Konstruksi Humor dalam Pembelajaran (Metode Alternartif Mewujudkan Demokratisasi, Motivasi, dan Prestasi Belajar)
Oleh
Imam Suhairi, S.Pdadalah Guru S MA negeri 1 Arjasa Kangean, nyambi ngajar di SMK Al-Hidayah Arjasa. Mantan Reporter majalah kampus “ Logic FM” STKIP PGRI, mantan wartawan media mingguan nasional dan aktivis PMII Sumenep 2000-2004. sekarang Direktur Lembaga Kajian Madura Society Development (MasDev)
Pengantar
Perubahan paradigma menggema di seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan lebih diorientasikan menghasilkan pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, tumbuh dan berkembang untuk menggapai masa depan. Hal tersebut sinergis secara maknawi seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) bahwa “ pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulai, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (UU RI No. 20 Tahun 2003).
Selanjutnya, proses pendidikan di semua lini dan jenjang pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Pasal 4 UU No.20 Tahun 2003).
Tentu dalam konteks selanjutnya pendidikan harus diselenggarakan dalam upaya memberdayakan semua komponen bangsa secara berkualitas. Berkualitas dalam arti mampu bersifat adaptif terhadap kemajuan dan perkembangan zaman. Pendidikan akan dituntut lebih mengarah pada penguasaan informasi dan teknologi yang semakin mengglobal. Pendidikan pada penyelenggaraannya akan bersifat humanis dan plural, jauh dari diskriminasi ras, golongan, kesukuan, dan sektarianisme. Semua elemen anak bangsa dituntut untuk dapat berkesempatan sama memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.
Pendidikan dari semua jenis dan tingkatan, meminjam konsep KH. Idris Jauhari (dalam Jurnal Edukasi Edisi 08, 2007) harus mampu bertindak sebagai agen pembebasan peserta didik dari berbagai belenggu, agen pemberdayaan, dan pembudayaan. Selanjutnya pendidikan semestinya mencakup upaya pewarisan nilai-nilai, transformasi ilmu pengetahuan dan keterampilan. Mencakup ranah afektif, ranah kognitif,dan psikomotorik, mengarah pada terciptanya kecerdasan intelektual, spiritual,dan emosional. Pendidikan harus mencakup seluruh aspek kemanusian (humanis), dan akhirnya sebagai landasan utama, pendidikan semestinya dibangun berdasarkan pada ayat-ayat Allah SWT dan tauladan nabi.
Untuk itulah diperlukan strategi pembelajaran yang mengarah pada pembentukan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah bagaimana dapat berpikir kreatif, produktif, bagaimana dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan upaya pengelolaan diri dan pengendaliannya. Siswa sebagai pembelajar berada memasuki kawasan pengetahuan maupun penerapan pengetahuan yang didapatkan melalui pembelajaran. Kompetensi siswa menyangkut ability, skill, knowledge akan terbangun dan berkembang melalui proses pembelajaran.
Meskipun telah dilakukan pembenahan sistem pendidikan dari semua lini, mulai dari pembaharuan dalam bidang kurikulum dari CBSA, KBK, dan terakhir KTSP. Kemudian sistem pengelolaan sekolah yang lebih terbuka dan aspiratif dengan penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Manajemen pembelajaran yang lebih inovatif sampai pada upaya mendongkrak profesionalisme guru dan pengelolaan pendidikan melalui sertifikasi guru. Tetapi sampai hari ini masih banyak problem di lapangan yang menghadang dunia pendidikan dan pembelajaran.
Problem Pembelajaran; Sebuah Realitas
Problem yang sering terjadi dalam aktifitas pembelajaran adalah jenuhnya siswa dalam keterjebakan rutinitas yang mereka jalani setiap hari. Bayangkan tiap hari mereka harus dipaksa untuk menelan materi pelajaran tanpa terukur berapa kuat kemampuan mengingat, menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran. Bisa jadi tiap hari sampai 4 (empat) sampai 5 (lima) materi, mulai dari pagi jam 07.00 sampai siang atau sore. Siswa akan terasa sedikit fresh ketika hanya pada awal-awal pelajaran, setelah itu mereka akan kehilangan semangat belajar karena otak dan memori mereka telah penuh.
