Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.[HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam al-Bukhari rahimahullah mencantumkannya dalam bab: Keutamaan Orang Yang Mengasuh Anak Yatim.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1].
Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar [2].
Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa[3].
Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu[4].
Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya [5].
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:
Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah:
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” [al-Ahzaab/33: 5].
Anak angkat (anak asuh) tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[6].
Anak angkat (anak asuh) bukanlah mahram[7], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah anak kecil yang meninggal pada umur 1 tahun bisa memberi syafa’at bagi kedua orang tua dan kakek-neneknya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah Swt, salam sejahtera semoga tetap dilimpahkan Allah kepada RasulNya, juga keluarga dan para sahabatnya. Allah akan memperkenankan syafa’atnya kepada kedua orang tuanya. Mengenai syafa’atnya terhadap kakek-neneknya, hanya Allah saja Mahatau. Semoga Allah melimpahkan taufikNya, shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita.
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad (IV/260-261 dan V/411) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (I/301-302, no. 886).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam Muslim (no. 2702), Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 883) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1288). Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1452).
SYARAH HADITS
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk bertaubat dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. [An-Nûr/24:31]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allâh dengan taubat yang semurni-murninya (ikhlas) [At-Tahrîm/66:8]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalllallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bertaubat, karena taubat merupakan jalan kebahagiaan, jalan menuju surga, pembersih hati, penghapus dosa, dan menjadi sebab keridhaan Allâh Azza wa Jalla .
Setiap anak Adam pasti pernah berbuat dosa dan yang terbaik dari mereka adalah yang bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana sabda Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.[2]
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan ummatnya untuk selalu bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Bahkan, Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada ummatnya bahwa Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bertaubat sebanyak 100 kali dalam sehari.
MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat yaitu kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan.
Seorang dikatakan bertaubat kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu[3]
Lafazh taubat dalam surat at-Tahrîm pada ayat ke-8 di atas diiringi dengan lafazh nashuh, sehingga menjadi taubat nashuh. Taubat nashuh bermakna taubat yang ikhlas, jujur, benar, dan taubat yang tidak diiringi lagi dengan perbuatan dosa.
WAJIBNYA TAUBAT
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para Ulama tentang kewajiban bertaubat, bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap Muslim dan Muslimah. Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Para Ulama telah ijma’ tentang kewajiban bertaubat, karena sesungguhnya dosa-dosa itu bisa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allâh Azza wa Jalla. Maka, wajib segera bertaubat.”[4]
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan, dan akhir perjalanan hidup. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan menuju Allâh Azza wa Jalla tidak boleh lepas dari taubat hingga ajal menjemputnya. Taubat merupakan awal langkah seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan akhir langkahnya. Kebutuhan seorang hamba terhadap taubat di akhir hayatnya amat sangat penting dan sangat mendesak, sebagaimana juga taubat dibutuhkan di awal perjalanan hidup seorang hamba.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” [An-Nûr/24:31]
Ayat ini diturunkan di Madinah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan supaya mereka bertaubat, sesudah mereka beriman, bersabar, hijrah, dan berjihad.”[5]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepada-Nya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” [Hûd/11:3]
Begitu juga dalam firman-Nya, ketika Nabi Hûd Alaihissallam menyuruh kaumnya untuk beristighfar kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
Dan (Hûd berkata), ‘Wahai kaumku! Mohonlah ampunan kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras, Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa.’” [Hûd/11:52]
Dan juga Nabi Nûh Alaihissallam berkata kepada kaumnya untuk memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Rabbmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” [Nûh/71:10-12]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang istighfar dan meminta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dengan benar, maka Allâh Azza wa Jalla akan mengampuninya dan memberi kenikmatan yang banyak serta keutamaan. Sebaliknya, jika ia tidak mau bertaubat bahkan ia berpaling dari Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala berhak untuk menimpakan adzab dan siksa kepadanya.
TAUBAT WAJIB DILAKUKAN DENGAN SEGERA, TIDAK BOLEH DITUNDA
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatan dosa adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[6]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama telah sepakat bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib. Wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, baik itu dosa kecil apalagi dosa besar.”[7]
Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada al-Khâliq (Allâh Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhluk-Nya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama Muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu domba, menfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan yang lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya.
Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allâh. Setiap Muslim dan Muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, ataupun Ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar dan selalu bertaubat kepada-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam . Setiap hari Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan bahwa Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla seratus kali dalam satu majelisnya.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Kami pernah menghitung di satu majelis Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seratus kali Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:
رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Ya Rabb-ku! Ampunilah aku dan aku bertaubat kepada-Mu. Sungguh, Engkau Mahamenerima taubat lagi Maha Penyayang.[8]
Apabila ada yang beranggapan bahwa dirinya telah melakukan perbuatan dosa yang banyak sekali, sehingga merasa dosanya tidak akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla . Maka orang ini harus mengubah anggapan buruknya itu. Dia harus yakin bahwa Allâh Azza wa Jalla akan mengampuni segala dosa jika pelakunya bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taubat nashûh.
Segeralah bertaubat! Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.
Seorang Muslim tidak boleh merasa putus asa dari rahmat Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh.’ Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Az-Zumar/39 :53]
Disamping itu, ada banyak hadits yang menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia Azza wa Jalla selalu mendengar istighfar dan mengetahui taubat hamba-Nya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengabaikan masalah taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allâh nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan padahal di hadapannya ada air bersih namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga akhirnya maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.
Apabila tanda-tanda kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyâdzubillâh.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: ‘Sungguh sekarang ini aku taubat dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisâ’/4 :18]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Rabbmu, atau sebagian tanda-tanda dari Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah, ‘Tunggulah! Kami pun menunggu.’” [Al-An’âm/6:158]
Maksud firman Allâh Azza wa Jalla , “Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Rabbmu, atau sebagian tanda-tanda dari Rabbmu.” yaitu pada hari Kiamat.
Dan firman Allâh, “atau sebagian tanda-tanda dari Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu,” yaitu munculnya tanda-tanda Kiamat.
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَإِذَا رَآهَا النَّاسُ آمَنَ مَنْ عَلَيْهَا، فَذَاكَ حِينَ : لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ
Hari Kiamat tidak terjadi sampai matahari terbit dari barat. Ketika manusia melihatnya, mereka semua beriman (kepada Allâh). Maka saat itulah, “tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu.”[9]
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allâh akan menerima taubatnya.[10]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, ”Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan.”[11]
SYARAT-SYARAT TAUBAT
Para Ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allâh Azza wa Jalla sebagai berikut:
Al-Iqlâ’u, yaitu berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang ia pernah lakukan.
- An-Nadamu, yaitu menyesali perbuatan dosanya itu.
- Al-‘Azmu, yaitu bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembali Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[12]
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ، ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ : وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
Tidak ada seorang hamba pun yang berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allâh (dari dosa tersebut), niscaya Allâh akan ampuni dosanya.” Kemudian Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
‘Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allâh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.’ [Ali ‘Imrân/3 :135].[13]
KEUTAMAAN TAUBAT NASHUHA
1. Taubat menghapuskan dosa-dosa seolah-olah ia tidak pernah berdosa.
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa.[14]
2. Mengganti kejelekannya dengan kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “ Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allâh akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Furqân/25:70]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيِّئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allâh Azza wa Jalla ganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan.[15]
3. Membawa kepada Kesuksesan
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” [At-Taubah/9:104]
4. Jalan menuju surga dan penghalang dari neraka
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dizhalimi (dirugikan) sedikit pun.” [Maryam/19:60]
5. Membersihkan hati, menghapuskan dosa, dan membuat ridha Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allâh, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran)…” [At-Tahrîm/66:4]
OBAT MUJARAB AGAR ISTIQOMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS BERBUAT DOSA
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.
Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan, dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak sadar dirinya sedang sakit, dan akibat dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia ini. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:
Mengingat ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah al-Qur`an juz ‘Amma (juz ke-30) beserta artinya, dan sebaiknya dihafalkan.
Baca hikayat para Nabi bersama ummatnya dan para salafus shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya dengan sebab dosa yang mereka lakukan.
