Suami yang menceraikan istrinya disebut dengan talak. Sebaliknya, istri yang menggugat cerai para suaminya dengan jalur pengadilan disebut dengan khulu' (dengan memberikan tebusan) atau fasakh (tanpa tebusan). Talak dan khulu' adalah jalan akhir yang dapat ditempuh jika suami-istri tak lagi bisa mempertahankan rumah tangganya.
Khulu' hanya dapat dibenarkan jika memang ada alasan syar'i yang menguatkannya. Wanita yang mengajukan khulu' tanpa alasan yang dapat diterima secara syar'i, mendapatkan ancaman yang sangat serius dalam Islam.
Rasulullah SAW bersabda, "Wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan apa-apa, haram baginya mencium wanginya surga." (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dishahihkan al-Albani). Riwayat lain juga menyebutkan, "Istri-istri yang minta khulu' dan mencabut diri (dari pernikahan), mereka itu wanita-wanita munafik." (HR Tirmidzi).
Kendati ancaman bagi wanita yang ingin khulu' atau fasakh begitu mengerikan, hal ini bukan tak boleh jika memang ada alasan yang kuat. Seorang istri boleh meminta cerai karena adanya pelanggaran hak-haknya, yang membahayakan kehidupannya jika tetap hidup bersama suaminya itu.
Dalam Islam, ada beberapa uzur syar'i yang menjadikan istri boleh mengajukan khulu' atau fasakh kepada suaminya. Misalkan, si suami sudah lama menghilang tiada kabar berita. Si istri yang tidak ridha boleh mengajukan khulu' ke pengadilan agama. Hal ini berdalil dari taqrir Umar bin Khattab RA semasa menjadi khalifah.
Syekh Ibnu Jibrin berpendapat, ada banyak alasan bagi wanita untuk mengajukan khulu' atau fasakh. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berat juga dianggap memiliki alasan syar'i dalam mengajukan khulu'. Kondisi lain yang dibenarkan, yakni jika si suami ternyata mempunyai akhlak tercela, kelainan seksual, hobi melakukan dosa besar, seperti berzina, mabuk-mabukan, atau menentang akidah Islam.
Setelah menjalani perceraian, bagaimana sang istri menjalin hubungan dengan mantan suami? Apakah dihalalkan bertemu dengan sang mantan? Yusuf Qardhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1 mengungkapkan, ketika seorang perempuan ditalak suaminya dan masa iddahnya habis, jadilah bekas suaminya itu orang lain (bukan mahram) baginya.
Mereka boleh bertemu dengan syarat tidak berkhalawat atau berduaan. Alasannya, berkhalawat diharamkan dalam Islam. Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan perempuan melainkan yang ketiganya adalah setan.
Meski berkhalawat dilarang, perempuan boleh bertemu dengan suaminya. Sebagaimana ia boleh bertemu dengan lelaki lain. Namun, pertemuan tersebut harus dalam batas-batas yang diperbolehkan syariat. Memenuhi adab-adab diniyyah, mengenakan pakaian yang ditentukan syara' di depan umum. Jangan berduaan tidak ber-tabarruj (menampakkan keindahan tubuh dan auratnya) serta tidak disertai dengan sesuatu yang haram.
Hal ini berlaku setelah habis masa iddahnya. Adapun jika masih dalam masa iddah dan si perempuan dalam talak raj'i, talak satu atau talak dua, ia boleh saja bertemu dengan suami yang menalaknya. Keduanya bahkan harus hidup serumah. Tidak boleh si perempuan berpindah rumah, sebagaimana dilakukan perempuan-perempuan sekarang setelah ditalak suami karena marah, lantas pulang ke rumah orang tuanya.
Allah SWT berfirman dalam QS Ath Thalaq: 1, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddah mereka (yang wajar); dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Maka sesungguhnya barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri."
Referensi : Apa Hukumnya Muslimah Bertemu dengan Sang Mantan?