Hal lain yang sering terjadi adalah motivasi belajar siswa yang semakin cenderung menurun. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, internal maupun eksternal. Rendahnya motivasi ini bisa terlihat dalam proses pembelajaran di kelas dan prestasi belajar mereka. Siswa lalai dalam melaksanakan tugas – tugas kompetensi yang diberikan guru, terkesan apa adanya, atau menunaikan tugas pelajaran dengan cara praktis, yakni mencontek milik teman kelas lain. Siswa sudah kurang termotivasi untuk berfikir sendiri, yang penting praktis dan instan.
Kalau lebih jauh kita cermati, tidak bersemangatnya dalam proses pembelajaran lebih diakibatkan belum maksimalnya niat baik (good will) para pendidik untuk secara serius mengelola pembelajaran yang ideal. Selama ini, guru tampaknya masih memiliki keyakinan bahwa tugasnya hanyalah mentransfer ilmu pengetahuan yang tertuang dalam kurikulum dan buku pelajaran. Dalam praktiknya, siswa harus melalap habis materi pelajaran yang ada dalam buku, tanpa memperhatikan apakah ia senang atau tidak, mencapai tingkat pemahaman maksimal atau kurang. Siswa tidak boleh keluar dari rel (aturan main) yang telah ada dalam kurikulum dan yang dibuat guru. Kondisi semacam ini membuat siswa terbelenggu dan sangat membingungkan kreatifitas siswa (Topatimasang, 2002).
Fenomena diatas diperparah oleh “performance” guru yang acuh dan sengaja membiarkan proses pembelajaran apa adanya atau asal ngajar. Tidak jarang guru yang hanya masuk kelas untuk memberi tugas mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) selama jam pelajaran berlangsung. Guru juga dalam interaksi dengan siswa hanya diawali dengan ceramah dan ditutup dengan penugasan atau pertanyaan, begitu seterusnya. Tidak ada sapaan akrab yang mampu membangkitkan semangat peserta didik dalam belajar mereka. Kurangnya gairah guru sebagai agen pembelajaran akan berimplikasi terhadap siswa yang juga tidak “ connect” dalam belajarnya.
Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Tanpa kita sadari, pembelajaran sekolah bukan membuat siswa riang, kreatif dan terbebaskan. Tetapi justru menjadi momok yang cukup menakutkan, menegangkan dan menciptakan kelesuan dan kebosanan. Ketidakgairahan panjang dalam interaksi belajar-mengajar akan terjadi setiap jam pelajaran berlangsung. Kelas tidak lagi kondusif, akan dialami kegaduhan, kelas lesu, tidak ada ‘sharing’ yang segar akibat komunikasi guru dan siswa yang tidak dibingkai dalam suasana kebersamaan.
Suasana kaku dan serba prosedural ini akan berbahaya bagi bangunan pendidikan. Siswa mengalami posisi “ subordinat’ dengan guru sebagai agen pembelajaran. Siswa dianggap manusia tidak tahu segala hal dan tidak pantas untuk melebihi sang guru dalam segala aspek. Informasi dari guru dianggap sebagai kebenaran mutlak tanpa adanya diskusi lebih lanjut.
Pernyataan yang banrangkali haraus mendapat respon kita semua dari Emille Durkheim (dalam http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.htm) tentang 2 (dua) fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu1. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, yakni sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam arti selanjutnya adalah bahwa fungsi negatif pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari tingkah laku guru dan strategi serta model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam proses pembelajaran. Kalau dicermati, memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah. Hal ini sangat berbahaya bagi sikap murid selanjutnya yang memungkinkan murid akan takut untuk mengemukakan pendapatnya karena takut salah di depan gurunya dan orang banyak.
