حَدَّثَنَا أَبُوْ الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاس غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِيْ بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا ، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
Abu ath-Thufail ‘Amir bin Watsilah menuturkan kepada kami, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib[1] Radhiyallahu anhu , lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata rahasia kepadamu?’ Maka ‘Ali Radhiyallahu anhu marah dan ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata satu rahasia pun kepadaku yang ia sembunyikan dari orang lain, tetapi Beliau pernah bertutur kepadaku dengan empat kalimat.’ Maka orang tersebut berkata, ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut, wahai Amirul Mukminin?’ ‘Ali Radhiyallahu anhu berkata:
Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh
Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya
Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan
Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh :
Muslim (no. 1978 [42] dan 1978 [43])
Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 17
An-Nasa`i, VII/232
Ahmad, I/108, 118, 152
Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 22327
Abu Ya’la, no. 602
Al-Baihaqi, VI/99
Al-Hakim, IV/153
KOSA KATA HADITS
بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : Dengan empat kata, maksudnya empat kalimat
لَعَنَ اللهُ : Makna al-la’n yaitu menjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla
آوَى : Menjaga, melindungi
مُحْدِثًا : Orang yang berbuat kejahatan dan berhak mendapat hukuman hadd
مَنَار : Jamak dari مَنَارَة yang berarti tanda
SYARAH (PENJELASAN) HADITS
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya terhadap empat kejahatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tersebut dari rahmat-Nya, yaitu:
Pertama, bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , sesuatu yang tidak berhak mendapat peribadahan.
Kedua, orang yang mendo’akan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun menjadi sebab terjadinya hal tersebut, misalnya seseorang melakukan kejelekan-kejelekan di atas terhadap orang tua orang lain lalu orang lain tersebut membalasnya dengan perbuatan jelek serupa, maka itu sama dengan melakukan perbuatan jelek terhadap orang tuanya sendiri.
Ketiga, orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, misalnya dengan menghalang pelaksanaan hukum tersebut kepada orang itu, atau ia ridha terhadap kebid’ahan dalam agama dan mengakuinya.
Keempat, orang yang mengubah tanda batas tanah yang memisahkan hak pemilik masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempatnya yang benar. Sehingga dengan sebab itu terjadilah pengambilan sebagian tanah orang lain secara zhalim. [2]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh
Menyembelih binatang pada asalnya adalah ibadah yang diperintahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allâh).” [Al-Kautsar/108:2]
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menggabungkan dua ibadah tersebut, yaitu shalat dan berkurban. Keduanya menunjukkan perbuatan taqarrub (yang mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla , kerendahan hati, butuh kepada Allâh, berbaik sangka, kuatnya keyakinan, dan tenangnya hati kepada Allâh dan kepada janji-Nya.
Dan ini berlawanan dengan keadaan para penyembah kubur dan orang yang seakan tidak butuh kepada Allâh Azza wa Jalla , yang mereka tidak shalat kepada-Nya dan tidak menyembelih kurban karena takut kefakiran. Karena inilah Allâh Azza wa Jalla menggabungkan kedua ibadah tersebut dalam firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).’” [Al-An’âm/6:162-163]
Makna nusuk adalah penyembelihan untuk Allâh semata karena mengharapkan pahala dari-Nya. Keduanya (shalat dan menyembelih) merupakan ibadah yang paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dalam surat al-Kautsar, perintah tersebut didahului dengan huruf fa’, yang menunjukkan sebab, karena mengerjakan kedua ibadah tersebut merupakan sebab yang menuntun seseorang untuk bersyukur kepada Allâh atas apa yang Allâh Azza wa Jalla beri dari al-Kautsar.
Ibadah fisik yang paling mulia adalah shalat dan ibadah harta yang paling mulia adalah menyembelih. Tidak terkumpul pada ibadah shalat dalam diri seseorang sebagaimana yang terkumpul pada ibadah lainnya, sebagaimana yang diketahui oleh para pemilik hati yang hidup. Dan tidak terkumpul pada diri seorang hamba dalam ibadah penyembelihan –jika diiringi dengan iman dan ikhlas– dari kuatnya keyakinan dan husnuz zhann (berbaik sangka) melainkan perkara yang menakjubkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang banyak melakukan shalat dan berkurban.”[3]
Tetapi jika seseorang menyembelih binatang untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seperti berhala, patung, pohon, batu, jin, dan selainnya, maka Allâh Azza wa Jalla melaknat orang tersebut. Setiap orang yang menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , maka orang tersebut dilaknat oleh Allâh Azza wa Jalla . Ini menunjukkan betapa dosa itu sangat besar, karena Allâh l tidak melaknat kecuali terhadap perkara dosa yang berbahaya. Ini menunjukkan besarnya dosa menyembelih untuk selain Allâh, bagaimanapun bentuk penyembelihan tersebut, baik sedikit atau banyak, dengan binatang yang besar atau kecil.
Bentuk penyembelihan kepada selain Allâh yaitu seseorang menyebut nama selain nama Allâh saat menyembelih, atau dengan niat dan hati serta keyakinannya untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh dengan penyembelihan tersebut. Atau dengan sembelihan tersebut, dia ingin menolak bahaya dari sesuatu yang dia sembelih untuknya, seperti misalnya menyembelih untuk jin dengan maksud untuk menolak bahaya yang ditakutkan dari mereka atau karena takut kepada mereka, atau menyembelih untuk berhala agar mendapat manfaat dari berhala tersebut, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh. Jika sudah lama tidak datang hujan, mereka menyembelih kerbau atau hewan lainnya di tempat tertentu, atau di kuburan tertentu dimana mereka ingin hujan turun di tempat tersebut. Terkadang mereka diuji dengan turunnya hujan itu, jadi terkabulnya doa mereka merupakan ujian dan cobaan dari Allâh Azza wa Jalla , bukan menunjukkan bolehnya perbuatan mereka yang termasuk syirik dan mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla .
Barangsiapa melakukan hal tersebut, ia termasuk musyrik (orang yang berbuat syirik atau menyekutukan Allâh) yang terlaknat, baik ia melafazhkan dengan berkata ‘Sembelihan ini untuk kuburan fulan’ dan lafazh semisalnya atau ia hanya meniatkan dengan hatinya saja. Sembelihan ini haram, karena termasuk dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allâh [Al-Baqarah/2:173]
Semua yang disembelih untuk selain Allâh mencakup apa-apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allâh, atau disembelih dengan nama Allâh tetapi diniatkan untuk berhala, jin, dan semisalnya.
Jadi, yang tercakup dalam penyembelihan untuk selain Allâh yaitu:
Sesuatu yang disembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla dalam rangka mendekatkan diri kepadanya. Walaupun dia menyebut bismillah, ini tetap haram sesuai ijma’ dan termasuk syirik, seperti menyembelih untuk berhala, penghuni kubur dan lainnya.
Sesuatu yang disembelih untuk dimakan dagingnya, tetapi dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa Jalla .
Sesuatu yang disembelih ketika musim kemarau di tempat tertentu atau di kuburan tertentu agar hujan segera turun.
Sesuatu yang disembelih ketika pertama kali memasuki rumah baru karena takut kepada jin.
Menyembelih sapi atau kurban untuk ditanam kepala binatang tersebut agar bangunan menjadi kokoh dan kuat.
Menyembelih binatang untuk menolak malapetaka, seperti menyembelih untuk Nyi Roro Kidul di Pantai Selatan, atau yang lainnya.
Ini semua termasuk penyembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla dan merupakan perbuatan syirik besar (syirk akbar).
Apa saja yang disembelih untuk selain Allâh, maka tidak boleh dimakan, karena termasuk dalam firman-Nya:
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allâh
Begitu pula sembelihan-sembelihan yang tidak dibaca Bismillah, maka tidak boleh dimakan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allâh, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. [Al-An’âm/6:121]
Sabda Nabi :
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ
Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya
Allâh Azza wa Jalla menggandengkan hak orang tua dengan hak-Nya dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak…” [An-Nisâ’/4:36]
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” [Al-Isrâ’/17:23-24]
Hak orang tua selalu disebutkan setelah hak Allâh Azza wa Jalla , begitu juga larangan berbuat buruk kepada orang tua disebutkan setelah larangan berbuat buruk pada hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ
Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tiga kali. Kami (para Sahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh !” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan durhaka kepada kedua orang tua.” Awalnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga saksi palsu dan perkataan bohong.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulanginya sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam.”[4]
Jadi tidak boleh seorang anak mencela orang tuanya dan ini merupakan dosa besar. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan laknat terhadap sesuatu menunjukkan bahwa hal itu merupakan dosa besar, baik mencela secara langsung atau menjadi penyebab orang tuanya dicela. Karena sebagian orang ada yang tidak mencela orang tuanya secara langsung, tetapi dengan suatu sebab seperti ia mencela orang tua temannya, yang kemudian temannya itu membalas mencela orang tuanya. Maka ia menjadi sebab dalam pencelaan orang tuanya sendiri.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Bagaimana mungkin seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar. Ia mencaci ayah orang lain, lalu orang itu akan mencaci ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain, maka orang itu akan mencaci ibunya.”[5]
Seorang Muslim tidak boleh menjadi pelaknat, pencela, dan berakhlak buruk. Seorang Muslim wajib menjadi orang yang beradab dan berbicara dengan kata-kata yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
… Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia … [Al-Baqarah/2:83]
Jika kepada orang lain kita diperintahkan untuk berkata baik, apalagi kepada orang tua. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
… dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.[Al-Isrâ’/17: 23]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا
Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan
Yaitu orang yang melindungi orang lain yang berbuat kejahatan dengan kedudukannya, kekuatannya, kekuasaannya atau dengan pasukannya, agar pelaku kejahatan itu tidak dikenai hukuman hadd. Apa yang dia lakukan ini juga termasuk dosa besar dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya.
Abu as-Sa’adat rahimahullah (Ibnul Atsir, wafat th. 606 H) berkata tentang makna مُحْدِثًا, “Kata tersebut ada yang meriwayatkan dengan mengkasrahkan huruf Dal (مُحْدِثًا) dan ada juga yang memfathahkannya (مُحْدَثًا). Jika dikasrahkan, maka maknanya : pelaku, (jadi makna hadits di atas adalah-red) orang yang menolong pelaku kejahatan, melindunginya, menyelamatkannya dari lawannya, dan menghalanginya agar tidak diqishash.
Sedangkan jika difathahkan huruf Dalnya, maknanya adalah objek, yaitu perkara bid’ah itu sendiri. Jadi makna (hadits di atas jika difathahkan yaitu-red) ridha dan sabar terhadapnya. Karena seseorang jika ridha terhadap suatu bid’ah dan mengakui pelakunya serta tidak mengingkarinya, maka ia telah melindunginya.”[6]
Seorang Muslim tidak boleh melindungi, menolong atau membantu pelaku kejahatan atau pelaku bid’ah, karena hal ini termasuk dalam ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Mahakeras siksa-Nya [Al-Mâ`idah/5:2]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah
Ada tiga pendapat para Ulama tentang maksud dengan tanda-tanda tanah:
Pertama, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu garis tanda batas tanah. Mengubahnya yaitu dengan melebihkannya dari batas yang seharusnya. Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقٍّ، طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
Barangsiapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) tanpa hak, maka akan dikalungkan padanya dari tujuh bumi pada hari Kiamat[7]
Kedua, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda tanah haram yang diharamkan di sana membunuh hewan buruan, diharamkan menebang pohon dan rerumputannya, dan diharamkan mengambil barang temuan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla menjadikan daerah sekitar Ka’bah haram dari segala sisi. Ini merupakan kota yang tidak boleh dimasuki oleh orang musyrik dan tidak boleh berperang di dalamnya kecuali jika untuk membela diri. Jadi yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ di sini yaitu tanda-tanda yang dijadikan batas di sekitar tanah haram dari semua sisi, dari daerah Tan’im, Hudaibiyyah, ‘Arafah dan Namirah, serta dari Ji’ranah.
Ketiga, yang dimaksud مَنَارَ الْأَرْضِ yaitu tanda-tanda yang ada di jalan umum yang kita kenal, seperti papan-papan penunjuk lalu lintas di jalan. Maka ini tidak boleh diubah karena dapat menyesatkan orang-orang.
Dan yang paling kuat yaitu pendapat yang pertama. Wallâhu a’lam.[8]
FAWAA-ID[9]
- Dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Tidak ada wasiat sama sekali untuk Ali Radhiyallahu anhu untuk menjadi khalifah sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
- Ada dalil tentang dianjurkannya menulis
- Ali Radhiyallahu anhu marah kepada orang yang berkata bahwa beliau Radhiyallahu anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Kalau ada orang yang berkata bahwa Ali adalah وَصِيّ (yang diberi wasiat) maka perkataan ini adalah dusta dan bohong.
- Orang-orang syi’ah adalah para pendusta dan pembohong, tidak boleh dipercaya seumur hidup.
- Menyembelih binatang kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya adalah haram dengan keharaman yang sangat keras, baik yang disembelih itu unta, sapi, ayam, atau yang lainnya.
- Menyembelih kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla adalah syirik dan dosa besar yang paling besar.
- Sembelihan untuk berhala dan yang lain selain Allâh, maka tidak boleh dimakan.
- Menyembelih kurban adalah ibadah, wajib dipersembahkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata.
- Wajib berkata dengan perkataan yang baik dan mulia kepada kedua orang tua.
- Durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan haram.
- Durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa besar.
- Melaknat (mencaci-maki) kedua orang tua adalah perbuatan haram, baik secara langsung maupun karena menjadi sebab dilaknatnya kedua orang tua oleh orang lain, misalnya dia melaknat kedua orang tua orang lain kemudian orang lain tersebut balas melaknat kedua orang tuanya. Ini sama dengan melaknar kedua orang tua sendiri.
- Haramnya menolong dan melindungi para pelaku kejahatan.
- Haramnya meridhai atau setuju dengan kebid’ahan
- Haramnya mengubah patok tanah dengan tujuan untuk mengambil hak/tanah orang lain.
- Bolehnya melaknat orang-orang fasik (secara umum/tanpa menentukan individu tertentu) agar mereka jera dari kemaksiatan.
MARAAJI’
- Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya
- Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq: Usamah bin ‘Athaya bin Utsman al-‘Utaybi.
- Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.
- Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
- I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
- Al-Jadîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz as-Sulaiman al-Qar’awi, tahqiq: Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad.
Coba lihat saja kelakuan sebagian kita terhadap orang yang beda pemahaman, padahal masih dalam tataran ijtihadiyah. Yang terlihat adalah watak keras, tak mau mengalah, sampai menganggap pendapat hanya boleh satu saja tidak boleh berbilang. Ujung-ujungnya punya menyesatkan, menghizbikan dan mengatakan sesat seseorang.
Padahal para ulama sudah mengingatkan untuk tidak meninggalkan mempelajari masalah adab dan akhlak.
Namun barangkali kita lupa?
Barangkali kita terlalu ingin cepat-cepat bisa kuasai ilmu yang lebih tinggi?
Atau niatan dalam belajar yang sudah berbeda, hanya untuk mendebat orang lain?
Sahabat muslim, perhatikanlah hal penting ini, adab dulu baru ilmu.
Adab Dulu Baru Ilmu
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)
Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه
“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).
Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.
Berbeda Pendapat Bukan Berarti Mesti Bermusuhan
Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Berdoalah Agar Memiliki Adab dan Akhlak yang Mulia
Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya,
اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)
أسأل الله أن يزرقنا الأدب وحسن الخلق
Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.
Ta’zhimul ‘Ilmi, Syaikh Sholeh bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, Muqorrorot Barnamij Muhimmatil ‘Ilmi.
- Siyar A’laamin Nubala’, Imam Adz Dzahabi, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-11, tahun 1422 H, jilid ke-10.
- Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
الظُّلْمُ: وَضْع الشيء في غير موضِعه
“Azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya” Secara istilah, zalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al Asfahani mengatakan: zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an Al Asfahani 537, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
"Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut." (QS. Maryam: 71-72.).
Allah Ta’ala berfirman:
أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18).
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102).
نَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ
“Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”
(QS. Saba: 40). مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ
“Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18). Ayat-ayat yang lain: Di antara ayata-yat Al Quran yang mengajak kepada taubat dan menganjurkannya, serta menjelaskan keutamaannya dan buahnya adalah firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222). Dan karena cintanya, Ia akan mengganti semua keburukan yang pernah dilakukan orang bertobat dengan berbagai macam kebaikan. "... Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka keburukan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS al-Furqon [25]: 70).
Uraian di atas sejalan dengan penjelasan beberapa ayat Al-Quran tentang ciri orang takwa. Menurut Alquran, orang takwa bukan orang yang tidak pernah berbuat dosa, melainkan yang peka terhadap dosa, yakni yang apabila berbuat dosa langsung ingat kepada Allah, memohon ampun pada-Nya, dan tidak melanjutkan perbuatan tersebut.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" (QS Ali Imran [3]: 135).
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam at Taubat Ila Allah menjelaskan setelah Allah SWT melarang kaum mukminin untuk mencela seorang muslim --baik ia laki-laki atau perempuan-- serta mengejeknya dengan ucapan yang menyakitkan atau membuatnya susah; dan al-Quran menganggap orang yang mengejek sesama muslim sebagai orang yang mengejek dirinya sendiri, karena kaum muslimin adalah seperti satu tubuh;
Al-Quran juga melarang untuk saling panggil memanggil dengan panggilan yang buruk yang tidak disenangi orang. Perbuatan itu semua akan memindahkan manusia dari derajat keimanan ke derajat kefasikan. Dari seorang mukmin menjadi seorang fasik, dan nama yang paling buruk setelah keimanan adalah kefasikan itu. Kemudian Allah SWT berfirman: "Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". (Baca juga: Janganlah Menunda-Nunda Taubat ) Ini adalah dalil akan kewajiban bertaubat. Karena jika ia tidak bertobat maka ia akan menjadi orang-orang zalim. Dan orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.
Uraian di atas sejalan dengan penjelasan beberapa ayat Al-Quran tentang ciri orang takwa. Menurut Alquran, orang takwa bukan orang yang tidak pernah berbuat dosa, melainkan yang peka terhadap dosa, yakni yang apabila berbuat dosa langsung ingat kepada Allah, memohon ampun pada-Nya, dan tidak melanjutkan perbuatan tersebut.
Hal tersebut ditegaskan oleh ayat, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" (QS Ali Imran [3]: 135).
Kisah Nabi Daud bertobat tertera pada QS Shad: 21-25. Pada satu waktu, Daud kedatangan dua orang tamu asing memanjat mihrab. Ketika masuk menemui Daud, mereka mengaku sedang berperkara satu sama lain. Mereka pun meminta Daud untuk memberi putusan yang adil dan tak menyimpang dari kebenaran.
Salah satu diantaranya berkata jika saudaranya itu memiliki 99 ekor kambing betina. Sementara, dia memiliki hanya satu ekor kambing. Dia pun meminta kambing itu agar menjadi genap 100. Mereka lantas beradu argumen. Pada akhirnya, si pemilik seekor kambing itu kalah dalam berdebat. Merasa benar, dia pun mengajak saudaranya itu menghadap Nabi Daud AS.
"Daud berkata, 'Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh dan amat sedikit mereka ini."
Nabi Daud lantas sadar kedua orang itu merupakan ujian dari Allah, penguasa alam raya. Dia lantas bertobat kemudian meminta ampun kepada Tuhannya. Allah pun mengampuni Daud dan kesalahannya. Kisah Nabi Daud dan pemilik kambing ini merupakan teguran Allah SWT atas sikap Nabi Daud terhadap seorang perempuan yang hendak dinikahinya. Al-Harasi berkata, para ahli ilmu yang berpandangan para nabi bersih dari dosa-dosa besar menjelaskan tentang kisah Nabi Daud.
Pada satu ketika, Nabi Daud mengajukan lamaran kepada wanita yang sudah dilamar orang lain. Namanya disebut Uria. Hanya, Nabi Daud ternyata belum mengetahui apakah Uria sudah dilamar atau belum saat dia hendak mengajukan lamaran. Sang nabi tidak melakukannya karena memang terpesona dengan sifat atau fisik perempuan itu. Ketika itu, Nabi Daud sudah memiliki istri yang banyak.
Keluarganya lantas cenderung menikah kan Uria kepada Nabi Daud karena memang tidak menghendaki pelamar per tama. Padahal, pelamar itu belum mempunyai istri. Karena itu, menurut Al Harasi, Nabi Daud diingatkan Allah SWT lewat dua orang yang berselisih itu. Mereka sebenarnya merupakan jelmaan malaikat. Al Hirasi pun meriwayatkan Nabi Daud lantas mengurungkan niatnya dan memohon ampunan ke pada Allah SWT.
Dalam versi lainnya, Ibnu Al Arabi menjelaskan, ada riwayat yang mengungkapkan jika Nabi Daud terpikat kepada kecantikan seorang gadis. Hanya, suami wanita itu sedang berperang di jalan Allah SWT. Nabi Daud pun mengirim surat kepada kepala prajurit supaya suami perempuan itu menjadi pasukan pembawa Tabut. Kemungkinannya adalah dia akan terbunuh atau Allah mem beri kemenangan kepada mereka.
Prajurit pembawa Tabut itu pun terbunuh. Ketika masa iddah perempuan itu selesai, Nabi Daud pun melamarnya. Ha nya, ia mengajukan persyaratan kepada Nabi Daud jika ia melahirkan anak lelaki, maka anak tersebut harus menjadi raja se telahnya. Perempuan itu menuliskannya dalam surat dan menjadikan 50 orang lelaki dari Bani Israil sebagai saksi atas pernyataannya.
Dr Zaki bin Muhammad Abu Sari dalam bukunya Di Pintu-Mu aku Bersimpuh menjelaskan, ayat tersebut merupakan ujian terhadap Nabi Daud, bukan karena ma salah perempuan. Menurut dia, kisah yang paling benar adalah Nabi Daud membuat putusan untuk dua orang berperkara itu setelah mendengarkan keterangan dari penuntut sebelum mendengarkan keterangan tertuduh. Pada posisi itu, tindakan yang seharusnya dilakukan adalah mendengarkan keterangan dari keduanya.
Setelah merasa bahwa dirinya berada dalam ujian, Nabi Daud AS menyerahkan diri kepada Tuhannya sambil memohon ampunan, sujud dan kembali kepada- Nya. Allah SWT pun mengampuni dosanya. Na bi Daud kem ba li di mu liakan tempat kembalinya di sisi Allah SWT. Kisah Nabi Daud ini pun menjadi renungan bagi ki ta sebagai umat Nabi Mu hammad SAW jika Nabi Daud pun diuji un tuk menjaga kualitas ke iman an nya. "Apakah manusia itu me ngira bahwa mereka dibiarkan (sa ja) mengata kan, 'Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS al-Ankabut:2).
صَلَّيْنَا الْـمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ثُمَّ قُلْنَا : لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ : فَجَلَسْنَا، فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: (( مَازِلْتُمْ هَاهُنَا؟ )) قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّـهِ ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْـمَغْرِبَ. ثُمَّ قُلْنَا : نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: ((أَحْسَنْتُمْ ، أَوْ أَصَبْتُمْ)) ، قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّماءِ. وَكَانَ كَثِيْرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ. فَقَالَ: اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.
Kami shalat Maghrib bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami berkata, ‘Seandainya kita duduk-duduk sampai shalat ‘Isya bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .’ Lalu kami duduk sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bertanya, ‘Kalian masih disini ?’ Kami menjawab, ‘Wahai Rasûlullâh, kami telah shalat bersamamu, kemudian kami berkata, kita akan tetap duduk sampai shalat ‘Isya bersamamu.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian bagus atau kalian benar.’ Berkata (shahabat yang meriwayatkan hadits ini yaitu Abu Musa al-Asy’ari), ‘’Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka.’
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2531; Ahmad (IV/398-399); ‘Abdu bin Humaid dalam musnadnya (no. 538); Abu Bakar al-Khallaal dalam kitab as-Sunnah (no. 772) ; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3861); Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (no. 32964) secara ringkas dari shahabat Abu Musa al-Asy’ari.
SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini ash-hâbu artinya para Shahabat. Shahabat adalah orang yang bertemu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Muslim.
al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Pendapat paling benar yang aku pegang ialah bahwa Shahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal dalam keadaan Muslim. Masuk dalam pengertian ini setiap orang (beriman) yang bertemu dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik waktu perjumpaan itu lama maupun sebentar, baik yang meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun yang tidak, yang ikut berperang bersama beliau maupun tidak, yang pernah melihat beliau walau hanya sekali meskipun tidak ikut duduk bersama beliau, dan yang tidak pernah melihat beliau karena suatu penghalang seperti orang yang buta.”[1]
Beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa para shahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan Islam meskipun dia pernah murtad dan kembali masuk Islam, seperti asy’ats bin Qais, menurut pendapat yang kuat.[2]
Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Siapa saja dari kalangan kaum Muslimin yang pernah menyertai dan melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia terhitung sebagai shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[3]
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) berkata, “Shahabat ialah semua orang yang telah duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan mendengar perkataan beliau meski hanya satu kalimat atau lebih, atau menyaksikan beliau secara langsung, dan tidak termasuk kaum munafik yang telah dikenal kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik…”[4]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” [al-Baqarah/2:143]
al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit yang terkenal dengan al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah (wafat th. 463 H) membuat pasal khusus di dalam kitabnya “Pujian Allâh dan Rasul-Nya tentang Keadilan Para Shahabat dan Tidak Perlu Ditanyakan Lagi Tentang Mereka. Sesungguhnya yang Wajib Adalah Menanyakan (Memeriksa) Perawi Hadits Sesudah Mereka” kemudian beliau menjelaskan, “…Wajib memperhatikan keadaan para perawi selain shahabat yang meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keadilan para shahabat telah shahih dan telah diketahui melalui pujian Allâh terhadap mereka dan Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kesucian mereka serta Allâh telah memilih mereka berdasarkan nash (dalil) dari al-Qur’ân.” Kemudian beliau rahimahullah membawakan firman Allâh Azza wa Jalla :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allâh…“ [Ali ‘Imrân/3:110]
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan “kamu adalah umat yang terbaik” adalah para shahabat Radhiyallahu anhum . Dan kaum Muslimin sepeninggal mereka akan dikatakan sebaik-baik umat pula apabila mereka mengikuti para shahabat Radhiyallahu anhum .Selanjutnya beliau mengatakan, “Ayat ini meskipun umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu para Shahabat.”[5]
Dari ayat ini, para ulama Ahli Hadits mengambil kesimpulan bahwa :
Baca Juga Wajib Berdakwah Kepada Kebaikan dan Haram Mengajak Kepada Kesesatan
اَلصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ
Para shahabat semuanya adalah adil.[6]
al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata, “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil dan tidak ada yang menyalahi (kesepakatan ini), kecuali sedikit dari ahlul bid’ah.”[7]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sisi pengambilan dalil dari hadits (yang ada di awal pembahasan) ini ialah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kedudukan para shahabat bagi orang setelah mereka seperti kedudukan beliau bagi para shahabatnya, dan juga seperti keberadaan bintang bagi langit. Dan telah diketahui bahwa permisalan ini memberikan arti wajibnya umat ini mengambil petunjuk mereka, sebagaimana para shahabat yang telah mengambil petunjuk Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk (jalan/arah) dari bintang. Juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah umat menjadi pelindung umat serta membentengi mereka dari berbagai kejelekan dan sebab-sebab kejelekan.[8]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para shahabat adalah hujjah bagi kita dalam memahami Islam. Para Shahabat bagaikan bintang di langit. Dalam al-Qur’ân, bintang memiliki tiga fungsi:
- Sebagai hiasan langit,
- Pelempar setan,
- Petunjuk arah.
Maka para shahabat adalah sebagai:
Hiasan bagi umat ini,
Pelempar bintang api (berupa hujjah yang nyata) terhadap orang-orang yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan ahlul bid’ah,
Petunjuk untuk meluruskan pemahaman.
Maka shahabat adalah sebagai pengintai bagi orang-orang jahil yang mentakwil sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , ajaran orang yang bathil, menolak orang-orang yang menyeleweng dan yang melampui batas. Shahabat adalah sebagai mercusuar, apabila kaum Muslimin ingin selamat, maka para shahabat harus dijadikan sebagai rujukan dalam memahami agama Islam ini (atau dengan kata lain kita wajib beragama menurut cara beragama para shahabat Radhiyallahu anhum).
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedudukan para shahabat dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para Shahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.
Jelaslah perumpamaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman shahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menjelaskan al-Qur’ân, sedangkan para shahabatnya Radhiyallahu anhum adalah penyampai dan penjelas bagi umat. Demikianlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ma’shum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para shahabatnya adil, yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.
Dan demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar setan ketika mencuri kabar sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ ﴿٦﴾ وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ﴿٧﴾ لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَىٰ وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ ﴿٨﴾ دُحُورًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ ﴿٩﴾ إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan bintang-bintang. Dan Kami telah menjaganya dari setiap setan yang durhaka, mereka (setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka dan mereka akan mendapat adzab yang kekal, kecuali (setan) yang mencuri (pembicaraan); maka ia dikejar oleh bintang yang menyala.” [ash-Shâffât/37:6-10]
Dan firman-Nya :
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ
Dan sungguh, Kami menghiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan…” [al-Mulk/67:5]
Demikian juga para Shahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan takwil orang-orang bodoh, ajaran bathil dan penyimpangan orang yang menyimpang yang mengambil sebagian al-Qur’ân dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok.
Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk. [an-Nahl/16:16]
Dan firman-Nya :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut… [al-An’âm/6:97]
Demikian pula para Shahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari kegelapan syubhat dan syahwat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.
Dengan pemahaman para shahabat, kita membentengi al-Kitab dan as-Sunnah dari kebid’ahan setan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan takwilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allâh dan Rasul-Nya. Sehingga pemahaman para shahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah, tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka, dan ini mustahil.[9]
Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat banyak ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [an-Nisâ’/4:115]
Dan firman-Nya :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allâh, dan Allâh menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]
Hukum Orang Yang Mencaci-Maki Para Shahabat
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
Janganlah kamu mencaci-maki Shahabatku, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, jika seandainya salah seorang dari kalian infaq sebesar gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infaq mereka meskipun (mereka infaq hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[10]
Hal ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي، فَعَلَيْهِ لَعْنَـةُ اللهِ، وَالْـمَلَائِكَةِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
Barangsiapa mencaci-maki para Shahabatku, maka ia akan terkena laknat Allâh, Malaikat, dan manusia seluruhnya.[11]
Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah (wafat th. 264 H) mengatakan :
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيْقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عِنْدَنَا حَقٌّ، وَالْقُرْآنُ حَقٌّ، وَإِنَّـمَـا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ، وَإِنَّـمَـا يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَجْرِحُوْا شُهُوْدَنَا؛ لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْـجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَـى، وَهُمْ زَنَادِقَةُ
Apabila engkau melihat seseorang mencaci-maki salah seorang shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa ia zindiq. Karena menurut (‘aqidah) kita bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq dan al-Qur’ân itu haq, dan hanya para shahabatlah yang menyampaikan al-Qur’ân ini kepada kita. Mereka hendak mencela saksi-saksi kita (para shahabat) agar dapat membatalkan al-Qur’ân dan as-Sunnah, padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, dan mereka adalah orang-orang zindiq (munafik).[12]
FAWAA-ID[13]:
- Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya.
- Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur’ân dan as-Sunnah
- Mengikuti manhaj Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat an-Nisâ’/4:115)
- Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
- Para shahabat merupakan hujjah bagi ummat Islam dalam memahami agama Islam, karena itu wajib mengikuti pemahaman para shahabat Radhiyallahu anhum .
- Wajib bagi umat Islam mengikuti cara beragamanya para Shahabat Radhiyallahu anhum.
- Wajibnya bagi umat Islam mengambil petunjuk para shahabat, sebagaimana mereka yang mengambil petunjuk Nabi mereka shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk dari bintang.
- Para Shahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan takwil orang-orang bodoh, ajaran bathil dan penyimpangan orang yang menyimpang.
- Mengikuti pemahaman salaufus shalih adalah pembeda antara manhaj (cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang selamat dan golongan-golongan yang sesat.
- Mereka yang menyelisihi manhaj para shahabat pasti akan tersesat dalam beragama, manhaj dan aqidah mereka.
- Para shahabat sebagai pelempar bintang api (berupa hujjah yang nyata) terhadap orang-orang yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan ahlul bid’ah.
- Para shahabat merupakan petunjuk untuk meluruskan pemahaman.
- Mencintai para Shahabat adalah iman dan membencinya adalah kemunafikan.
- Dilarang keras mencaci-maki para shahabat.
- Orang yang mencaci-maki para shahabat akan mendapat laknat Allâh, malaikat, dan seluruh manusia.
- Hukum mencaci-maki para Shahabat adalah dosa besar dan berhak mendapat hukum dari Ulil Amri.
- Orang yang mencaci-maki para shahabat adalah zindiq (munafik).
Referensi : Wajib/Harus Mengikuti Manhaj Para Shahabat Radhiyallahu Anhum
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2674; Abu Dawud, no. 4611; At-Tirmidzi, no. 2674; Ibnu Mâjah, no. 206; Ahmad, II/397; Ad-Dârimi, I/130-131; Abu Ya’la, no. 6489) (649) tahqiq Husain Salim Asad; Ibnu Hibbân, no. 112-at-Ta’lîqâtul Hisân; Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 109
KOSA KATA HADITS
هُدًى : Petunjuk. Yaitu kebenaran dan kebaikan.
ضَلَالَة : Kesesatan. Yaitu kebathilan dan kejelekan (keburukan).[1]
SYARAH HADITS
Hadits ini –dan juga hadits-hadits yang serupa dengannya- mengandung anjuran untuk berdakwah yaitu mengajak manusia kepada petunjuk dan kebaikan, keutamaan da’i. Hadits ini juga peringatan dari perbuatan mengajak manusia kepada kesesatan dan penyimpangan, serta besarnya dosa penyeru (kepada kejelekan) tersebut dan akibatnya.
Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas, yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِـي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ ، وَمَنْ سَنَّ فِـي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِـّئَةً ، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (sampai hari kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya (sampai hari kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.[2]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kedua hadits di atas jelas menunjukkan anjuran dan disukainya memberikan contoh perkara-perkara yang baik dan haramnya memberikan contoh perkara-perkara yang buruk. Orang yang memberi teladan perbuatan yang baik, maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Dan orang yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Begitu juga orang yang mengajak kepada petunjuk, ia mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, atau mengajak kepada kesesatan maka ia mendapat dosa seperti dosa-dosa pengikutnya, baik petunjuk atau kesesatan tersebut ia yang pertama kali memulainya, atau sudah ada sebelumnya (yang melakukannya). Dan baik itu dengan mengajarkan ilmu, atau ibadah, ataupun adab dan lainnya.
Perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ) ‘yang mengerjakannya setelahnya’, maknanya bahwa perbuatan teladan tersebut (diikuti oleh orang lain) baik semasa hidupnya ataupun setelah ia meninggal dunia. Wallâhu a’lam.”[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang mengajak kepada petunjuk dengan dakwahnya, ia mendapat ganjaran seperti ganjaran orang yang mendapat petunjuk tersebut. Dan orang yang menyebabkan kesesatan dengan seruannya, ia akan mendapat dosa seperti dosa orang yang ia sesatkan tersebut. Karena orang yang pertama telah mencurahkan kemampuannya untuk memberikan petunjuk kepada manusia, dan orang kedua mencurahkan tenaganya untuk menyesatkan manusia. Maka masing-masing dari keduanya berkedudukan seperti orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Ini adalah kaidah syari’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۙ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Mereka pada hari kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu. [An-Nahl/16 :25]
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ ۖ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ
Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka dan pada hari Kiamat mereka pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan.” [ Al-‘Ankabût/29 :13]
Ini menunjukkan bahwa orang yang mengajak manusia kepada selain sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dialah musuh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya. Karena ia memutus sampainya pahala orang yang mendapat petunjuk dengan sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Dan ini merupakan sebesar permusuhannya.”[4]
Keutamaan Berdakwah Mengajak Kepada Kebenaran
Dakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan yang besar dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imrân/3:104]
Juga firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allâh, dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri).’ [Fushshilat/41:33]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu:
فَوَاللهِ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allâh, bila Allâh memberi petunjuk (hidayah) lewat dirimu kepada satu orang saja, lebih baik (berharga) bagimu daripada unta-unta yang merah.[5]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa! Sungguh, semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (kebajikan) serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran. [Al-‘Ashr/103:1-3]
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur-an dan hadits ini, yang dimaksud dengan اَلْهُدَى adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allâh sebagai saksi. [Al-Fath/48: 28]
Yang dimaksud dengan اَلْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan yang dimaksud dengan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan tentang Nama-Nama Allâh Azza wa Jalla , Sifat-Sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla , mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak yang buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[6]
Maka setiap orang yang mengajarkan ilmu atau mengarahkan orang lain kepada jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan ilmu, maka dia disebut sebagai penyeru kepada petunjuk. Dan setiap orang yang menyeru kepada amal shalih yang berkaitan dengan hak Allâh atau hak makhluk secara umum dan khusus, maka dia juga disebut sebagai penyeru kepada petunjuk.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa menunjukkan (manusia) kepada kebaikan, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.[7]
Setiap orang yang memberi nasehat berkaitan dengan agama atau dunia yang bisa mengantarkannya kepada ajaran agama, maka orang itu adalah penyeru kepada petunjuk.
Setiap orang yang mendapat petunjuk dalam ilmu serta amalnya, lalu diikuti oleh orang lain, maka dia adalah penyeru kepada petunjuk.
Dan setiap orang yang membantu orang lain dalam amal kebaikan atau proyek umum yang bermanfaat, maka dia masuk dalam kategori hadits ini, seperti berdakwah, sedekah, membangun masjid, sekolah, pondok pesantren dan lainnya.
Setiap orang yang menolong orang lain dalam kebaikan dan takwa, maka dia termasuk penyeru kepada petunjuk.
Sebaliknya, setiap orang yang menolong orang lain dalam dosa dan permusuhan, maka dia termasuk penyeru kepada kesesatan.
Definisi Dakwah
Dakwah (mengajak manusia ke jalan Allâh), yaitu mengajak manusia untuk beriman kepada Allâh Azza wa Jalla , mengimani apa yang dibawa para Rasul-Nya, dengan membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mentaati mereka, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, mengajak manusia untuk beriman kepada Allâh Azza wa Jalla , Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, beriman kepada hari akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada qadar yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allâh saja seolah-olah ia melihat-Nya.[8]
Jadi, yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allâh dan Rasul-Nya, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , melarang perbuatan syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan melarang dari berbuat bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar agar selamat di dunia dan di akhirat dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Dakwah di jalan Allâh merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan Allâh dan beramal shalih.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allâh, dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri).’ [Fushshilat/41:33]
Rukun Dakwah
Orang yang berdakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla harus mengetahui fikih dakwah serta pokok-pokoknya agar dakwahnya berjalan di atas bashirah (ilmu dan keyakinan). Maka di antara rukun dakwah, yaitu:
Rukun pertama, maudhu’ (tema) dakwah, yaitu agama Islam.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam [Ali ‘Imrân/3:19]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. [Ali ‘Imrân/3:85]
Rukun kedua, da’i (penyeru) yaitu orang yang mengajak kepada kebenaran dan kebaikan.
Seorang da’i hendaknya mengetahui bekal seorang da’i dan senjatanya, apa tugasnya, bagaimana seharusnya akhlak seorang da’i, dan memahami itu semua merupakan hal paling penting bagi seorang da’i.
Di antara bekal yang harus dimiliki oleh seorang da’i yaitu:
Pemahaman yang mendalam yang dibangun di atas ilmu sebelum beramal. Yaitu memahami aqidah dengan pemahaman yang benar dengan dalil-dalil dari al-Quran, hadits, serta ijma’ para Ulama ahlus sunnah. Juga memahami tujuannya dalam hidup ini dan perannya di antara manusia, senantiasa terikat dengan akhirat dan tidak tertipu dengan kehidupan dunia.
Iman yang mendalam dan berbuah cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , takut kepada Allâh Azza wa Jalla , berharap hanya kepada-Nya, bertawakkal, beristighatsah kepada-Nya, ikhlas semata-mata karena-Nya, dan jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan.
Rukun ketiga, mad’u (orang yang diseru).
Seorang da’i harus mengetahui bahwa dakwah Islam ini bersifat umum kepada seluruh manusia, bahkan untuk jin dan manusia seluruhnya, di setiap waktu dan tempat sampai hari Kiamat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [Al-Anbiyâ’/21:107]
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [Saba’/34:28]
Dan seorang da’i harus mengetahui bahwa keadaan ummat yang diseru ini bermacam-macam.
Rukun keempat, uslub (cara) berdakwah dan menyampaikannya.
Seorang da’i harus memahami cara berdakwah dan menyampaikannya, agar ia mampu menyampaikan dakwah dengan bijaksana, sempurna dan di atas bashirah (ilmu dan keyakinan).[9]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. [An-Nahl/16:125]
Sesungguhnya orang yang memperhatikan perjalanan para Ulama ahli hadits pada masa-masa yang telah lewat, dia akan melihat bahwa mereka mengikuti metode yang sama dalam berdakwah menuju Allâh di atas cahaya dan bashîrah (ilmu dan keyakinan).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah (Muhammad): ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan yakin, Mahasuci Allâh, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik. [Yûsuf/12:108]
Yaitu metode yang meliputi ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya apabila dakwah menuju Allâh merupakan kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu ia berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, haruslah ilmu itu dicapai sampai batas usaha yang maksimal.
Syarat seseorang berdakwah harus berilmu dan paham tentang ilmu syar’i. Dengannya ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar.
Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar:
Al-‘Ilmu, yaitu mengetahui al-haq (kebenaran).
Dakwah menuju al-haq (mengajak manusia kepada kebenaran).
Teguh dan Istiqamah di atas kebenaran.
Berdakwah atau mengajak manusia kepada Islam yang benar, yaitu mengajak manusia kepada cara beragama yang benar, baik tentang ‘aqidah, manhaj, ibadah, akhlak, dan yang lainnya menurut pemahaman as-salafush shalih. Dakwah ini harus memenuhi tiga syarat:
Pertama: Akidahnya Benar (سَلاَمَةُ الْمُعْتَقَدِ)
Maksudnya seseorang yang berdakwah harus meyakini kebenaran akidah Salaf tentang tauhid Rubûbiyyah, Ulûhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah akidah dan iman.
Kedua: Manhajnya Benar (سَلاَمَةُ الْمَنْهَجِ)
Yaitu memahami al-Qur-an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman as-Salafush Shalih. Mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan oleh para Ulama Salaf.
Ketiga: Beramal dengan Benar (سَلاَمَةُ الْعَمَلِ)
Seorang yang berdakwah, mengajak umat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allâh dan ittiba’ (mengikuti) contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak mengadakan bid’ah, baik i’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.
Dalam hadits di atas juga disebutkan tentang orang yang mengajak manusia kepada kesesatan, dia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang ia sesatkan. Mengajak manusia kepada kesesatan dosanya besar sekali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa mereka, yaitu para da’i, ustadz, kyai, tuan guru, habib atau ulama yang mengajak manusia kepada kesesatan, kesyirikan, bid’ah, dan maksiat, maka mereka adalah penyeru manusia ke neraka Jahannam.
Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyalalhu anhu , ia berkata:
كَانَ النَّـاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْـخَيْرِ ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِـيْ. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ كُنَّا فِـيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهٰذَا الْـخَيْرِ ، فَهَلْ بَعْدَ هـٰذَا الْـخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذٰلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيْهِ دَخَنٌ. قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِـيْ وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِـيْ، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذٰلِكَ الْـخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، صِفْهُمْ لَنَا ، قَالَ: نَعَمْ ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ، فَمَا تَـرَى إِنْ أَدْرَكَنِـيْ ذٰلِكَ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا ، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذٰلِكَ.
Orang-orang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, namun aku justru bertanya kepada Beliau tentang keburukan karena aku takut terjerumus kepadanya. Maka aku berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya kami dahulu berada di masa Jahiliyyah dan masa penuh kejahatan (kejelekan), lalu Allâh mendatangkan kepada kami kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?
Beliau menjawab, ‘Ya, tetapi kebaikan itu terselimuti kabut.’
Aku bertanya, ‘Bagaimana wujud kabut itu?’ Beliau menjawab, ‘Adanya sekelompok orang yang menjalani sunnah yang bukan sunnahku, mengambil petunjuk juga bukan dari petunjukku. Kalian mengenali mereka, tetapi kalian mengingkari mereka.’
Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan (berkabut) itu akan datang lagi keburukan lain?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, adanya para da’i yang mengajak ke pintu-pintu Neraka Jahannam. Barangsiapa yang menjawab panggilan mereka, pasti mereka akan mencampakkannya ke Neraka Jahannam tersebut.’
Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Gambarkanlah ciri-ciri mereka kepada kami.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Baiklah. Mereka adalah orang-orang yang kulitnya sama dengan kita (berasal dari negeri kita), berbicara juga dengan bahasa kita.’
Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Apa pendapatmu jika kami mendapati zaman tersebut?’
Beliau menjawab, ‘Hendaklah engkau bersatu dengan jama’ah dan imamnya kaum Muslimin.’ Aku berkata, ‘Jika mereka sudah tidak memiliki jama’ah dan imam lagi?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus mengigit akar pohon hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.’[10]
Yang paling Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatirkan atas ummat Islam yaitu da’i-da’i yang mengajak kepada kesesatan, yang mengajak kepada syirik, bid’ah, dan maksiat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّـمَـا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ الْأَئِمَّةَ الْـمُضِلِّيْنَ
Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.[11]
Pada hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan atas ummat dari bahaya pemimpin dan ulama yang sesat dan menyesatkan, karena manusia akan mengikuti mereka dalam kesesatan mereka. Dan orang yang mengajak manusia kepada kesesatan dan kebathilan, maka ia akan menanggung dosa orang-orang yang ia sesatkan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۙ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Mereka pada hari Kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu. [An-Nahl/16 :25]
FAWAA-ID
- Wajib berdakwah menyeru manusia kepada kebenaran (kebaikan) dan petunjuk.
- Wajib berdakwah menyeru manusia dengan dasar ilmu dan keyakinan.
- Dakwah wajib dilakukan dengan ikhlas karena Allâh dan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Dakwah adalah mengajak manusia kepada agama Islam yang benar agar ummat paham tentang Iman, prinsip-prinsip akidah Islam dan ibadah lainnya.
- Wajib mengajak manusia ke jalan Allâh Azza wa Jalla , kepada agam Islam yang benar berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafush shalih.
- Seorang Muslim harus benar-benar memperhatikan akhir dari segala sesuatu (yang dijalaninya) dan nilai-nilai amalnya, sehingga dia akan selalu berusaha berbuat kebaikan agar menjadi teladan yang baik.
- Orang yang mengajak kepada kebaikan dan petunjuk akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
- Orang yang paling baik perkataannya adalah orang yang berdakwah di jalan Allâh dan dia beramal shalih dengan ikhlas.
- Haramnya berdakwah atau mengajak manusia kepada kesesatan dan kebathilan.
- Orang yang menjadi penyebab dilakukannya suatu perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan tersebut diberi nilai yang sama, baik dalam hal siksaan maupun pahala.
- Hendaklah setiap Muslim menghindari seruan palsu dan teman yang buruk, sebab dia ikut bertanggung jawab atas apa yang dikerjakannya.
- Orang yang mengajak kepada kesesatan, kesyirikan, bid’ah, dan kebathilan akan memperoleh siksaan yang berlipat ganda dan akan meikul dosa-dosa orang yang ia sesatkan.
- Peringatan dari para penguasa, ulama, ahli ibadah dan da’i-da’i yang sesat.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan adanya da’i-da’i yang sesat yang mengajak kepada kesyirikan, bid’ah, dan maksiat.
- Setiap Muslim wajib berusaha menjadi pelopor dalam kebaikan, menjadi pintu-pintu kebaikan dan menutup jalan-jalan keburukan.
MARAAJI’
- Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya.
- Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi.
- Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Miftâh Dâris Sa’âdah, Ibnul Qayyim.
- Taisîrul Karîmir Rahmân fii Tafsîr Kalâmil Mannân, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
- Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
- Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
- Muqawwimât ad-Dâ’iyatin Nâjih fii Dhau-il Kitâb was Sunnah, karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani
Referensi : Wajib Berdakwah Kepada Kebaikan dan Haram Mengajak Kepada Kesesatan
Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki larangan (undangundang). Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh Muslim].
MARAJI’UL HADITS (REFERENSI HADITS)
1. Shahih al Bukhari, kitab al Iman, Bab Man Istabra’a li Dinihi, hadits no. 52. Juga terdapat dalam Bab al Buyu`, hadits no. 2051.
2. Shahih Muslim, kitab al Buyu`, Bab Akhdzul-Halal wa Tarkusy-Syubuhat, hadits no. 1599 (107).
3. Sunan Abi Dawud, kitab al Buyu`, Bab Fi Ijtinabisy-Syubuhat, hadits no. 3329 dan 3330.
4. Sunan at-Tirmidzi, kitab al Buyu`, Bab Tarkusy-Syubuhat, hadits no. 1205.
5. Sunan an-Nasa-i, kitab al Bai’, Bab Ijtinabusy-Syubuhat (VII/241).
6. Sunan lbni Majah, kitab al Fitan, Bab al Wuquf ‘indasy-Syubuhat, hadits no. 3984.
7. Ahmad dalam Musnadnya IV/267.
AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Hadits ini sangat penting dan memiliki manfaat yang sangat besar. Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah syari’at. Ada yang mengatakan, bahwa hadits ini sepertiga dari ajaran Islam. Imam Abu Dawud as-Sijistani (wafat th. 275 H) mengatakan,”Seperempat dari (ajaran) Islam.” Bahkan jika dicermati, akan terlihat bahwa, hadits ini mencakup seluruh ajaran Islam, karena menjelaskan perkara-perkara yang halal, yang haram maupun yang syubhat (samar). Juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ataupun memperbaiki hati. Hal ini mengharuskan seorang muslim untuk mengetahui berbagai hukum syara’, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang). Hadits ini juga merupakan pijakan untuk senantiasa bersikap wara’, yakni meninggalkan perkara-perkara yang samar.
SYARAH HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1. Di dalam hadits ini, hukum dibagi menjadi tiga bagian.
Ada perkara-perkara yang jelas-jelas diperbolehkan. Ada perkara-perkara yang jelas-jelas dilarang, dan ada perkara-perkara yang syubhat (samar), yakni tidak jelas halal dan haramnya.
Segala sesuatu dibagi menjadi tiga hukum, yaitu:
- Pertama. Jelas-jelas diperbolehkan. Seperti: makan yang baik-baik, buah-buahan, binatang ternak, menikah, berpakaian yang tidak diharamkan, makan roti, berbicara, berjalan, jual beli, dll.
- Kedua. Jelas-jelas dilarang. Seperti: makan bangkai, darah, daging babi, menikah dangan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, riba, judi, mencuri, mengadu domba, minum khamr, Ana, memakai sutera dan emas untuk laki-laki, dll.
- Ketiga. Syubhat, yakni tidak jelas boleh atau tidaknya. Karena itu, banyak orang yang tidak mengetahuinya. Adapun ulama bisa mengetahui melalui berbagai dalil al Qur`an dan as-Sunnah, maupun melalui qiyas. Jika tidak ada nash dan juga tidak ada Ijma’, maka dilakukan ijtihad.
Meskipun demikian, jalan terbaik adalah meninggalkan perkara syubhat. Seperti: tidak bermu‘amalah dengan orang yang hartanya bercampur dengan riba. Adapun perkara-perkara yang diragukan disebabkan bisikan-bisikan setan, maka hal itu bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan. Misalnya: Seseorang tidak mau menikah di suatu negeri karena khawatir bahwa yang menjadi istrinya adalah adiknya sendiri yang sudah lama tidak bertemu. Atau tidak mau menggunakan air di tengah tempat terbuka, karena dikhawatirkan mengandung benda najis.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya dan menjelaskan di dalamnya untuk ummat tentang halal dan haram yang mereka butuhkan, seperti difirmankan oleh Allah Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ.
Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (al Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu. [an-Nahl/16: 89]
Mujahid dan lain-lain berkata: “Maksudnya, yaitu menjelaskan hal-hal yang diperintahkan kepada kalian, juga hal-hal yang dilarang kepada kalian”.
Allah Ta’ala berfirman di akhir surat an-Nisa`; di dalamnya Allah menjelaskan tentang hukum-hukum harta kekayaan dan pernikahan.
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوْا وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلَيْمٌ.
Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [an-Nisa`/4:176].
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيكُمْ إِلاَّ مَاضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ.
Kenapa kalian tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya. [al An’am/6:119].
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَّا يَتَّقُوْنَ، إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [at-Taubah/9:115].
Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan al Qur`an. Dia berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Dan Kami turunkan kepadamu al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. [an-Nahl/16:44].
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama ini untuk beliau dan ummat beliau. Karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah beberapa waktu sebelum beliau wafat:
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian. [al Maidah/5:3].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggal dunia hingga beliau menjelaskan kepada ummat Islam tentang apa-apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah kepada mereka. Beliau bersabda:
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِي إَلاَّ هَالِكٌ.
Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih; dimana malamnya seperti siangnya, dan tidaklah berpaling darinya melainkan orang yang binasa.[1]
Tentang halal dan haram, ada sebagiannya yang lebih jelas dari yang lainnya. Masalah yang paling jelas dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah masalah tauhid (mentauhidkan Allah, beribadah hanya kepada Allah saja, tidak kepada selain-Nya, mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, mengikuti dan ittiba’ kepada manhaj mereka). Begitu juga apa-apa diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya telah jelas.
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan berbuat syirik, menyekutukan Allah dengan sesuatu, berdo’a, meminta, istighatsah kepada selain Allah. Allah dan Rasul-Nya mengharamkan bid’ah, mengikuti hawa nafsu, mengikuti golongan-golongan yang sesat. Allah dan Rasul-Nya mengharamkan murtad (keluar dari agama Islam), membunuh orang kecuali dengan jalan yang haq, memakan harta orang lain, merusak kehormatan orang, dan lainnya.
Perkara-perkara yang sudah jelas halal dan haramnya dan diketahui oleh ummat Islam, maka tidak ada udzur bagi seseorang atas ketidaktahuannya tentang itu, bila ia hidup (tinggal) di tengah-tengah kaum Muslimin. Ada juga perkara-perkara yang tidak diketahui kecuali oleh para Ularna, dan tersembunyi (tidak diketahui) oleh umumnya kaum Muslimin.
2. Macam-macam syubhat.
Ibnul Mundzir membagi syubhat menjadi tiga.
- Pertama. Sesuatu yang haram, namun kemudian timbul keraguan karena tercampur dengan yang halal. Misalnya ada dua kambing, salah satunya disembelih orang kafir, namun tidak jelas kambing yang mana yang disembelih orang kafir tersebut. Dalam hal ini tidak diperbolehkan memakan daging tersebut, kecuali jika benar-benar diketahui mana kambing yang disembelih orang kafir dan mana yang disembelih orang mukmin.
- Kedua. Kebalikannya, yakni sesuatu yang halal, namun kemudian timbul keraguan. Seperti: seorang istri yang ragu, apakah ia telah dicerai atau belum. Atau seorang yang habis wudhu merasa ragu, apakah wudhunya sudah batal atau belum. Keraguan yang demikian ini tidak ada pengaruhnya.
- Ketiga. Sesuatu yang diragukan halal haramnya. Dalam masalah ini lebih baik menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikarnya, beliau tidak memakan kurma tersebut karena kekhawatiran akan kurma shadaqah. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika masuk rumah, aku mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan. Akan tetapi aku membatalkannya, karena takut korma itu berasal dari shadaqah”. [Al Wafi, Syarah Arba’in, halaman 37].
Makna mutasyabihat (dalam riwayat lain syubhat), adalah jamak dari mutasyabih. Yaitu sesuatu yang musykil, tidak jelas tentang halal dan haramnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “. . . Tidak jelas tentang halal dan haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak tahu hukumnya. Adapun ulama mengetahui hukumnya dengan nash (dalil), qiyas, ishtishhab, dan selain itu. Apabila dia ragu tentang sesuatu antara halal dan haram, sedangkan dalil dan ijma’ tidak ada, maka seorang mujtahid diperbolehkan berijtihad, lalu ia menggabungkannya kepada salah satu dari keduanya (halal dan haram) dengan dalil-dalil syar’i”. [2]
Tentang syubhat, Imam Ahmad memberi penafsiran, bahwa syubhat ialah posisi di antara halal murni dengan haram murni. Imam Ahmad berkata,”Barangsiapa menjauhi syubhat, maka ia telah mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) bagi agamanya.”
Terkadang syubhat ditafsirkan oleh Imam Ahmad dengan pengertian bercampurnya antara halal dengan haram.
Termasuk dalam masalah di atas, yaitu berinteraksi dengan orang yang hartanya campur aduk antara halal dengan haram. Jika sebagian besar hartanya adalah haram, Imam Ahmad berkata: “Orang muslim wajib menjauhi harta orang tersebut, kecuali jika hartanya yang haram itu sedikit atau tidak diketahui”. Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat, apakah harta orang tersebut makruh ataukah haram? Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Jika sebagian besar harta orang tersebut halal, maka orang muslim boleh berinteraksi dengannya dan makan hartanya, karena al Harits meriwayatkan dari ‘Ali bin Abu Thalib yang berkata tentang hadiah dari penguasa: “Hadiah-hadiah tersebut tidak ada masalah. Apa yang diberikan kepada kalian dari yang halal itu lebih banyak daripada apa yang diberikan kepada kalian dari yang haram”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berinteraksi (mu’amalah) dengan orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab, padahal beliau dan mereka tahu, bahwa orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab tidak menjauhi seluruh hal-hal haram.
Jika sesuatu tidak jelas, sesuatu tersebut adalah syubhat; dan sikap wara’ ialah meninggalkannya. Sufyan berkata: “Itu tidak membuatku kagum, namun yang lebih membuatku kagum ialah meninggalkan sesuatu yang syubhat”.[3]
Az-Zuhri dan Makhul berkata: “Tidak ada masalah orang muslim makan sesuatu yang seperti itu, selagi ia tidak mengetahuinya bahwa itu haram”. Jika harta seseorang tidak diketahui ada yang haram dengan pasti, namun diketahui ada yang syubhat di dalamnya, maka tidak ada masalah makan barang seperti itu. Itu ditegaskan Imam Ahmad di riwayat Hanbal.[4]
Tentang hal tersebut, diriwayatkan banyak sekali atsar dari generasi Salaf. Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah ditanya tentang orang yang mempunyai tetangga yang makan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta haram, kemudian tetangga tersebut mengundangnya makan. Ibnu Mas’ud menjawab: “Penuhi undangan orang tersebut, karena kelezatan itu milik kalian, sedangkan dosa milik tetangga tersebut”.[5]
Pada riwayat lain disebutkan bahwa orang tersebut berkata: “Aku tidak mengetahui sesuatu apapun pada tetangga tersebut, kecuali yang buruk dan haram”. Ibnu Mas’ud berkata,”Penuhi undangan tetangga tersebut.” Imam Ahmad menshahihkan atsar tersebut dari Ibnu Mas’ud, namun atsar tersebut bertentangan dengan atsar lain, yang juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata: “Dosa itu apa saja yang membekas di hati”.[6]
Pendapat kebalikannya diriwayatkan dari al Hasan yang berkata: “Sesungguhnya pendapatan seperti itu (riba dan judi) adalah rusak. Oleh karena itu, ambillah daripadanya seperti dalam keadaan darurat”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan, bahwa ada sebagian manusia yang mengetahui hal-hal yang mutasyabihat, namun sebagian besar dari mereka tidak mengetahuinya. Ada dua pihak yang termasuk dalam kategori orang-orang yang tidak mengetahui hal-hal yang mutasyabihat, yaitu:
Pertama, orang yang memilih diam dalam hal-hal mutasyabihat, karena ketidakjelasan hal-hal mutasyabihat tersebut baginya.
Kedua, orang yag meyakini hal-hal mutasyabihat tersebut tidak dalam bentuk aslinya. Perkataan orang tersebut menunjukkan, bahwa orang lain mengetahuinya. Maksudnya, orang lain mengetahui hal-hal mutasyabihat dalam bentuk aslinya; halal atau haram. Ini dalil paling kuat, bahwa orang yang benar di sisi Allah dalam masalah-masalah halal dan haram yang tidak jelas dan diperselisihkan, ialah satu orang sedang orang lain tidak mengetahuinya dalam arti orang lain tidak benar dalam menetapkan hukum Allah dalam masalah-masalah tersebut, kendati ia berkeyakinan di dalamnya dengan keyakinan yang berpatokan pada syubhat yang ia kira dalil. Kendati demikian, ia diberi pahala karena ijtihadnya dan kesalahannya diampuni karena ketidaksengajaannya.[7]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebab-sebab syubhat itu ada empat. Pertama, kurangnya ilmu. Kedua, kurangnya pemahaman (lemahnya pemahaman). Ketiga, lalai dalam mentadabburkan. Maksudnya, tidak bersusah payah untuk mentadabburkan makna ayat atau hadits, dan kurang pembahasan. Keempat, (dan ini yang paling besar sebabnya) yaitu su’ul qashd, jeleknya tujuan. Yaitu seseorang tujuannya hanya membela perkataannya saja, tanpa melihat benar dan salah. Orang yang niatnya jelek dan mengikuti hawa nafsu, maka sulit untuk mencapai ilmu. Kita memohon kepada Allah keselamatan. [Syarah ‘Arba’in oleh Syaikh al ‘Utsaimin, halaman 128-129].
3. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
[Barangsiapa yang menghindari perkara yang syubhat (samar-samar) maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya].
اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ , maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan, dan perilakunya selamat dari celaan. Karena orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak akan selamat dari perkataan orang yang mencelanya.
Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dan syubhat dalam pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal ini mengandung petunjuk untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kemanusiaan.
فَمَنْ تَرَكَ مَا يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ أَتْرَكَ.
Barangsiapa meninggalkan dosa apa saja yang tidak jelas baginya, maka terhadap sesuatu yang telah jelas, ia lebih meninggalkannya.[8]
Sufyan ats-Tsauri berkata tentang orang yang menemukan uang atau dirham di rumahnya: “Aku lebih suka kalau orang tersebut menjauhi uang atau dirham tersebut, jika ia tidak tahu dari mana uang atau dirham tersebut.”
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ.
Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat (samar-samar), maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram.
Allah Ta’ala di muka bumi ini mempunyai tanah larangan yaitu perbuatan dosa dan maksiat dan hal-hal yang diharamkan, Allah melarang hamba-hamba-Nya mendekatinya, dan menamakannya sebagai batasan-batasan-Nya. Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan yang diharamkan maka dia akan mendapatkan siksa Allah di dunia dan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
… تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوْهَا. كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ.
. . . itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa. [al Baqarah/2:187].
Di ayat yang lain, Allah berfirman:
… تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا. وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ.
. . . itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya; barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. (QS al Baqarah/2:229).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata: “Sungguh aku ingin membuat pembatas antara aku dengan haram dari halal yang tidak aku robek”.
Sufyan bin Uyainah berkata: “Seorang hamba tidak merasakan hakikat iman hingga ia membuat pembatas dari halal, antara dirinya dengan haram, dan hingga ia meninggalkan dosa dan sesuatu yang mirip dengannya”.
4. Beberapa Pendapat Ulama tentang Syubhat
Abu Darda` Radhiyallahu anhu berpendapat, bahwa ketakwaan yang sempurna bagi seorang hamba adalah dengan takut kepada Allah dalam segala hal sekecil apapun. Termasuk meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan karena takut terjerumus pada perkara yang dilarang.
Hasan al Bashri rahimahullah berkata: “Ketakwaan senantiasa melekat pada orang-orang yang bertakwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang diperbolehkan karena takut barang tersebut dilarang”.
Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Dikatakan bertakwa, karena seseorang takut pada hal-hal yang sepatutnya tidak ditakutkan”.
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata: “Aku lebih suka menjauh dari perkara-perkara yang dilarang, dengan meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan”.
Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: “Seseorang tidak akan menemukan hakikat iman, kecuali ia meletakkan penghalang antara dirinya dan hal-hal yang haram dengan sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara-perkara yang samar”.
Imam al Bukhari meriwayatkan dari jalur al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang berkata: “Abu Bakar mempunyai budak laki-laki yang menyerahkan hasil kerjanya kepada Abu Bakar yang biasa memakannya. Pada suatu hari, budak tersebut datang membawa sesuatu, kemudian Abu Bakar memakannya. Budak tersebut berkata kepada Abu Bakar, ‘Tahukah engkau, apa yang engkau makan?’ Abu Bakar menjawab,‘Aku tidak tahu’. Budak tersebut berkata,‘Aku pernah menjadi dukun untuk seseorang pada masa jahiliyah, padahal aku tidak bisa menjadi dukun yang baik. Aku tipu orang tersebut, kemudian ia memberiku uang. ltulah yang engkau makan’. Kemudian Abu Bakar pun memasukkan jarinya, hingga ia memuntahkan seluruh makanannya.” [HR al Bukhari no. 3842].
5. Semua raja memiliki hima (larangan), dan hima Allah di bumi adalah larangan-larangan-Nya.
Tujuan perumpamaan tersebut adalah agar tampak jelas, seperti seseorang melihat tanah yang dipagari. Pada saat itu, raja-raja memiliki tanah berpagar yang dikhususkan untuk hewan-hewan ternaknya dan mengancam dengan hukuman keras bagi orang yang mendekatinya. Orang yang takut dengan hukuman raja, tentu tidak akan mendekati pagar tersebut. Namun bagi orang yang tidak takut, ia akan mendekatinya dan menggembala di tepian pagar, hingga melintasi pagar yang ada. Akibatnya, ia pun mendapat hukuman.
Sebagaimana para raja, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mempunyai berbagai pagar. Pagar-pagar tersebut adalah berbagai larangan-Nya. Barangsiapa yang melanggar larangan-larangan tersebut, ia akan mendapat hukuman, baik di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang mendekati larangan dengan melakukan perkara-perkara syubhat, maka ia pun dikhawatirkan dan bahkan bisa terjerumus pada hal yang dilarang.
6. Hati yang baik.
Baik buruknya seseorang tergantung hatinya. Sebab, hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Secara medis pun demikian, hati merupakan penentu bagi seseorang. Andaikan hati seseorang baik, maka ia akan mampu mensuplai darah dengan baik ke seluruh tubuh.
Mengacu pada hadits ini, Imam asy-Syafi’i berpendapat, bahwa sumber akal adalah hati. Hal ini juga diperkuat oleh firman Allah:
… لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهَا…
Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk berpikir. [al A’raf/7:179].
Juga firman-Nya:
أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي اْلأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا…
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami? [al Hajj/22:46].
Konon para ahli filsafat dan ilmu kalam juga berpendapat seperti ini.
Namun berbeda dengan madzhab Hanafi, mereka tetap mengatakan bahwa akal tetap terletak pada otak. Mereka beralasan, jika otak seseorang rusak, maka akalnya juga rusak. Ilmu kedokteran pun menyatakan, bahwa semua gerak anggota tubuh adalah menuruti perintah otak.
Ayat di atas mengisyaratkan, bahwa sumber “yang jauh” dari akal adalah hati, sedangkan sumber “yang dekat” dan langsung adalah otak.