Ingat bahwa setiap dosa dan maksiat memiliki akibat buruk di dunia maupun akhirat.
Ingat ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa. Satu per satu, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
Bacalah Istighfar dan Sayyidul Istighfar setiap hari, serta do’a-do’a pelebur dosa lainnya.
HAL-HAL YANG WAJIB DIINGAT SEBELUM DAN SESUDAH TAUBAT
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui seluruh perbuatan dosa para hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِنْ بَعْدِ نُوحٍ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami binasakan. Dan cukuplah Rabbmu Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa para hamba-Nya.” [Al-Isrâ`/17:17]
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ ۚ وَكَفَىٰ بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا
“Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Hidup, Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” [Al-Furqân/25: 58]
2. Mengingat bahwa adzab Allâh Azza wa Jalla sangat pedih
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٤٩﴾ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ
Kabarkanlah kepada para hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih. [Al-Hijr/15:49-50]
Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ فِيْ أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ. وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ
Sesungguhnya seorang Mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia berada di kaki gunung, ia takut gunung itu akan menimpanya. Adapun seorang yang fajir (suka berbuat maksiat) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya.[16]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh kalian mengerjakan suatu amal yang –dalam pandangan kalian- lebih tipis daripada rambut, namun kami menganggapnya di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suatu dosa besar (yang membinasakan).”[17]
3. Berusaha pindah dari tempat yang banyak dikerjakan maksiat
Sebagaimana dalam hadits tentang orang yang membunuh 100 jiwa. Singkatnya, setelah orang tersebut membunuh 100 jiwa, ia bertanya kepada seorang ‘alim, “Apakah jika ia bertaubat akan diterima taubatnya?” Orang ‘alim itu menjawab, ‘Ya, dan siapakah yang akan menghalangi antara dia dan taubat. Pergilah ke tempat ini dan ini karena di sana ada sekelompok orang yang beribadah kepada Allâh, maka beribadahlah kepada Allâh bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke tempatmu karena tempatmu adalah tempat yang jelek”[18][18]
PERKARA-PERKARA YANG WAJIB DIHINDARI DALAM TAUBAT
1. Terus menerus dalam berbuat dosa
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]
2. Berbangga dengan perbuatan dosa
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.
Setiap ummatku diampuni kecuali al-mujâhirin (orang-orang yang sengaja menampakkan perbuatan dosanya-red). Dan sungguh termasuk mujaharah (perbuatan menyengaja menampak dosa) yaitu orang yang mengerjakan suatu perbuatan dosa pada malam hari, kemudian ia memasuki waktu pagi padahal Allâh Azza wa Jalla telah menutupi dosanya tersebut, namun ia berkata (menceritakannya), ‘Wahai fulan! Saya tadi malam melakukan ini dan itu.’ Padahal Allâh Azza wa Jalla telah menutupi perbuatannya pada malam hari, tetapi pagi harinya ia membuka sendiri perbuatannya yang telah ditutupi oleh Allâh tersebut.[19]
Mujâhir adalah orang yang bangga, sengaja menampakkan dan menceritakan dosanya kepada orang lain. Orang yang berbangga dengan dosanya berarti dia telah melakukan lima kejahatan, yaitu:
- Kejahatan karena perbuatan dosa atau maksiat itu sendiri
- Kejahatan karena ia menceritakan perbuatan dosa yang telah dikerjakannya atau ia mengerjakannya dihadapan orang lain
- Kejahatan karena ia telah membuka penutup aib yang telah Allâh tutupkan
- Kejahatan karena ia telah membangkitkan semangat orang untuk berbuat dosa sepertinya.
- Kejahatan karena ia menganggap remeh perbuatan dosa dan maksiatnya itu.[20]
3. Tidak istiqamah dalam bertaubat
Ada beberapa tingkatan manusia yang bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla, yaitu :
Pertama, yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya sampai meninggal dunia. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi dosanya dan ia berusaha membereskan semua kesalahannya. Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas darinya. Meski demikian, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sâbiqûn bil khairât.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ
Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh [Fâthir/35:32]
Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Jiwa yang demikian dinamakan an-nafsul muthmainnah.