Guru telah bertindak lebih jauh yakni sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Kedudukan guru dan siswa yang dibingkai dalam “otoriterisme” ini akan semakin menjauh dari asaz keseimbangan, egaliterianisme dan kebersamaan. Bahkan Freire (2001) setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
- guru mengajar, murid diajar, guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
- guru berfikir, murid dipikirkan
- guru bercerita, murid patuh mendengarkan
- guru menentukan peraturan, murid diatur
- guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
- guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
- guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanoa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
- guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
- guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Sebagai implikasi dari realitas diatas, jangan heran apabila yang terjadi “output” proses pembelajaran juga apa adanya dan jauh dari harapan ideal pendidikan. Kondisi psikologi siswa akan terpasung, karena hanya dijejali setumpuk materi pelajaran yang membingungkan. Siswa akan mudah stres, karena tidak kuat lagi memikirkan sejumlah materi pelajaran yang menumpuk ditambah dengan aktifitas di luar sekolah yang kemungkinan sangat padat. Tidak ada lagi nilai-nilai positif yang bisa membahagiakan. Kondisi ini akan berdampak serius pada capaian prestasi siswa dalam belajarnya yang akan terhambat dan cenderung asal-asalan tanpa melihat aspek kompetensi yang dicapai sesungguhnya oleh siswa.
Demokrasi Pembelajaran; Praktik Menyenangkan
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2 bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.3
Tentu dengan ketentuan ini beberapa hal yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara menyeluruh melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap guru untuk selalu dinamis sebagai seorang professional. Profesional dalam arti secara terus menerus berkembang atau trainable. Guru sebagai agen pembelajaran harus mampu membekali untuk kreatif, rasional, keterlatihan memecahkan masalah , dan kematangan emosionalnya. Kematangan untuk selalu mencermati fenomena siswa dan kelas serta proses pembelajaran yang kemudian berusaha mengaitkannya dengan strategi jitu bagi terciptanya pembelajaran yang ideal (demokrastis dan menyenangkan)
Pembelajaran yang tidak diliputi oleh suasana demokratis akan mengakibatkan saluran komunikasi antara guru dan murid buntu. Tidak akan ada kesepahaman antar warga belajar. Guru hanya bertindak sesuai kemauan dirinya, tanpa memahami harapan-harapan siswa. Dalam hal pemilihan dan pemilahan materi, metode pembelajaran, situasi pembelajaran, seluruhnya tergantung dalam benak guru. Siswa dalam konteks ini tidak dapat berbuat banyak untuk ikut serta secara partisipatif mengkonstruksi pembelajaran. Jelas dalam hal ini, pembelajaran yagn terkonstruk “otoriter” hampir kehilangan ruh toleransi dan kebersamaan.
Kebuntuan realita di atas, ditambah lagi dengan hadirnya ‘performa’ guru yang kurang bersahabat. Bayangkan, bila pada awal pembelajaran seorang guru memasuki ruang belajar dengan wajah merengut dan suram. Proses pembelajaran akan melelahkan dan menegangkan. Siswa tidak akan bergairah mengikuti pembelajaran, apalagi sampai pada tahap eksplorasi problem pembelajaran.
Upaya untuk keluar dari pembelajaran yang cenderung membungkam kreatifitas siswa semacam tersebut, menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada guru untuk mengubah paradigma pola pikirnya dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada siswa menuangkan dan berekspresi.
Freire (2002) memaparkan pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis.”Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek.Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
Seiring dengan tuntutan demokrasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk pula demokrasi pendidikan yang dalam praktiknya akan berimplikasi pada demokrasi pembelajaran. Tentu sejumlah nilai-nilai demokrasi yang kita sepakati bersama yang dapat meliputi nilai musyawarah dan keadilan, nilai persamaan (egaliter), nilai kritis dan dialogis (menghargai pendapat orang lain), nilai kerjasama atau gotong royong dan lain-lain (Abdussami, 2006) sangat tepat dan sinergis untuk diterapkan dalam praktik pembelajaran.
Pembelajaran demokratis terbangun dari penerapan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran dapat dibangun dengan prinsip toleransi dalam pembelajaran, keterbukaan (transparansi), kesamaan hak (egaliter), kebebasan berpendapat dan akhirnya terbukanya ruang partisipasi warga belajar. Diyakini dengan terealisasinya konsepsi di atas, akan efektif dalam penciptaan proses pembelajaran yang ideal.
Pembelajaran yang dibingkai dalam suasana penuh toleransi misalnya, akan membuka public sphare bagi keaktifan siswa dalam proses belajar tanpa budaya sungkan, takut, malu, dan merasa bersalah dalam mengemukakan pendapatnya. Toleransi dalam pembelajaran menuntut adanya kesamaan hak dalam berpendapat tanpa melihat perbedaan struktur dan latar belakang siswa.