Adapun yang dimaksud hadits ini adalah baiknya hati secara rohani. Yakni kebersihan jiwa, yang ini tidak diketahui, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ibnu Mulaqqin berpendapat, bahwa kebaikan hati bisa diperoleh dengan lima perkara. Pertama, membaca dan mentadabburi al Qur`an. Kedua, mengosongkan perut. Ketiga, shalat malam. Keempat, bermunajat di penghujung malam. Kelima, bergaul dengan orang-orang shalih.
Saya (penulis) menambahkan satu hal, yaitu makanan yang halal, karena ini adalah intinya. Ada ungkapan yang amat indah, “Makanan adalah bibit dari segala perbuatan. Jika yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram. Jika yang masuk syubhat, maka yang keluar juga syubhat”.
Hati yang baik adalah lambang kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala bertirman:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.
Pada hari yang anak dan harta tidak membawa manfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang baik (bersih). [asy-Syu’ara/26:88-89].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada Syaddad bin Aus untuk selalu berdo’a dengan do’a ini:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِيْ اْلأَمْرِ، وَالْعَظِيْمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ شكر نِعْمَتِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَالِمًا، وَلِسَانًا صَدِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ketetapan dalam urusanku, dan kesungguhan dalam petunjuk (dalam kebenaran), dan aku memohon kepada-Mu rahmat-Mu, ampunan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, memperbaiki ibadah kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu hati yang selamat, lisan yang jujur, aku memohan kebaikan apa yang Engkau ketahui, aku berlindung dari kejelekan dari apa yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampun dari apa-apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui semua yang ghaib.[9]
Sesungguhnya hati yang baik tersebut bisa diperoleh dengan membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti benci, dendam, dengki, bakhil, sombong, riya’, tamak, sum’ah, curang, tamak, dsb.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
Hati yang baik adalah hati yang terbebas dari segala penyakit hati dan berbagai perkara yang dibenci; hati yang dipenuhi kecintaan dan rasa takut kepada Allah dan rasa takut berjauhan dari Allah.
Hati yang baik akan menimbulkan perbuatan yang baik. Karenanya, jika hati itu baik dan hanya dipenuhi dengan kehendak Allah, niscaya amal perbuatannya hanya yang sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga ia bersegera dalam melakukan perbuatan yang diridhai Allah dan meninggalkan perbuatan yang dibenci.[10]
Jika hati sehat, dalam arti hanya berisi cinta kepada Allah, mencintai apa saja yang dicintai oleh Allah, takut kepada Allah, dan takut terjerumus ke dalam apa saja yang dibenci-Nya, maka seluruh aktifitas tubuh menjadi baik; muncullah sikap menjauhi seluruh hal-hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam hal-hal haram.
Sebaliknya jika hati rusak, sikap mengikuti hawa nafsu lebih dominan di dalamnya, dan mencari apa saja yang dicintai hawa nafsu kendati dibenci Allah. Maka, rusaklah semua aktifitas organ tubuh dan meluncur kepada kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal syubhat, sesuai dengan kadar sejauh mana hawa nafsu mengikuti hati.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa hati adalah raja. Sedangkan organ tubuh lainnya adalah tentaranya. Organ tubuh tersebut taat kepada hati, termotivasi patuh kepadanya, mengerjakan seluruh instruksinya, dan tidak menentangnya dalam perkara apapun. Jika raja baik, maka tentara-tentaranya pun baik. Sebaliknya, jika raja tersebut rusak, maka rusak pula tentara-tentaranya. Tidak ada yang berguna di sisi Allah kecuali hati yang sehat, seperti difirmankan oleh Allah Ta’ala:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.
(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. [asy-Syu’ara`/26: 88-89].
Al Hasan berkata kepada seseorang: “Obatilah hatimu, karena keperluan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah kebaikan hati mereka”.
Maksudnya, keinginan dan tuntutan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah hati mereka shalih, karena hati tidak akan baik hingga di dalamnya bersemayam sifat kenal Allah, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya. Itulah esensi tauhid dan makna kalimat la ilaha illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah). Jadi, hati tidak baik hingga Allah adalah satu-satunya Rabb yang disembah, mengenal-Nya, mencintai-Nya, dan takut kepada-Nya. Dia-lah Allah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika di langit terdapat ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka langit dan bumi pasti rusak karenanya.
Dari sini bisa diketahui, bahwa tidak ada kebaikan bagi alam tinggi dan rendah hingga seluruh aktifitas penghuninya karena Allah semata. Seluruh tubuh itu mengikuti aktifitas dan keinginan hati. Jika pergerakan dan kehendak hati karena Allah semata, maka hati dan seluruh pergerakan tubuh menjadi baik. Jika pergerakan dan keinginan hati karena selain Allah, hati menjadi rusak. Kerusakan aktifitas tubuh sangat tergantung kepada sejauh mana kerusakan hati.
Di dalam satu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَان.
Barangsiapa memberi karena Allah, tidak memberi karena-Nya, mencintai karena-Nya, dan membenci karena-Nya, sungguh ia telah menyempurnakan iman.[11]
Al Hasan berkata,”Aku tidak melihat dengan mataku, berbicara dengan lidahku, bergerak dengan mataku, dan berjalan di atas kakiku hingga aku berpikir apakah itu dalam ketaatan atau kemaksiatan? Jika dalam ketaatan, aku terus melangkah. Jika dalam kemaksiatan, aku mundur.”
Karena hati generasi Salaf baik dan di dalamnya tidak ada keinginan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, maka organ tubuh mereka menjadi baik dan tidak bergerak, kecuali karena Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya.
FAWA-ID HADITS (MANFAAT HADITS)
- Halal dan haram sudah jelas.
- Allah dan Rasul-Nya sudah menjelaskan yang halal dan haram.
- Di antara halal dan haram, ada yang syubhat.
- Banyak manusia yang tidak mengetahui perkara syubhat.
- Ilmu adalah cahaya yang dapat menerangi seorang hamba untuk mengetahui hakikat segala sesuatu yang tidak tampak oleh kebanyakan manusia.
- Dianjurkan untuk melakukan mengambil yang halal dan meninggalkan yang syubhat.
- Wajib bagi seorang muslim menjauhkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah.
- Barangsiapa yang jatuh dalam perbuatan syubhat, maka ia lebih dekat jatuh kepada yang haram.
- Seseorang jatuh kepada perbuatan yang haram itu biasanya bertahap.
- Apabila engkau berbuat maksiat, jangan melihat kepada kecilnya maksiat itu, akan tetapi lihatlah kepada keagungan Allah yang engkau telah berbuat maksiat kepada-Nya.
- Wajib bagi seorang muslim menjaga kehormatan dirinya dan agamanya, dan berusaha menjauhkan dari setiap apa-apa yang merusak agama dan kehomatannya.
- Dalam hadits ini ada kaidah yaitu, menutup semua pintu yang mengarah pada berbagai hal yang dilarang dan melarang semua sarana yang mengarah pada perbuatan haram. Misalnya, sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram. Contoh lain yang diharamkan, seperti pacaran, karena akan membawa kepada perzinaan dan lainnya.
- Orang yang mengembala di tanah orang lain, maka dia harus mengganti apa yang dirusak oleh binatang ternaknya.
- Dalam hadits ini menunjukkan tentang keagungan hati dan dianjurkan untuk bersungguh-sungguh untuk memperbaiki hati.
- Hati ini sebagai komandan dari seluruh anggota tubuh. Kalau hati ini baik, maka seluruh tubuh akan baik. Tetapi apabila hati ini jelek, maka seluruh tubuh akan jelek.
- Konsekwensi baiknya dari hati, harus dibuktikan dengan baiknya amal.
- Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk membersihkan hati, karena yang bermanfa’at di akhirat adalah hati yang selamat.
- Hati yang baik akan membawa kepada ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.
- Hati yang rusak akan menyebabkan terjadinya perselisihan, kebencian dan permusuhan, dan akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidaktenangan.
- Hati adalah tempatnya ujian, fitnah, dan setan menunggu peluang lalainya hati dari berdzikir kepada Allah.
MARAJI`:
- Kutubus-Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
- Fathul-Bari, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
- Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi.
- Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, lbnu Rajab al Hanbali, Tahqiq: Syu’aib al Arnauth dan Ibrahim Ba
- Al Wafi’ fi Syarhil-Arba’in an-Nawawiyah, Musthafa al Bugha dan Muhyiddin Mostu, Cetakan VIII, Tahun 1413 H, Maktabah Dar at-Turats.
- Qawa‘id wa Fawa‘id minal ‘Arba’in an-Nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, Cetakan I, Tahun 1408 H, Dar as-Salafiyah.
- Syarah al Arba’in, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cetakan III, Tahun 1425 H, Dar Tsurayya lin-Nasyr.
- Silsilah al Ahadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
- Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
Referensi : Halal Dan Haram Sudah Jelas
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَخْبِرْنِـيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِـيْ الْـجَنَّةَ ، وَيُبَاعِدُنِـيْ مِنَ النَّارِ. قَالَ : «لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَـى عَلَيْهِ : تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ». ثُمَّ قَالَ : «أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَـى أَبْوَابِ الْـخَيْرِ ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْـخَطِيْئَةَ كَمَـا يُطْفِئُ الْـمَـاءُ النَّارَ ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِـيْ جَوْفِ اللَّيْلِ» ، ثُمَّ تَلاَ : تَتَجَافَـى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْـمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّـا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَآ أُخْفِيَ لَــهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءً بِـمَـا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ [السجدة : ١٦-١٧]. ثُمَّ قَالَ : «أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ ، وَعَمُوْدِهِ ، وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟» قُلْتُ : بَلَـى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : «رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ». ثُمَّ قَالَ : «أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟». قُلْتُ : بَلَـى يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ ، ثُمَّ قَالَ : «كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا». قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ! وَإِنَّا لَـمُؤَاخَذُوْنَ بِـمَـا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ : «ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِـى النَّارِ عَلَـى وُجُوْهِهِمْ – أَوْقَالَ : عَلَـى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, namun itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya, yaitu: engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka, tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah/32:16-17). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok segala perkara, tiang-tiang, dan puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan mengenai hal yang menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini (lidah).” Aku berkata, “Wahai Nabiyullâh, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita katakan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menyayangi ibumu, wahai Mu’adz! bukanlah manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau bersabda: di atas hidung mereka- melainkan dengan sebab lisan mereka.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.”]
TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini shahîh dengan seluruh jalannya, diriwayatkan oleh:
Ahmad 5/230, 236, 237, 245
At-Tirmidzi no. 2616
An-Nasâ-i dalam As-Sunanul Kubra no. 11330
Ibnu Mâjah no. 3973
‘Abdurrazzâq dalam Al-Mushannaf no. 20303
Ibnu Abi Syaibah dalam Kitâbul Imân no. 1, 2
Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 9/20
Ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 20/no. 200, 291, 294, 304, 305
Al-Hâkim 2/412-413
Ibnu Hibbân no. 214-At-Ta’lîqâtul Hisân
SYARAH HADITS.
AMAL SHALIH SEBAGAI SEBAB MASUK SURGA
Perkataan Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?”
Dalam riwayat Imam Ahmad tentang hadits Mu`âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa ia berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنِّـيْ أُرِيْدُ أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ كَلِمَةٍ قَدْ أَمْرَضَتْنِيْ وَ أَسْقَمَتْنِيْ وَأَحْرَقَتْنِيْ. قَالَ : «سَلْ عَمَّـا شِئْتَ» قَالَ : أَخْبِرْنِـيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِـي الْـجَنَّةَ لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهُ
Wahai Rasulullâh! Aku ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat yang telah membuatku sakit, menderita, dan sedih.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tanyakan apa saja yang engkau kehendaki.” Mu’âdz bin Jabal z berkata, “Jelaskan kepadaku tentang satu perbuatan yang memasukkanku ke surga dan aku tidak bertanya kepadamu selain pertanyaan ini?
Ini menunjukkan kuatnya perhatian dan kepedulian Mu`âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu terhadap amal-amal shaleh, dan di dalamnya terdapat dalil bahwa amal-amal menjadi penyebab seseorang masuk ke surga, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla.
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan.” [az-Zukhruf/43:72]
Adapun sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
لَنْ يَدْخُلَ الْـجَنَّةَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ
Salah seorang dari kalian tidak akan masuk surga karena amalnya.[1]
Maksudnya, wallâhu a`lam, bahwa amal itu sendiri tidak membuat seseorang berhak atas surga jika Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan amalnya dengan karunia dan rahmatnya sebagai penyebab dirinya masuk surga. Amal merupakan rahmat Allah Azza wa Jalla dan karunianya kepada hamba-Nya. Jadi, surga dan penyebab-penyebabnya, semua berasal dari karunia dan rahmat Allah Azza wa Jalla .
PERKARA YANG BESAR
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sungguh, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar.”
Masuk surga dan selamat dari neraka adalah sesuatu yang sangat agung, karena ia adalah kesuksesan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan [Ali Imrân/3:185]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang, “Apa yang engkau ucapkan jika engkau shalat?” Orang tersebut menjawab, “Aku meminta surga kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Aku tidak mampu melakukan sebaik seruanmu dan seruan Muadz Radhiyallahu anhu.” Orang itu mengisyaratkan betapa banyaknya doa dan usaha beliau dan Muadz Radhiyallahu anhu dalam meminta. Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Di seputar itulah seruan kami.” Dalam riwayat lain, “Tidaklah seruanku dan seruan Mu`adz Radhiyallahu anhu melainkan kami meminta surga kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung kepada-Nya dari neraka”[2]
Selamat dari neraka jahannam adalah perkara yang besar karena manusia yang paling ringan siksanya di neraka ialah seseorang yang diletakkan batu panas di bawah kedua mata kakinya lalu otaknya mendidih karenanya. Karena itulah Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi sebab keselamatan manusia dari neraka dan sukses mendapat surga. Oleh karena itu, para nabi mampu memikul beban berat yang tidak dapat dipikul oleh gunung-gunung yang kokoh.[3]
HIDAYAH TAUFIQ HANYA MILIK ALLAH AZZA WA JALLA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Namun itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya.”
Sabda beliau ini merupakan isyarat bahwa hidayah taufik seluruhnya berada di tangan Allah Azza wa Jalla . Siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh hidayah, maka ia mendapatkan petunjuk dan siapa saja yang tidak diberikan kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh hidayah, maka ia tidak memperoleh petunjuk. Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٦﴾فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ﴿٧﴾وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” [al-Lail/92:5-10]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِـمَـا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ ؛ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ ؛ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
Beramallah kalian! Karena segala hal dipermudah kepada apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, mereka dipermudah kepada amal perbuatan orang-orang bahagia dan sedang orang-orang celaka dipermudah kepada amal perbuatan orang-orang celaka.
Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.[4]
Allah Azza wa Jalla mengabarkan tentang Nabi Mûsa Alaihissallam yang berkata dalam doanya.
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي﴿٢٥﴾وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
Wahai Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku [Thâhâ/20:25-26]
RUKUN ISLAM
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullâh.”
Jawaban Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama adalah sebagai sebab masuk surga. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini rukun Islam yang lima.
PINTU-PINTU KEBAIKAN
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan?”
Karena, masuk surga dan dijauhkan dari neraka itu disebabkan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam, maka setelah itu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ibadah-ibadah sunnah yang merupakan pintu-pintu kebaikan. Sebab, wali-wali Allah Azza wa Jalla yang paling mulia adalah al-muqarrabûn, yaitu orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib.
1. PUASA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Puasa adalah perisai.”
Sabda di atas diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari banyak jalur. Sabda tersebut diriwayatkan dalam Shahîhul-Bukhâri dan Shahîh Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Puasa adalah perisai selagi tidak dirobek, yakni dirobek dengan perkataan jelek dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ فَلاَ يَجْهَلْ ، إِنِ امْرُؤٌ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّـي امْرُؤٌ صَائِمٌ
Puasa adalah perisai, karenanya, pada hari puasa salah seorang dari kalian maka ia tidak boleh berkata jelek, membodohkan. Dan jika ia dihina seseorang maka hendaklah ia berkata, ‘Aku orang yang berpuasa.’[5]
Ibnul Munkadir rahimahullah berkata, “Jika orang berpuasa melakukan ghibah (menggunjing orang lain), maka puasanya menjadi robek. Jika ia beristighfar, ia menambalnya.”[6]
Perisai ialah sesuatu yang digunakan oleh seorang hamba sebagai tameng seperti perisai yang melindunginya dari pukulan ketika berperang. Puasa juga demikian, ia melindungi pelakunya dari berbagai kemaksiatan di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:183]
Jika puasa merupakan perisai dari kemaksiatan-kemaksiatan bagi seorang hamba di dunia, maka puasa merupakan perisai baginya dari neraka. Jika seseorang tidak mempunyai perisai dari kemaksiatan-kemaksiatan di dunia, ia tidak mempunyai perisai dari neraka di akhirat.[7]
Seorang Muslim disyari’atkan melakukan puasa yang wajib di bulan Ramadhan kemudian dianjurkan melakukan puasa-puasa sunnah, di antaranya:
Puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram)
Puasa hari ‘Arafah bagi selain jama’ah haji.
Puasa hari Senin dan Kamis.
Puasa tiga hari di setiap bulan.
Puasa Nabi Dawud.
Puasa enam hari di bulan Syawwal.
Puasa di bulan Sya’ban.
2. SEDEKAH [8]
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”
Sabda beliau ini diriwayatkan juga dari jalur-jalur periwayatan lainnya. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ حَصِيْنٌ ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْـخَطِيْئَةَ كَمَـا يُطْفِئُ الْـمَـاءُ النَّارَ
Puasa adalah perisai yang kokoh dan sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.[9]
Allah Azza wa Jalla berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ
Jika kamu menampakkan sedekah-sedekah kamu maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu…” [al-Baqarah/2:271]
Firman Allah Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa sedekah menghapus kesalahan-kesalahan, baik sedekah yang tampak atau sedekah secara rahasia, selama dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla .
3. SHALAT MALAM
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dan shalat seseorang di tengah malam.”
Maksudnya, shalat juga menghapuskan kesalahan sebagaimana halnya sedekah.
Di sabdanya tersebut, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan waktu terbaik melaksanakan shalat Tahajjud di malam hari, yaitu tengah malam. Diriwayatkan dari Abu ‘Umâmah Radhiyallahu anhu,
قِيْلَِ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ : «جَوْفُ اللَّيْلِ الْآخِرِ ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْـمَكْتُوْبَاتِ»
Dikatakan, ‘Wahai Rasulullâh! Doa apakah yang paling didengar?’ Beliau menjawab, ‘Di tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat wajib.’[10]
Ada yang mengatakan bahwa jika tengah malam dimutlakkan, maka yang dimaksud ialah pertengahan malam. Jika dikatakan, “Tengah malam terakhir.” Maka yang dimaksud adalah tengah malam kedua, yaitu 1/3 malam terakhir Waktu itulah saat turunnya Allah Azza wa Jalla ke langit dunia.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Shalat terbaik setelah shalat wajib adalah shalat malam (qiyâmul lail).[11]
Qiyâmul lail juga menghapuskan kesalahan-kesalahan karena qiyâmul lail adalah shalat sunnah terbaik. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ ، وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَـى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ ، وَتُكَفِّرُ السَّيِّئَاتِ ، وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْـجَسَدِ
Hendaklah kalian mengerjakan qiyâmul lail, karena qiyâmul lail adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ibadah pendekat kepada Allah Azza wa Jalla , pencegah dari dosa, penghapus kesalahan-kesalahan, dan pengusir penyakit dari badan.[12]
Perkataan Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu , “Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” [as-Sajdah/32:16-17]
Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedua ayat di atas setelah menyebutkan shalat malam untuk menjelaskan keutamaan shalat malam. Karena, Allah Azza wa Jalla memuji orang-orang yang bangun di tengah malam ketika manusia sedang tidur, ia melakukan shalat malam dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla .
Pujian ini mencakup orang yang tidak tidur sampai fajar terbit kemudian mengerjakan shalat Shubuh, terutama ketika itu rasa kantuk ingin tidur begitu kuat. Oleh karena itu, muadzdzin disyariatkan membaca, “Ash-shalâtu khairun minan naûm (shalat lebih baik daripada tidur) di adzan Shubuhnya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang yang menunggu shalat ‘Isyâ,
إِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِـيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرُوْا الصَّلاَةَ
Sesungguhnya kalian selalu dalam shalat selama kalian menunggu shalat. [13]
POKOK SEGALA PERKARA, TIANG-TIANGNYA, DAN PUNCAKNYA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok segala perkara, tiang-tiangnya, dan puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.”
Pada hadits di atas, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tiga hal: pokok segala sesuatu, tiangnya, dan puncaknya.
Adapun pokok segala perkara dan yang dimaksud dengan perkara dalam hadits di atas ialah agama yang dibawa oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Islam. Perkara tersebut diriwayat lain ditafsirkan dengan dua kalimat syahadat. Jadi, barangsiapa tidak mengakui keduanya lahir-batin, ia tidak termasuk bagian dari Islam.[14]
Kedudukan dua kalimat syahadat dalam agama Islam ialah seperti kedudukan kepala bagi seluruh anggota tubuh. Apabila kepala telah putus, maka tidak ada kehidupan bagi manusia setelahnya. Demikian pula tidak ada agama bagi orang yang tidak menetapkan dua kalimat syahadat.[15]
Tiang agama yang menjadikan agama Islam tegak ialah shalat, sebagaimana tenda tegak di atas tiang-tiangnya. Demikian pula agama seorang hamba tidak akan tegak tanpa shalat.
Sedang puncak perkara ialah jihad. Ini menunjukkan bahwa jihad adalah amal perbuatan terbaik setelah ibadah-ibadah wajib, seperti dikatakan Imam Ahmad rahimahullah dan para Ulama lainnya.[16]
Kedudukan jihad adalah kedudukan yang paling tinggi dalam Islam, karena dengan jihad kalimat Allah Azza wa Jalla menjadi yang paling tinggi, agama Islam menang di atas seluruh agama, dan melenyapkan pelaku kebatilan dari kalangan munafik, Yahudi, dan Nasrani.[17]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : إِيْمَـانٌ بِاللهِ وَجِهَادٌ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Wahai Rasulullâh! Amal apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad di jalan-Nya.”[18]
Dan hadits-hadits yang semakna dengannya sangat banyak.
KEWAJIBAN MENJAGA LISAN
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maukah engkau aku jelaskan tentang sesuatu yang dapat menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini (lidah)…” sampai akhir hadits
Ini menunjukkan bahwa menjaga lisan, berhati-hati dalam berbicara, dan memenjarakannya merupakan inti seluruh kebaikan. Barangsiapa mampu mengendalikan lidahnya, maka ia menguasai perkaranya dan mengendalikannya.[19]
Yang dimaksud dengan hasil lidah ialah balasan dan hukuman atas perkataan yang diharamkan. Pada dasarnya, manusia menanam berbagai kebaikan dan kesalahan dengan perkataan dan perbuatannya, kemudian pada hari Kiamat ia menuai apa yang ia telah tanam. Barangsiapa menanam kebaikan, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, ia menuai kemuliaan. Dan barangsiapa menanam keburukan, baik berupa perkataan dan perbuatan, kelak ia menuai penyesalan.
Zhahir hadits Mu’âdz di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka ialah berkata dengan lidah. Di antara hal yang termasuk perbuatan maksiat berupa perkataan ialah syirik, yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah Azza wa Jalla . Kemudian, berkata tentang Allah Azza wa Jalla tanpa atas dasar ilmu; dan dosa seperti ini juga setara dengan syirik. Kemudian persaksian palsu yang merupakan dosa besar. Termasuk di dalamnya sihir, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan dosa-dosa besar lainnya seperti berbohong, menggunjing, mengadu domba, dan seluruh kemaksiatan yang berbentuk tindakan yang pada umumnya didukung perkataan.[20]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ اْلأَجْوَفَانِ : الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka ialah dua hal: yaitu mulut dan kemaluan.[21]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَـا يَزِلُّ بِهَا فِـي النَّارِ أَبْعَدُ مِمَّـا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ
Sesungguhnya seseorang mengatakan suatu ucapan yang tidak ia perhatikan isinya, menyebabkan ia terjerumus ke neraka lebih jauh daripada antara timur dan barat.[22]
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Lidah adalah komandan tubuh. Jika lidah berbuat dosa kepada organ tubuh, maka organ tubuh menjadi berdosa. Jika lidah menahan diri, organ tubuh menahan diri.”[23]
Yûnus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat seseorang di mana lidahnya berada di atas kebaikan, melainkan aku melihatnya sebagai kebaikan di seluruh organ tubuhnya.”[24]
FAWAA-ID HADITS
- Tingginya cita-cita dan kemauan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dimana ia tidak bertanya kepada Rasulullâh tentang dunia, tetapi bertanya tentang akhirat.
- Menetapkan adanya surga dan neraka, dan mengimani keduanya termasuk rukun iman.
- Bahwa amal shalih itu memasukkan ke surga dan menjauhkan dari neraka karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hal ini.
- Masuk surga dan dijauhkan dari neraka adalah perkara yang besar, dan tujuan hidup seorang Mukmin adalah surga.
- Hidayah taufik hanyalah milik Allah Azza wa Jalla .
- Meskipun perkara tersebut agung (berat) tetapi hal itu mudah bagi orang yang diberikan kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla .
- Sudah selayaknya bagi manusia untuk memohon kemudahan kepada Allah Azza wa Jalla dalam masalah agama dan dunianya karena orang yang tidak diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla maka segala sesuatu menjadi sulit baginya.
- Hadits ini menyebutkan tentang rukun Islam yang lima.
- Kewajiban yang paling besar adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , yaitu mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.
- Puasa adalah perisai dari perbuatan dosa di dunia dan perisai dari api neraka di akhirat. Karena itu haram bagi manusia melakukan perbuatan dosa dan maksiat pada saat berpuasa. Ini menunjukkan keutamaan puasa.
- Shadaqah itu menghapuskan kesalahan, dan ini menunjukkan keutamaan serta anjuran untuk bersedekah, dan sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.
- Bertahap dalam memberikan pelajaran kepada manusia, dengan memulai dari perkara yang paling penting kemudian yang penting dan seterusnya.
- Keutamaan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sesudah yang wajib.
- Keutamaan orang yang bangun di tengah malam untuk shalat malam (Tahajjud dan Witir), berdo’a, dan bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla dengan rasa harap dan cemas serta mohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla di waktu sahur.
- Hendaklah seseorang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla dengan rasa harap dan cemas.
- Pokok segala urusan, yaitu urusan dunia dan akhirat adalah Islam.
- Shalat adalah tiang agama, dan bangunan tidak menjadi tegak kecuali dengannya. Dan hadits ini menunjukkan pentingnya masalah shalat.
- Keutamaan dan anjuran untuk berjihad. Jihad adalah puncak agama Islam karena dengan jihadlah kalimat Allah Azza wa Jalla menjadi tegak dan tinggi.
- Bahwa kunci dari semua perkara di atas ialah menjaga lisan.
- Bahayanya lisan jika tidak dijaga karena bisa jadi dengan satu kalimat yang dimurkai Allah Azza wa Jalla , menyebabkan seseorang masuk neraka.
- Di antara penduduk neraka, ada yang diseret di atas wajah mereka. Wal’iyâdzu billâh. Nas-alullâha as-salâmah wal ‘âfiyah.
MARAJI’
- Al-Qur`ân dan terjemahnya.
- Shahîhul-Bukhâri.
- Shahîh Muslim.
- Musnad Imam Ah
- Sunan Abu Dâwud.
- Sunan at-Tirmidzi.
- Sunan an-Nasâ-i.
- Sunan Ibnu Mâjah.
- Shahîh Ibnu Hibbân (At-Ta’lîqâtul Hisân.)
- Hilyatul Auliyâ`, karya Abu Nu’aim.
- Kitâbush Shamt, karya Ibnu Abid Dunya.
- Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
- Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
- Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
Referensi : Pintu-Pintu Kebaikan Dan Kewajiban Menjaga Lisan
Dari ‘Abdullah bin Salâm, ia berkata: “Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, orang-orang segera pergi menuju beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena ingin melihatnya). Ada yang mengatakan: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang, lalu aku mendatanginya ditengah kerumunan banyak orang untuk melihatnya. Ketika aku melihat wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku mengetahui bahwa wajahnya bukanlah wajah pembohong. Dan yang pertama kali beliau ucapkan adalah, ‘Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan sejahtera.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2485); ad-Dârimi (I/340); Ibnu Mâjah (no. 1334 dan 3251); al-Hâkim (III/13), Ahmad (V/451); Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/388, no. 25777 dan 26133) dan (XIII/30, no. 36858); ad-Dhiyâ’ dalam al-Mukhtârah (IX/431, no. 400); Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 495), dan lain-lain.
at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”; al-Hâkim berkata, “Shahih sesuai dengan syarat syaikhain (al-Bukhâri dan Muslim).” Dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Diriwayatkan juga oleh al-Hâkim (IV/160) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Imam Nawawi rahimahullah menyetujuinya dalam Riyâdhus Shâlihîn (no. 849). Demikian juga al-Hâfizh Ibnu Hajar menyetujui pernyataan imam at-Tirmidzi dan al-Hâkim dalam kitabnya Fat-hul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri (XI/19). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdiits ash-Shahîhah (no. 569).
MUFRADAT HADITS
اِنْجَفَلَ النَّاسُ : Mereka pergi segera menuju kepadanya.
أَفْشُوْا السَّلَامَ : Kata perintah dari al-ifsyâ’, berarti menyebarkan dan menjadikannya umum atau merata.
صِلُوْا الْأَرْحَامَ : Kata perintah dari al-washl, yaitu menyambung dengan terus menerus berbuat baik kepada mereka dengan perkataan, perbuatan, dan lemah lembut. al-Arhâm yaitu semua kerabat dari segi nasab maupun pernikahan (ipar, menantu, mertua).
نِيَامٌ : Jamak dari nâ-im (orang yang tidur).
تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ : Kalian masuk Surga dengan sejahtera yaitu tanpa didahului adzab sebelumnya.[1]
SYARAH HADITS
1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,( أَفْشُوْا السَّلَامَ) “Sebarkanlah salam.”
Sebarkanlah salam di antara kalian ! Jika engkau melewati saudaramu, ucapkanlah salam kepadanya ! Dan jika dia yang memulai salam kepadamu, maka jawablah salamnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya…” [an-Nisâ’/4:86]
Menyebarkan salam itu akan menumbuhkan rasa cinta diantara manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا ، وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkanlah salam di antara kalian.[2]
Karena meninggalkan salam itu menimbulkan rasa cinta, maka sebaliknya meninggalkan salam akan menyebabkan kesedihan. Ini sesuatu yang lumrah pada diri manusia. Jika ada orang yang lewat dan mengucapkan salam kepadamu maka engkau akan merasa senang dan cinta. Namun, jika yang lewat itu tanpa mengucapkan salam, maka engkau akan merasa ragu terhadapnya. Fakta ini menunjukkan bahwa salam memiliki urgensi yang tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Ada seorang yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Islam yang bagaimanakah yang paling baik ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ.
Engkau memberi makan dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak kenal.”[3]
Salam juga merupakan hak seorang muslim atas muslim lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Makna Menyebarkan Salam
Menyebarkan salam maksudnya selalu mengucapkannya setiap kali bertemu atau berjumpa meskipun sudah mengucapkan salam saat perjumpaan sebelumnya. Seorang Muslim yang tidak mau mengucapkan salam setiap kali bertemu dianggap bakhil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجِزَ فِيْ الدُّعَاءِ وَأَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلاَمِ.
Selemah-lemah manusia adalah orang yang lemah (malas) berdo’a kepada Allâh, dan sebakhil-bakhil manusia adalah orang yang bakhil mengucapkan salam.[4]
Zaman sekarang ini ummat Islam sudah mulai jarang mengucapkan salam. Sebagian mereka beranggapan bahwa tadi sudah berjumpa dan sudah mengucapkan salam, maka apabila berjumpa lagi dalam waktu 20 menit atau 30 menit tidak perlu lagi mengucapkan salam. Padahal, teladan (contoh) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak demikian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat g apabila berjumpa, mereka saling mengucapkan salam, meskipun sudah mengucapkannya pada pertemuan sebelumnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا لَقِيَ أَحَدُكَمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ ، فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لَقِيَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ أَيْضًا
Apabila salah seorang dari kalian berjumpa dengan saudaranya sesama Muslim, hendaklah ia mengucapkan salam kepadanya ! Kemudian apabila keduanya terhalang pohon atau tembok atau batu lantas berjumpa lagi, maka hendaklah ia mengucapkan salam lagi.[5]
Hadits ini dengan sangat gamblang menganjurkan salam kendati pun ia sudah mengucapkannya pada pertemuan sebelumnya. Hadits ini tidak membatasi hanya sekali salam, justru hadits ini menganjurkan agar setiap Muslim mengucapkan salam berkali-kali, karena ini merupakan kebaikan. Itulah yang dimaksud dengan ifsyâ-us salâm (menyebarkan salam).
Praktek menyebarkan salam seperti ini juga telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan :
كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتُفَرِّقُ بَيْنَنَا الشَّجَرَةُ فَإِذَا الْتَقَيْنَا سَلَّمَ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ
Kami (para shahabat) apabila berjalan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami terhalang oleh pohon lantas kami bertemu lagi, maka sebagian dari kami mengucapkan salam kepada sebagian lainnya.[6]
Hadits lain yang menjadi penguat hadits di atas adalah hadits yang sudah mayhur tentang seorang shahabat yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki masjid kemudian masuklah seorang laki-laki lantas mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau pun menjawab salamnya, lalu bersabda, ‘Ulangi shalatmu! Karena sesungguhnya engkau belum shalat.’ Kemudian ia pun mengulangi shalatnya seperti sebelumnya. Seusai shalat, ia pun kembali mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau… (hal ini dilakukannya hingga tiga kali).”[7]
Salam merupakan cara untuk memulihkan hubungan yang tidak baik sesama Muslim. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ. يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ لَيَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
Tidak halal seorang Muslim tidak bertegur sapa dengan saudaranya selama tiga malam, keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu pun berpaling. Akan tetapi orang yang terbaik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu mengucapkan salam.[8]
Di atas sudah diterangkan bahwa mengucapkan salam yang diperintahkan tidak hanya terbatas satu kali, akan tetapi berkali-kali setiap kali bertemu.