Kedua, yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar tetapi ia terkena musibah, yaitu ia sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya dan menyesalinya. Orang-orang ini akan mendapatkan janji kebaikan dari Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunan-Nya…” [An-Najm/53:32]
Dan jiwa yang demikian dinamakan an-nafsul lawwâmah.
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah demi jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) [Al-Qiyâmah/75:2]
Ketiga, orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allâh firmankan, yang artinya, “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allâh menerima taubat mereka, sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [At-Taubah: 102]
Jiwa inilah yang disebut an-nafsul mas-ûlah.
Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya. Bahkan ada kemungkinan sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat maut telah diperintah Allâh Azza wa Jalla untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.
Keempat, yaitu orang yang bertaubat tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa dan maksiat dan tidak peduli lagi terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allâh serta tidak ada lagi rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa, bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Jiwa yang demikian ini dinamakan an-nafsul ammârah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yûsuf/12 :53]
Tingkatan keempat ini sangat berbahaya dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khâtimah (Akhir kehidupan yang jelek).[21]
Nas`alullâha al-‘afwa wal ‘afiyah. Kita memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon agar diselamatkan dari hal yang seperti ini.
FAWAA’ID HADITS
- Taubat merupakan nikmat, karunia dan hidayah taufik dari Allâh kepada para hamba-Nya.
- Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan, dan yang terbaik adalah yang bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua dosa dan sifat yang tercela.
- Taubat wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.
- Taubat wajib dilakukan dengan ikhlas, jujur dan memenuhi syarat-syaratnya.
Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan), serta perubahan kepada yang lebih baik.
Pintu taubat masih tetap terbuka, siang dan malam, sampai matahari terbit dari barat.
Seorang hamba tidak boleh putus asa dari rahmat Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang mengampuni semua dosa besar dan kecil.
Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat apabila ruh sudah berada di tenggorokan dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari istighfar dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla 100 kali.
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum adalah contoh teladan yang baik dalam bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla telah menerima taubat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. [At-Taubah/9:117]
Allâh Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “…Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah: 222]
Allâh Azza wa Jalla sangat senang dengan taubat seorang hamba yang ikhlas dan jujur.
Taubat dan istighfar wajib dibuktikan dengan amalan-amalan ketaatan kepada Allâh, menjauhi maksiat, dan tidak mengulangi perbuatan dosa-dosanya. Ini adalah taubat yang ikhlas dan jujur.
Taubat yang ikhlas, jujur, dan istiqamah dalam taubatnya akan membuat seorang hamba lebih baik dari sebelumnya dan husnul khatimah
Orang yang selalu bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menunjuki hatinya. [Ar-Ra’d/13:27]
Taubat yang jujur dan ikhlas akan membawa kepada ketenangan, tawadhu, menumbuhkan rasa takut terhadap Allâh dan siksa-Nya.
Segeralah bertaubat dan memperbanyak istighfar, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kenikmatan yang banyak dan menurunkan hujan yang deras.
Bertaubat dan memperbanyak istighfar akan mendatangkan rezeki dan jalan keluar yang terbaik.
Kita dianjurkan setiap hari beristighfar dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Dianjurkan kita beristighfar pada waktu sahur.
Istighfar yang dibaca yaitu:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلِيْهِ
Aku memohon ampunan kepada Allâh Yang Mahaagung, Yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, Yang Maha-hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.[22]
Yang paling baik dibaca yaitu sayyidul isighfar, di waktu pagi dan petang.
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبّـِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ.
“Ya Allâh, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan (apa) yang kuperbuat. Aku mengakui dosaku, oleh karena itu ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”
MARAAJI’:
- Kutubus sittah
- Tafsîr Ibni Katsiir, tahqiq Sami Muhammad Salamah, cet. Daar Thaybah.
- Fat-hul Bâ
- Syarah Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi.
- Mukhtashar Minhajil Qâshidîn, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi.
- Madârijus Sâlikiin, Imam Ibnul Qayyim, cet. Darul Hadits-Kairo
- Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Riyâdhush Shâlihîn, Imam an-Nawawi.
- Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
- [1] Dalam ilmu mushthalah hadits, ini dinamakan mubham. Mubham Sahabi adalah shahih, karena para Sahabat semuanya adil.