Selanjutnya siswa dan guru sebagai warga belajar, akan tercipta suasana dialogis yang penuh gairah tanpa rasa ada yang saling menyalahkan dan menindas. Proses belajar semacam ini
belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik. Pada akhirnya akan terbuka ruang keterbukaan antar warga belajar dengan suasana yang saling menghargai dan saling “ fun” bersama.
Motivasi Belajar; Menepis Kecemasan
Guru dapat secara optimal diharapkan memahami lingkungan dan psikologi belajar siswa. Riel dilapangan situasi belajar sebagain siswa yang masih dalam kondisi mencemaskan, ketika guru hadir. Guru belum secara maksimal tampil sebagai bagian dari hidup mereka, belum secara ‘egaliter’ mau bersama-sama mereka untuk saling berbagi. Guru tidak dapat tampil untuk memikat dan mempunyai daya pikat bagi kebanyakan siswanya. Akibatnya siswa belum secara bebas menyampaikan gagasannya, karena kurangnya rasa empati seorang guru.
Tidak jarang dalam situasi pembelajaran, siswa merasa lesu, tidak bergairah, dan cenderung hanya ngisi absensi karena takut masuk kategori siswa malas dan berakibat fatal pada proses penilaian, semester, dan kenaikan kelas. Ada beberapa kondisi yang sering dijumpai pada siswa dalam pembelajaran hasil pengamatan penulis : 1) siswa kebanyakan ramai di kelas pada waktu pembelajaran dan cenderung tidak mengindahkan materi pelajaran yang disampaikan guru, 2) siswa diam pada waktu pembelajaran, tapi proses penyerapan materi pelajaran sangat rendah, 3) siswa kelihatan sibuk dengan urusan masing-masing waktu pembelajaran, ada yang ngerjakan tugas PR materi pelajaran lain, ada yang bicara dengan teman sebangkunya, ada yang berpangku pada meja belajar, bahkan ada yang tidur.
Pengalaman penulis misalnya ketika masuk kelas XII IPA pada jam-jam pelajaran terakhir, seringkali mencerna tampilan suasana kelas yang tidak bergairah, penuh kelesuan, dan kurang bersahabat. Penulis mencoba mengeksplorasi masalah yang sebenarnya dari fenomena yang terjadi sebelumnya. Celotehan beberapa siswa yang mengatakan; capek, pusing, ngantuk, lapara, istirahat dulu. Hal ini dikarenakan pikiran mereka telah terserap habis mengikuti pelajaran sebelumnya, disamping karena mereka tegang beberapa jam sebelumnya.
Kalau kondisi semacam ini dipaksakan, yang terjadi kemudian adalah banyak siswa yang asal mengikuti pelajaran tanpa paham makna apa yang mereka lakukan. Banyak siswa yang dengan mata terbuka tetapi pikiran meraka tidur. Tidak jarang mereka tidak kuat lagi menahan kantuk dan kepayahan dengan menelungkupkan kepalanya pada bangku.
Motivasi belajar siswa perlu segera dibangkitkan kembali seperti awal jam pelajaran pagi hari ketika masuk bel pertama. Tentu berbagai cara dan teknik telah banyak dilakukan guru dalam mengatasi situasi kecemasan pembelajaran. Mulai dari variasi metode, variasi media pembelajaran yang tepat dan lebih membuat siswa nyaman, sampai pada bentuk reward dan punishman. Tiada lain tujuannya, guru berupaya maksimal meningkatkan motivasi belajar siswanya.
Upaya meningkatkan motivasi dalam belajar menurut De Decce dan Grawford dalam Djamarah (2002: 135) yaitu guru harus dapat menggairahkan anak didik, memberikan harapan realistis, memberikan insentif, dan mengarahkan perilaku anak didik kea rah yang menunjang teracapainya tujuan pengajaran.