Misalnya:
Pertama, Seorang karyawan Muslim bertemu dengan karyawan lainnya yang Muslim, maka hendaklah ia mengucapkan salam, ketika masuk maupun keluar kantor.
Kedua, seorang ustadz bertemu dengan ustadz lainnya dalam satu sekolah atau dalam lembaga-lembaga dakwah, hendaklah selalu mengucapkan salam, meskipun beberapa kali bertemu.
Ketiga, seorang ustadz atau guru hendaklah mengucapkan salam ketika masuk ke kelas, dan ketika keluar pun hendaklah ia mengucapkan salam.
Keempat, seseorang sampai dalam satu majlis hendaklah mengucapkan salam, dan ketika telah usai atau ia meninggalkannya hendaklah ia pun mengucapkan salam.[9]
Kelima, seseorang yang masuk ke masjid atau mushalla atau surau hendaklah mengucapkan salam meskipun di dalamnya ada orang yang sedang shalat, atau ada yang sedang membaca al-Qur-an, atau ada yang sedang berdzikir. Sebab, para shahabat juga mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ketika itu beliau sedang shalat. Lantas, beliau pun menjawabnya dengan isyarat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata-kata karena dalam shalat dilarang berkata-kata selain dzikir, tasbîh, dan membaca ayat al-Qur’ân.[10]
Tentang penyebutan isyarat dalam hadits tersebut, hal itu dilakukan dalam shalat. Adapun di luar shalat, isyarat tersebut tidak diperbolehkan karena menyerupai perbuatan Yahudi, kecuali, apabila diiringi dengan salam.
Keenam, seorang anak, ibu, atau bapak yang hendak masuk rumah hendaklah mengucapkan salam, demikian pula ketika keluar rumah.
Ketujuh, seorang pedagang hendaklah mengucapkan salam kepada pedagang Muslim lainnya, atau seorang pembeli hendaklah mengucapkan salam kepada pedagang-pedagang Muslim lainnya yang ada di pasar. Hal ini sebagaimana riwayat dari shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Dari Thufail bin Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhuma, suatu ketika ia mendatangi ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, kemudian ia berjalan bersamanya ke pasar. Thufail berkata, “Setiap kali ia bertemu dengan tukang loak (pedagang barang bekas), pedagang, orang miskin, atau siapa saja, ia selalu mengucapkan salam.” Thufail melanjutkan, “Suatu hari aku datang lagi ke rumah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, lalu ia ingin ikut menemaniku ke pasar. Aku pun bertanya, ’Apa yang engkau kerjakan di pasar sedangkan engkau tidak berjual beli, tidak menanyakan harga barang-barang, dan tidak pula mau duduk-duduk di pasar.’ Aku melanjutkan, ‘Sebaiknya kita duduk-duduk saja disini sambil bercakap-cakap.’ Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma langsung menjawab, ‘Wahai Abu Bathn[11], sesungguhnya kita pergi ke pasar semata-mata hanya ingin mengucapkan salam saja, yaitu kita ucapkan salam kepada kaum Muslimin mana saja yang kita jumpai.’”[12]
Ucapan salam adalah kalimat yang disenangi oleh Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Apabila kalimat salam diucapkan oleh kaum Muslimin setiap saat, setiap waktu, setiap hari, maka insya Allâh ummat Islam ini akan selamat dari penyakit-penyakit hati dan ummat Islam akan mempunyai ‘izzah (harga diri) di hadapan ummat-ummat yang lain. Oleh karena itu, kita harus berupaya menyebarkan salam dan menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini agar kita selamat dan mempunyai ‘izzah di hadapan orang-orang kafir.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat[13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
أَفْشُوْا السَّلاَمَ كَيْ تَعْلُوْا
Sebarkanlah salam agar kalian menjadi tinggi (mempunyai ‘izzah)[14]
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ) “Berikanlah makan.”
Yaitu berikanlah makan kepada orang-orang yang membutuhkan, kepada tamu dan tetangga. Ini merupakan akhlak mulia yang bisa menghantarkan pelakunya masuk surga. Orang yang memberikan makan kepada orang lain akan memiliki keistimewaan dan kedudukan di masyarakat. Orang yang memberikan maka akan mendapat rizki yang berlimpah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla disebutkan :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ …
Sedekah tidak mengurangi harta…[15]
أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Berinfaqlah ! Niscaya Aku akan berinfaq kepadamu.”[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhma,
اِنْفَحِيْ ، أَوِ انْضَحِيْ ، أَوْ أَنْفِقِيْ ، وَلاَ تُحْصِيْ فَيُحْصِيَ اللهُ عَلَيْكِ ، وَلَا تُوْعِيْ فَيُوْعِيَ اللهُ عَلَيْكِ.
Infakkan, atau sedekahkan, atau nafkahkanlah, dan janganlah kamu menghitung-hitungnya sehingga Allâh akan menghitung-hitung pemberian-Nya kepadamu. Dan Janganlah kamu menakar-nakarnya sehingga Allâh menakar-nakar pemberian-Nya kepadamu.[17]
Orang yang memberi makan atau berinfak pasti akan diganti oleh Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ
…Dan apa saja yang kamu infakkan, Allâh akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik. [Saba’/34: 39]
Adapun jika engkau menahan rizki yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu, maka Allâh Azza wa Jalla juga akan menahan rizki-Nya kepadamu. Memberi makan memiliki keistimewaan yang agung, khususnya orang-orang yang memberi makan kepada para tamu dan orang yang membutuhkan. Mereka memiliki keutamaan yang besar, terlebih lagi orang yang tinggal di tempat umum (lalu mereka suka memberi makan). Namun yang perlu diingat, memberi makan dan berinfak serta ibadah-ibadah lainnya wajib dilakukan dengan ikhlas karena Allâh . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh , kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al-Insân/76:8-9]
3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ) “Sambunglah tali silaturrahim.”
al-Arhâm adalah jamak dari rahim. Maksudnya kerabat yang memiliki hubungan kekeluargaan dari ibu atau bapak, seperti paman, bibi, kakek, nenek, sepupu, dan lainnya. Mereka adalah al-arhâm. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
…Bertakwalah kepada Allâh yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan… [an-Nisâ’/4:1]
Maksudnya bertakwalah kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertakwalah dalam urusan kekeluargaan agar engkau tidak memutusnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat… [al-Isrâ’/17:26]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ
“Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat…” [an-Nisâ’/4:36]
Banyak ayat yang memerintahkan untuk menyambung tali silaturrahim dan ancaman bagi yang memutus tali silaturrahim. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ﴿٢٢﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allâh ; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” [Muhammad/47: 22-23]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“…Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” [ar-Ra’d/13:25]
Silaturrahim itu memiliki keistimewaan yang agung, merupakan sebab masuk Surga. Dan memutus silaturrahim menyebabkan laknat dan terjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla .
4. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ) “Shalatlah di waktu malam, di saat manusia sedang tidur.”
Ini mencakup shalat-shalat wajib, seperti shalat ‘Isya dan shalat Shubuh, juga mencakup shalat malam, karena malam adalah waktunya orang-orang tidur. Jika seseorang bangun dan shalat maka ini menunjukkan keimanannya karena dia lebih memilih shalat dari pada tidur dan istirahat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya…” [as-Sajdah/32:16]
Seorang Muslim yang beriman kepada Allâh dan hari Akhir, dia berusaha untuk mengerjakan shalat wajib yang lima waktu berjamaah di Masjid. Dia juga berusaha untuk bangun di tengah malam untuk melakukan shalat Tahajjud di saat manusia sedang tidur. Di tengah malam dan di akhir malam dia gunakan untuk bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla , shalat malam, berdo’a dan minta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla atas semua dosa-dosanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan Tahajjud sampai kakinya bengkak, ketika beliau ditanya bukankah engkau sudah diampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidaklah pantas aku menjadi hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang bersyukur ?” Shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih, menghapuskan dosa-dosa dan merupakan kemuliaan bagi seorang Muslim. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat merutinkan shalat malam meskipun sedikit.
Barangsiapa mengerjakan keempat amalan ini, yakni menyebarkan salam, memberi makan, menyambung tali silaturrahim, dan shalat malam ketika manusia tertidur, akan masuk surga dengan sejahtera, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman. [al-Hijr/15:46]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ
Masuklah ke (dalam surga) dengan aman dan damai, itulah hari yang abadi. [Qâf/50: 34]
Itu adalah balasan mereka, pahala atau ganjaran yang sesuai dengan jenis amalan yang dikerjakan. Masuk surga merupakan cita-cita tujuan terbesar seorang Mukmin. Masuk surga itu mudah bagi siapa yang Allâh mudahkan. Semua yang ada dalam surga berupa kebaikan, kenikmatan, kelezatan dan kebahagiaan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allâh Azza wa Jalla . Amal-amal untuk masuk surga semuanya mudah dan tidak sulit. Ada seseorang berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan kepadaku amalan yang bisa memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau telah bertanya sesuatu yang besar, tapi itu mudah bagi siapa yang Allâh mudahkan, yaitu beribadahlah kepada Allâh dan jangan menyekutukannya dengan suatu apa pun…”[18]
Ini adalah hadits yang agung, karena keempatnya termasuk akhlak yang mulia. Menyebarkan salam, memberi makan, dan menyambung tali silaturrahim manfaatnya untuk orang lain, sedangkan shalat malam di saat yang lain tertidur manfaatnya untuk orang yang melakukan amalan tersebut.
FAWAAID HADITS
- Sangat dianjurkan menyebarkan salam kepada seluruh kaum Muslimin, yang dikenal maupun yang tidak.
- Salam merupakan syi’ar agama Islam dan merupakan salah satu keindahan syari’at Islam.
- Haram hukumnya mengganti ucapan salam dengan kalimat-kalimat lain.
- Orang yang lebih dahulu mengucapkan salam adalah orang yang dicintai Allâh Azza wa Jalla .
- Mengucapkan salam hukumnya sunnah yang sangat ditekankan, sedangkan hukumnya menjawab salam wajib
- Haram hukumnya memberi salam kepada Yahudi, Nashrani, dan orang-orang kafir lainnya.
- Anjuran memberi makan kepaa orang miskin, orang yang susah, dan orang yang membutuhkan.
- Orang yang memberi makan mendapat ganjaran yang besar.
- Orang yang berinfaq dan memberi makan maka tidak berkurang hartanya.
- Wajib menyambung silaturrahim dan haram memutuskannya
- Silaturrahim melapangkan rezeki dan memanjangkan umur
- Sangat ditekankan (sunnah muakkadah) bangun tengah malam untuk shalat Tahajjud saat orang sedang tidur.
- Shalat malam (Tahajjud) kebiasaan orang-orang shalih.
- Shalat malam memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan seorang Muslim.
- Shalat malam membuat seorang Muslim mulia.
- Amal yang disebutkan dalam hadits di atas bila dikerjakan dengan ikhlas dan ittibâ’ akan memasukkan seorang Muslim ke dalam surga.
- Seluruh amal-amal ketaatan dalam Islam adalah mudah bagi orang yang diberikan hidayah taufiq oleh Allâh Azza wa Jalla .
MARAAJI’
- Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
- Riyâdush Shâlihîn dan syarahnya.
- Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâ
- Taudhîhul Ahkâm Syarah Bulûghul Marâ
- Tashîlul Ilmân bi fiqhil Ahâdiits min Bulûghil Marâm, syarah: Syaikh DR. Shaleh Fauzan bin ‘Abdulllah al-Fauzan.
- ar-Rasâ-il jilid 3, oleh Penulis, cet. 1, Media Tarbiyah.
- Dan kitab-kitab lainnya.
Dalam hadits di awal pembahasan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat :
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allâh dengan pengagungan yang semestinya…” (QS. az-Zumar/39:67)
Ayat ini mencakup :
1. Orang-orang yang mengingkari adanya Allâh Azza wa Jalla , yaitu kaum Dahriyyun.
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ ۚ وَمَا لَهُمْ بِذَٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah keidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’ Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” [al-Jâtsiyah/45:24]
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ﴿٣٥﴾أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۚ بَلْ لَا يُوقِنُونَ
Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” [at-Thûr/52:35-36]
Mereka pada hakikatnya tidak mengagungkan Allâh dengan sebenar-benar pengagungan.
2. Orang-Orang Musyrikin yang mengakui adanya Khaliq (Pencipta), Mudabbir (Pengatur alam semesta), muhyi (Yang Menghidupkan), Mumît (Yang Mematikan), yaitu Allâh Azza wa Jalla . Tapi mereka menyembah selain Allâh atau mereka beribadah kepada Allâh tapi juga bersamaan dengan itu ia menyembah tuhan yang lain, seperti menyembah berhala, batu, pohon, kubur, benda-benda mati dan lainnya. Mereka pada hakikatnya tidak menghargai Allâh Azza wa Jalla dengan sebenarnya. Padahal yang mereka sembah tidak bisa menciptakan, tidak bisa memberi rizki, tidak bisa memberikan manfaat, tidak bisa menolak bahaya bahkan tidak bisa menghidupkan dan mematikan. Seperti orang-orang yang datang ke kubur untuk meminta sesuatu kepada mereka, meminta hajat kepada mereka bahkan ada yang thawaf di kuburan. Mereka pada hakikatnya tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak memuliakannya. Mereka telah berbuat syirik yang besar.
3. Demikian juga orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat Allâh, yang Allâh dan Rasul-Nya telah tetapkan. Begitu juga orang yang mentakwil sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla atau memaknainya dengan makna yang lain atau dengan makna zhahir dan batin atau orang yang menyamakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya pada hakikatnya. Mereka ini tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , seperti orang-orang yang mengingkari tentang keberadaan Allâh Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya. Mereka mentakwilkannya dengan arti kekuasaan atau lainnya. Pada hakikatnya mereka ini tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla . Begitu juga orang-orang yang mengartikan ‘Tangan’ Allâh dengan kekuasaan atau nikmat; Begitu juga orang yang mengatakan bahwa ayat atau hadits ini tidak jelas tentang sifat Allâh; Atau mengatakan bahwa itu adalah kiasan atau mengatakan bahwa itu bukan hakikatnya. Mereka ini pada hakikatnya tidak menghargai dan tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla . Mereka tidak beradab kepada Allâh Azza wa Jalla .
4. Orang yang tidak beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik dan buruk dan tidak beriman dengan kekuasaan Allâh, bahwa Allâh Mahaberkuasa atas segala sesuatu. Orang yang tidak mengimani ini, maka ia tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dengan sebesar-besar pengagungan. Dan masih banyak contoh yang lainnya. [9]
FAWAA-ID HADITS
- Penjelasan tentang keagungan Allâh Azza wa Jalla dan ke-Mahabesaran Allâh Azza wa Jalla . Allâh Mahabesar, Allâh Mahaberkuasa, Allâh Mahaagung. Semua nama-nama Allâh adalah nama-nama yang paling indah dan semua sifat-sifatnya adalah sifat yang tinggi dan sempurna.
- Seluruh makhluk, langit, bumi, dan seluruh isinya adalah sangat kecil dibandingkan Allâh Yang Mahatinggi dan Mahabesar.
- Menetapkan kedua tangan, jari-jari yang hakiki bagi Allâh Azza wa Jalla yang sesuai dengan keagungan dann kemuliaan-Nya
- Ilmu yang mulia ini terdapat dalam Taurat dan mereka tidak mengingkarinya dan tidak mentahrifnya
- Menerima kebenaran yang datang sesuai dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah meski disampaikan oleh orang Yahudi
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergembira dan tertawa karena membenarkan apa yang terdapat dalam Taurat itu sesuai dengan yang ada dalam al-Qur’ânul Karî
- Pada hari Kiamat langit dan bumi akan dilipat dengan tangan kanan Allâh Yang Mahamulia.
- Orang-orang Yahudi, Nasrani, kaum Musyrikin mereka tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dengan pengagungan yang benar.
- Orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , orang-orang yang mentakwil/mentahrif sifat-sifat Allâh, pada hakikatnya mereka tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dengan pengagungan yang benar.
- Allâh Azza wa Jalla pencipta seluruh makhluk dan hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa sementara seluruh kekuasaan makhluk itu akan binasa.
- Wajib menetapkan Allâh Azza wa Jalla itu Maha Tinggi dan Allâh bersemayam di atas ‘Arsy sebagai bantahan kepada Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah.
- Menetapkan ilmu-Nya Allâh Azza wa Jalla yang meliputi segala sesuatu bahwa tidak ada satu pun yang terluput bagi Allâh Azza wa Jalla di langit dan di bumi.
- Wajib mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan juga dalam nama dan sifat-sifat-
- Allâh yang Mahabesar yang menciptakan seluruh makhluk maka Allâh Azza wa Jalla satu-satunya yang wajib diibadahi. Hanya Allâh Azza wa Jalla saja yang dapat menghidupkan, mematikan, memberikan manfaat, menolak bahaya, memberikan rrizki, dan mengumpulkan seluruh makhluk di hadapan-Nya pada hari Kiamat.
- Keagungan Allâh Azza wa Jalla dan kebesaran-Nya semestinya menimbulkan kecintaan, ketundukan, rasa hina, rasa takut, dan berharap hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang wajib diibadahi dengan ikhlas dan benar.
MARAAJI’ :
- al-Qur’ân dan terjemahnya
- Tafsir ath-Thabari
- Tafsir Ibnu Katsîr
- Kutubus Sittah
- Musnad Imam Ahmad, dan kitab-kitab hadits lainnya
- ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
- Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlus Sunnah wal Jama’ah
- Kitâbut Tauhid, karya Muhammad bin Ishaq bin khuzaimah. Tahqiq: Samir Az-Zuhairi
- Kitâbul Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqi
- Majmû’ Fatâwâ, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
- Ijtimâ’ul Juyûsy al-Islâmiyyah ‘ala Ghazwil Mu’ath-thilah wal Jahmiyyah, karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah
- Fathul Bâri, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
- Mukhtashar al-‘Uluww lil ‘Aliyyil ‘Azhîm, karya Imam adz-Dzahabi
- Fathul Majîd Syarah Kitâbut Tauhîd, karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
- I’ânatul Mustafîd Syarah Kitâbut Tauhîd, karya Syaikh DR. Shaleh bin Fauzan al-Fauzan
- Dan kitab-kitab lainnya
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6491), Muslim (no. 131 [207]) dan Ahmad (I/310, 361).
Dalam riwayat Muslim (no. 131 [208]), dibagian akhir hadits ini ada tambahan :
وَ مَحَاهَا اللهُ ، وَلَا يَـهْلِكُ عَلَـى الله إِلَّا هَالِكٌ
Dan Allâh Azza wa Jalla menghapusnya dan tidak ada yang binasa kecuali orang yang binasa.
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas banyak sekali. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat :
إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ
Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan).’”[1]
Dalam riwayat Muslim, disebutkan:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا ، وَإِذَا تَـحَدَّثَ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّـئَةً ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْهَا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ بِمِثْلِهَا. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَتِ الْـمَلَائِكَةُ : رَبِّ ، ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيْدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً (وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ) فقَالَ : اُرْقُبُوْهُ ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، إِنَّمَـا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَكُلُّ سَيِّـئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا حَتَّى يَلْقَى اللهَ.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ’Jika hamba-Ku berniat mengerjakan kebaikan, maka Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, Aku menuliskan baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat mengerjakan kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai satu kesalahan yang sama.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Para malaikat berkata, ’Wahai Rabb-ku, itu hamba-Mu ingin mengerjakan kesalahan –Dia lebih tahu tentang hamba-Nya-.’ Allâh berfirman, ’Pantaulah dia. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, tulislah sebagai satu kesalahan yang sama untuknya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut, tulislah sebagai kebaikan untuknya, karena ia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.’” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dikerjakannya ditulis dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat dan setiap kesalahan yang dikerjakannya ditulis dengan satu kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allâh.”[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ : اَلْـحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ ، فَإِنَّهُ لِـيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِـيْ…
Setiap perbuatan anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku …’”[3]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :
يَقُوْلُ اللهُ : مَنْ جَاءَ بِالْـحَسَنَةِ ، فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِـهَا وَ أَزِيْدُ ، وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ ، فَجَزَاؤُهُ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ، أَوْ أَغْفِرُ.
Allâh berfirman, ‘Barangsiapa mengerjakan kebaikan, ia berhak atas sepuluh kebaikan yang sama dan Aku tambahkan (kebaikan kepadanya). Dan barangsiapa mengerjakan kesalahan, balasannya ialah kesalahan yang sama atau Aku mengampuninya.’”[4]
Dan dari Anas Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً ، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، لَـمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا ، كُتِبَتْ سَيِّـئَةً وَاحِدَةً.
Barangsiapa menginginkan kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka satu kebaikan ditulis untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, maka sepuluh kebaikan ditulis baginya. Dan barangsiapa menginginkan kesalahan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis apa-apa baginya. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu kesalahan baginya.[5]
SYARAH HADITS
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Wahai saudaraku –semoga Allâh memberikan petunjuk kepada kita semua-, lihatlah betapa sempurna kelemahlembutan Allâh Azza wa Jalla ! Renungilah untaian kalimat-kalimat ini. Sabda beliau : عِنْدَهُ (di sisi-Nya) mengisyaratkan perhatian Allâh terhadap amalan hamba. Kata : كَامِلَةً (sempurna) berfungsi sebagai penegas dan menunjukkan perhatian Allâh yang besar terhadapnya.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang keburukan yang diniatkan oleh seorang hamba namun ditinggalkannya : كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (Maka Allâh Azza wa Jalla mencatatnya sebagai satu kebaikan sempurna). Beliau menguatnya dengan kata “Kamilah” (sempurna). Sedangkan jika ia tetap melakukan keburukan itu, maka Allâh mencatatnya sebagai satu keburukan. Di sini, kecilnya balasan dikuatkan dengan kata “wahidah” (satu) bukan dengan kata “kaamilah”..”[6]
Hadits-hadits di atas menjelaskan tentang penulisan kebaikan dan kesalahan, serta penulisan terhadap keinginan mengerjakan kebaikan dan kesalahan. Jadi, di sini ada empat point :
Pertama : Mengerjakan kebaikan
Balasan kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali hingga tujuh ratus kali kebaikan bahkan sampai tak terhingga. Pelipatgandaan satu kebaikan menjadi sepuluh, berlaku bagi seluruh kebaikan. Ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Barangsiapa berbuat kebaikan, maka dia mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya.” [al-An’âm/6:160]
Adapun balasan yang lebih dari sepuluh kali lipat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allâh seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai ada seratus biji. Allâh melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Maha luas, Maha Mengetahui.” [al-Baqarah/2:261]
Ayat ini menunjukkan bahwa infak di jalan Allâh dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat.
Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Ada seseorang datang dengan membawa untanya yang sudah diberi tali kendali, kemudian orang itu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Unta ini untuk berjuang di jalan Allâh.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari Kiamat, engkau berhak mendapat unta sebanyak tujuh ratus ekor. Semuanya sudah diberi tali kendali (memiliki cap (tanda).’”[7]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang firman Allâh dalam hadits Qudsi, “Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya,” menunjukkan bahwa pelipatgandaan pahala puasa tidak diketahui kecuali oleh Allâh Azza wa Jalla , karena puasa adalah sabar yang paling baik. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “…Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]
Pelipatgandaan balasan kebaikan menjadi lebih dari sepuluh itu sesuai dengan kwalitas keislaman seseorang. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Balasan itu juga sesuai dengan keikhlasan, keunggulan suatu amalan dan kebutuhan.
Kedua : Mengerjakan kejahatan atau keburukan
Satu keburukan ditulis satu keburukan tanpa dilipatgandakan, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “…Dan barangsiapa berbuat kejahatan, maka dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi).” [al-An’âm/6:160]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ”Maka ditulis untuknya satu kesalahan,” menunjukkan bahwa kesalahan tidak dilipatgandakan. Namun terkadang sebuah kesalahan bisa menjadi besar disebabkan kehormatan waktu dan tempat perbuatan buruk itu dilakukan, seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allâh ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allâh pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” [at-Taubah/9:36]
Tentang ayat di atas, Qatâdah t menjelaskan, ”Ketahuilah ! Kezhaliman di bulan-bulan haram itu lebih besar dosanya daripada di bulan-bulan lainnya, kendati kezhaliman di setiap kondisi itu tetap besar, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganggap besar apa yang dikehendaki-Nya.”[8]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq) dan bertengkar (dalam melakukan ibadah) haji…” [al-Baqarah/2:197]
Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhuma berkata, ”Fusuq pada ayat di atas maksudnya melakukan perbuatan maksiat; baik dengan berburu atau lainnya (di tanah haram-red).”[9] Dalam kesempatan lain, Ibnu ’Umar c juga menjelaskan, ”Fusuq maksudnya melakukan perbuatan maksiat di tanah haram (Makkah).”[10]
Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “…Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya (masjidil Haram-red), niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” [al-Hajj/22:25]
Banyak shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berusaha tidak tinggal di tanah haram (Makkah) karena khawatir berbuat dosa di sana, misalnya, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu. Hal yang sama dilakukan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Radhiyallahu anhu.
Sebuah kesalahan terkadang dilipatgandakan balasannya disebabkan pelakunya orang terpandang, banyak tahu tentang Allâh dan dekat kepada-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam akan melipatgandakan balasan kemaksiatan jika dilakukan oleh para hamba pilihan-Nya, padahal Allâh Azza wa Jalla telah menjaga mereka dari kemaksiatan tersebut. Pemberian ancaman ini bertujuan untuk menampakkan betapa agung nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka yang telah menjaga mereka dari berbagai berbuatan maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscya engkau hampir saja condong kepada mereka, jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” [al-Isrâ’/17:74-75]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan-perbuatan keji yang nyata, niscaya adzabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allâh. Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebaikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya. Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [al-Ahzâb/33:30-32]
‘Ali bin al-Husain rahimahullah menafsirkan bahwa keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Bani Hâsyîm juga seperti istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedekatan mereka dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [11]
Ketiga: Berniat mengamalkan kebaikan
Niat ini ditulis sebagai satu kebaikan sempurna, walaupun pelakunya tidak mengerjakannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , riwayatkan Muslim disebutkan :
إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ
Jika hamba-Ku berniat ingin mengerjakan kebaikan, maka Aku menulis satu kebaikan baginya.
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahadduts yaitu haditsunnafsi (niat) kuat yang disertai ambisi untuk beramal. Jadi, tidak hanya sekedar bisikan hati yang kemudian hilang tanpa semangat dan tekad untuk beramal.[12]
Jika niat sudah disertai perkataan dan usaha, maka balasan sudah pasti diraih dan orang itu sama seperti orang yang melakukan, seperti diriwayatkan dari Abu Kabsyah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :
إِنَّمَـا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ : عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًـا فَهُوَ يَـتَّـقِيْ فِيْهِ رَبَّـهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْـهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ.وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًـا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِـّـيَّـةِ يَقُوْلُ : لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِـيَّـتِـهِ فَأَجْرُهُـمَـا سَوَاءٌ , وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ يَـخْبِطُ فِـي مَالِـهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِـيْـهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ للهِ فِـيْـهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ , وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْـهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْـهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَـا سَوَاءٌ
Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang : (pertama) hamba yang Allâh berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi, dan ia menyadari bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Inilah kedudukan paling baik (di sisi Allâh). (kedua) hamba yang Allâh berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya sama. (ketiga) hamba yang Allâh berikan harta namun tidak diberikan ilmu, lalu ia menggunakan hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dan tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Ini adalah kedudukan paling jelek (di sisi Allâh). Dan (keempat) hamba yang tidak Allâh berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, keduanya mendapatkan dosa yang sama.”[13]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ”Maka pahala keduanya sama,” maksudnya sama dalam hal ganjaran pokok (balasan niat-red) dan tidak sama dalam pelipatgandaan ganjaran. Karena pelipatgandaan balasan kebaikan hanya khusus diberikan bagi orang yang sudah mengerjakannya, bukan yang sekedar meniatkannya. Jika keduanya disamakan dalam segala hal, maka ini tidak sesuai dengan hadits-hadits yang ada. Ini juga ditunjukkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allâh dengan harta dan jiwanya. Allâh melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allâh menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripadanya, serta ampunan dan rahmat. Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [an-Nisâ’/4:95-96]
Ibnu ’Abbas Radhiyallahu anuma dan lain-lain mengatakan, ”Orang-orang yang duduk (tidak ikut perang) yang berbeda satu derajat dengan mujahidin ialah orang-orang yang tidak ikut perang karena mempunyai udzur, sedang orang-orang yang tidak ikut perang tanpa memiliki udzur berbeda banyak derajat dengan para mujahidin.”[14]
Keempat : Berniat melakukan keburukan, tetapi tidak dierjakan
Dalam hadits Ibnu ’Abbas Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa orang yang berniat melakukan keburukan namun tidak dikerjakannya, maka itu ditulis sebagai satu kebaikan yang sempurna. Hal yang sama disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, ”Dia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.”[15] Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadits itu ialah orang yang mampu mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan namun kemudian ia tinggalkan karena Allâh Azza wa Jalla . Untuk orang seperti ini, pasti dituliskan baginya sebagai kebaikan. Sebab, meninggalkan maksiat karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan amal shalih.
Adapun orang yang berniat mengerjakan maksiat kemudian meninggalkannya karena takut kepada manusia atau karena riya’, maka ada yang berpandangan ia tetap disiksa. Karena mendahulukan takut kepada manusia daripada takut kepada Allâh itu hukumnya haram. Begitu juga bermaksud riya’. Jadi, jika seseorang meninggalkan maksiat karena riya’, ia tetap disiksa.
Adapun orang yang berusaha mengerjakan kemaksiatan dengan segenap tenaganya kemudian dihalang-halangi takdir, maka sejumlah ulama menyebutkan bahwa ia disiksa karenanya, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari keburukan yang mereka bisikkan ke jiwa mereka selagi mereka tidak mengucapkannya atau mengerjakannya.[16]
Barangsiapa berniat dan mengerahkan kemampuannya untuk mengerjakan kemaksiatan kemudian tidak mampu mengerjakannya, maka ia termasuk orang yang telah mengerjakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا الْتَقَى الْـمُسْلِمَـانِ بِسَيْفَيْهِمَـا ، فَالْقَاتِلُ وَالْـمَقْتُوْلُ فِـي النَّارِ. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! هَذَا الْقَاتِلُ ، فَمَـا بَالُ الْـمَقْتُوْلُ ؟ قَالَ : إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang terbunuh tempatnya di neraka.” Aku (Abu Bakrah) berkata, “Wahai Rasulullah ! Ini (berlaku) bagi pembunuh, bagaimana dengan orang yang dibunuh ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya ia ingin sekali membunuh sahabatnya tersebut.”[17]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Selagi mereka tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” menunjukkan bahwa orang yang berniat melakukan maksiat, jika ia sudah mengutarakan keinginnnya itu dengan lisan, berarti ia berdosa karena ia telah berlaku maksiat dengan salah satu organ tubuhnya, yaitu lidahnya. Ini juga diperkuat dengan hadits yang menjelaskan tentang orang yang berkata, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa yang dikerjakan si fulan (yang bermaksiat kepada Allâh dengan hartanya),” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua-duanya sama dalam dosa”
Ada sebagian orang berpendapat bahwa dia tidak berdosa dengan sebab mengutarakan keinginan buruknya, selama maksiat yang diinginkan itu tidak berbentuk ucapan haram seperti ghibah, dusta dan lain sebagainya. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْ
Jika hamba-Ku berniat mengerjakan keburukan, maka Aku ampuni dia selama ia belum mengerjakannya
Pendapat ini tidak kuat, karena kalimat tahaddatsa dalam hadits itu maksudnya bisikan hati, bukan ucapan lidah. Ini untuk menggabungkan pengertian hadits ini dengan hadits, “Selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya.”
Hadits Abu Kabsyah di atas juga menegaskan hal ini[18]. Karena ucapan, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan kemaksiatan seperti yang dikerjakan si fulan,” bukanlah maksiat yang ia inginkan, namun ia hanya mengutarakan maksiat yang ia inginkan, yaitu ingin menggunakan harta untuk maksiat, padahal ia tidak mempunyai harta sedikit pun. Jadi, mengatakan keinginan seperti itu diharamkan.
Namun yang dimaksud pembicaraan di hadits tersebut adalah pembicaraan hati. Ini sebagai penggabungan antara hadits tersebut dengan hadits, “Selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya.” Hadits Abu Kabsyah menegaskan hal ini bahwa ucapan seseorang, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan kemaksiatan di dalamnya seperti yang dikerjakan si fulan,” itu bukan mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan, namun ia menjelaskan tentang apa yang ia inginkan, yaitu menggunakan harta pada kemaksiatan-kemaksiatan, padahal ia tidak mempunyai harta sedikit pun. Selain itu, mengatakan keinginan seperti itu diharamkan, jadi bagaimana pembicaraan seperti itu dimaafkan dan tidak disiksa karenanya?
Bagaimana jika niatnya berbuat maksiat melemah ?
Jika niat seseorang hilang dan tekadnya melemah tanpa ada faktor dari dirinya, apakah ia tetap disiksa karena kemaksiatan yang ia inginkan atau tidak ? Dalam hal ada dua masalah :
Pertama, Jika keinginan untuk mengerjakan maksiat itu hanya berupa lintasan (bisikan jiwa) yang muncul tanpa digubris oleh pelakunya dan ia tidak membiarkannya dalam hatinya, bahkan ia membencinya dan berusaha menghindarinya, maka keinginan tersebut dimaafkan, tidak berdosa. Keinginan ini seperti waswas jelek yang pernah ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ صَرِيْحُ الْإِيْمَـانِ
Itulah hakikat iman[19]
Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ
“…Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allâh memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki…” (al-Baqarah/2:284), kaum muslimin merasa resah, karena mereka mengira bisikan-bisikan hati masuk dalam cakupan ayat di atas. Kemudian turunlah ayat sesudahnya, yang diantaranya yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
… Wahai Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya… [al-Baqarah/2:286]
Ayat ini menjelaskan, apa saja yang tidak sanggup mereka kerjakan maka mereka tidak akan dibebani dan tidak disiksa karenanya.
