Ketika tersebar kabar bahwa warung makan Fulan menjual masakan yang mengandung babi, sebagian orang mengatakan “yang sudah terlanjur makan ayo taubat nasuha!”. Ini adalah keyakinan yang keliru.
Allah maafkan kesalahan yang dilakukan karena jahil. lupa dan tidak sengaja
Allah Ta’ala Maha Bijaksana dan disucikan dari kezaliman. Diantara kebijaksanaan Allah adalah Ia tidak menghukum kesalahan yang dilakukan karena tidak tahu, lupa atau tidak sengaja. Ia berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Orang-orang beriman berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”” (QS. Al Baqarah: 286).
Dan doa orang-orang beriman ini telah dijawab oleh Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya:
فأنزلَ اللَّهُ تعالى: لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا قالَ: قَد فعلتُ
“Allah menurunkan ayat ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Orang-orang beriman berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah’, lalu Allah berfirman: ‘telah aku kabulkan‘” (HR. Muslim no. 126).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Maka perbuatan yang hukumnya haram ketika dilakukan karena murni tidak tahu, murni tidak sengaja atau murni lupa tidak terhitung sebagai dosa di sisi Allah. Maka untuk hal tersebut ia tidak dituntut untuk bertaubat, karena tuntutan bertaubat itu terkait dengan dosa.
Makan daging babi karena tidak tahu
Daging babi sudah jelas keharamannya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” (QS. Al Baqarah: 173).
Namun jika makan daging babi karena sebab tertentu yang diizinkan oleh syariat atau dimaafkan oleh syariat maka tidak ada dosa bagi pemakannya. Oleh karena itu lanjutan ayat ini:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173).
Dalam keadaan darurat semisal sangat lapar dan tidak ada makanan lain selain daging babi, maka ketika itu syariat mengizinkan dengan syarat tidak boleh berlebihan sekedar bisa mencegahnya dari kematian. Dan dalam ayat ini dikatakan ‘tidak ada dosa baginya‘. Demikian juga jika makan daging babi karena sebab yang dimaafkan oleh syariat yaitu karena tidak tahu, tidak sengaja atau lupa.
Dalam ayat ini juga Allah tidak menuntut pemakan daging bagi karena darurat itu untuk bertaubat, padahal daging babi masuk ke perutnya, namun itu karena sebab yang dimaafkan dan diizinkan oleh syariat. Bahkan Allah tegaskan dengan dua penegasan: ‘tidak ada dosa baginya‘ dan ‘Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: “jika seseorang makan daging babi karena tidak tahu, apakah ada kafarahnya? Jika ada apakah kafarahnya?”.
Syaikh menjawab:
ليس عليه شيء ما دام لا يعلم، ليس عليه شيء، إنما عليه أن يتمضمض ويغسل فمه من آثار النجاسة ويغسل يديه، والحمد لله. لكن إذا لم يتمضمض أو لم يذكر لحم خنزير إلا بعد حين ماذا يفعل؟ ج/ ما عليه شيء
“Tidak ada kewajiban apa-apa baginya, selama ia memakannya karena tidak tahu sedikit pun. Yang perlu ia lakukan adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis (daging babi) dan mencuci tangannya. Walhamdulillah. Namun jika memakannya pada waktu yang sudah berlalu lama sekali dan ia ketika itu tidak berkumur-kumur, apa yang perlu dilakukan? Jawabnya: tidak perlu melakukan apa-apa” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/12018).
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Wal Ifta juga ditanya: “seseorang makan daging babi dalam keadaan tidak tahu. Lalu setelah ia selesai makan, datang orang lain yang mengatakan bahwa yang dimakan itu daging babi. Dan daging bagi sebagaimana kita ketahui, hukumnya haram bagi seorang Muslim. Apa yang mesti ia lakukan?”
Mereka menjawab:
لا يلزمه شيء تجاه ذلك ولا حرج عليه؛ لكونه لا يعلم أنه لحم خنزير، وإنما يلزمه التحري والحذر في المستقبل
“Tidak ada kewajiban apa-apa baginya, dan itu tidak masalah. Karena ia tidak tahu yang dimakan adalah daging babi. Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati dan waspada di masa depan” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah jilid 4, no. 7290 pertanyaan ke-5).
Demikian, maka jelaslah orang yang makan daging babi karena tidak tahu tidak dituntut untuk bertaubat atas perbuatan tersebut. Ia juga tidak dituntut untuk memuntahkan isi perutnya atau tuntutan yang lainnya. Tidak ada kewajiban apa-apa baginya ketika ia baru mengetahui yang sudah ia makan adalah daging babi. Hendaknya kita jauhi sikap berlebih-lebihan dalam beragama.