This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Maaf Dan Halal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maaf Dan Halal. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 September 2022

Maaf Dan Halal

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).
Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). 

Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.

Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.

Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

“Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.

Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).

Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”

Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”

Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”

Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.

Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:
Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).  Dengan begitu, Rasulullah menekankan pentingnya menyegerakan meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan seseorang kepada orang lain. Sikap ini merupakan perwujudan hablum minannas dan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama umat Islam adalah saudara.  Dalam hadis tersebut pula, ditekankan bahwa meminta maaf adalah upaya menghalalkan tindakan dzalim yang merupakan perbuatan haram (dosa). Direlevansikan dengan situasi yang pernah terjadi di negeri ini, bahwa konteks ‘halal’ merupakan cikal bakal istilah ‘halal bi halal’.  Dijelaskan oleh Almaghfurlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, bahwa pencetus istilah Halal bi halal ialah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sebagai bentuk solusi mengatasi pertikaian antar para elite politik setelah kemerdekaan RI tahun 1945 silam.  Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan hari raya idul fitri sesuai sunnahnya.  “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.  Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Para tamu pun datang, duduk satu meja dan saling memaafkan, yang menjadi momentum menggalang kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, halal bi halal menjadi tradisi berlebaran di negeri ini.  Dalam Islam, permintaan maaf tentunya akan berakhir indah jika disambut dengan sikap ‘memaafkan’. Diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Maafkanlah mereka yang telah berbuat kesalahan dan terimalah mereka yang telah berbuat baik.” (Musnad Abu Ya’la, jilid 2).  Sedangkan dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyyah dari Ali ra., asbabun nuzul Surat Al-Hijr ayat 85: “Maka berilah maaf yang baik.”  Lantas, Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Malaikat Jibril: ”Wahai Jibril, apakah maaf yang baik itu?”  Malaikat Jibril menjawab: ”Apakah (maksudnya) engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepada engkau, maka janganlah engkau mencelanya?”  Nabi Saw. lalu bersabda: ”Wahai Jibril, Maka Allah itu Maha Pemurah dan (tidak mungkin) Ia mencela (kesalahan) orang yang (telah) dimaafkan-Nya.”  Seketika Malaikat Jibril menangis dan diikuti tangisan Rasulullah SAW. Kemudian, Allah SWT mengutus Malaikat Mikail kepada keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Bagaimana Aku mencela orang yang telah Aku maafkan? Karena itu adalah hal yang tidak sesuai dengan Kemurahan-Ku.  Subhanallah, bukan? Bahwa kita diingatkan pentingnya untuk membangun mental ‘memberanikan’ diri untuk jujur menyampaikan kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sekaligus, mental ‘melunakkan hati’ untuk menerima kesalahan orang lain dan mengikhlaskannya dengan memaafkan.  Akhir kata, jelang 1 Syawal, marilah kita menata hati dan kebesaran jiwa untuk memaafkan kesalahan orang lain tatkala diucapkan oleh mereka ungkapan ‘minal aidin wal faizin’. Dan ketahuilah, memaafkan tidak mengandung unsur mudlarat ataupun kesiasiaan, melainkan menghadirkan faedah, yaitu kebaikan dan ketepatan dalam bertindak. Sesuai yang diterangkan dalam hadis:  “Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).

“Memaafkan adalah yang paling hak (benar) dikerjakan.” (HR. Baihaqi dari Ali, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5696).