Kedua : keinginan berbuat maksiat itu sudah menjadi tekad kuat, terus bergelora dan disenangi pelakunya. Ini juga terbagi ke dalam dua bagian :
Menginginkan sesuatu yang merupakan perbuatan hati, seperti ragu tentang keesaan Allâh, atau kenabian, atau hari kebangkitan dan lain sebagainya. Sekedar menginginkan masalah-masalah ini, seseorang sudah terkena dosa dan akan disiksa. Dan ini menyebabkan dia murtad, kafir atau munafik.
Masuk dalam cakupan poin ini yaitu seluruh kemaksiatan yang biasanya dikerjakan hati, misalnya mencintai apa saja yang dibenci Allâh Azza wa Jalla , membenci apa saja yang dicintai Allâh, sombong, ujub, dengki, dan buruk sangka kepada seorang muslim tanpa alasan yang benar. Meski tidak menjadikannya kafir tapi ia telah melakukan dosa besar.
Menginginkan sesuatu yang merupakan perbuatan organ-organ tubuh bukan hati, misalnya zina, mencuri, menenggak minuman keras, membunuh, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan lain sebagainya. Jika seseorang terus menerus menginginkan perbuatan tersebut, bertekad mengerjakannya, namun pengaruhnya tidak terlihat sama sekali secara fisik, apakah dia berdosa ? Tentang ini, para Ulama terbagi dua pendapat :
Pendapat pertama, Orang tersebut disiksa. Ibnul Mubârak rahimahullah mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Sufyân rahimahullah, “Apakah seseorang disiksa karena niat dan keinginannya?” Sufyân menjawab, “Jika keinginan tersebut sudah menjadi tekad, maka dia disiksa karenanya.”
Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan ,”Pendapat ini dipilih oleh banyak Ulama ahli fiqih, Ulama hadits dan ahli kalam dari sahabat-sahabat kami dan yang lainnya. Mereka berhujjah dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “…Ketahuilah bahwa Allâh mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…” [al-Baqarah/2:235]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ““… Tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu…” [al-Baqarah/2:225]
Dan mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Dosa ialah sesuatu yang menggelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka hal itu diketahui orang[20]
Mereka menafsirkan kata haddatsa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari apa yang diinginkan jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” dengan lintasan (bisikan) hati.
Mereka berkata, “Maksiat yang disenangi oleh seseorang dan tertanam dalam hati, maka itu termasuk usaha dan perbuatannya. Ia tidak dimaafkan.”
Di antara mereka ada yang berkata, “Di dunia, orang tersebut disiksa dengan kesedihan dan kegalauan.” Ada lagi yang mengatakan bahwa pada hari Kiamat, Allâh menghisabnya karena perbuatan tersebut kemudian memaafkannya. Jadi hukuman orang tersebut ialah dihisab.” Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu dan ar-Rabi’ bin Anas Radhiyallahu anhu . Itu juga dipilih Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah . Ibnu Jarir ath-Thabari radhiyallahu anhu berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu tentang bisik-bisik. Beliau berkata, “Hadits tersebut tidak berlaku umum, berlaku bagi dosa-dosa yang tidak terlihat di dunia dan bukan waswas di dada.”
Pendapat kedua, orang yang berniat itu tidak disiksa sama sekali hanya karena niatnya. Imam Ibnu Rajab t mengatakan, “Pendapat ini dinisbatkan ke Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Ini pendapat Ibnu Hamid, salah seorang dari sahabat kami, karena berhujjah dengan keumuman hadits (diatas). Perkataan yang sama diriwayatkan al-Aufi dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu .
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Abbâs dalam riwayat Muslim, “Atau Allâh menghapusnya”, maksudnya, perbuatan dosa itu bisa saja ditulis sebagai satu kesalahan untuk pelakunya, atau bisa juga dengan sebab tertentu Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghapusnya dari siapa yang Dia kehendaki, misalnya dengan sebab istighfar, taubat, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu, “Dan tidak ada yang dibinasa kecuali orang yang binasa“, maksudnya, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan karunia-Nya yang besar dan rahmat-Nya yang luas dengan melipatgandakan balasan kebaikan serta memaafkan kesalahan, maka tidak ada yang binasa kecuali orang yang binasa, yang menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan, berani melakukan dosa-dosa, membenci dan menjauhi berbagai amal kebaikan.
Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).
Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan, “ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya[1]. Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya[2].
Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya[3]. Al-Azhari mengatakan:
رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ
“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.[4]”
Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.
Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai[5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”
Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil[6].”
Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.
Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah “اَلتِّكْلاَنُ”[8].
Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri[9]. Dan terkadang keduanya bersatu.
Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya[10].”
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:
Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.
Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut[11].
Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.
Pengertian Secara Istilah.
Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.
Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal[12].”
Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.
Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.
Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah[13]”.
Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk[14]”
Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya kepada-Nya”[15].
‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi[16] mengatakan, “Saya melihat tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah[17]”
Syaqiq bin Ibrahim[18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla[19].”
Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”
Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji[20] mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan kekuatan orang sepertimu[21].”
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada kebaikan pengelolaan-Nya[22].”
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan[23].”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu, memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’”[24]
Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan, “Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.”[25]
Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi. Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas apa yang dia sandarkan pada-Nya[26].”
Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.
1. Kesalahan Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.
Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah
Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [An-Nahl 36]
Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah k saja tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.
2. Istihzaa’ (Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.
Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]. Berdasarkan dalil.
قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah,”Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [At-Taubah: 65-66]
Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.
3. Ungkapan Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.
Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah.
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [Al-Furqan: 2]
Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset. [3]
4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.
Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Al-Mulk : 2]
Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. -tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian
5. Mengeluh Dan Mencela Waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth Alaihissallam.
هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
Ini adalah hari yang amat sulit.. [Huud : 77]
Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil.
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. [Al-Faathir : 13]
Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan. [4]. Dalilnya.
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ“ هُوَ الدَّهْرُ
Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.
Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang dan malam. [HR. Muslim 5862]
Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan [5]
6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”
Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau berkata.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta dan kehormatannya. [Shahih Muslim 2564]
Baca Juga Bagaimana Kita Bersikap Terhadap Para Wali
Begitulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan begini”
Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” [HR. Muslim]
Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai berikut:
a). Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu !”
b). Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan disunnahkan. Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam yang masyhur.
إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعِ نَفَرٍ فَذَكَرَ رَجُلَيْنِ : رَجُلاً أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ رَجُلاً لَمْ يُؤْتِهِ مَالاً لَكِنَّهُ يَقُوْلُ : لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ فُلاَنٍ لَفَعَلْتُ مِثْلَ مَا فََعَلَ قَالَ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ فِي اْلأَجْرِ سَوَاءٌ
Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah k lalu ia menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal. [Shahih Jami’ 3024]
c). Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.
8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.
Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. [Ar-Rahman : 26-27]
Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
9. Salah memahami ‘Ibadah’.
Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيمَانِ
Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman. [HR. Muslim]
Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan syari’at)
10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya. Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ
Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim. [Luqman : 34]
Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan keimanan.
Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut. Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. [HR. Bukhari]
Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya, walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.
11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.
Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. [6]
12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah.
لاَيَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ
Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a. [Dihasankan oleh Al-Albani]
Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” [HR Tirmidzi]
Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan oleh Allah.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Rabbmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. [Ghaafir : 60]
Baca Juga Iman Kepada Hari Kemudian
13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab, “Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas dengan firman Allah.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya [Al-An’am: 116]
Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.
14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.
Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi, seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah.
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah: 22]
Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.
Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih gRadhiyallahu ‘anhum.
15. Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.
اللهُ أَعْلَمَ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n secara umum,
مَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ الله أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيْدٌ
Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.
Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz من menunjukkan keumuman, bukan ta’yin (pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid Fulan.”
16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.
17. Penulisan ص atau SAW untuk mempersingkat صلى الله عليه وسلم
Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
Barangsiapa bershalawat kepadaku n satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. [Abu Daud]
Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.
18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”
Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Azza wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’laiahi wa asallam,
لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ
Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” [Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].
Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah ( khat ) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.
19. Mencaci-Maki Syetan.
Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi n ,
لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ
Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya. [As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya]
Dan hadits yang lain.
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka terantuklah tungganganya.” Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau n bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.” [Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237] [7]
Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah Azza wa Jalla.
20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar. [HR. Bukhari 5757, Muslim 2220]
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan terjadi.
Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin.
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta yang saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Maka untuk terhindar dari golongan orang-orang yang merugi, pada kesempatan kali ini kita saling mengingatkan tentang suatu perkara besar yang sangat berbahaya bagi seseorang, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu tentang perbuatan zalim.
Pembahasan tentang perbuatan zalim ini menjadi lebih penting lagi ketika kita berbicara tentang kezaliman yang dilakukan terhadap sesama manusia. Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah pernah berkata,
إِنَّكَ أَنْ تَلْقَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِسَبْعِينَ ذَنْبًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ أَهْوَنُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْ تَلَقَّاه بِذَنْبٍ واحِدٍ فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ العِبادِ
“Sesungguhnya engkau bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla dengan membawa tujuh puluh dosa antara engkau dengan Allah itu lebih ringan daripada engkau bertemu Allah dengan membawa satu dosa antara engkau dengan seorang hamba yang lain.”
Perkataan Sufyan Ats-Tasuri rahimahullah ini menjelaskan bahwasanya berbuat dosa kepada Allah ﷻ lebih ringan dari berbuat kezaliman kepada orang lain. Seseorang yang berbuat dosa terhadap Allah ﷻ bisa saja mendapatkan ampunan oleh Allah ﷻ. Akan tetapi, ketika dia berbuat dosa terhadap orang lain, maka asalnya adalah orang yang dizalimi akan menuntut pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya, setiap kita seharusnya waspada terhadap kezaliman, jangan sampai kita meninggal dunia dalam kondisi berbuat kezaliman kepada orang lain.
Disebutkan dalam sebuah riwayat ada seseorang yang meminta nasihat kepada Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Orang tersebut mengirim surat meminta kepada Ibnu ‘Umar untuk menuliskan kepadanya seluruh ilmu. Maka Ibnu ‘Umar pun membalas suratnya dengan berkata,
إِنَّ العِلْمَ كَثيرٌ، وَلَكِنْ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَلْقَى اللَّهَ خَفيفَ الظَّهْرِ مِنْ دِمَاءِ النّاسِ، خَميصَ البَطْنِ مِنْ أَمْوالِهِمْ، كَافَ اللِّسانِ عَنْ أَعْرَاضِهِمْ، لَازِمًا لِأَمْرِ جَماعَتِهِمْ، فَافْعَلْ
“Sesungguhnya ilmu itu banyak. Akan tetapi, jika engkau mampu untuk bertemu dengan Allah dalam kondisi tidak menanggung darah manusia, dalam kondisi perutmu kosong dari harta mereka, dalam kondisi engkau menjaga lisanmu dari menjatuhkan harga diri mereka, dan engkau tidak memberontak dari jemaah kaum muslimin, maka lakukanlah.”
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini juga merupakan penjelasan yang sangat mendalam, bahwasanya bertemu dengan Allah ﷻ dalam kondisi tidak menzalimi orang lain adalah yang terbaik, yang seharusnya diraih oleh seorang hamba. Imam Syafi’i rahimahullah juga pernah berkata,
بِئْسَ الزَّادُ إِلَى الْمَعَادِ العُدْوَانُ عَلَى العِبَادِ
“Seburuk-buruk bekal untuk bertemu hari kiamat adalah berbuat zalim kepada hamba-hamba Allah.”
Dari penjelasan-penjelasan inilah kemudian kita merasa perlu untuk membahas tentang makna zalim dan berbagai macam model-modelnya, agar kita bisa menghindari perbuatan zalim seluruhnya, semaksimal mungkin.
Makna Zalim
الظُّلْم ‘kezaliman’ secara bahasa maknanya adalah وَضْعُ الشَّيْء فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ, yaitu meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Lawan dari kezaliman adalah الْعَدْل ‘keadilan’, yang maknanya adalah وَضْعُ الشَّيء فِي مَحَلِّهِ ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’.
Definisi ini merupakan definisi yang lebih kompleks dari kezaliman. Sebab sebagian orang memahami kezaliman dengan perilaku melukai orang dan yang semisalnya, padahal kezaliman lebih luas daripada hanya sekadar perilaku melukai orang lain.
Bentuk-bentuk kezaliman
Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam sebuah riwayat yang sahih,
الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثَةٌ: دِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ: فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ، فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ} وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا: فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرَكَهُ، أَوْ صَلَاةٍ تَرَكَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَغْفِرُ ذَلِكَ وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ، وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا: فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، الْقِصَاصُ لَا مَحَالَةَ
“Catatan-catatan yang ada disisi Allah ‘Azza wa Jalla ada tiga macam; catatan yang tidak Allah peduli sama sekali, catatan yang tidak Allah tinggalkan darinya sedikit pun, dan catatan yang Allah tidak akan mengampuninya. Adapun catatan yang tidak akan diampuni oleh Allah, yaitu syirik kepada Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka pasti Allah akan mengharamkan surga untuknya (QS. Al-Maidah: 72). Sedangkan catatan yang tidak dipedulikan oleh Allah adalah kezaliman seorang hamba terhadap dirinya dan antara dia dengan Rabbnya, dari puasa sehari yang ia tinggalkan maupun shalat yang tidak ia lakukan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuninya dan akan lebih mengampuninya jika Dia berkehendak. Sedangkan catatan yang tidak akan Allah tinggalkan adalah kezaliman seorang hamba antara ia dengan sesamanya, yaitu kisas yang tidak pada tempatnya.”
Dari hadis tersebut, maka kita bisa membagi kezaliman memiliki tiga bentuk.
- الظُّلْم فِي حَقِّ الله – Kezaliman pada hak Allah
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ
“Catatan yang tidak diampuni oleh Allah.”
Yaitu maksudnya adalah perbuatan syirik terhadap Allah ﷻ, sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad ﷺ dalam hadis tersebut.
Zalim terhadap Allah bukan maksudnya kita benar-benar berbuat mudarat terhadap Allah, sebab Allah ﷻ telah berkata dalam hadis qudsi,
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي
“Wahai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mudarat sedikit pun kepada-Ku, tetapi kalian merasa dapat melakukannya.”
Akan tetapi, maksud dari syirik kepada Allah merupakan bentuk kezaliman terhadap Allah ﷻ adalah melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu tidak tepat jika seseorang melakukan kesyirikan terhadap Allah ﷻ. Oleh karenanya, Luqman berkata kepada putranya,
يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Mengapa dikatakan syirik sebagai kezaliman yang paling besar? Karena seseorang yang berbuat syirik telah mengambil tandingan bagi Allah ﷻ, padahal yang menciptakan dirinya adalah Allah ﷻ. Sesungguhnya yang memberikan nikmat kepada kita hanyalah Allah ﷻ. Allah ﷻ yang memberikan alam semesta, Allah ﷻ yang memberikan kesehatan, Allah ﷻ yang memberikan rezeki, dan semua pemberian di dunia ini dari Allah ﷻ. Lantas, ketika secara tiba-tiba kita beribadah kepada selain Allah, baik ibadah tersebut berupa doa, menyembelih, atau bahkan shalat, maka kita telah terjatuh dalam kesyirikan, karena ibadah tersebut seharusnya hanya ditujukan untuk Allah ﷻ.
Di antara bentuk syirik adalah seseorang yang beribadah kepada Allah dan kepada nabi sekaligus, seperti orang Nasrani. Demikian pula seperti orang yang beribadah kepada malaikat, beribadah pohon, beribadah kepada batu, beribadah mayat-mayat, dan yang lainnya. Segala bentuk kesyirikan inilah yang tidak akan diampuni oleh Allah ﷻ, selama hamba tersebut belum bertaubat kepada-Nya sampai dia meninggal dunia. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ، وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
“Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan hingga mereka mati, dan tidak diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami (dari neraka), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan, yang berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu.’ (Dikatakan kepada mereka), ‘Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim (yang berbuat syirik) tidak ada seorang penolong pun’.” (QS. Fatir: 36-37)
Bahkan, ketika para pelaku kesyirikan meminta keringanan siksaan, ternyata Allah ﷻ memberikan tambahan siksaan bagi mereka. Oleh karenanya, ayat yang paling ditakuti oleh orang-orang kafir adalah firman Allah ﷻ dalam surah An-Naba’,
فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
“Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab.” (QS. An-Naba’: 30)
- الظُّلْم عَلَى النَّفْسِ – Kezaliman terhadap diri sendiri
Berbuat zalim terhadap diri sendiri disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ,
دِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا
“Catatan yang tidak Allah peduli sama sekali.”
Di antara bentuk kezaliman terhadap diri sendiri adalah bermaksiat kepada Allah ﷻ. Mengapa demikian? Karena sudah seharusnya seseorang menghargai diri dan jiwanya sendiri. Seseorang seharusnya menjadikan dirinya taat kepada Allah ﷻ agar di dunia bisa mendapatkan kebahagiaan, dan di akhirat mendapatkan surga. Maka, ketika seseorang berbuat zalim, maka sejatinya dia telah menzalimi dirinya sendiri. Allah ﷻ berfirman,
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
“Dan Kami tidak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (QS. Hud: 101)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا هُمُ الظَّالِمِينَ
“Dan tidaklah Kami menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (QS. Az-Zukhruf: 76)
Ketika seseorang beriman kepada Allah ﷻ, tidak bermaksiat, maka hidupnya di dunia akan tenteram. Selain itu, dia juga akan tenteram ketika di alam barzakh hingga ketika dibangkitkan pada hari kiamat, dan akhirnya dimasukkan ke dalam surga. Akan tetapi, ketika seseorang bermaksiat kepada Allah ﷻ dengan mengikuti hawa nafsunya, maka sesungguhnya dia telah menzalimi dirinya dengan menjadikan dirinya sengsara di dunia, sengsara di alam barzakh, dan sengsara di akhirat.
Kezaliman terhadap diri sendiri ini berkaitan dengan Allah ﷻ. Ada banyak bentuk-bentuk kezaliman terhadap diri sendiri ini. Namun, jika kita ingin merangkum seluruhnya, maka bentuk tersebut hanya dua, yaitu meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah ﷻ perintahkan untuk dikerjakan, dan menjalankan larangan yang Allah ﷻ perintahkan untuk dijauhi.
Para ulama menyebutkan bahwasanya hukum asal zalim terhadap diri sendiri adalah akan diampuni oleh Allah ﷻ karena asalnya Allah ﷻ Maha Pengampun. Akan tetapi, pengampunan tersebut kembali kepada Allah ﷻ, apakah Dia berkehendak untuk mengampuni atau tidak.
- الظُّلْم عَلَى الْعِبَادِ – Kezaliman terhadap hamba Allah yang lain
Kezaliman seseorang terhadap hamba yang lain ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا
“Catatan yang tidak Allah tinggalkan darinya sedikit pun.”
Kezaliman jenis ini jauh lebih berbahaya daripada kezaliman terhadap diri sendiri. Dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwasanya kezaliman yang Allah tidak akan ditinggalkan (dibiarkan) oleh Allah ﷻ adalah kezaliman yang berkaitan antara seorang hamba dengan hamba yang lain.
Kezaliman terhadap hamba Allah ﷻ yang lain bisa kita klasifikasikan menjadi tiga jenis kezaliman, yaitu kezaliman berkaitan dengan darah, kezaliman berkaitan dengan harta, dan kezaliman berkaitan dengan harga diri. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.”
Tiga perkara ini, menumpahkan darah tanpa hak, merampas harta orang lain, dan menjatuhkan harga diri orang lain adalah bentuk kezaliman yang sudah seharusnya untuk dijauhi.
- Kezaliman berkaitan dengan darah
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ
“Perkara yang pertama kali yang Allah sidang di antara manusia kelak pada hari Kiamat adalah masalah darah.”
Kelak, pada hari kiamat seseorang yang telah dizalimi berkaitan dengan darah akan datang menggandeng tangan temannya di hadapan Allah ﷻ seraya berkata, “Ya Rabbku, si fulan dahulu di dunia telah membunuh saya.”
Perkara darah akan menjadi perkara yang paling pertama disidang oleh Allah ﷻ karena perkara tersebut sangatlah berbahaya, sebab di antara dosa besar adalah membunuh orang lain.
- Kezaliman berkaitan dengan harta
Terlalu banyak ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan bahaya dari memakan harta yang haram. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)
Orang yang mengurus anak yatim, namun tidak memberikan harta anak yatim sebagaimana yang seharusnya anak tersebut terima, maka dia telah berbuat zalim, dan harta yang dia masukkan ke dalam perutnya secara zalim tersebut akan menjadi api neraka baginya kelak.
Di antara bentuk kezaliman berkaitan dengan harta adalah memakan hasil riba. Ketika seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan sistem riba, maka riba yang dia makan adalah sebuah kezaliman. Allah ﷻ berfirman,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Jika kamu tidak melaksanakannya (meninggalkan riba), maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 279)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya riba itu adalah kezaliman, sehingga orang yang bertobat dari riba berhak atas pokok hartanya, dan mengembalikan riba yang telah dia terima. Seseorang yang telah bertobat dari riba, dia tetap boleh menagih kepada si peminjam selama pokok utangnya masih ada, dan dia tidak diperbolehkan lagi untuk menagih riba dari pinjaman tersebut, sebab mengambil riba merupakan kezaliman terhadap harta orang lain, dan riba telah jelas larangannya dalam Islam.
Selain itu, dalam hadis juga disebutkan tentang merampas tanah orang lain. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barang siapa mengambil sejengkal tanah saudaranya dengan zalim, niscaya Allah akan membuatnya memikul tujuh lapis bumi pada hari kiamat.”
Ancaman ini sungguh sangat mengerikan, bukan hanya dipikulkan lapisan terluar bumi, akan tetapi tujuh lapis bumi akan dipikulkan pada hari kiamat bagi orang yang mengambil tanah orang lain secara zalim. Sementara di zaman sekarang ini banyak kita dapati orang-orang yang dengan begitu mudah mengambil tanah orang lain dengan cara-cara yang zalim, sampai-sampai permasalahan mengambil tanah orang lain ini telah menjadi masalah umum yang sering terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, ingatlah bahwa perkara ini bukan perkara biasa, karena jika yang diambil sejengkal saja sudah mendapatkan ancaman yang begitu luar biasa, bagaimana lagi jika yang diambil secara zalim berhektar-hektar? Kemudian, ingatlah bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka untuknya, dan mengharamkan surga atasnya”. Maka seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, meskipun itu sesuatu yang sepele?’ Beliau menjawab, ‘Meskipun itu hanya satu siwak.”
- Kezaliman berkaitan dengan harga diri
Allah ﷻ telah berfirman dalam surah Al-Hujurat tentang larangan menghina orang lain, larangan gibah, dan yang semisalnya. Perbuatan-perbuatan tersebut Allah ﷻ namakan dengan kezaliman. Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 11-12)
Mengapa Allah ﷻ mengatakan bahwasanya yang mengolok-olok bisa jadi lebih baik dari pada yang diolok-olok? Para ulama menjelaskan, sebabnya adalah karena kebanyakan orang yang mengejek dan mengolok-olok itu terdapat kesombongan dalam dirinya. Ketahuilah bahwa jika seseorang mengejek orang lain, maka dia telah merendahkan orang lain, dan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa yang namanya kesombongan adalah merendahkan orang lain.Demikianlah, seseorang yang mengejek atau mengolok-olok orang lain itu tidak lain karena dia merasa tinggi dari yang lainnya. Oleh karenanya Allah ﷻ mengatakan,
عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ
“Boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Maka dari sini, benarlah firman Allah ﷻ bahwasanya yang mengolok-olok tidak jauh lebih baik dari yang diolok-olok, karena kesombongan akan membuat seseorang atau suatu kaum hina di hadapan Allah ﷻ. Oleh karenanya, orang yang sombong akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan ukuran sekecil semut, namun bentuknya manusia.
Kemudian, Allah ﷻ mengkhususkan penyebutan wanita, agar mereka tidak saling mengolok-olok dan mengejek antara wanita yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan ejek-mengejek di antara para wanita sangat dahsyat, karena banyak hal yang bisa menjadi bahan ejekan di antara mereka. Akan tetapi, Allah ﷻ menyebutkan bahwasanya bisa jadi yang diejek dan diolok-olok jauh lebih baik daripada yang mengejek dan mengolok-olok.
Setelah itu, Allah ﷻ juga memperingatkan tentang larangan saling mencela dan memberi orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Kemudian di akhir ayat tersebut Allah ﷻ menutup firmannya dengan menyatakan bahwa barang siapa yang tidak bertobat dari perbuatan itu semua, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim.
Setelah itu, Allah ﷻ memperingatkan untuk menjauhi persangkaan-persangkaan, dan jangan mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Hal ini tentu terjadi pada sebagian kita, di mana sebagian kita bahkan mengirim orang untuk mencari kesalahan-kesalahan orang lain, padahal kesalahannya tersebut tidak berkaitan dengan kemaslahatan kaum muslimin, akan tetapi dilakukan untuk dijadikan bahan perbincangan di tengah-tengah masyarakat, maka yang demikian tidak boleh. Kemudian, jangan pula seseorang saling gibah antara yang satu dengan yang lainnya.
Inilah beberapa perkara yang Allah ﷻ sebutkan dalam surah Al-Hujurat agar kita jauhi. Sesungguhnya perbuatan mengolok-olok, mengejek, namimah, gibah, merendahkan orang lain, itu semua adalah kezaliman yang berkaitan dengan harga diri seseorang. Ketahuilah bahwa muslim yang satu dengan yang lainnya itu asalnya saling mencintai, tidak boleh yang satu dengan yang lainnya saling menjatuhkan, bahkan kita harus bisa menjaga harga diri orang lain.
Di antara bentuk kezaliman berkaitan dengan harga diri seseorang adalah dengan menuduh wanita baik-baik dan mukminat sebagai wanita pezina. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman dengan tuduhan berzina, mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar. (QS. An-Nur: 23)
Bisa jadi kita melihat ada wanita yang tidak menggunakan jilbab dan pakaian yang syar’i, akan tetapi jangan kemudian kita tuduh dia telah berzina. Perkara zina adalah perkara yang berbeda dengan perkara tidak menutup aurat. Ketahuilah bahwasanya menuduh wanita baik-baik sebagai pezina adalah dosa besar, terlebih lagi kalau kita tidak bisa mendatangkan bukti. Oleh karenanya, orang yang menuduh seseorang berzina dan tidak mendatangkan empat saksi, maka dia didera sebanyak delapan puluh kali cambukan. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4)
Dari sini kita kemudian paham bahwasanya tidak boleh seseorang menjatuhkan harga diri orang lain.
Ingatlah bahwasanya kezaliman jenis ini pada asalnya tidak akan Allah ﷻ biarkan, melainkan Allah ﷻ akan mengadakan persidangan antara kita dengan orang-orang yang telah kita zalimi, baik berkaitan dengan darah, harta, dan juga harga diri seseorang. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya orang yang zalimi akan menuntut kita pada hari kiamat kelak, karena orang-orang sangat membutuhkan tambahan pahala pada hari kiamat kelak, sehingga mereka akan mendatangi orang-orang yang telah menzaliminya dahulu di dunia untuk diambil pahalanya.
- ([1]) Yaitu maksudnya adalah dosa terhadap Allah ﷻ.
- ([2]) At-Tadzkirah, karya Ath-Thabari (hlm. 726).
- ([3]) Mausu’ah al-Akhlaq wa az-Zuhd wa ar-Raqaiq (1/279).
- ([4]) Siyar A’lam an-Nubala’ (10/41).
([5]) HR. Ahmad No. 26031, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Al-Arnauth mengatakan sanad hadis ini daif. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 8717 meriwayatkan hadis yang serupa dan mengatakan bahwa sanad hadis tersebut sahih, namun Adz-Dzahabi mengatakan bahwa yang benar adalah sanadnya lemah.
- ([6]) HR. Muslim No. 2577.
- ([7]) HR. Muslim No. 1218.
- ([8]) HR. Muslim No. 1678.
- ([9]) Lihat: HR. An-Nasai No. 3997, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
- ([10]) HR. Muslim No. 1610.
- ([11]) HR. Muslim No. 137.
- ([12]) Lihat: HR. Muslim No. 19.
- ([13]) Lihat: HR. At-Tirmidzi No. 2492, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani.
Beliau pun duduk di salah satu sudut Masjid al-Haram, memulai bacaan dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Ali ‘Imran, terus sampai surat an-Naas. Beliau mengkhatamkan 30 juz dalam sekali duduk. Beliau baru selesai sebelum matahari terbit, lalu membacakan hadits untuk kaum Muslimin.
Ulama lainnya bernama Ibnu ‘Aqil. Beliau lebih suka memakan kue daripada roti kering. Saat ditanya alasannya, beliau menjawab dengan tenang, “Karena perbedaan waktu antara keduanya (memakan kue dan roti kering) bisa digunakan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an.”
Kue lebih mudah dicerna oleh tubuh karena strukturnya yang lembut. Sedangkan roti kering relatif lebih lama karena keras sehingga menghabiskan banyak waktu. Dalam catatan Imam Ibnu ‘Aqil, memakan kue lebih beliau sukai sehingga memiliki lebih banyak waktu untuk membaca al-Qur’an.
Ketika berhaji di dua kota suci, Imam Masruq bin al-Ajda’ diriwayatkan sering tertidur ketika bersujud. Bukan lantaran mengantuk, tapi lamanya waktu yang beliau gunakan untuk melakukan gerakan ibadah yang merupakan posisi terdekat dengan Allah Ta’ala tersebut. Sahabat mulia Urwah bin Zubair disebutkan selalu mengkhatamkan al-Qur’an dalam empat hari. Dalam sehari, beliau menikmati sekitar tujuh juz. Terus seperti itu di sepanjang usianya.
Sedangkan salah satu ahli hadits di Andalusia (Spanyol) disebutkan membaca Shahih al-Bukhari sebanyak 700 kali.
Seharusnya, kita lebih bersemangat dan bergegas untuk melakukan amalan tersebut. Sebab, kita hidup di zaman akhir dengan banyak ujian kemaksiatan di sepanjang waktu. Sayangnya, kondisinya justru berlaku sebaliknya. Jangankan mengkhatamkan al-Qur’an sekali dalam empat hari sebagaimana Urwah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhu, sebulan satu kali khatam pun amat jarang. Bahkan ada banyak kaum Muslimin yang tidak pernah khatam dalam satu tahun.
Belum lagi terkait sujud. Banyak di antara kita yang sujud hanya dalam hitungan detik. Bahkan shalat dua rakaat dengan empat kali sujud dikelarkan dalam bilangan lima menit atau kurang dari itu. Rasanya malu. Tapi malu juga tidak cukup. Kita harus benar-benar berbenah.
Ustadzah Halimah menjelaskan hal tersebut adalah hukuman terberat pada seorang hamba ketika Allah sedang murka, tanda Allah marah kepada hambanya adalah tidak diberikan celah untuk berdoa kepada Allah Swt.
Ustadzah Halimah melanjutkan, berhati-hatilah saat seorang hamba ketinggalan sholat, maka segeralah bertaubat.Karena yang namanya ketaatan meskipun semua diwajibkan untuk taat, tetapi yang diperkenankan untuk datang hanya untuk orang-orang memiliki harga dan nilai di mata Allah, demikian katanya.
Jadi, lanjutnya, ketika seseorang dipandang oleh Allah sudah lagi tidak ada nilainya, sehingga seseorang tersebut tidak diharapkan lagi untuk menghadap kepada Allah SWT.
Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani kepada Orang yang Hidup Susah
Dalam kitabnya Futuh Al-Ghaib, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memberi nasehat kepada mereka yang miskin. Ia mengingatkan agar kita jangan menyalahkan Tuhan atas nasib seperti itu. “Jangan berkata, wahai orang yang malang!” tuturnya.
“Ya, Allah telah mempelakukanmu begini, sebab fitrahmu suci dan kesejukan kasih-sayang Allah terus-menerus melimpahimu dalam bentuk kesabaran, kepasrah-ikhlasan dan pengetahuan. Dan cahaya iman serta tauhid menimpamu. Maka pohon imanmu, akarnya dan benihnya menjadi kuat, penuh dedaunan, buah, cabang dan rantingnya merambah ke mana-mana sehingga menimbulkan keteduhan,” jelasnya..
“Setiap hari kian besar sehingga tak perlu lagi pertumbuhannya dibantu. Allah tentukan bagimu akan kau peroleh tepat pada waktunya, entah kau suka atau tak suka. Maka dari itu, janganlah serakah terhadap yang menjadi milikmu dan jangan cemas akannya. Jangan merasa menyesal atas yang dimaksudkan bagi selainmu,” lanjutnya.
Menurut Syaikh, yang bukan milikmu tentu: 1) Ia akan menjadi milikmu, atau 2) Ia akan menjadi milik orang lain. “Jika ia milikmu, ia akan datang kepadamu dan kau akan dibawa kepadanya sehingga pertemuan antara kau dan ia terjadi segera. Sedang yang bukan milikmu, maka kau akan dijauhkan darinya dan ia pun akan menjauh darimu, sehingga kau dan ia takkan bertemu,” katanya.