اَلصَّحَابَـةُ كُلُّـهُمْ عُدُوْلٌ. “Para Shahabat semuanya adil (terpercaya).” (Lihat Irsyâdul Fuhûl ilâ Tahqîqil Haqqi min ‘Ilmil Ushûl (I/228) karya Imam asy-Syaukani tahqiq DR. Sya’ban Muhammad Isma’il).
Menurut Syaikh al-Albani bahwa tampaknya Sahabat tersebut adalah al-Agharr al-Muzani Radhiyallahu anhu. Bahkan Imam Abu Hatim rahimahullah ketika ditanya oleh anaknya Ibnu Abi Hatim, beliau dengan tegas mengatakan bahwa riwayat di atas dari Sahabat al-Agharr al-Muzani Radhiyallahu anhu. Ibnu Abi Hatim berkata, “Ayahku (Abu Hatim) berkata: Sesungguhnya orang ini adalah al-Agharr al-Muzani, dia seorang Sahabat (Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam).” (Al-’Ilal, V/182-183 no. 1904).
- [2] Hasan: HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4515)
- [3] Lihat Fat-hul Bâri (XI/103) dan al-Mu’jamul Wasith, bab Taa-ba (I/90).
- [4] Mukhtashar Minhajil Qâshidin (hlm. 322), karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid
- [5] Madârijus Sâlikîn (I/198), cet. Darul Hadits-Kairo
- [6] Madârijus Sâlikîn (I/297), cet. Darul Hadits-Kairo.
- [7] Syarhu Shahîh Muslim (XVII/59).
- [8] Shahih: HR. At-Tirmidzi )no. 3434); Abu Dawud (no. 1516); Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
- [9] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 4635), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Penjelasan ini dinukil dari Tafsîr Ibni Katsîr (III/371), cet. Daar Thaybah.
- [10] Shahih: HR. Muslim (no. 2703), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
- [11] Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 3537); Ibnu Majah (no. 4253); Ahmad (II/132, 153), dan al-Hakim (IV/257). Lafazh hadits ini menurut Imam at-Tirmidzi.
- [12] Lihat Riyâdhush Shâlihîn bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahîh al-Wâbilish Shayyib (hlm. 272-273).
- [13] Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 406); Ahmad (I/2, 10); Abu Dawud (no. 1521); Ibnu Majah (no. 1395); Abu Da-wud ath-Thayalisi (no. 1 dan 2), Abu Ya’la (no. 12 dan 15), dan lainnya.
- [14] Shahih : HR. Ibnu Mâjah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud I. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3008)
- [15] Hasan: HR. Al-Hakim (IV/252), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 5359).
- [16] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6308) dan at-Tirmidzi (no. 2497).
- [17] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6492).
- [18] Hadits ini shahih. Selengkapnya lihat dalam HR. Al-Bukhâri (no. 3470) dan Muslim (no. 2766) atau dalam kitab Riyâdhus Shâlihîn bab Taubat
- [19] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6069) dan Muslim (no. 2990) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
- [20] Bahjatun Nâzhiriin (I/330).
- [21] Lihat Mukhtashar Minhajil Qâshidin (hlm. 335-336).
- [22] Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلِيْهِ.
‘Aku memohon ampunan kepada Allâh Yang Mahaagung, Yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, Yang Maha-hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.’ Maka Allâh pasti akan mengampuni dosanya meskipun ia pernah lari dari medan peperangan.’ Maka Allah pasti akan mengampuni dosanya meskipun
ia pernah lari dari medan peperangan.”
Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517), at-Tirmidzi (no. 3577), dan al-Hakim (I/511). Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/182, no. 2831).
[23] Barangsiapa yang membaca do’a ini dengan yakin di pagi hari lalu ia meninggal sebelum masuk waktu sore, maka ia termasuk ahli Surga. Dan barangsiapa yang membacanya dengan yakin di waktu sore lalu ia meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk ahli Surga. (HR. Al-Bukhâri, (no. 6306, 6323); Ahmad (IV/122-125); An-Nasa-i (VIII/279-280).