Kelas yang tidak bergairah selayaknya untuk di-reorganisasi secara besar-besaran. Hal dapat dilakukan guru dengan ; (1) pergunakan pujian verbal. Kata-kata seperti “bagus”, baik”, pekerjaanmu baik”, yang diucapkan segera setelah anak didik selesai mengerjakan pekerjaan, merupakan pembangkit motivasi yang besar. (2) Pergunakan tes dan nilai secara bijaksana tanpa rekayasa. (3) Membangkitkan rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi. Dengan melontarkan pertanyaan atau masalah-masalah, guru dapat menimbulkan suatu konflik konseptual yang merangsang anak didik untuk bekerja. Motivasi justru akan berakhir apabila konflik itu terpecahkan atau bosan untuk memecahkannya. (4) Melakukan hal yang luar biasa, misalnya meminta anak didik melakukan penyusunan soal-soal tes, menceritakan problem guru dalam belajar di masa lalu dan lain-lain. (5) Memanfaatkan apersepsi anak didik. Pengalaman anak didik baik yang di dapat di lingkungan sekolah maupun luar sekolah dimanfaatkan guru ketika sedang menjelaskan materi pelajaran. Dengan cara asosiasi ini anak didik berusaha menghubungkan materi pelajaran yang diserap dengan pengalaman yang telah dialaminya.(6) Pergunakan simulasi dan permainan (Gage dan Berliner dalam Djamarah, 2002 : 136).
Apabila motivasi telah tercipta kembali dengan sejumlah rangkaian penerapan strategi guru yang bersifat variatif, situasi cemas dalam pembelajaran akan diminimalisir. Kelas akan kembali hidup dalam kondisi yang pernuh gairah.
Bagi penulis, yang melakukan aktivitas pembelajaran di sekolah yang jauh dari pusat kota (kepulauan), yang kebanyakan peserta didik berada dalam kehidupan yang keras dan serba terbatas pada fasilitas, kadang mendapati siswa “apatis” (untuk berontak) pada keadaan. Dikarenakan siswa tidak dapat mengembangkan diri karena kesulitan fasilitas belajar yang terbatas. Disamping berbagai fenomena siswa lain yang menuntut guru lebih mempunyai kemampuan teknik yang strategis.
Humor dalam Pembelajaran; Strategi Mencengangkan
Humor sering dimaknai oleh banyak orang sebagai lawakan yang kemudian mengundang tawa dan canda. Orang akan semakin mengaitkan humor dengan sejumlah acara di media televise yang belakangan ini marak mengisi acara intertainment. Terakhir yang telah tinggal nama adalah acara kebudayaan yang dikemas dengan banyolan segar yakni “ketoprak humor”. Ketoprak bukan sekedar menyajikan banyolan belaka yang kemudian mengundang selera pemirsa untuk tertawa. Acara tersebut, tetap acara budaya (karena latar cerita yang dikembangkan memang cerita tradisional) meskipun kadang diselingi lelucon.
Tentu pemirsa terhipnotis (terbawa) untuk mengikuti dengan senang. Kondisi psikologis emosional mereka akan hidup dan sehat serta segar kembali diakibatkan rangsangan rasa lucu dan senang tadi. Orang kebanyakan akan selalu menonton dan mencari hal-hal yang dianggap lucu bagi dirinya untuk mmbuat mereka tertawa dan senang setiap saat.
Bahkan menurut riset sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak-anak mrespon humor jauh sebelum mereka dapat memahami bahasa atau membangun memori jangka panjang. Humor ada sebagai salah satu proses kognitif mendasar awal. Alastair Clarke menjelaskan: “Permainan anak2 yang menarik seperti peek-a-boo dan kap-kap udang semua menunjukkan mekanisme yang tepat untuk humor seperti bagaimana ia mucul dalam bentuk dewasa. Peek-a-boo dapat memicu respon humor pada bayi paling awal pada usia 4 bulan, dan secara efektif, sebuah proses pengulangan sederhana kejutan, membentuk pola dasar yang jelas. Saat bayi berkembang, pola dalam humor anak menjadi lebih rumit dan bersenyawa dan mendapat unsur spasial dan temporal hingga, pada akhirnya, anak mulai mampu menangkap pola yang terlibat dalam humor linguistik."(http://faktaevolusi.blogspot.com/2008/06/)
Begitu pula dengan proses pembelajaran, kehadiran humor diyakini dapat kembali me-refresh kondisi siswa yang penat, loyo, dan tidak bergairah untuk kembali bersemangat dalam pembelajaran.