Allah berfirman: “Dan jangan kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan duniawi ini, agar Kami cobai mereka dengan-nya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS 20:131)
Allah berfirman: “Tiada jiwa pun yang tahu apa yang disembunyikan bagi mereka, yaitu yang akan mengenakan mata, sebagai balasan atas yang telah mereka perbuat.” (QS 32:17)
“Nah, tiada kebajikan selain kelima jalan pengabdian, penghindaran dari segala dosa, dan tiada lebih besar, lebih mulia dn lebih disukai oleh Allah selain yang Kami sebutkan kepadamu. Semoga Allah mengaruniaimu dan kami kemampuan untuk melakukan yang disukai-Nya,” demikian Syaikh Abdul Qadir Jilani.
Yaitu mereka yang berkata:
"Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sabar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya." (QS. al Baqarah: 8-10).
Taubat dari kemunafikan ini adalah tidak sekadar mengungkapkan dan memberitahukan keisalamannya. Karena sebelumnya ia memang telah Islam. Namun, yang patut ia lakukan adalah agar ia bersifat dengan empat sifat yang disebutkan dalam surah an-Nisa. Setelah Al Quran membongkar sifat asli mereka, dan apa yang tersembunyi dalam diri mereka: yaitu mereka memberikan loyalitas mereka kepada kaum kafirin, bukan kaum mu'minin, serta mereka mencari kemuliaan dari kaum kafirin itu:
"Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di samping orang-orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (QS. an-Nisa: 138-139).
Serta mereka selalu mencari kelengahan kaum mu'minin, dan berada di tengah-tengah antara kaum kaum mu'minin dan kaum kafirin untuk mencari keuntungan.
"(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: 'Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. an-Nisa: 141).
Juga dari tindakan mereka mempermainkan dan menipu Allah dan Rasul-Nya, dan mereka malas menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan lalai dari berdzikir kepada Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan Shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah , maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya." (QS. an-Nisa: 142-143).
Setelah Allah SWT membongkar sifat-sifat orang-orang munafik, namun Allah SWT tidak menutup pintu bagi mereka. Namun malah membukakan pintu taubat dengan syarat-syaratnya. Seperti firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar."( QS. An-Nisa: 145-146.)
Di antara tanda-tanda sempurnanya taubat mereka adalah mereka memperbaiki apa yang dirusak oleh sifat munafik mereka. Serta agar mereka hanya berpegang pada Allah SWT saja bukan kepada manusia. Dan dengan ikhlas beribadah kepada Allah SWT, hingga Allah SWT mengikhlaskan mereka untuk agama-Nya. Dengan itu, mereka bergabung ke dalam barisan kaum mu'minin yang jujur.
Dalam surah lain, Allah SWT berfirman:
"Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi." (QS.at-Taubah: 74)
Taubat dari Dosa-dosa Besar
Sebagaimana Al Quran menyebutkan taubat dari kemusyrikan dan kemunafikan, Allah SWT juga menyebutkan taubat dari dosa-dosa besar. Seperti membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT kecuali dengan haknya. Juga zina yang Allah SWT cap sebagai jalan yang buruk dan kotor. Dan al Quran menggolongkan kedua perbuatan dosa besar ini dalam kelompok dosa yang paling besar setelah syirik. Allah SWT berfirman tentang sifat ibadurrahman.
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al Furqan: 68-70)
Tampak banyak ayat-ayat berbicara tentang iman setelah taubat, dan menyambung antara keduanya. Seperti terdapat dalam ayat ini. Firman Allah SWT:
"Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung." (QS. al Qashash: 67). Serta firman Allah SWT setelah menyebutkan beberapa Rasul-Nya dan nabi-nabi-Nya serta para pengikut mereka yang saleh, yang apabila dibacakan kepada mereka ayat Al Quran mereka segera tunduk sujud dan menangis. Kemudian Allah SWT berfirman:
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS. Maryam: 59-60)
Dan seperti dalam firman Allah SWT:
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat , beriman , beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thahaa: 82)
Apa rahasia penggabungan ini, yaitu pengggabungan antara iman dengan taubat? Yang dapat aku tangkap, keimanan akan mengalami kerusakan ketika seseorang melakukan dosa besar. Hingga sebagian hadits menafikan keimanan itu dari orang-orang yang melakukan dosa besar ketika mereka melakukannya. Seperti dalam hadits Bukari Muslim dari Nabi Saw beliau bersabda:
"Tidaklah berzina orang yang berzina dan saat itu ia mu'min, dan tidak meminum khamar orang yang meminumnya dan saat itu ia mu'min, dan tidak pula mencuri orang yang mencuri dan saat itu ia mu'min".
Oleh karena itu, taubat adalah reparasi dan penyembuhan bagi keimanan yang mengalami kerusakan itu.
Taubat dari Menyembunyikan Kebenaran
Di antara dosa yang besar, yang ditunjukkan dan anjurkan al Quran agar kita segera bertaubat darinya adalah: dosa menyembunyikan kebenaran serta tidak menjelaskannya kepada manusia. Ini adalah dosa para ahli ilmu pengetahuan yang mempunyai kewajiban utnuk menyampaikan risalah-risalah Allah SWT, dan menjelaskan hukum Allah SWT kepada mereka. Serta mengatakan kebenaran, serta tidak menyembunyikannya, tidak seperti tindakan ahli kitab yang mendapatkan kecaman dari Allah SWT dalam firman-Nya:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima." (QS. Ali Imran: 187).
Karena mereka menyembunyikan berita gembira akan datangnya Muhammad Saw yang terdapat dalam kitab-kitab mereka, serta mereka merubah dan menggantinya, karena semata kepentingan dunia, yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai "harga yang murah". Seperti firman Allah SWT:
"Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. an-Nisa: 77).
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!." (QS. al Baqarah: 174-175)
Lihatlah ancaman yang besar ini terhadap orang-orang yang menyembunyikan itu, yang mengandung ancaman material: "mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api ", serta maknawi: "dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka ", dan mereka mengalami kerugian dalam transaksi mereka: "Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan ". Itu semua semata karena mereka menyesatkan hamba-hamba Allah dengan menyembunyikan persaksian mereka akan kebenaran:
"Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?." (QS. Al Baqarah 140)
Oleh karena itu taubat amat diperintahkan secara kuat dari mereka semua, sehingga mereka selamat dari azab ini, serta dari laknat Allah SWT dan sekalian orang yang melaknat. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. al Baqarah: 159-160)
Agar taubat mereka diterima, disyaratkan agar: mereka memperbaiki apa yang mereka telah rusak, dan menjelaskan apa yang mereka sembunyikan.
Jika ini adalah dosa orang yang menyembunyikan kebenaran, maka dapat dibayangkan apa dosa orang yang "mendistorsi kebenaran" itu, serta menampakkan kebenaran itu seakan suatu yang bathil, sehingga manusia tidak memilihnya. Sementara mereka menghias kebathilan, dengan lidah dan tulisan mereka, sehingga manusia memilihnya? Tak diragukan lagi, dosa mereka lebih besar, dan kesalahan mereka lebih berbahaya. Dalam masalah ini banyak tergelincir penulis, pengarang, jurnalis, kalangan pers, seniman, para ahli pidato dan semacamnya. Yaitu mereka yang menciptakan opini publik serta menggerakkan kecenderungan mereka.
Taubat mereka tidak sah hanya dengan sekadar menyesal. Namun mereka harus memperbaiki dan menjelaskannya kepada orang banyak. Karena mereka telah banyak merusak akal dan dhamir banyak manusia, serta menyesatkannya. Mereka harus melenyapkan atau menarik peredaran faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan itu, baik berupa buku, kaset, atau film dengan segala cara. Dan jika mereka tidak mampu maka mereka harus menjelaskan kepada khalayak melalui koran atau media lainnya. Dan mereka harus menjelaskan dengan gamblang sikap mereka yang baru dan kembalinya dia dari sikap dan tindakannya sebelumnya, dengan berani dan yakin (Seperti yang dilakukan oleh Dr. Mushthafa Mahmud, Khalid Muhammad Khalid, dan yang lainnya yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT ).
Yang terkadang manusia sering mengeluh ketika ditimpa musibah atau cobaan. Ada yang bilang, “Allah tak adil, yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin selamanya”. Ungkapan ini sering dilontarkan sebagai bentuk kekesalan atas kekurangan yang ada pada diri manusia, terutama segala hal yang berkaitan dengan ekonomi ataupun yang lainnya.
Sebenarnya, manusia akan naik pangkat dan derajat ketaqwaannya di hadapan Allah bila mereka kuat dalam menghadapi segala musibah, ujian dan cobaan dalam kehidupan ini. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Allah akan menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam ujian berat, juga mencatat segala usaha sebagai bentuk ibadah dan mengujinya dengan berbagai macam cobaan. Tujuannya adalah agar manusia tak memiliki hati yang sombong, selalu rendah hati, juga sebagai kunci mendapatkankan anugerahnya dan membuka pintu pengampunan-Nya.
Bila manusia memahami segala cobaan hidup yang ia rasakan merupakan proses pendewasaan diri agar selalu menjadi pribadi yang lebih baik maka ia akan selalu berusaha dan berdo’a serta selalu berpikiran positif kepada-Nya. Ketika seorang hamba bisa memahami antara kedua kata tersebut, sebenarnya manusia itu bisa memahami, mereka itu sedang di uji atau diberikan adzab.
Ujian
Ujian merupakan musibah yang menimpa orang-orang yang beriman dan rajin beribadah. Dengan tujuan untuk menguji ke istiqomahanmu dan menguatkan keyakinannya. Dalam Al-Quran, Allah berfirman bahwa kita jangan mengaku dulu beriman sebelum kita diberikan ujian yang berat, seperti sakit, kurangnya harta, takut akan kelaparan, fitnahan, cacian, makian dan sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”(QS. Al-Anbiya: 35)
Duniaini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadikan manusia sebaik-baik hamba, yang dinilai dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman.
“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2).
Syarat agar lulus dalam ujian yang diberikan AllahSubhanahu wa Ta'ala, kita harus ikhlas menerimanya dan sabar serta tawakal dalam menjalani semua ujian yang diterimakan. Meskipun sangat berat, tapi kita tidak meninggalkan ibadah, amal sholeh dan justru kita semakin giat lagi beribadahnya. Kita juga tidak boleh kesal ketika menerima ujian dan seharusnya bersyukur karena Allah Subhanahu wa Ta'ala masih menganggap kita sebagai hamba-Nya dengan cara diberikan ujian. Tapi jika sebaliknya, ketika kita tidak beribadah dan ingkar ketika mendapatkan ujian, berarti kita gagal.
Adzab
Adzab adalah cobaan yang menimpa orang-orang yang selalu melalaikan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tujuannya yaitu sebagai peringatan agar kita mau bertobat dan kembali lagi beribadah kepada-Nya, serta menyesali segala perbuatannya.
Sebagai seorang muslim, tentu kita yakin dengan adzab dan nikmat di kubur. Hukum asalnya adzab dan nikmat kubur ini adalah perkara yang ghaib, meskipun hal ini adalah perkara ghaib, kita sebagai orang yang beriman tetap meyakini dan membenarkan adzab dan nikmat kubur. Allah Subhanahu wa Ta'alaberfirman dalam Al-Qur’an Surat Al Mu’min : 45-46.
“Dan Fir’aun beserta pengikutnya dikepung oleh adzab yang sangat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat (dikatakan kepada mereka): “Masukkan Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
Jadi ketika kamu sedang rajin-rajinnya maksiat, tidak beribadah, lalu datang musibah, jangan sebut itu ujian, tapi itu adalah adzab sekaligus peringatan buat kamu. Masih untung kalau kamu diberi kesempatan hidup karena masih ada waktu untuk memperbaiki diri, tapi jika sudah tidak diberi kesempatan lagi, bagaimana nasib kita kelak di akhirat nanti.
Namun ada kesamaan antara adzab dan ujian, yaitu dua hal ini sama-sama bentuk kasih sayang Allah kepada kita agar selalu senantiasa beribadah dan beramal sholeh kepada-Nyam jangan pernah melupakanNya dan hobi untuk berbuat kebaikan, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain maupun Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah memberikan kamu peringatan dengan memberikan musibah, cobaan dan ujian agar kamu bertobat dan kembali ke jalan-Nya. Apakah itu bukan bentuk kasih sayang Allah?, kepada kita karena kita sudah diingatkan, dan sebenarnya peringatan yang disampaikan Allah kepada hambanya sudah sangat banyak, namun terkadang manusia enggan untuk memahami dan menyadarinya. Allah Subhanahu wa Ta'alamengingatkan kita dalam firman-Nya.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Qs. Ibrahim : 7).
Iblis tentu saja memiliki banyak musuh dari kalangan Rasul dan hamba Allah yang shaleh. Orang yang paling dibenci iblis adalah Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang mengikuti agama Allah.
Namun iblis juga memiliki teman sejati dari kalangan manusia. Berikut daftar 10 teman sejati dari iblis.
1. Sultan/Raja/Imam/Presiden yang Fasiq
Pemimpin yang fasiq adalah salah satu teman sejati dari iblis. Oleh karenanya, penting bagi setiap pemimpin menghindari sifat-sifat fasiq.
2. Orang kaya yang sombong
Teman sejati iblis selanjutnya adalah orang kaya yang sombong. Maka, orang-orang yang telah Allah amanahkan dengan harta benda tidak boleh menyombongkan diri dengan hartanya apalagi menghina orang fakir.
3. Para Penjual yang berdusta dalam berdagang.
Orang yang berdusta dalam berdagang seperti mengurangi timbangan atau tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai barang yang dia jual juga merupakan teman sejati dari iblis.
4. Para peminum khamar/minuman keras
Hal ini juga berlaku bagi pengguna narkoba dan barang memabukkan lainnya. Mereka adalah teman sejatinya iblis.
5. Para pengadu domba.
Para pemecah belah umat dengan menyebarkan isu-isu bohong juga teman sejatinya iblis. Jangan pernah menyebar berita yang belum jelas valid atau tidaknya, apalagi jika sudah jelas berita bohong atau fitnah.
6. Para pezina
Dosa zina merupakan salah satu dosa yang sangat besar. Para pelaku zina sendiri merupakan teman sejati iblis.
7. Para pemakan harta anak yatim
Di masyarakat banyak sekali yang memakan harta anak yatim dengan berbagai modus. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Pelakunya sendiri merupakan teman sejati dari iblis.
8. Orang yang meringankan-ringankan salat
Orang-orang yang meringan-ringankan shalat juga termasuk dalam teman sejatinya iblis. Maka sebagai muslim sudah sepatutnya untuk menjaga shalat dan serius dalam mendirikan shalat.
9. Orang yang tidak mau membayar zakat.
Membayar zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Orang yang tidak mau membayar zakat merupakan teman sejatinya iblis. Nauzubillah.
10. Orang yang panjang angan-angannya.
Teman sejati iblis dari kalangan manusia yang terakhir adalah orang yang panjang angan-angan. Angan-angannya sangat panjang dan tidak disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Karena iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhidul asmâ wash shifât karena menakdirkan dan menetapkan termasuk sifat kesempurnaan-Nya[2].
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[4]
DEFINISI AL-QADAR (TAKDIR ALLAH) DAN AL-QADHA’ (KETETAPAN-NYA)
Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[5], maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[6].
Adapun pengertian al-qadar dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allâh Azza wa Jalla yang terdahulu terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia Azza wa Jalla menciptakannya. Maka, tidak ada sesuatu pun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allâh Azza wa Jalla telah mengetahui, menghendaki dan menetapkannya[7], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha sempurna[8].
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa keyakinan para pengikut kebenaran adalah menetapkan (mengimani) takdir Allâh, yang berarti bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan takdir segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu (tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya.[9]”
Sedangkan pengertian al-qadha’ secara bahasa adalah hukum. Adapun dalam syariat, pengertiannya kurang lebih sama dengan al-qadar, kecuali jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat secara bersamaan maka masing-masing mempunyai arti tersendiri[10].
Ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “al-Qadar adalah apa yang Allâh Azza wa Jalla takdirkan secara azali (terdahulu) yang berkaitan dengan apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadhâ’ adalah ketetapan Allâh Azza wa Jalla pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Ini berarti takdir Allâh Azza wa Jalla mendahului (al-qadhâ).[11]”
DALIL-DALIL PENETAPAN TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Dasar-dasar penetapan takdir terdapat dalam al-Qur`ân dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya:
1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Para Imam Ahli Sunnah memegangi ayat yang mulia ini sebagai dasar (wajibnya) menetapkan takdir Allâh Azza wa Jalla yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, dan Dia telah menuliskannya (dalam Lauhul Mahfûzh) sebelum menciptakannya.[12]”
2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadiid/57:22]
3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.[13]”
4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allâh telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka.” Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan) ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca :
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan) [al-Lail/92:5-10][14]
TINGKATAN-TINGKATAN IMAN KEPADA TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA[15]
Syaikh Muhammad bin ShâlIh al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara :
1. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara global maupun terperinci dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi ? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allâh [al-Hajj/22:70]
2. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla menulis semua ketetapan takdir bagi segala sesuatu dalam Lauhul Mahfûzh, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadîd/57:22]
Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Allâh telah menuliskan atau menetapkan ketentuan takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”[16]
3. Mengimani bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan kehendak Allâh yang bersumber dari kasih-sayang maupun hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla tidak pantas ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, karena kesempurnaan sifat hikmah dan kekuasaan-Nya. Manusialah yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka. Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam Lauhul Mahfûzh. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]
4. Mengimani bahwa segala sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk Allâh Azza wa Jalla , tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya [al-Furqân/25:2].
Juga dalam firman-Nya tentang ucapan Nabi Ibrahim Alaihssallam, yang artinya, Padahal Allâh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu [ash-Shâffât/37:96]”[17]
PEMBAGIAN TAKDIR ALLAH
Takdir Allâh Azza wa Jalla ada dua macam :
Pertama : Takdir (yang bersifat) umum dan meliputi semua makhluk yang tertulis dalam Lauhul Mahfûzh. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat tiba. Dasarnya riwayat dalam Sunan Abu Dawud rahimahullah dari ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Makhluk) yang Allâh ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena). Kemudian Allâh berfirman kepadanya, “Tulislah!” . Maka dia bertanya, “Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis?” Allâh berfirman, “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari Kiamat.[18]”
Kedua : Takdir (khusus) yang memerinci takdir umum. Ini terbagi menjadi 3 macam takdir :
Takdir (sepanjang) umur (ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu[19] tentang ketentuan takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, celaka atau bahagia.
Takdir tahunan, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala) pada saat lailatul qadr tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿٣﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[20]) yang muhkam (tidak bisa berubah) [ad-Dukhân/44:3-4].
Takdir harian, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) tentang kejadian-kejadian dalam sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain sebagainya[21]. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Setiap hari Dia (mengatur) urusan (semua makhluk-Nya) [ar-Rahmaan/55:29][22]
MENGINGKARI TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA SAMA DENGAN BERBURUK SANGKA KEPADA-NYA
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allâh seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka berkata, “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di tangan Allah. [Ali ‘Imrân/3:154]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” dalam ayat ini, beliau berkata, “Persangkaan orang-orang Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan mengingkari hikmah dan takdir Allâh (atas seluruh makhluk-Nya), atau mengingkari bahwa Allâh akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengunggulkannya di atas agama-agama lainnya.
Inilah persangkaan buruk kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan supaya Allâh mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allâh memurkai, mengutuk serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali”[al-Fath/48:6]
Persangkaan ini (disebut) persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena ini merupakan prasangka yang tidak cocok bagi nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala keburukan dan celaan
Termasuk berprasangka buruk kepada-Nya, orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya), yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan. (Allah Azza wa Jalla berfirman), yang artinya, “Yang demikian itu adalah prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”[Shâd/38:27].”[23]
Prasangka buruk ini, disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya. Karena Allâh Azza wa Jalla akan memeperlakukan hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi :
أَنَا عِنْدَ ظَنِّّ عَبْدِي بِي
Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku[24].
Makna hadits ini yaitu Allâh akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut.[25]
PENGERTIAN TAKDIR YANG BURUK?
Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir buruk dari Allâh Azza wa Jalla, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.”[26]
Juga dalam doa qunut saat shalat Witir, yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma, “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan.”[27]
Apakah arti takdir-Nya yang buruk ? Apakah ada perbuatan Allâh yang buruk? Bukankah Allâh Azza wa Jalla Maha Indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta Maha Suci dari semua bentuk keburukan? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa iftitah, “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”[28]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[29] dengan mengatakan, “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allâh (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdîr (perbuatan Allâh yang menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…
Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allâh yang menakdirkan maka tidak ada keburukan (sedikitpun padanya) bahkan semuanya adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan menyakitkan. Adapun kalau ditinjau dari al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.
Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[ar-Rûm/30:41].
Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan hikmahnya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya adalah perbuatan buruk manusia, dan tujuan bencana tersebut adalah supaya mereka merasakan sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allâh menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.
Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang Allâh Azza wa Jalla turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna.[30]”
FAIDAH DAN MANFAAT MENGIMANI TAKDIR-NYA[31]
Iman kepada takdir-Nya adalah penyempurna keimanan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa ini, karena mengimani takdir Allâh Azza wa Jalla termasuk rukun iman.
Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Mendatangkan ketenangan dan kelapangan jiwa serta tidak gelisah dalam menghadapi kesulitan di dunia ini, karena semuanya terjadi dengan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan tidak mungkin dihindari.
Meringankan beban saat tertimpa musibah, sehingga mudah baginya untuk bersabar dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” [at-Taghâbun/64:11]. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maknanya, seseorang yang ditimpa musibah dan dia yakin musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Azza wa Jalla ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh tersebut, maka Allâh akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[32].
Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari Allâh Azza wa Jalla[33].
Menyadarkan seseorang terhadap kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri ketika melakukan kebaikan.
Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui kesempurnaan hikmah Allâh Azza wa Jalla.
Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.
Merasa kaya/berkecukupan dalam hati. Inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…Ridhalah (terimalah) bagian yang Allâh tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[34].
Referensi : Memahami Takdir Allâh Subhanahu wa Ta’ala Menurut Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Firman Allah Swt
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Jar majrur (بِسْمِ) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.
Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
“Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah “[1]
Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” [2]
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (Allah).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Ar-Rahmaan
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata : “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.
Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca : “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca : “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca : “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca : “ Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab : “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]
Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat malam bermakmum di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua membuka shalat dengan membaca : “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca ; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Referensi : Tafsir Basmalah
PENGERTIAN HISAB
Pengertian hisab disini adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya[2]. Atau Allah mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan[3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya[4]. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna al muhasabah (proses hisab)[5]. Demikian juga Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat[6].
Hisab menurut istilah aqidah memiliki dua pengertian.
Pertama. Al ‘Aradh (penampakan dosa dan pengakuan), mempunyai dua pengertian.
Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah dalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab.
Pemaparan amalan maksiat kaum Mukminin kepada mereka, penetapannya, merahasiakan (tidak dibuka dihadapan orang lain) dan pengampunan Allah atasnya. Hisab demikian ini dinamakan hisab yang ringan (hisab yasir)[7].
Kedua. Munaqasyah (diperiksa secara sungguh-sungguh) dan inilah yang dinamakan hisab (perhitungan) antara kebaikan dan keburukan[8].
Untuk itulah Syaikhul Islam menyatakan, hisab, dapat dimaksudkan sebagai perhitungan antara amal kebajikan dan amal keburukan, dan di dalamnya terkandung pengertian munaqasyah. Juga dimaksukan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan terhadap pelakunya[9]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan di dalam sabdanya:
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. Aisyah bertanya,”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah[10]” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al ‘aradh. Namun barangsiapa yang dimunaqasyah hisabnya, maka ia akan binasa”.[Muttafaqun ‘alaihi].
HISAB PASTI ADA
Kepastian adanya hisab ini telah dijelaskan di dalam al Qur`an dan Sunnah. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ ﴿٧﴾ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.[al Insyiqaq/84:7-8].
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ﴿١٠﴾فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا﴿١١﴾وَيَصْلَىٰ سَعِيرًا
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).[al Insyiqaq/84:10-12].
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ﴿٢٥﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.[al Ghasyiyah/88:25-26].
الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.[al Mu’min/40:17].
Sedangkan dalil dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berkata:
لَيْسَ أَحَدٌ يُحَاسَبُ إِلَّا هَلَكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ اللَّهُ يَقُولُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَ ذَاكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ هَلَكَ
“Tidak ada seorangpun yang dihisab kecuali binasa,” Aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, bukankah Allah berfirman ‘pemeriksaan yang mudah’?” Beliau menjawab,”Itu adalah al aradh, namun barangsiapa yang diperiksa hisabnya, maka binasa”.
Imam Ibnu Abil Izz (wafat tahun 792 H) menjelaskan, makna hadits ini adalah, seandainya Allah memeriksa dengan menghitung amal kebajikan dan keburukan dalam hisab hambaNya, tentulah akan mengadzab mereka dalam keadaan tidak menzhalimi mereka sedikitpun, namun Allah memaafkan dan mengampuninya[11].
Demikian juga umat Islam, sepakat atas hal ini[12]. Sehingga apabila seseorang mengingkari hisab, maka ia telah berbuat kufur, dan pelakunya sama dengan pengingkar hari kebangkitan[13].
HISAB MANUSIA DAN JIN
Syaikhul Islam menyatakan: “Allah akan menghisab seluruh makhlukNya”[14]
Dari pernyataan ini, Syaikhul Islam menjelaskan, bahwa Allah akan menghisab seluruh makhlukNya. Namun ini termasuk menggunakan lafahz bermakna umum tapi yang dimaksudkan adalah tertentu saja. Yaitu khusus yang Allah bebani syariat. Karena pemberlakuan proses hisab itu pada amalan baik dan buruk hamba yang mukallaf, mencakup manusia dan jin[15]. Begitu pula Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, bahwa hisab ini juga mencakup jin, karena mereka mukallaf. Oleh karena itu, jin kafir masuk ke dalam neraka, sebagaimana disebutkan menurut nash syariat dan Ijma’. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan :
قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ فِي النَّارِ
Allah berfirman:”Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu…[al-A’raaf/7:38]
Yang mukmin masuk syurga, menurut mayoritas ulama dan ini yang benar sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah: Dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabb-nya ada dua surga. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan. Kedua surga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam kedua surga itu ada dua buah mata air yang mengalir. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. [ar Rahman/55:46 – 56].
Dikecualikan dalam hal ini, yaitu mereka yang masuk surga tanpa hisab maupun adzab. Begitu pula dengan hewan yang tidak memiliki pahala dan dosa.
Adapun orang kafir, apakah dihisab ataukah tidak? Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang kafir tidak dihisab. Sedangkan sebagian lannya menyatakan mereka dihisab.
Syaikhul Islam mendudukkan permasalahan ini dengan pernyataan beliau rahimahullah : “Pemutus perbedaan (dalam masalah ini), yaitu hisab dapat dimaksudkan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan mereka, serta celaan terhadap mereka. Dapat (juga) dimaksudkan dengan pengertian perhitungan antara amal kebajikan dengan amal keburukan. Apabila yang diinginkan dengan kata “hisab” adalah pengertian pertama, maka jelas mereka dihisab. Namun bila dengan pengertian kedua, maka bila dimaksudkan bahwa orang kafir tetap memiliki kebajikan yang menjadikannya pantas masuk surga, maka (pendapat demikian) ini jelas keliru. Tetapi bila yang dimaksudkan mereka memiliki tingkatan-tingkatan dalam (menerima) adzab, maka orang yang banyak dosa kesalahannya, adzabnya lebih besar dari orang yang sedikit dosa kesalahannya, dan orang yang memiliki kebajikan, maka diringankan adzabnya, sebagaimana Abu Thalib lebih ringan adzabnya dari Abu Lahab. Allah berfirman:
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَاباً فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ
Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.[an-Nahl/16:88].
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ
Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu adalah menambah kekafiran.[at-Taubah/9:37].
Apabila adzab sebagian orang kafir lebih keras dari sebagian lainnya -karena banyaknya dosa dan sedikitnya amal kebaikan- maka hisab dilakukan untuk menjelaskan tingkatan adzab, bukan untuk masuk syurga[16].
Dengan penjelasan Syaikhul Islam tersebut, maka hisab di atas, maksudnya adalah dalam pengertian menghitung, menulis dan memaparkan amalan-amalan kepada mereka, bukan dalam pengertian penetapan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka pada hari Kiamat untuk ditimbang melawan amalan keburukan mereka[17]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.[al Kahfi/18:105].
AMALAN ORANG KAFIR DI DUNIA
Amalan kebaikan yang dilakukan orang kafir di dunia terbagi menjadi dua. Pertama, yang disyaratkan padanya Islam dan niat. Amalan-amalan ini tidak diterima dan tidak bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Kedua, amalan yang tidak disyaratkan Islam padanya, seperti keluhuran budi pekerti, menunda penagihan hutang bagi yang tidak mampu membayar dan lain-lainnya. Amalan-amalan ini akan diberi balasannya di dunia[18].
Syaikh Kholil Haras menyatakan: “Yang benar adalah, semua amalan kebaikan yang dilakukan orang kafir hanya dibalas di dunia saja. Hingga bila datang hari Kiamat, ia akan mendapati lembaran kebaikannya kosong”[19]. Demikian ini, karena Allah berfirman:
﴿وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا﴾
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.[al Furqaan/25:23].
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabb-nya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.[Ibrahim/14:18].
Ada pendapat lain yang menyatakan amalan kebaikan mereka di dunia dapat meringankan adzab mereka. Menurut pendapat ini, amalan kebaikan yang tidak disyaratkan Islam padanya, pada hari Kiamat akan mendapat balasan untuk menutupi kezhalimannya terhadap orang lain. Apabila antara kezhalimannya seimbang dengan amalan tersebut, maka ia hanya diadzab disebabkan oleh kekufurannya saja. Namun, bila orang kafir ini tidak memiliki amal kebaikan di dunia, maka ditambahkan adzabnya yang disebabkan kekufurannya[20].
CARA HISAB
Hisab ini dilakukan dalam satu waktu[21], dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang akan melakukannya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau :
مَا مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلَا يَرَى إِلَّا النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali akan diajak bicara Rabb-nya tanpa ada penterjemah antara dia dengan Rabb-nya. Lalu ia melihat ke sebelah kanan, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya; dan ia melihat kekiri, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya. Lalu melihat ke depan, kemudian hanya melihat neraka ada di hadapannya.
Kemudian diberikan kitab yang telah ditulis malaikat agar dibaca dan diketahui oleh setiap orang. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan :
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?” Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun.[al Kahfi/18:49].
Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menulis semua amalan hambaNya, yang baik maupun yang buruk, sebagaimana firmanNya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ﴿٧﴾وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.[al-Zalzalah/99:7-8].
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakanNya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.[al Mujaadilah/58:6].
Sehingga seluruh pelaku perbuatan melihat amalannya dan tidak dapat mengingkarinya, karena bumi menceritakan semua amalan mereka. Begitu pula seluruh anggota tubuh pun berbicara tentang perbuatan yang telah ia lakukan. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا﴿١﴾وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا﴿٢﴾وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini),” pada hari itu bumi menceritakan beritanya. [al Zalzalah/99:1-4].
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.[Yaasin/36:65]
CARA HISAB SEORANG MUKMIN DAN KAFIR
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan Maha Lembut tidak menghisab kaum Mukminin dengan munaqasyah, namun mencukupkan dengan al aradh. Dia hanya memaparkan dan menjelaskan semua amalan tersebut di hadapan mereka, dan Dia merahasiakannya, tidak ada orang lain yang melihatnya, lalu Allah berseru : “Telah Aku rahasiakan hal itu di dunia, dan sekarang Aku ampuni semuanya”.
Demikian dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mendekati seorang mukmin, lalu meletakkan padanya sitar dan menutupinya (dari pandangan orang lain), lalu (Allah) berseru : ‘Tahukah engkau dosa ini? Tahukah engkau dosa itu?’ Mukmin tersebut menjawab,’Ya, wahai Rabb-ku,’ hingga bila selesai meyampaikan semua dosa-dosanya dan mukmin tersebut melihat dirinya telah binasa, Allah berfirman,’Aku telah rahasiakan (menutupi) dosa itu di dunia, dan Aku sekarang mengampunimu,’ lalu ia diberi kitab kebaikannya. Sedangkan orang kafir dan munafik, maka Allah berfirman : ‘Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka’. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim”.[HR al Bukhari].
