Allâh Azza wa Jalla mewajibkan seluruh hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Kemudian Dia akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan. Namun ibadah akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , jika memenuhi syarat-syarat diterimanya amal sebagaimana telah dijelaskan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Syarat-syarat tersebut ada tiga, yaitu: iman, ikhlas, dan ittiba’. Inilah sedikit penjelasan tentang tiga perkara ini:
IMAN
Secara bahasa Arab, sebagian orang mengartikan iman dengan: tashdîq (membenarkan atau meyakini kebenaran sesuatu); thuma’ninah (ketentraman); dan iqrâr (pengakuan). Makna yang ketiga inilah yang paling tepat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan telah diketahui bahwa iman adalah iqrâr (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq. Iqrâr (pengakuan) mencakup perkataan hati, yaitu tashdîq (membenarkan atau meyakini kebenaran), dan perbuatan hati, yaitu inqiyâd (ketundukan hati)”.[1]
Dengan demikian, iman adalah iqrâr (pengakuan) hati yang mencakup:
Keyakinan hati, yaitu meyakini kebenaran berita.
Perkataan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah.
Yaitu: keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allâh Azza wa Jalla .
Adapun secara syara’ (agama), maka iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan amal (perbuatan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dan di antara prinsip-prinsip Ahli Sunnah wal Jama’ah bahwa ad-din (agama) dan al-iman adalah: perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan”.[2]
Iman memiliki enam rukun, yaitu: iman kepada Allâh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan iman kepada qadar. Inilah pokok iman.
Selain rukun, iman juga memiliki bagian-bagian. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa iman itu memiliki 73 bagian, sebagaimana dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
Iman ada 73 lebih atau 63 lebih bagian, yang paling utama adalah perkataan Laa ilaaha illa Allâh, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman.[3]
Iman Syarat Diterima Amal Shalih
Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa iman merupakan syarat diterimanya sebuah amal. Antara lain, firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16: 97]
Oleh karena itu amalan orang kafir tertolak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [Ibrâhîm/14:18]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allâh di sisinya, lalu Allâh memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allâh sangat cepat perhitungan-Nya. [An-Nur/24: 39]
Walaupun amal orang kafir tertolak di akhirat, namun dengan keadilan-Nya, Allâh Azza wa Jalla memberikan balasan amal kebaikan orang kafir di dunia ini.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
Sesungguhnya Allâh tidak akan menzhalimi kepada orang mukmin satu kebaikanpun, dia akan diberi (rezeki di dunia) dengan sebab kebaikannya itu, dan akan di balas di akhirat. Adapun orang kafir, maka dia diberi makan dengan kebaikan-kebaikannya yang telah dia lakukan karena Allâh di dunia, sehingga jika dia telah sampai ke akhirat, tidak ada baginya satu kebaikanpun yang akan dibalas .[4]
Dari uraian singkat di atas, kita bisa memahami urgensi iman terkait diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk terus menjaga dan meningkatkan keimanan kita serta memliharanya dari segala yang bisa merusaknya. Karena iman juga bisa rusak dengan banyak sebab, diantaranya syirik (Lihat Az-Zumar/39: 65), nifak (At-Taubah/9: 54), kufur (Muhammad/47: 8-9), dan riddah (Al-Baqarah/2: 217).
Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala yang bisa merusak keimanan kita.