Tetapi tidak mudah dalam mengaplikasikan, dikarenakan proses pembelajaran merupakan proses yang kompleks dengan keterlibatan banyak faktor. Tidak hanya berangkat dari imajinasi, tetapi lebih pada pengalaman, bahwa kepemilikan ‘sence of humor’ yang kuat akan sangat membantu menciptakan suasanan kelas yang kondusif. Dalam artian, memungkinkan siswa belajar lebih baik dalam suasana fun (menyenangkan).
Humor tidak sekedar mengajak kita berhenti cuma pada ketawa. Humor yang bermutu, sesudah terbahak-bahak yang sangat melegakan jiwa, nalar kita berkembang menuju pemahaman lebih dalam lagi (Mohammad Sobary, 2000). Humor yang bagus adalah membuat orang (public) terpancing untuk tertawa atas materi humor tersebut, tetapi tidak kemudian selesai setelah itu, ada pemaknaan yang barangkali menyangkut filosofi hidup, keberagamaan, fenomena politik yang mengalami kebuntuan dapat dicairkan dengan humor.
Humor tidak sama dengan tertawa murahan, ia lebih kaya dan lebih menuntut dibandingkan bercanda (Ira Shor, 2001). Menurut Adrew How, penulis buku best seller “Highway to success” dengan artikelnya “Humor bagi kehidupan” (2005) bahwa humor yang sehat mampu mengurangi stress, memberi perspektif baru dan perasaan lebih baik. Humor yang negatif bisa menyinggung perasaaan orang lain, meningkatkan ketegangan dan perasaan lebih buruk.
Kenapa harus dengan humor? Ira Shor (2001) menjelaskan bahwa kehidupan pembelajar di luar sekolah adalah penuh humor dan komedi merupakan salah satu cara merasakan subjektivitas mereka. Ketika pembelajaran berlangsung tanpa humor tanpa emosi, hal tersebut telah mengabaikan dua nilai subjektif. Mereka (siswa) akan berpikir bahwa kehidupan intelektual adalah menyeret, siswa umumnya senang berhubungan dengan guru yang menghibur (yang mampu membanyol untuk menarik perhatian).
Pada sisi lain, humor dan kesehatan telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas, karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga.
Pendekatan komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn dalam Pitaloka,2008).
Konsepsi di atas, sinergis dengan hasil angket yang disebar oleh penulis kepada siswa kelas XII IPA, dari 85 respoonden, ketika pembelajaran awal tahun ajaran baru. Jawaban: sungguh mencengangkan, hampir 95% situasi pembelajaran yang disukai adalah santai. Hanya 3% saja yang menjawab situasi yang disukai adalah serius. Kemudian 68% mereka suka pembelajaran diselingi humor dan game, 31% dengan cerita, dan sisanya hanya 1% tanpa diselingi apapun.
Dengan demikian, kita menyadari kehadiran humor dalam proses pembelajaran sangat bermanfaat. Kemampuan kita menciptakan humor, akan lebih mudah berkomunikasi secara intensif dan membangun suatu hubungan sosial yang kuat. Ketika guru menstimulan dengan humor, suasana kelas akan berubah ceria, penuh bersahabat dan akrab. Saat inilah, guru membangun kembali kegairahan dan kebebasan setelah sebelumnya penuh ketegangan dan ketakutan atau cemas. Karena menurut Sultanof dalam Andrew How (2005) berbagai bukti telah menyebutkan tekanan emosi dan humor tidak dapat terjadi dalam satu suasana psikologis.
Dengan humor, akan tercipta suasana keterbukaan antar warga belajar, siswa dengan siswa, siswa dan guru. Ketika proses pembelajaran aspek jiwa siswa dan guru terlibat. Performa guru yang sejak awal tampil ceria, penuh canda akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak kaku, siswa akan tidak sungkan lagi menyampaikan gagasan-gagasan dan pendapatnya. Guru juga dapa merespon dengan penuh empati dan motivasi serta menghargai semua gagasan dan jawaban siswa dalam bingkai toleransi.