Adapun orang-orang kafir, mereka akan dipanggil di hadapan semua makhluk. Kepada mereka disampaikan semua nikmat Allah, kemudian akan dipersaksikan amalan kejelekan mereka disana. Dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَيَلْقَى الْعَبْدَ فَيَقُولُ أَيْ فُلْ أَلَمْ أُكْرِمْكَ وَأُسَوِّدْكَ وَأُزَوِّجْكَ وَأُسَخِّرْ لَكَ الْخَيْلَ وَالْإِبِلَ وَأَذَرْكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ فَيَقُولُ بَلَى قَالَ فَيَقُولُ أَفَظَنَنْتَ أَنَّكَ مُلَاقِيَّ فَيَقُولُ لَا فَيَقُولُ فَإِنِّي أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي ثُمَّ يَلْقَى الثَّانِيَ فَيَقُولُ أَيْ فُلْ أَلَمْ أُكْرِمْكَ وَأُسَوِّدْكَ وَأُزَوِّجْكَ وَأُسَخِّرْ لَكَ الْخَيْلَ وَالْإِبِلَ وَأَذَرْكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ فَيَقُولُ بَلَى أَيْ رَبِّ فَيَقُولُ أَفَظَنَنْتَ أَنَّكَ مُلَاقِيَّ فَيَقُولُ لَا فَيَقُولُ فَإِنِّي أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي ثُمَّ يَلْقَى الثَّالِثَ فَيَقُولُ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ آمَنْتُ بِكَ وَبِكِتَابِكَ وَبِرُسُلِكَ وَصَلَّيْتُ وَصُمْتُ وَتَصَدَّقْتُ وَيُثْنِي بِخَيْرٍ مَا اسْتَطَاعَ فَيَقُولُ هَاهُنَا إِذًا قَالَ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ الْآنَ نَبْعَثُ شَاهِدَنَا عَلَيْكَ وَيَتَفَكَّرُ فِي نَفْسِهِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْهَدُ عَلَيَّ فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ وَيُقَالُ لِفَخِذِهِ وَلَحْمِهِ وَعِظَامِهِ انْطِقِي فَتَنْطِقُ فَخِذُهُ وَلَحْمُهُ وَعِظَامُهُ بِعَمَلِهِ وَذَلِكَ لِيُعْذِرَ مِنْ نَفْسِهِ وَذَلِكَ الْمُنَافِقُ وَذَلِكَ الَّذِي يَسْخَطُ اللَّهُ عَلَيْهِ
Lalu Allah menemui hambaNya dan berkata : “Wahai Fulan! Bukankah Aku telah memuliakanmu, menjadikan engkau sebagai pemimpin, menikahkanmu dan menundukkan untukmu kuda dan onta, serta memudahkanmu memimpin dan memiliki harta banyak?” Maka ia menjawab: “Benar”. Allah berkata lagi: “Apakah engkau telah meyakini akan menjumpaiKu?” Maka ia menjawab: “Tidak,” maka Allah berfirman : “Aku biarkan engkau sebagaimana engkau telah melupakanKu”. Kemudian (Allah) menemui orang yang ketiga dan menyampaikan seperti yang disampaikan di atas. Lalu ia (orang itu) menjawab: “Wahai Rabbku! Aku telah beriman kepadaMu, kepada kitab suciMu dan rasul-rasul Mu. Juga aku telah shalat, bershadaqah,” dan ia memuji dengan kebaikan semampunya. Allah menjawab: “Kalau begitu, sekarang (pembuktiannya),” kemudian dikatakan kepadanya: “Sekarang Kami akan membawa para saksi atasmu,” dan orang tersebut berfikir siapa yang akan bersaksi atasku. Lalu mulutnya dikunci dan dikatakan kepada paha, daging dan tulangnya: “Bicaralah!” Lalu paha, daging dan tulangnya bercerita tentang amalannya, dan itu untuk menghilangkan udzur dari dirinya. Itulah nasib munafik dan orang yang Allah murkai.[HR Muslim].
Demikianlah keadaan tiga jenis manusia. Yang pertama seorang mukmin, ia mendapatkan ampunan dan kemuliaan Allah. Yang kedua seorang yang kafir dan ketiga orang munafik. Keduanya mendapat laknat dan kemurkaan Allah
Oleh karena itu, bersiaplah menghadapinya dengan mempersiapkan bekal ilmu yang bermanfaat dan amal shalih yang cukup, memperbanyak mengingat hari perhitungan ini dan melihat kepada amalan yang telah kita perbuat. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita untuk memperbanyak bekal, yang nantinya dengan bekal tersebut kita menghadap sang pencipta dan mendapat keridhaanNya.
Referensi : Hisab Pada Hari Pembalasan
Hanya manusia yang masih mampu bertahan hidup karena optimasi akalnya. Berbagai cara ditempuh, demi usia hidup yang lebih panjang. Maka kedatangan mereka kala itu, menuntut Nabi Musa ‘Alaihis salam untuk mendoakan, agar Allah Ta’ala berkenan menurunkan karunia rahmat-Nya berupa hujan yang tercurah.
Karena kondisi paceklik yang semakin menjadi, Nabi Musa ‘Alaihis salam pun mengumpulkan rakyatnya. Beliau berkomunikasi kepada Allah Ta’ala, berdoa agar diturunkan hujan. Dia langsung memberikan jawaban kepada Nabi Musa ‘Alaihis salam. Meski ada 70 ribu orang yang hadir, Allah Ta’ala menangguhkan doa tersebut, lantaran satu orang. Allah Ta’ala mengatakan kepada Nabi-Nya, satu orang tersebut telah melakukan dosa dan maksiat yang nyata selama 40 tahun. Allah Ta’ala menyebutkan, jika dia bertaubat, maka hujan akan segera diturunkan. Dia pun memerintahkan kepada salah satu Rasul Ulul ‘Azmi itu untuk menyampaikan kepada jamaah, agar orang yang berdosa segera keluar dari barisan.
Mendengar seruan dari Nabi Musa, laki-laki pendosa ini langsung bertaubat. Dia menyesali semua perbuatan dosa yang dilakukan, kemudian berniat kuat untuk tidak mengulanginya lagi, selama-lamanya.
Laki-laki ini berdiri, lalu keluar dari barisan. Anehnya, tidak ada satu orang pun di antara 70 ribu jamaah yang melihat orang ini. Bahkan, Nabi Musa juga tidak melihat. Beliau berkata kepada Allah Ta’ala, dia telah menyampaikan, tapi pendosa tersebut tidak kunjung keluar dari barisan untuk mengakui kekeliruannya.
Anehnya, tak lama setelah itu, hujan turun dengan sangat lebat. Saat orang-orang tengah sibuk bersukacita itu, Nabi Musa kembali berkata kepada Allah Ta’ala, “Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami? Bukankah tidak ada seorang pun di antara kami yang keluar untuk mengakui dosanya?”
Allah Ta’ala memberitahu, orang tersebut telah bertaubat, dan Dia Menerima taubatnya karena kesungguhannya. Saat Nabi Musa memohon agar diberi tahu siapa orang tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Musa, dulu ketika ia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang, Aku akan membuka aibnya ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat membenci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?”
Kisah ini masyhur. Terdapat di dalam banyak kitab dan catatan. Termaktub juga di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim susunan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah. Betapa Allah Ta’ala Maha Pengampun atas dosa-dosa kita yang tak terbilang. Rabbanaghfirlanaa.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah RA. Nabi SAW bersabda:
"Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia.
Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi." Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya. Apa saja empat hal itu? Berikut ini adalah empat bentuk kemurkaan Allah SWT.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Dan jika Dia membenci seorang hamba, dia memanggil Jibril, dan berkata bahwa Allah SWT membenci hamba tersebut, jadi aku membencinya. Maka Jibril membencinya lalu berseru kepada penduduk langit, bahwa Allah SWT membenci hamba itu. Maka mereka membencinya. Kemudian hamba tersebut dibenci penduduk bumi.”
Kedua, wujud kemurkaan Allah SWT pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut cenderung terus berada dalam cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah SWT, sama seperti saat dia membenci apa yang dicintai Allah SWT.
Ketiga, hamba tersebut selalu berada dalam kesesatan, ketidaktaatan dan dosa, dan bergerak di antara dosa dan dosa. Hamba ini tidak bertobat dari semua hal buruk itu dan mati untuknya.
Keempat, tanda Allah SWT murka pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut lalai dalam melaksanakan sholat wajib, tidak menjaganya atau melaksanakannya. Ini bentuk kelalaian dalam melaksanakan sholat lima waktu. Hak-hak Allah SWT dan hamba-hamba-Nya pun lenyap, sehingga menjadi tidak peduli terhadap nasib di dunia dan akhirat.
Dengan perkataan lain, penuhilah kebutuhan hidup di dunia ini sewajarnya. Sebab, segala yang ada di kolong langit pasti memiliki batas. Bagi manusia, limit yang tidak mungkin disangkal lagi adalah usia.
Kalau jatah umur sudah sampai ajal, tidak berguna lagi apa pun pernak-pernik duniawi. Nabi Muhammad SAW memberikan nasihat dan keteladanan tentang cara hidup yang ideal.
Berikut ini beberapa petuah di antaranya:
Pertama, menjadi musafir. Pengembara adalah mereka yang bepergian meninggalkan kampung halamannya. Rasulullah SAW mengajarkan, seorang Muslim hendaknya memahami kehidupan di dunia ini layak nya musafir.
مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan mening galkan pohon tersebut.” (HR Tirmidzi).
Perjalanan yang ditempuh akan sampai pada titik kembali. Dalam Alquran, Allah SWT menyatakan bahwa Dialah tempat kembali segala urusan. Maka, sepantasnya jatah usia seorang Mukmin di dunia dihabiskan untuk terus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sebab, saat diadili kelak di Hari Akhir, harapannya adalah berjumpa dengan kasih sayang dan ridha-Nya, bukan murka-Nya.
Kedua, ingat maut. Imam Syafii berkata dalam sebuah syairnya, “Cukuplah kematian sebagai nasihat.” Menurut ajaran Islam, kematian bukanlah akhir. Ia justru menjadi awal perjalanan insan menuju kampung akhirat.
Tiap orang nanti hanya akan ditemani catatan amal perbuatannya. Yang tersisa hanyalah sesal dan sedih bagi mereka yang fasik, apalagi kafir. Diandaikannya bahwa raga dapat kembali utuh dan hidup, sehingga bisa berbuat taat kepada Allah SWT.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, 'Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan'. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan (QS al-Muminun ayat 96-97).
Ketiga, berbekal takwa. Warna-warni dunia kerap membuat orang lupa akan hakikat kehidupan. Padahal, dunia ini tidak lebih dari permainan belaka.
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (QS Muhammad ayat 36).
Karena itu, Rasul SAW selalu mengingatkan umatnya agar pandai dalam menyikapi hidup. Dunia sejatinya adalah ladang amal, tempat menuai bekal sebanyak-banyak dan sebaik-baiknya. Bekal terbaik hanyalah iman dan takwa kepada Allah SWT.
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ “Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya se baik-baik bekal adalah takwa.” (QS Al Baqarah ayat 197).
Jadi, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa semakin berat. Karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan kemuliaannya di hadapan Allah, dan ini sekaligus menjadi takdir Allah yang diberikan kepada hambanya. Suatu contoh orang yang paling dicintai Allah adalah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada manusia lainnya. Contohnya Nabi Ayub AS. Allah SWT mengujinya dengan kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, tapi ia tetap sabar.
Setelah para Nabi dan Rasul, orang yang ujiannya sangat berat adalah para shalihin dan para ulama. Demikianlah secara berurutan, hingga Allah SWT menimpakan ujian yang ringan kepada orang-orang awam, termasuk kita di dalamnya. Yang pasti, ketika setelah seseorang mengikrarkan diri beriman, maka Allah akan menyiapkan ujian baginya.
Dalam Alquran tertulis janji Allah, ''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta'' (QS Al Ankabut: 2-3).
Suatu ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya pelacur. Dengan usil, lelaki itu menggoda si wanita sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, si wanita-pun marah. Lantaran terkejut, lelaki itu menoleh ke belakang, hingga mukanya terbentur tembok dan ia pun terluka. Pasca kejadian, lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya. Rasulullah SAW berkomentar, ''Engkau seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik''. Setelah itu, Rasul mengucapkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.
SADARILAH bahwa masing-masing kita akan ada ujiannya, ujian juga merupakan takdir Allah yang wajib diterima minimal dengan kesabaran. Dan ini tentunya harus mengucapkan Alhamdulillah jika mampu diterima dengan ridha bahkan rasa syukur. Tidak ada manusia yang tidak pernah tidak mendapat ujian dengan mengalami kesusahan dan kesedihan. Setiap ujian pasti Allah timpakan sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya, dan ini berarti justru wujud cintanya Allah Kepada kita.
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi, shahih).
Mari renungkan hadist ini. Apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kepada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia agar Allah tidak menghukum kita lagi diakhirat. Tentunya hukuman di akhirat jauh lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Maka tentu orang yang berakal dan beriman kepada hari akhirat, akan lebih memilih hukuman disegerakan di dunia daripada ditunda di hari kiamat kelak.
Apakah kita ridha atau murka dengan takdir Allah, Kemudian apabila kita murka dan tidak terima, apakah bisa merubah takdir dan keadaan kita saat ini. Untuk itu mari kita ridha dan bahagia dengan takdir Allah. Kita harus berprasangka baik kepada Allah karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Apabila kita murka dan tidak ridha, berarti itulah kenyataannya bahwa musibah ini turun sebagai adzab bagi kita.
Apabila kita ridha dan berusaha memperbaiki diri, semoga ini adalah ujian yang mengangkat derajat kita. Sebagaimana kata Allah, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila aditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157).
Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.
Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.
Alasan Suatu Harta Diharamkan?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:
Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.
Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.
Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]
Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.”[1]
Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.
Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”[2]
Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya”[3]
Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.
Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[4]
Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]
Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.
Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[6]
Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:
لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]
Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”
Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:
تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[8]
Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.
Cara Bertaubat Dari Kedua Jenis Harta Haram
Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:
Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.
Bertekad untuk tidak mengulanginya.
Memohon ampun kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya. Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang tata cara bertaubat dari harta riba:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 279]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]
Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.
Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.
Hal itu mungkin ditangguhkan juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah, yang memiliki sifat Al-Halim (Yang Mahalembut).
Atau karena orang yang terzalimi sebelumnya telah berbuat zalim kepada yang lain pada masa hidupnya, lalu kezaliman yang menimpa dirinya merupakan hukuman atas kezaliman dia sendiri pada masa lalu.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
لَيْسَ شَيْءٌ أُطِيعُ اللهَ فِيهِ أَعْجَلَ ثَوَابًا مِنْ صِلَةِ الرَّحِمِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ أَعْجَلَ عِقَابًا مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada sesuatu yang aku patuhi kepada Allah di dalamnya (amalan itu) lebih cepat mendapat ganjaran lebih dari menyambung tali silaturahim, dan tidak ada sesuatu yang lebih cepat hukumannya dari berbuat zalim dan memutus tali silaturahim.” (HR Baihaqy).
Oleh karena itu, balasan bagi orang zalim di dunia ini mungkin muncul pada kesimpulannya, yaitu akhir hidupnya akan sangat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda:
إن اللهَ ليُملي للظالمِ، حتّى إذا أخذه لم يفلتْهُ، قال: ثمّ قرأ: وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
"Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya." Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: 'Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.' (Qs Hud ayat 102).
Sebagaimana Allah menghinakan pelaku zalim saat di dunia, yang merasakan kepahitan hidup dan kehinaannya, Allah juga akan menyiksanya pada hari kiamat. Di antara hukuman duniawi pelaku kezaliman ialah diharamkannya dia dari keberkahan dan dihilangkannya nikmat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qalam yang menceritakan tentang para pemilik kebun, dan mereka pelit, mereka bertekad untuk tidak memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Allah berfirman:
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ*وَلَا يَسْتَثْنُونَ*فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ*فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ*فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ*أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ*فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ*أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ*وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ*فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ*بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " lalu kebun itu diliputi malapelaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." (QS Al Qalam ayat 17-27).
Ancaman Allah SWT
Meski perbuatan zalim sudah ada ancaman hukumannya baik di dunia maupun di akhirat, tetap saja perbuatan itu digemari. Padahal pelakunya orang berpendidikan, orang yang tahu hukum manusia dan hukum Allah SWT, dan orang yang beragama.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat.
Sebab, zalim merupakan perbuatan yang dilarang agama. Maka, Allah SWT menunda siksaan mereka dan ajal mereka, agar mereka segera bertaubat atau mereka kian bertambah zalim dan melampaui batas?
Dalam QS Ali Imran 178, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.
Itulah firmanNya, bahwa Allah SWT menangguhkan orang-orang zalim tetap berada di dunia untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah.
Kisah nyata
Terkait Zalim ini, ada kisah nyata yang mirip sesuai janji Allah SWT untuk seseorang. Mungkin ini kisah hanya sekadar mirip. Tetapi, bila dilihat kasusnya, mungkin benar sebagai hukuman orang zalim di dunia. Selama hidupnya, saat seharusnya amanah, tetapi malah bersikap sebaliknya, hukuman atau balasan dari Allah itu justru sudah ditunjukkan saat masih hidup di dunia dengan sakit menahun yang hanya tergeletak di tempat tidur.
Banyak kisah-kisah nyata lainnya tentang orang-orang yang tak amanah ini. Ada yang selama hidupnya terus nampak tak terjadi apa-apa. Tetapi ada, yang masih hidup di dunia saja sudah dihukum. Seperti contoh yang saya sebut.
Inilah balasan langsung dari Allah atas sikap sebelumnya yang bisa disebut bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, kejam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap itu adalah zalim.
Yah, sikap zalim bisa dilakukan oleh perseorangan, kelompok, hingga golongan. Bila yang melakukan adalah perseorangan, contohnya adalah yang sakit menahun itu.
Kini, di depan mata, orang-orang juga telah dan terus menjadi saksi, ada yang kukuh bersikap menzalimi, yaitu menindas, menganiaya, dan berbuat sewenang-wenang.
Padahal, orang-orang yang sayang kepada mereka, sudah mengingatkan agar menghentikan sikap zalim dan menzalimi melalui berbagai cara. Namun, nampaknya mereka sudah buta mata, buta telinga dan buta hati. Tak ada pengingatan yang digubris. Luar biasa, seolah dunia ini milik mereka.
Mereka tetap asik-masyuk dengan tingkah polah kezaliman, yaitu bengis, kejam, tidak adil, dan merampas hak orang lain.
Orang waras jangan mengalah
Melihat fenomena kezaliman ini, banyak orang yang bilang, sing waras ngalah, orang yang waras mengalah sebab kita sedang melawan orang gila, orang zalim.
Lha, kalau yang waras ngalah, maka kezaliman akan terus bergulir, dong? Kasihan orang-orang yang ada urusan dengan orang gila yang zalim. Sampai kapan orang-orang ini akan dizalimi?
Bila yang waras ngalah, maka balasan kepada orang gila yang zalim, juga akan seperti seseorang yang zalim, balasannya masih di dunia nyata, belum di duniaNya.
Untuk itu, bagi orang yang waras, janganlah pernah mengalah kepada orang yang zalim dan menzalimi kita. Meski kita telah disakiti oleh mereka, mari terus kita balas perbuatan mereka dengan perbuatan baik.
Sadarkan mereka dengan berbagai cara dan upaya, karena perbuatan zalim itu sangat hina dan mendampak buruk kepada siapa saja yang dizalimi. Jadi, kezaliman harus dilawan. Dengan terus kita bantu untuk mengingatkan, mungkin, mata, telinga, dan hati yang selama ini terkunci, akan terbuka dan membikin mereka sadar bahwa mereka telah berbuat zalim.
Namun, sebagai manusia biasa, kemampuan kita hanya sebatas mengingatkan dan tidak mengalah, tidak kalah oleh kezaliman. Bila ternyata pengingatan dan sikap tidak mengalah kita tetap tidak digubris oleh orang yang zalim, ada Allah SWT yang akan mengadilinya.
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
- Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
- Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
- Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
- Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
- Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
- Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
Menengadahkan tangan ke langit.
Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
Mengenal calon pasangan sangat penting pada tahap pertama. Cara terbaik untuk saling mengenal adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Berikut adalah daftar panjang pertanyaan penting untuk diajukan kepada calon suami:
- Berapa umurmu?
- Apa negara tempat tinggal Anda?
- Apa negara kelahiran Anda?
- Bagaimana kamu menggambarkan diri Anda?
- Apa yang kamu cari dalam diri seorang istri?
- Apa pekerjaan yang kamu lakukan?
- Apa hal yang paling Anda hargai dalam hidup Anda?
- Pernahkah kamu menikah sebelumnya?
- Apakah kamu memiliki penyakit fisik atau mental?
- Apa konsep pernikahan kamu?
- Apa harapan kamu pada pernikahan?
- Apa cita-citamu?
- Mengapa kamu memilih saya sebagai pasangan potensial?
- Apa peran agama dalam hidup kamu?
- Apa pemahaman kamu tentang pernikahan Islami?
- Apakah kamu orang yang aktif di komunitas Muslim?
- Apakah kamu terlibat dalam kegiatan sukarela?
- Dalam pemahaman kamu, apa peran seorang suami dan apa peran seorang istri?
- Apakah kamu ingin mempraktikkan poligami?
- Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga kamu?
- Apakah kamu berencana meminta seseorang dari keluarga kamu tinggal bersamamu setelah menikah?
- Apakah kamu punya teman atau sahabat dari lawan jenis?
- Bagaimana tingkat persahabatan kamu?
- Bagaimana kamu menghabiskan uang?
- Bagaimana kamu menghemat uang?
- Apa yang kamu lakukan di waktu luang?
- Bagaimana kamu membuat keputusan?
- Bagaimana kamu mengekspresikan kemarahan?
- Menurut kamu, bagaimana perselisihan perkawinan harus diselesaikan?
- Tolong definisikan pelecehan mental, verbal, dan emosional.
- Apakah kamu bersedia mencari konseling perkawinan jika merasa diperlukan?
- Apakah kamu mendukung gagasan istri yang bekerja?
- Apakah kamu mengharapkan istri ikut berbagi tanggung jawab finansial bersama dengan kamu?
Di dalam surat Al- Qashash ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Ta’ala berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya.
Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Ta’ala. Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia. Allah Ta’ala menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
“Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)
Jelas sudah, bahwa kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.
Menurut KH Abdullah Gymnastiar atau dai yang dikenal dengan sapaan Aa Gym, saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam
“Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya,”ungkapnya dalam salah satu tausiyahnya di MQTV ini.
Aa Gym mengajak kita renungkan pesan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terkandung dalam surat At Takatsur,
“Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8). Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.
Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . Karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.
Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.
Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Memahami amalan qaashir dan amalan muta’addi
Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kita perlu mengenal dua amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi.
Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.
Manakah yang lebih afdal, apakah amalan qaashir ataukah amalan muta’addi?
Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Di antaranya yang dijadikan dalil adalah hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).
Juga hadits,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406; dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan bahwa keutamaan di sini dari sisi jenis, bukan berarti semua amalan muta’addi lebih afdal dari amalan qaashir. Shalat, puasa, dan haji termasuk dalam ibadah qaashirah—dalam hukum asalnya–, namun ibadah ini termasuk dalam rukun Islam dan merupakan amalan Islam paling penting. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8.
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, para ulama berkata,
إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ
“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.
Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.
Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar. Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.
Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya. Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.”
Referensi : Amalan Qaashir dan Muta’addi
Sahabat, ujian kehidupan pasti akan dialami oleh setiap kita. Ujian tersebut dibagi menjadi 2, yaitu: ujian dunia dan ujian agama.
Kali ini kita hanya akan membahas ujian dunia saja. Ujian ini adalah ujian yang sering kita hadapi, terlihat secara dzahir. Misalnya kehilangan orang yang dicintai, kemiskinan, kekayaan, jabatan tinggi, cacat tubuh, dan lain-lainnya.
Ketika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah mengujinya dengan ujian-ujian dunia. Tujuannya tentu saja untuk memberikan pahala atau menghapus dosa. Perlu diingat bahwa setiap ujian dunia yang menimpa orang beriman, insya Allah akan selalu ada kebaikan dan hikmah bagi dirinya.
Oleh karena itu dalam sebuah hadits dari sahabat Anas radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh menakjubkan seorang mukmin. Tidaklah Allah menetapkan kepadanya sesuatu kecuali itu merupakan kebaikan baginya.“ (H.R Ahmad)
Akan tetapi, ketika ujian dunia menimpa orang-orang yang tak memiliki keimanan di hatinya, maka sangat mungkin ujian tersebut berbuah malapetaka, yakni membuat diri semakin jauh dari Allah karena tidak ridho atas kehendakNya.
“Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031)
Oleh sebab itu, penting untuk senantiasa ingat bahwa ujian adalah tanda cinta Allah, tugas kita adalah ridho pada ketentuan-Nya, sehingga ujian tersebut akan membawa kebaikan pada diri kita dan bukan malah membawa murkaNya.
Ketika kita mendapatkan musibah dan bencana yakini bahwa itu terjadi karena kehendak Allah Swt. Tentunya Allah tidak akan memberikan cobaan yang berat di luar kemampuan hambanya itu sendiri. Kewajiban kita adalah menghadapi segala cobaan dengan bersabar, rida, dan menerima ketetapan Allah tersebut.
Dilansir dari berbagai sumber, ada empat kelompok manusia dalam menyikapi cobaan dan musibah di dunia. Mereka adalah:
1. Kelompok orang-orang yang lemah
Yakni orang yang selalu mengeluh terhadap setiap keadaan. Selalu mengadu namun bukan kepada Allah Swt tetapi kepada sesama manusia. Padahal setiap cobaan yang dihadapi kita serahkan kepada sang pencipta dan berkeluh kesah kepada-Nya agar diberikan sesuatu yang lebih baik lagi.
2. Kelompok orang yang bersabar
Sabar di sini adalah ketika dihadapkan dengan musibah, ia senantiasa bersabar menahan diri dari melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah Swt. Orang yang sabar dalam menghadapi musibah senantiasa berdoa agar Allah menghilangkan atau meringankan musibah yang tengah dialami.
3. Kelompok orang-orang yang ridha
Yakni berlapang dada ketika menghadapi musibah. Orang-orang yang ridha atas musibah akan menyadari jika semua yang terjadi atas kehendak Allah Swt. Dalam kelompok ini, seolah-olah tidak merasa mendapatkan cobaan karena derajat ridha atas musibah lebih tinggi tingkatannya dari sabar.
4. Kelompok orang yang bersyukur
Bagaimana bisa mendapatkan musibah kita bersyukur? Aneh kedengarannya, ditimpa musibah kok malah bersyukur. Ya memang demikian kelompok ini, baginya musibah adalah sesuatu yang harus dinikmati. Malah, kalau bisa dia berharap agar musibah itu tidak lekas hilang darinya. Yang menempati derajat ini adalah para nabi dan rasul, wali-wali Allah, orang-orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang mendalam.
Bahkan, dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengibaratkan mereka yang kehilangan thuma’ninah, adalah para pencuri shalat.
”Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dari shalatnya. Para sahabat nabi bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dia mencuri dari shalatnya?’ Beliau menjawab, [Ia] tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya.” (HR Ahmad).
Suatu hari, seusai shalat berjamaah, Rasulullah duduk bersama para sahabatnya di salah satu sudut masjid. Tiba-tiba datang seorang laki-laki ke sebuah sudut lain dan langsung mengerjakan shalat sendirian. Dalam shalatnya orang itu rukuk dan sujud dengan cara mematuk (sebentar-sebentar) karena terburu-buru. Melihat hal itu, kemudian Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, ”Apakah kalian menyaksikan orang ini? Barang siapa meninggal dalam keadaan [shalatnya] seperti ini, maka dia meninggal di luar agama Muhammad.” Nabi SAW kemudian meng-qiyas-kan (memperumpamakan) orang itu seperti burung gagak yang sedang mematuk darah dan seperti orang lapar yang hanya makan sebutir atau dua butir kurma. ”Bagaimana dia bisa kenyang?” tanya beliau. Sikap terburu-buru dalam shalat, hingga merusak gerakan dan makna shalat, menurut Muhammad Shalih Al-Munajim termasuk perbuatan dosa. Hal itu sama saja dengan memusnahkan thuma’ninah ‘tenang/diam sejenak’ yang merupakan salah satu rukun shalat.
Padahal, tidak ada shalat tanpa melengkapi rukun-rukunnya. Jadi, dengan tidak dipenuhinya thuma’ninah, shalat bukan sekadar tidak sah, melainkan shalat itu dianggap tidak ada. Allah bahkan mengancam orang-orang yang shalatnya seperti itu dengan kutukan bahwa mereka akan celaka. Pasalnya, dengan meninggalkan hal tersebut (thuma’ninah), mereka sudah lalai dalam shalat (QS Al-Ma’un: 4).
Mengapa Allah dan Nabi SAW sedemikian mencela dan mengancam perbuatan itu, sampai disamakan dengan mencuri? Sebab, shalat adalah hubungan batin antara hamba dan Allah yang sangat sakral. Hubungan khusus itu mengandung makna penghambaan dan penghormatan kepada Sang Pemilik Kehidupan, Allah yang Maha Agung.
Pertanyaan.
Apakah ada hadits-hadits yang berkaitan dengan surat-surat, doa, ungkapan dan lain sebagainya yang wajib kita baca pada hari Jum’at? dan berapa kali diwajibkan untuk membacanya ?
Jawaban
Alhamdulillah.
Hari Jum’at termasuk hari-hari yang utama yang disunnahkan untuk memperbanyak berdzikir kepada Allah secara umum.
Allah –Ta’ala- berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. [Al Jumu’ah/62: 10]
Dan dzikir-dzikir yang disunnahkan selain untuk hari Jum’at maka tingkat sunnahnya ditambah karena keutamaan hari ini.
An Nawawi –rahimahullah- berkata: “Ketahuialah bahwa apa yang dibaca pada selain hari Jum’at, bisa diucapkan pada hari Jum’at, sunnahnya memperbanyak dzikir di dalam hari Jum’at lebih bertambah dari pada (hari) lainnya”. (Al Adzkar: 71)
Dan di antara dzikir-dzikir yang terpenting adalah dzikir pagi dan sore
Adapun dzikir-dzikir yang khusus adalah:
Pertama : Memperbanyak shalawat kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Dari Aus bin Aus berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ قُبِضَ، وَفِيهِ النَّفْخَةُ، وَفِيهِ الصَّعْقَةُ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. قَالَ: قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ – يَقُولُونَ: بَلِيتَ -؟ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ
رواه أبو داود (1047)، والنسائي (1374) وابن ماجه (1085)، وصححه الألباني في “صحيح سنن أبي داود” (4 / 214)، وقال: ” إسناده صحيح على شرط مسلم… وصححه ابن حبان أيضا والنووي ” انتهى.
“Sungguh di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at, pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu juga beliau diwafatkan, pada hari itu juga terjadi tiupan sangkakala, pada hari itu juga terjadi dentuman (hari kiamat), maka perbanyaklah oleh kalian bershalawat kepadaku pada hari tersebut, sungguh shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku”. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, dan bagaimana shalawat kami diperlihatkan kepadamu ? sementara (jasad) engkau sudah rusak ?, beliau bersabda: “Sungguh Allah –‘azza wa jalla- telah mengharamkan kepada tanah (untuk memakan) jasad para Nabi”. [HR. Abu Daud: 1048, An Nasa’i: 1374, Ibnu Majah: 1085 dan telah ditashih oleh Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud (4/214) dan berkata: Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim dan telah ditashih juga oleh Ibnu Hibban juga dan Nawawi]
Kedua: Membaca surat Al Kahfi
Dari Abu Sa’id al Khudri –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
Baca Juga Hukum Shalat Jum'at Pada Hari Raya, Hukum Mandi Untuk Shalat Jum'at
إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
رواه الحاكم في “المستدرك” (2 / 368)، وقال: “هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ”، وصححه الألباني في “إرواء الغليل”3 / 93
“Sungguh barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at maka akan ada cahaya yang bersinar baginya di antara kedua Jum’at”. [HR. Al Hakim di dalam Al Mustadrak (2/368) dan ia berkata: “hadits ini sanadnya shahih namun keduanya tidak meriwayatkannya”, dan telah ditashih oleh Albani di dalam Irwa’ al Ghalil (3/93)].
Ketiga: Bersungguh-sunguh untuk berdoa pada siang hari di hari Jum’at.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyebutan terkait hari Jum’at seraya bersabda:
فِيهِ سَاعَةٌ، لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ ) وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا
رواه البخاري 935 ومسلم 852
“Di dalamnya terdapat suatu jam (waktu), dimana seorang muslim tidak mendapatkannya dalam keadaan ia sedang shalat dengan meminta sesuatu kepada Allah, kecuali Dia akan memberikan kepadanya (beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjukkan sebentar saja)”. [HR. Bukhori: 935 dan Muslim: 852]
Ada banyak pendapat terkait dengan batasan dari suatu jam pada hadits di atas, yang paling kuat adalah dua pendapat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim –rahimahullah- beliau berkata:
“Dan yang paling kuat dari semua pendapat ini adalah : dua pendapat yang telah mencakup hadits-hadits yang telah ditetapkan, dan salah satu dari keduanya lebih kuat dari yang lainnya.
Pendapat Pertama : Jam (istimewa tersebut) adalah mulai duduknya imam sampai selesai shalat, yang menjadi dasar dari pendapat ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya dari hadits Abu Burdah bin Abu Musa bahwa Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
أسمعت أباك يحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في شأن ساعة الجمعة شيئا؟ قال: نعم سمعته يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ ….)
“Saya telah memperdengarkan ayah anda meriwayatkan dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait dengan suatu jam pada hari Jum’at ?, beliau berkata: “Ya, saya telah mendengarnya, beliau berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “(Waktu itu) adalah antara pada saat imam duduk sampai shalat selesai didirikan…”.
Pendapat kedua: Waktu tersebut adalah setelah ashar, inilah pendapat yang lebih kuat dari kedua pendapat tersebut, hal ini merupakan pendapat Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad dan banyak lagi. Yang menjadi dasar dari pendapat ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dari hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
Baca Juga Tidak Bershadaqah Pada Hari Jum'at, Mengkhususkan Hari Jum'at Berpuasa
إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ
“Sungguh pada hari Jum’at ada saat di mana seorang muslim tidak mendapatkannya dalam keadaan memohon kepada Allah –‘Azza wa Jalla- di dalamnya suatu kebaikan, kecuali Dia akan memberikan kepadanya, dan hal itu setelah shalat Ashar”.
Abu Daud dan Nasa’i telah meriwayatkan dari Jabir dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
يَوْمُ الْجُمُعَةِ ثِنْتَا عَشْرَةَ – يُرِيدُ – سَاعَةً، لَا يُوجَدُ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا، إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
“Hari Jum’at pada jam 12.00 tidak ada seorang muslim yang memohon kepada Allah –‘Azza wa Jalla- sesuatu, kecuali Allah akan mengabulkannya, maka carilah oleh kalian waktu tersebut pada akhir waktu setelah shalat Ashar”.
Inilah pendapat kebanyakan ulama salaf dan kebanyakan hadits sesuai dengan hal tersebut.
Pendapat berikutnya adalah waktu tersebut adalah waktu shalat.
Sisa pendapat yang lainnya tidak ada dalilnya.
