.

Plato mengakui manfaat dari suatu "kebohongan mulia," ujarnya, sementara tulisan politik klasik "The Prince for deception" berperan penting dalam kepemimpinan politik.

Maka dari itu, "berbohong dalam ranah politik tampaknya telah menjadi sangat menggairahkan dalam beberapa tahun terakhir," ujar Bakir. "Hal yang menjadi sangat buruk saat ini adalah bahwa sejumlah politikus penting seperti Trump, Vladimir Putin dan orang-orang kuat lainnya di seluruh dunia telah berani berbohong karena sudah terbiasa, menjadi sebuah cara, dan tidak peduli jika mereka ketahuan."

Menurut PolitiFact, situs pemeriksa fakta yang dimiliki organisasi nirlaba Poynter Institute for Media Studies, 70% pernyataan Donald Trump kebanyakan salah, bohong atau "ketahuan berbohong", dibandingkan Hillary Clinton yang hanya 32%.

Lembaga-lembaga juga bisa tanpa ragu berbohong, tambahnya. Organisasi kampanye Britain's Vote Leave berulang kali menyatakan bahwa Uni Eropa merugikan Inggris £350 juta setiap minggunya - sebuah klaim yang oleh Otorita Statistik Inggris kemudian disebut sebagai "bentuk penyalahgunaan data statistik resmi."

"Karena klaim tersebut bukan hanya salah namun juga menjadi bagian dari materi kampanye yang penting dan direncanakan matang oleh mereka, maka adil untuk mengatakan bahwa ada niat menipu di sana," ujar Bakir. Meskipun banyak bukti kebohongan di antara sejumlah politikus dan kelompok politik, dukungan dari pendukung inti cenderung tetap kuat. Bakir menunjukkan bahwa penelitian memperlihatkan bahwa orang-orang yang sangat mempercayai informasi yang salah sangat sulit untuk diyakinkan sebaliknya, ia menambahkan bahwasanya sebagai sebuah spesies, manusia memiliki bias konfirmasi atau kecenderungan untuk meyakini hal-hal yang sesuai dengan cara pandangnya.

Namun, dalam dunia di mana manusia dapat secara otomatis mendeteksi kebohongan, dukungan terhadap politikus yang tidak jujur bisa runtuh begitu saja. "Banyak di antara pendukung Trump berpikir bahwa ia jadi sasaran tuduhan yang salah alamat, bahwa sebenarnya ia tidak berbohong," ujar Freshman. "Namun jika orang-orang dapat mengetahui dengan sendirinya bahwa mereka tengah dibohongi, saya rasa banyak di antara mereka akan berhenti mencari-cari alasan."

Dunia tanpa kebohongan akan membuat hubungan dan diplomasi internasional menjadi kacau, tetapi pada akhirnya, masyarakat dapat diuntungkan oleh keberadaan para politikus dan pejabat yang jujur. Hal yang sama berlaku dalam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum.

Tingkat kekerasan dan bias polisi dapat menurun - aparat dapat menanyai tersangka apabila mereka membawa senjata atau bertanggung jawab atas suatu tindak kejahatan - dan persidangan dapat digantikan dengan serangkaian pertanyaan sederhana untuk memvonis bersalah atau tidaknya seorang tersangka. "Saya sangat yakin bahwa hal ini dapat diterapkan dengan baik dalam sistem penegakkan hukum," ungkap Ekman. "Kita ingin pelaku ditemukan dan kita tidak mau salah menghakimi seseorang yang tidak bersalah dan menghukum mereka yang tidak melakukan tindak kejahatan."

Sulit untuk memprediksi apa saja yang keuntungan dan kerugian yang bisa kita dapat jika semua kebohongan terungkap, namun yang pasti bahwa dunia akan menjadi tempat yang sangat berbeda daripada yang kita tinggali saat ini. Namun demikian, manusia adalah makhluk yang bisa beradaptasi, dan "seiring waktu, kita bisa menumbuhkan norma-norma yang baru dan tata perilaku sosial yang bisa diterima," ungkap Bakir.

Di saat yang sama, lanjutnya, kita mungkin akan mencari segala cara untuk mengembangkan cara-cara baru dalam berbohong dan menipu sesama, baik melalui teknologi, obat-obatan, perilaku sosial atau pelatihan mental.

Kang setuju. "Saya yakin 100% bagaimanapun juga kita akan terus membohongi satu sama lain, kita hanya akan menemukan cara lain dalam melakukannya. Itu adalah kebutuhan hidup."

Referensi : Apa jadinya kalau kita bisa tahu ketika seseorang sedang berbohong?