Efek humor dalam mendemokasikan pembelajaran ternyata tidak hanya terhenti pada penciptaan kelas yang menyenangkan, penuh keakraban, keterbukaan, dan toleransi serta mampu membangkitkan kembali motivasi siswa. Semangat humor yang menciptakan kegairahan kembali (re-motivasi) siswa akan berdampak jelas pada prestasi. Kelas yang penuh keterbukaan, akrab, dan gairah akan lebih berprestasi dibanding kelas yang kurang bergairah, lesu dan tertekan. Hasil analisis penulis, yang mencoba menerapkan rangsangan humor kepada kelas B (XII IPA) setiap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, hasilnya 82,5% siswa tuntas dalam belajarnya, sedangkan kelas A (XII IPA) yang tiap kali pembelajaran tanpa rangsangan humor yang intensif, hasil hanya 54,2% yang tuntas.
Mengaplikasikan humor dalam proses pembelajaran sebenarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara. Pertama, pada saat awal pembelajaran, untuk melemaskan kembali ketegangan dan menegaskan bahwa kita mau terbuka dan akrab dengan siswa. Kedua, sebagai selingan dalam pembelajaran. Hal ini dimungkinkan untuk menghindari kelesuan, monoton, dan mengurangi stress akibat penyampaian materi pelajaran. Ketiga, pada saat akhir pembelajaran. Untuk menyegarkan kembali setelah menerima pembelajaran, dan akan memasuki pembelajaran berikutnya. Guru juga bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekplorasi humor bagi teman-temannya.
Sumber dan bentuk yang dapat dieksplore dalam pembelajaran, misal dengan memberi nama lucu pada benda-benda yang ada, suara-suara dan wajah yang lucu. Bentuknya bisa berupa cerita humor, anekdot, sindiran, dan aksi dalam pembelajaran, atau dengan pantun jenaka atau pengalaman hidup siswa. Guru secara kreatif dapat menciptakan humor sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan pembelajaran agar lebih kontekstual.
Penutup
Keberhasilan dalam pembelajaran ternyata tidak hanya, disebabkan oleh kesiapan seorang guru dalam hal akademis dan materi pelajaran yang harus dikuasai, juga oleh keterampilan guru untuk mengelola kelas yang menyenangkan dan penuh motivasi ke arah prestasi yang meyakinkan.
Pembelajaran yang dibingkai dengan kehadiran humor didalamnya akan penuh dengan keriangan, kesetiaan, motivasi dan demokrasi serta prestasi belajar. Situasi kelas dan siswa yang bermasalah tidak harus diselesaikan dengan kemarahan guru dan pengelola pendidikan atau memberikan hukuman keras, tetapi dapat diselesaikan dengan elegan melalui rangkaian humor dalam pembelajaran. Tentu kita masih teringat kata-kata Gus Dur pada suatu kesempatan “ kalau suatu masalah dapat diselesaikan dengan tertawa (humor) kenapa harus dengan serius (mengerutkan dahi)”.
Oleh karena itu, humor yang dibingkai dengan tepat dan sesuai dengan kondisi kultur, emosional pembelajar akan menjadi alternatif strategi belajar yang jitu dan sangat mencengangkan dan sekaligus menyenagkan semua pihak.
Daftar Rujukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas RI
Jauhari,Muhammad Idris. 2007. Memfungsikan Pendidikan Informal dan Nonformal; Upaya Mengembalikan Pendidikan pada Jalur-jalur yang Semestinya. Dalam Jurnal Edukasi. Sumenep, Edisi 08
Topatimasang,Roem. 2002. Sekolah itu Candu.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ira Shor dan Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKis
http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.htm, diakses 01 Agustus 2008)
Abdussami, Humaidi.2006. Budaya Banjar dan Nilai-Nilai Demokrasi. Makalah disampaikan dalam seminar tradisi dan demokrasi, Juni 2006
http://faktaevolusi.blogspot.com/2008/06/humor-terbukti-mendasar-bagi.htmlpentingnya ia dalam perkembangan kognitif bayi.
Sobary, Muhammad.(pengatar) 2000. Presiden Dur Yang Gus Itu; Anekdot-anekdot KH Abdurrahman Wahid. Risalah Gusti
Adrew How.2005. http://www.pembelajar.com/humor. wmview.php?ArtID=379
Pitaloka, Ardiningtiyas.2008. Humor Dalam Bingkai Psikologi. ( Juli 2008)
Source : http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/4501