IKHLAS
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Maksud ikhlas dalam syara’ adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allâh, semata-mata mencari ridha Allâh, menginginkan wajah Allâh, dan mengharapkan pahala atau keuntungan di akhirat. Serta membersihkan niat dari syirik niat, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. [Al-Bayyinah/98: 5]
Orang yang ikhlas mencari ridha Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang berbuat demikian (yaitu: memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia) karena mencari keridhaan Allâh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. [An-Nisa’/4: 114]
Orang yang ikhlas beramal untuk wajah Allâh, yakni agar bisa melihat wajah Allâh di surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk wajah Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [Al-Insan/76: 9]
Orang yang ikhlas itu menghendaki pahala akhirat, bukan balasan dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. [Asy-Syûra/42: 20]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ
Barangsiapa di antara mereka (umat ini) beramal dengan amalan akhirat untuk dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian di akhirat.[5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allâh tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni untuk–Nya dan untuk mencari wajah–Nya. [6]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allâh Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain Aku bersama–Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya.[7]
Seorang ulama dari India, al-Imam Shiddiiq Hasan Khan al-Husaini rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan (di antara Ulama) bahwa ikhlas merupakan syarat sah amal dan (syarat) diterimanya amal”.[8]
Berdasarkan syarat ikhlas ini, maka barangsiapa melakukan ibadah dengan meniatkannya untuk selain Allâh, seperti menginginkan pujian manusia, atau keuntungan duniawi, atau melakukannya karena ikut-ikutan orang lain tanpa meniatkan amalannya untuk Allâh, atau barangsiapa melakukan ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada makhluk, atau karena takut penguasa, atau semacamnya, maka ibadahnya tidak akan diterima, tidak akan berpahala. Demikian juga jika seseorang meniatkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla, tetapi niatnya dicampuri riya’, amalannya gugur. Ini merupakan kesepakatan ulama.[9]
Kesalahan Seputar Ikhlas
Dalam kitab al-Ikhlâsh, penulis yaitu Syaikh Umar Sulaiman al-‘Asyqar rahimahullah menyebutkan beberapa persepsi yang keliru tentang ikhlas, diantaranya:
Anggapan bahwa makna ikhlas adalah tidak memiliki kehendak
Anggapan bahwa orang yang menghendaki ridha Allâh harus meninggalkan duniawi, harta-benda, wanita, kedudukan, dan sebagainya.
Anggapan bahwa ikhlas adalah beribadah hanya dengan dorongan cinta kepada Allâh, tanpa disertai raja’ (harapan untuk meraih) surga dan tanpa khauf (rasa takut) dari neraka.
Orang yang tujuan hidupnya hanya duniawi.
Riya’, sum’ah, dan ‘ujub, bertentangan dengan ikhlas.
Riya’ adalah: memperlihatkan ketaatan lahiriyah untuk mendapatkan kebaikan dunia, pengagungan, pujian, atau kedudukan di hati manusia.
Sum’ah semakna riya’ namun berkaitan dengan pendengaran.
‘Ujb: merasa besar atau membanggakan ketaatan.
Beribadah dengan niat mengetahui hal-hal ghaib.
ITTIBA
Ittibâ’ adalah mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh, maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mentaati perintah Beliau, menjauhi larangan Beliau, dan beribadah kepada Allâh hanya dengan syari’at Beliau. Oleh karena itu, barangsiapa membuat perkara baru dalam agama ini, maka itu tertolak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-Imran/3: 85]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia larang kepadamu, maka tinggalkanlah. [Al-Hasyr/59: 7]
Ayat ini nyata menjelaskan kewajiban ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak.[10]
Hadits ini nyata-nyata mengharamkan perbuatan membuat ibadah yang tidak diperintahkan dan tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan mengharamkan perbuatan membuat sifat ibadah walaupun asal ibadah itu disyari’atkan, karena itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ini jelas bahwa ibadah harus sesuai tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam waktunya, sifatnya, dan tidak boleh menambahkan ibadah yang tidak dituntunkan, baik berupa amalan atau perkataan.
Inilah syarat-syarat diterima amal ibadah oleh Allâh Subhaana wa Ta’ala, semoga Allâh selalu membimbing kita semua di atas jalan yang lurus.
Al-hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmû’ Fatâwâ 7/638
[2] Syarh Aqîdah Washitiyah, hlm: 231, karya Syaikh Muhammad Kholil Harros, takhrij: ‘Alwi bin Abdul Qodir As-Saqqof
[3] HR. Muslim, no: 35
[4] HR. Muslim, no: 2808, dari Abu Hurairah. Lihat as-Shahîhah, no: 53
[5] HR. Ahmad, dll; Lihat Ahkâmul Janâ’iz, hlm. 53
[6] HR. Nasai, no: 3140. Lihat: Silsilah ash-Shahîhah, no: 52; Ahkâmul Janâ’iz, hlm. 63
[7] HR. Muslim, no: 2985
[8] Ad-Dînul Khâlish, 2/385
[9] Lihat Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 74, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin
[10] HR. Al-Bukhâri, no. 2697; Muslim, no. 1718