Menurut hemat saya, bahwa waktunya shalat di dalamnya diharapkan menjadi waktu mustajab juga, keduanya adalah waktu mustajab, dan jika jam khusus tersebut adalah waktu setelah Ashar, maka waktu tertentu itu ada pada satu hari itu tidak maju dan tidak mundur, adapun jam shalat maka akan mengikuti waktu shalat, bisa maju dan bisa mundur; karena berkumpulnya umat Islam, shalat mereka, ketundukan mereka, mubahalah (mendekatkan diri mereka) kepada Allah akan mempengaruhi waktu mustajab, maka jam berkumpulnya mereka ini adalah jam yang diharapkan menjadi waktu mustajab, yang demikian ini sesuai dengan semua hadits yang ada, dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menganjurkan umatnya untuk berdoa, bermubahalah kepada Allah pada kedua waktu tersebut”. (Zaad al Ma’aad: 1/377-382)
An Nawawi –rahimahullah- berkata: “Para ulama salaf dan khalaf telah berbeda pendapat terkait waktu khsusus (hari Jum’at) menjadi banyak pendapat yang tersebar luas, saya telah mengumpulkan semua pendapat yang ada di dalam Syarh al Muhadzab dan telah saya jelaskan siapa yang mengatakannya, dan sungguh banyak dari para sahabat berpendapat bahwa waktu tersebut adalah setelah shalat Ashar. Maksudnya semenjak orang berdiri melaksanakan shalat adalah orang yang menunggu masuknya waktu shalat maka ia dihukumi sebagai orang yang shalat”. (Al Adzkar: 144)
Referensi :Doa-Doa Dzikir Pada Hari Jum’at
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ – وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ – فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat.
Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’.[1] Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun setelah peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang terakhir diturunkan. [2]
Dalilnya yaitu:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.[3]
Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama tafsir. Ibnu Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu Makkah. Karena firman Allah
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
Menunjukkan dengan sangat jelas kalau penaklukan kota Mekkah belum terjadi.[4]
Penjelasan Ayat
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
(Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya.[6]
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,”Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbondong-bondong.”[7]
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: “Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”.[8]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.”[9]
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat senada.[10]
وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ
(Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: “Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur”. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah berhasil dikuasi.
Bangsa Arab berkata: “Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”.[12]
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu akan berlangsung terus-menerus sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
(Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: “Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[15].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)”.[16]
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: “(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita”. Pernyataan ini muncul, saat ‘Umar bin al Khaththab Radhiyallahu anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan surat an-Nashr.[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata: “Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar g ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka’at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu anhu pada hari penaklukan kota Mada-in”. [18]
اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
(Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?[19]
Isyarat Lain Dari Makna Kemenangan.
Selain makna yang sudah dikemukakan di atas, juga terdapat pengertian lain yang terkandung dalam surat yang mulia ini.
Menurut Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah, ayat ini menjadi isyarat mengenai (datangnya) ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah dekat dan hampir tiba. Bahwa umur beliau adalah umur yang mulia, Allah bersumpah dengannya. Sudah menjadi kebiasaan pada perkara-perkara yang mulia ditutup dengan istighfar, misalnya shalat, haji dan ibadah lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengucapkan pujian dan istighfar dalam keadaan seperti ini, sebagai isyarat tentang ajal beliau yang akan berakhir. (Maksudnya), hendaknya beliau bersiap-siap untuk menjumpai Rabbnya dan menutup usianya dengan amalan terbaik yang ada pada beliau alaihis shalatu wassalam.
Ibnul Jauzi rahimahullah sendiri memberikan pandangannya mengenai ayat ini. Beliau rahimahullah berkata,”Para ulama tafsir mengatakan, telah disampaikan dan diberitahukan kabar wafat beliau, dan sungguh waktu ajal beliau sudah dekat. Maka diperintahkan untuk bertasbih dan istighfar guna menutup usia dengan tambahan amalan shalih.”[20]
Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al Jazairi: “Ayat ini membawa tanda dekatnya ajal bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [21]
Imam al Bukhari rahimahullah dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia bercerita:
Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang tua yang ikut serta dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai kehadiranku. Ada yang berkata: “Kenapa (anak) ini masuk bersama kita. Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?”
‘Umar menjawab,”Sungguh, kalian mengetahui (siapa dia),” maka suatu hari ‘Umar Radhiyallahu anhu memanggilku dan memasukkanku bersama mereka. Tidaklah aku berpikir alasan beliau mengundangku, selain ingin memperlihatkan kapasitasku kepada mereka.
Beliau berkata (kepada orang-orang): “Apakah pendapat kalian tentang firman Allah:
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
Mereka menjawab,”Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita.” Sebagian orang terdiam (tidak menjawab). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu anhu beralih kepadaku: “Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyalalhu anhuma ?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyalalhu anhuma ) menjawab,”Tidak!”
‘Umar bertanya,”Apa pendapatmu?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyalalhu anhuma ) menjawab,”Itu adalah (kabar tentang) ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ . Dalam keadaan seperti itu terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”
‘Umar Radhiyallahu anhu berkomentar: “Tidaklah yang kuketahui darinya (surat itu), kecuali apa yang engkau sampaikan”.[22]
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُولُهَا قَالَ جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِي إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ
Sebelum wafat, Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Aisyah bertanya,”Wahai Rasulullah untuk apakah kata-kata yang aku melihat engkau tidak biasa engkau ucapkan?” Beliau menjawab,”Telah ditetapkan bagiku sebuah tanda pada umatku. Bila aku telah menyaksikannya, aku akan mengucapkannya (kata-kata tadi) : idza ja`a nashrullahi wal fath …dst.“ [23]
Dalam riwayat lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَدْ رَأَيْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ …
Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Maka aku bertanya: “Aku melihatmu memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik,” Beliau menjawab,”Rabbku telah memberitahukan kepadaku, bahwasanya aku akan menyaksikan tanda pada umatku. Jika aku melihatnya, aku akan memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Sungguh aku telah menyaksikannya idza ja`a nashrullahi wal fath.” Al fathu, maksudnya penaklukan kota Mekkah…dst.[24]
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat”. [25]
Apa yang Diampuni Dari Diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Mulia?
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap memanjatkan permohonan ampunan, padahal dosa-dosa beliau sudah terampuni, baik yang sudah berlalu maupun yang akan datang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya mengangkat pandangan Ibnu Katsir yang menggambarkan kesempurnaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ibnu Katsir berkata: “Pada seluruh urusannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam ketaatan, kebaikan, istiqamah yang tidak terdapat pada manusia lainnya, baik dari kalangan orang-orang terdahulu, maupun generasi kemudian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling sempurna secara mutlak, dan pemimpin manusia di dunia dan akhirat”.[26]
Al Qadhi Ibnul ‘Arabi mengungkapkan alasannya, para ulama hadits meriwayatkan, bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, beliau memanjatkan doa yang berbunyi:
رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ya Allah, ampunilah kesalahanku, tindak kebodohanku, sikap berlebihanku dalam seluruh urusanku, dan yang Engkau lebih mengetahuinya. Ya Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku dan kebodohanku, gurauanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang sudah aku kerjakan dan apa yang belum aku kerjakan, apa yang aku sembunyikan dan apa yang aku tampakkan. Engkaulah Dzat Yang mendahulukan (dan menempatkannya pada tempatnya), dan Engkau Dzat yang mengundurkan (dan menempatkannya pada tempatnya) dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.[27]
Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu ada pada diriku begitu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (beliau) terbebas darinya. Hanya saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap (amalan) pribadinya sedikit, lantaran begitu besarnya curahan nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang “kekurangan” dalam menjalankan hak kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai dosa-dosa. Sementara dosa-dosaku, aku lakukan dengan penuh kesengajaan, tak acuh, dan merupakan pelanggaran yang nyata. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala masih sudi membuka pintu taubat dan menganugerahkan perlindungan dengan karunia, kemurahan dan rahmat-Nya, tiada Rabb selain-Nya”.[28]
Baca Juga Kekayaan Bukan Tanda Kemuliaan, Kemiskinan Bukan Petunjuk Kehinaan
Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di atas, beliau juga membawakan beberapa keterangan lain. Bahwa maksud permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: (1) Memintakan ampunan bagi umatmu. (2) Istighfar merupakan ibadah yang harus dikerjakan, bukan untuk memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud (ibadah). (3) Untuk mengingatkan umat beliau, agar jangan merasa aman (dari dosa) sehingga meninggalkan istighfar.[29]
Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat, permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan cermin ketawadhuan, ketaataan dan ketundukan, serta ungkapan syukur beliau kepada Rabbnya, lantaran mengetahui dosa-dosanya sudah diampuni.[30]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip keterangan Imam ath-Thabari rahimahullah tentang masalah ini, yang menyampaikan alasan, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar ialah untuk melaksanakan perintah Allah yang ditujukan kepada beliau, yaitu agar bertasbih dan memohon ampunan, bila datang pertolongan dari Allah dan penaklukan (kota Mekah). Selain itu, al Hafizh juga menukil penjelasan al Qurthubi (penulis al Mufhim), bahwasannya terjadinya dosa dari para nabi adalah mungkin, karena mereka juga orang-orang mukallaf, hingga khawatir kalau itu terjadi pada diri mereka, dan akibatnya tersiksa karenanya. Pendapat lainnya, yaitu agar umatnya meneladani beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[31]
Sebab-Sebab Diturunkan Ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Mengenai faktor-faktor yang dapat mendatangkan turunnya maghfirah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di rahimahullah menghitungnya berjumlah empat.
Pertama, Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari keadaan yang tidak disukai-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai oleh-Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan menghapus dosa-dosa, besar kecil sebelumnya.
Kedua, Keimanan. Yaitu pengakuan dan pembenaran yang mantap lagi menyeluruh terhadap semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mengharuskan pelaksanaan amalan-amalan hati, yang diikuti dengan amalan-amalan jawarih (anggota tubuh). Tidak disangsikan, kadar keimanan dapat menghapus dosa-dosa yang sudah terjadi dan dapat menghalanginya dari terjerumus ke dalam dosa. Sesungguhnya seorang mukmin, dengan keimanan dan pancaran keimanan yang tertancap kuat di dadanya, ia tidak sudi menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga, Amalan shalih. Ini mencakup seluruh amalan, amalan hati, amalan jawarih, ucapan-ucapan lisan. Sebab kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.
Keempat, Istiqamah di atas keimanan dan hidayah serta berusaha mendulang tambahannya.
Siapa saja yang berhasil menempuh empat langkah ini, bergembiralah dengan mendapatkan ampunan dari Allah yang menyeluruh.[32]
Pijakan yang dipakai sebagai landasan Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah atas keterangan tersebut, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَاِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدٰى
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.[Thaha/20:82].
Pelajaran dari Surat An-Nashr:
- Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada umat Islam.
- Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di antaranya dengan sujud syukur.
- Kewajiban untuk selalu beristighfar setiap saat.
Maraji:
- Aisar at-Tafasir li Kalamil-‘Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam, al Madinah al Munawwarah, KSA.
- Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M, Dar al Kitab al ‘Arabi.
- Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
- Ikmalul-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, al Qadhi ‘Iyadh, Tahqiq Yahya Isma’il, Darul Wafa, Cetakan I, Tahun 1419 H / 1998 M.
- Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
- Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq ‘Abdullah al ‘Ajmi.
- Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
- Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
- Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, ‘Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
- Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali (Ibnul Jauzi), Tahqiq ‘Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.
Referensi : Tafsir Surat an-Nashr
Iman merupakan tujuan dan maksud terbaik dan teragung.
Dengannya seorang hamba akan merasakan kehidupan yang tenteram di dunia dan di akhirat; Juga dengannya dia terhindar dari hal-hal yang tidak menyenangkan, keburukan dan siksa.
Dengannya pula dia akan mendapatkan anugerah terindah dan terluas.
Dengan keimanan, seseorang akan meraih pahala akhirat sehingga dia akan dimasukkan ke dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga itu berisi kenikmatan abadi dan anugerah yang agung, kenikmatan yang tidak pernah terlihat mata dan tidak pernah terdengar telinga serta tidak pernah terlintas dalam hati manusia.
Dengan keimanan, seseorang akan terselamatkan dari neraka yang azabnya keras, lubangnya dalam serta sangat panas apinya.
Dengan keimanan, seseorang akan beruntung bisa meraih ridha Rabbnya sehingga dia akan terhindar dari murka-Nya dan dia juga akan merasakan kenikmatan melihat wajah Rabbnya pada hari kiamat tanpa ada yang membahayakannya atau menyesatkannya.
Dengan keimanan, hati dan jiwa akan menjadi tenang dan bahagia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh Azza wa Jalla . Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allâh Azza wa Jalla -lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra’d/13:28]
Alangkah banyaknya faidah, pengaruh positif, buah serta kebaikan iman yang tak pernah putus dalam kehidupan dunia dan akhirat, tidak ada yang bisa menghitung dan mengetahuinya kecuali Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan. [as-Sajdah/32:17]
Sesungguhnya keimanan itu adalah (ibarat-pent) pohon yang penuh berkah, yang sangat banyak faidahnya. Pohon ini memiliki tempat khusus yang memungkin dia tumbuh subur, memiliki minuman khusus, juga memiliki akar dan cabang-cabang serta memiliki buah yang manis. Tempat tumbuhnya iman itu adalah hati. Di sana, bibit dan pokok keimanan diletakkan (ditanam-pent) dan darinya pula cabang-cabangnya akan bermunculan. Adapun minumannya adalah wahyu Allâh yaitu al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan wahyu inilah pohon keimanan itu harus disiram, tanpa itu pohon keimanan tidak bisa hidup dan tidak akan bisa tumbuh.
Adapun akar dari pohon keimanan adalah rukun iman yang enam yaitu beriman kepada Allâh Azza wa Jalla , para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta beriman kepada takdir baik dan buruk-Nya. Yang tertinggi adalah beriman kepada Allâh Azza wa Jalla . Dialah inti dari semua akan pohon keimanan tersebut. Sedangkan cabang-cabang pohon keimanan itu adalah semua amal-amal shaleh, ketaatan-ketaatan yang bervariasi dan berbagai ibadah yang dilakukan oleh seorang Mukmin, seperti shalat, puasa, zakat, haji, perbuatan bakti kepada orang lain dan lain sebagainya.
Adapun buahnya, dialah semua kebaikan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh seorag Mukmin di dunia dan akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97]
Kaum Muslimin dalam masalah keimanan terbagi menjadi banyak tingkatan sesuai dengan kuat atau lemahnya sifat-sifat tersebut di atas pada diri mereka. Oleh karena itu, seorang Muslim yang sangat menginginkan kebaikan untuk dirinya, seyogyanya dia berusaha keras untuk mengetahui sifat-sifat tersebut di atas, merenunginya dan menerapkannya dalam kehidupannya agar keimanannya bertambah, keyakinannya semakin kuat dan agar kebahagiaan yang diraihnya semakin sempurna. Sebagaimana dia juga harus menjaga dirinya agar tidak terjebak dalam hal-hal yang bisa menyebabkan keimanannya berkurang dan semakin lemah, sehingga dia terselamatkan dari akibat-akibat yang buruk serta menyakitkan.
Ada banyak hal yang bisa menyebabkan keimanan itu bertambah dan semakin kuat. Diantaranya yang paling penting adalah mempelajari ilmu yang bermanfaat, membaca dan merenungi al-Qur’an, mengetahui nama-nama Allâh yang Maha Indah dan mengatahui sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi, merenungi keindahan dan kebaikan agama kita yang hanif ini, mempelajari sejarah perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para shahabatnya g , melihat dan merenungi alam yang begitu luas beserta isinya yang menjadi bukti yang menakjubkan dan nyata. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. [Ali Imran/3:191]
Keimanan juga bisa tumbuh dan bertambah dengan sebab kesungguh-sungguhan dan keseriusan seseorang dalam mentaati Allâh Azza wa Jalla , terus menerus melaksanakan berbagai perintah-Nya serta memanfaatkan waktu dalam melaksanakan perbuatan taat dan semua yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allâh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [al-‘Ankabut/29:69]
Sebagaimana keimanan itu bisa tumbuh dan bertambah dengan banyak hal, begitu sebaliknya, keimanan itu juga bisa berkurang dan semakin melemah dengan banyak sebab yang harus dihindari. Diantaranya yang terpenting adalah kebodohan (ketidaktahuan) seseorang tentang agama Allâh Azza wa Jalla ini, lalai dan berpaling darinya, melakukan perbuatan dosa dan maksiat, terus memperturutkan hawa nafsu yang senantiasa menggiring kepada perbuatan buruk, sering bergaul dengan orang-orang fasiq dan pelaku dosa, terbawa bisikan setan, tertipu dengan keindahan dunia sehingga dia menjadi dunia ini sebagai tujuan tertinggi dan terbesar.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhum, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الإِيْمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ فَاسْأَلُوْا اللهَ تَعَالَى أَنْ يُجَدِّدَ الْإِيْمَانَ فِي قُلُوْبِكُمْ
Sesungguhnya keimanan itu bisa usang dalam hati salah seorang diantara kalian sebagaimana baju bisa usang, oleh karena itu, mohonlah kepada Allâh Azza wa Jalla agar Dia memperbaharui keimanan yang ada dalam hati kalian. [HR al-Hâkim (1/4) dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîhah, no. 1585]
Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyematkan sifat usang pada keimanan sebagaimana baju bisa usang, maksudnya iman itu bisa rusak, melemah dan berkurang, dengan sebab kenekatan seseorang dalam melakukan perbuatan maksiat dan dosa serta banyaknya hal-hal yang bisa melalaikan dan menipu yang ditemui dalam perjalanan hidupnya yang bisa menghilangkan kebagusan kwalitas iman seseorang, kekuatannya serta pertumbuhannya. Oleh karena itu, dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk agar kaum Mukminin menjaga keimanannya, menguatkan keimanannya dan senantiasa berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla agar imannya semakin bertambah dan semakin berkembang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
Tetapi Allâh menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, [al-Hujurat/49:7]
Maka sebaiknya seorang hamba senantiasa menasehati dirinya sendiri agar terus-menerus menjaga sesuatu yang paling berharga dan bekal terbaik yang dia miliki saat menjumpa Allâh Azza wa Jalla yaitu keimanannya.
Saat para Salaful Ummah (pendahulu umat) ini dan generasi terbaik mereka telah benar-benar menyadari keagungan iman dan tingkat kebutuhan manusia terhadap keimanan, maka perhatian mereka terhadap keimanan itu luar biasa dan lebih dikedepankan daripada perhatian mereka terhadap segala sesuatu. Karena kebutuhan manusia terhadap keimanan itu lebih mendesak dibandingkan kebutuhan kita terhadap makanan, minuman dan udara. Para assalafusshaleh selalu menjaga keimanan mereka, memperhatikan amal perbuatan mereka dan mereka saling nasehat-menasehati dengannya.
Suatu ketika Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu pernah mengatakan kepada para shahabat beliau Radhiyallahu anhu , “Marilah kita menambah keimanan kita.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma juga pernah mengatakan, “Duduklah bersama kami untk menambah keimanan kita.” Beliau Radhiyallahu anhuma juga memanjatkan do’a :
اللَّهُمَّ زِدْنِي إِيْمَانًا وَيَقِيْنًا وَفِقْهًا
Wahai Allâh Azza wa Jalla ! Tambahkanlah untukku keimanan, keyakinan dan pemahaman.
Abdullah bin Rawâhah Radhiyallahu anhu pernah meraih tangan beberapa shahabatnya seraya mengatakan, “Ayo kita beriman sejenak! Mari kita mengingat Allâh Azza wa Jalla dan menambah keimanan dengan (melakukan) ketaatan! Semoga Allâh Azza wa Jalla mengingat kita dengan maghfirah-Nya.”
Abu Darda’ Radhiyallahu anhu mengatakan, “Diantara tanda faqihnya seseorang adalah dia mengetahui apakah dia termasuk yang bertambah ataukah berkurang imannya? Dan diantara tanda faqihnya seseorang yaitu dia mengetahui darimana tipu daya setan itu berdatangan?”
Umair bin Hubaib al-Khathami Radhiyallahu anhu mengetakan, “Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Beliau ditanya, ‘Apa yang bisa menambahnya dan apa yang bisa menguranginya?’ Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Jika kita berdzikir (mengingat) Allâh Azza wa Jalla , bertahmîd (memuji-Nya) dan bertasbih kepada-Nya. Itulah yang bisa menambahnya. Jika kita lalai, menyia-nyiakan-Nya dan melupakan-Nya, maka itu bisa menguranginya.”
Nukilan-nukilan tentang hal itu sangat banyak.
Berdasarkan uraian ini, maka seorang hamba yang mendapatkan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla akan senantiasa berusaha dalam hidupnya untuk merealisasikan dua perkara besar yaitu :
- Memperkuat keimanan dan cabang-cabangnya serta merealisasikan secara ilmiyyah juga amaliyah
- Berusaha menangkal segala yang bisa melenyapkan, membatalkan dan menggerus keimanannya, seperti fitnah-fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Juga berusaha menutupi segala kekurangannya pada point pertama ataupun kekurangan akibat kenekatannya melanggar sebagian hal pada point kedua dengan bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan melakukan apa yang ditinggalkan sebelum masanya lewat.
Terakhir, kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar menganugerahkan kepada kemampuan untuk merealisasikan dan menyempurnakan semuanya sesuai dengan keridhaan Allâh Azza wa Jalla . Semoga Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kepada kita keimanan yang benar, keyakinan yang sempurna dan taubat yang benar. Semoga Allâh Azza wa Jalla juga mengampuni kita, kedua orang orang tua kita dan semua kaum Muslimin, baik laki-laki mapun yang perempuan, karena sesungguhnya Allâh itu Maha Pengampun dan Maha penyayang.
Referensi : Agar Pohon Keimanan Tumbuh Dan Berbuah
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ﴿١٤٤﴾وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur.[Ali ‘Imrân/3:144-145]
TAFSIR RINGKAS
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan seorang rasul yang berbeda dengan para rasul yang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk para rasul yang memiliki tugas untuk menyampaikan risalah (ajaran) dari Rabb mereka dan melaksanakan perintah-Nya.
Untuk menjalankan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla , tidak disyaratkan bagi para rasul harus hidup kekal. Yang wajib dilakukan oleh seluruh umat adalah menyembah Rabb mereka pada setiap waktu dan keadaan. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman, -yang artinya-, “Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?” dengan meninggalkan keimanan, jihad dan hal-hal lainnya yang telah datang kepada kalian perintah-perintah tentangnya.
“Barangsiapa berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun.” Sebenarnya orang tersebut justru mendatangkan ke-mudharat-an untuk dirinya sendiri. Adapun Allâh, Dia Maha Kaya tidak membutuhkan orang tersebut. Allâh Azza wa Jalla tetap akan menegakkan agama-Nya dan memuliakan para hamba-Nya yang beriman.
Setelah Allâh Azza wa Jalla menghina orang yang berbalik ke belakang (murtad), Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang tetap bersama Rasul-Nya dan tetap melaksanakan perintah Rabb mereka, dengan perkataan-Nya, “Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Kesyukuran tidak akan bisa terwujud kecuali dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di setiap keadaan.
Dalam ayat ini terdapat petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya, bahwa wafatnya seorang pemimpin atau pembesar tidak boleh membuat keimanan mereka goyah apalagi meninggalkan sebagian konsekuensi keimanan tersebut.
Dan ini hanya bisa terwujud dengan mempersiapkan segala sesuatu dalam urusan agama dan mempersiapkan orang-orang yang memiliki kemampuan, sehingga apabila ada seorang di antara mereka yang wafat maka orang lain akan menggantikannya. Dan juga akan terwujud jika tujuan dan fokus kebanyakan kaum Muslimin adalah menegakkan agama Allâh dan berjihad sesuai kemampuan, bukan membela dan menegakkan pemimpin tertentu.
Dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq dan para Sahabatnya telah membunuh orang-orang yang murtad setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat karena mereka adalah para pembesar yang mempraktikkan kesyukuran kepada Allâh Azza wa Jalla .
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa batas waktu kehidupan bagi seluruh jiwa tergantung pada izin dan qadar Allâh. Barangsiapa yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan dia akan mati dengan takdirnya maka dia aka mati walaupun tanpa ada sebab. Barangsiapa yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki tetap hidup, maka dia akan tetap hidup, meskipun dia telah melakukan sebab-sebab yang dapat membuatnya mati. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan qadha’ dan qadar-Nya, dan Allâh telah menulisnya sampai ajal tertentu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Dan setiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula bisa) memajukannya. [Al-A’raf/7: 34]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan balasan kepada manusia di dunia dan akhirat sesuai dengan apa-apa yang mereka inginkan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.”
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
كُلًّا نُمِدُّ هَٰؤُلَاءِ وَهَٰؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ ۚ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا ﴿٢٠﴾ انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا
Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami beri bantuan dari kemurahan Rabb-mu. Dan kemurahan Rabb-mu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. [Al-Isrâ’/17: 20-21]
“Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur.” Allâh tidak menyebutkan apa balasan untuk mereka untuk menunjukkan banyak dan besarnya balasan untuk mereka dan juga untuk menunjukkan bahwa balasan itu tergantung kepada kadar kesyukuran, yaitu tergantung kepada sedikit, banyak dan kualitasnya.[1]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul [Ali ‘Imrân/3:144]
SEBAB TURUNNYA AYAT
Ketika kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, ada beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur sebagai syahid dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terluka kala itu. ‘Abdullah bin Qim-ah, salah seorang kaum musyrikin, mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa dia telah membunuh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal, sebenarnya dia bukan membunuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi dia membunuh Mush’ab bin ‘Umair Radhiyallahu anhu . Wajah Mush’ab bin ‘Umair n memang mirip dengan wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Abdullah bin Qim-ah berteriak, “Sesungguhnya Muhammad telah terbunuh.” Ada yang mengatakan bahwa yang berteriak itu adalah iblis, sehingga bisa terdengar oleh seluruh orang di sana. Ada yang mengatakan yang berteriak adalah seorang Yahudi. Allâhu a’lam.
Setelah mendengar teriakan tersebut, orang-orang musyrik mengurangi serangannya kepada kaum Muslimin, karena mereka menyangka bahwa mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sementara itu, sebagian Muslimin mengatakan, “Seandainya ada di antara kita yang mengutus seseorang untuk menghubungi ‘Abdullah bin Ubay, sehingga dia bisa mengamankan kita dari Abu Sufyan.” ‘Abdullah bin Ubay adalah pembesar munafik yang sangat terkenal.
Sebagian Sahabat terduduk dan pasrah. Sedangkan orang-orang munafik mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibunuh. Kembalilah kalian kepada agama kalian yang semula,” yaitu agama sebelum mereka memeluk agama Islam.
Kemudian Anas bin An-Nadhr Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai kaumku! Apabila Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidaklah dibunuh. Apa yang kalian bisa lakukan dengan kehidupan ini sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berperanglah sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang! Matilah kalian sebagaimana Beliau terbunuh!” … Kemudian Anas bin An-Nadhr Radhiyallahu anhu maju berperang dan terbunuh.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di atas batu besar dan memanggil manusia. Orang yang pertama kali mengenalinya adalah Ka’b bin Malik Radhiyallahu anhu .
Dia berkata, “Saya mengenali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kedua matanya yang terlihat di bawah topi perangnya. Kemudian saya pun berteriak dengan suara saya yang paling keras, ‘Wahai kaum Muslimin! Kabar gembira! Ini adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .’ Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat agar saya diam. Dan beberapa Sahabat pun menuju ke arah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang lari dari peperangan tersebut. Mereka mengatakan, ‘Ya Nabi Allâh! Ayah-ayah dan ibu-ibu kami menjadi tebusan untukmu! Kami menerima kabar bahwa engkau telah terbunuh. Hati-hati kami pun menjadi takut, sehingga kami mundur dari peperangan.’ Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat ini.”[2]
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM SEPERTI RASUL YANG LAINNYA YANG PASTI MENGALAMI KEMATIAN
Ayat ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti para rasul yang lainnya. Dan manusia pasti akan mati. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, mengapa kalian harus terheran-heran dan tercengang dengan kematian beliau?
HARI WAFATNYA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Berkaitan dengan ayat ini, ada kisah menarik yang terjadi beberapa saat setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Kisah ini menunjukkan keutamaan dan kekokohan iman Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bercerita, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ketika itu Abu Bakr Radhiyallahu anhu berada di dataran tinggi. Umar Radhiyallahu anhu berdiri dan berkata, ‘Demi Allâh! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat. Demi Allâh! Tidak ada prasangka di hatiku kecuali hal tersebut. Allâh Azza wa Jalla akan membangkitkan Beliau dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik.’
Setelah itu Abu Bakr Radhiyallahu anhu , kemudian beliau membuka (kain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan menciumnya. Abu Bakr Radhiyallahu anhu berkata, “Demi ayah dan ibuku! Engkau wangi, baik dalam keadaan hidup maupun wafat. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya! Allâh selamanya tidak akan membuatmu merasakan dua kali kematian.[3]’
Kemudian beliau Radhiyallahu anhu keluar dan berkata, ‘Wahai orang yang bersumpah! Tetaplah di tempatmu! Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar Radhiyallahu anhu duduk. Kemudian Abu Bakr Radhiyallahu anhu memuji Allâh Azza wa Jalla dan mengagungkan-Nya. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ketahuilah! Barangsiapa yang menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allâh Azza wa Jalla , maka sesungguhnya Allâh Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. lalu beliau Radhiyallahu anhu membaca ayat:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati.[Az-Zumar/39:30]
dan juga membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [Ali ‘Imrân/3:144]
(Setelah mendengar itu) Orang-orang pun menangis terisak-isak.”[4]
Di dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , setelah Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut, beliau c mengatakan, “Demi Allâh! seolah-olah semua orang tidak ada yang mengetahui bahwa Allâh telah menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacanya, dan manusia mengambil ayat tersebut darinya. Padahal saya dulu mendengar semua orang membaca ayat tersebut.
Kemudian Said bin al-Musayyab Radhiyallahu anhu mengabarkan kepadaku bahwa ‘Umar mengatakan, “Demi Allâh! Saya mengingat ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut. Tubuhku pun lemas, sampai saya tidak bisa merasakan kedua kakiku dan saya terjatuh ke tanah ketika saya mendengar Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut, yang berarti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[5]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ
Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang? [Ali ‘Imrân/3:144]
“Berbalik ke belakang” maksudnya adalah kembali kepada agama kalian yang dulu sebelum kalian beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya, sehingga kalian menjadi orang-orang kafir dan kalian meninggalkan jihad dan kitab Allâh.[6]
Meskipun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, namun syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa akan terus kekal dan ada sampai hari kiamat. Dan kita wajib beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan mengikuti syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karena itu, sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat yang sangat berharga untuk seluruh kaum Muslimin agar berpegang teguh dengan sunnahnya.
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Diriwayatkan dari ‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Pada suatu hari setelah menunaikan shalat Shubuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami. Sebuah nasihat yang membuat mata kami menangis dan menjadikan hati-hati kami takut. Kemudian salah seorang lelaki berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah nasihat orang yang akan berpisah. Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Wahai Rasûlullâh!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saya mewasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allâh dan mendengar lalu taat (kepada pemimpin). Meskipun dia itu seorang budak habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup di antara kalian (setelah saya wafat), dia akan melihat perselisihan yang banyak. Jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru. Sesungguhnya hal yang baru itu sesat. Barangsiapa yang mendapatkannya di antara kalian, maka dia harus berpegang kepada sunnah–ku dan sunnah al-Khulafâ‘ ar-Râsyidin[7] yang diberi petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham kalian.” [8]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun. [Ali ‘Imrân/3:144]
Maksudnya, barangsiapa berbalik ke belakang atau murtad, maka kemurtadannya tersebut tidak akan mendatangkan bahaya sedikit pun kepada Allâh Azza wa Jalla, justru orang tersebut telah mendatangkan bahaya untuk dirinya sendiri.
Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan, “Artinya kemurtadan tidak mengurangi sedikit pun kemuliaan, kerajaan, kekuasaan dan kemampuan Allâh Azza wa Jalla .”[9]
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:144]
Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan, “Yaitu membalas orang-orang yang taat kepada-Nya dan mengerjakan perintah-Nya.”[10]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. [Ali ‘Imrân/3:145]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak akan mati kecuali dengan takdir Allâh. Dia tidak akan mati sampai selesai waktu yang Allâh Azza wa Jalla berikan untuknya. Oleh karena itu, Allâh mengatakan, ‘sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.’.”
Isi Ayat ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Dansekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allâh mudah.“ [Fâthir/35:11]
Dan juga firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَىٰ أَجَلًا ۖ وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ۖ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُونَ
Dialah yang menciptakan kalian dari tanah, sesudah itu ditentukan ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu hal yang ada pada sisi-Nya (Yang Dia sendirilah yang mengetahuinya), kemudian kalian masih ragu-ragu (tentang kebangkitan tersebut) [Al-An’âm/6:2]
Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk para penakut agar mereka mau berperang. Sesungguhnya maju atau mundur dalam peperangan tidak akan mengurangi umur seseorang dan tidak pula akan menambahnya.”[11]
Firman Allâh Ta’ala:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. [Ali ‘Imrân/3:145]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa melakukan suatu amalan untuk mendapatkan dunia, maka dia mendapatkannya di dunia sesuai dengan yang Allâh tentukan untuknya, tetapi di akhirat dia tidak mendapatkan bagian apapun. Barangsiapa melakukan suatu amalan dengan niat meraih ad-Dâr al-akhirah (surga) maka Allâh akan berikan bagiannya di surga dan bersamaan dengan itu juga Allâh akan memberikan bagian untuknya di dunia.”
Semisal dengan ayat ini Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat. [As-Syûra/42:20]
Begitu pula firman-Nya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا ﴿١٨﴾ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami akan segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami hendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia adalah seorang Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.[l-Isra’/17: 18-19]
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلاَدِ وَالنَّصْرِ وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ، وَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ بِعَمَلِ الآخِرَةِ لِلدُّنْيَا ، فَلَيْسَ لَهُ فِي الآخِرَةِ نَصِيبٌ
Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan ketinggian, kekuasaan di suatu negeri, kemenangan dan kemuliaan di dalam agama. Barang siapa di antara mereka yang mengerjakan amalan akhirat untuk mendapatkan dunia, maka di akhirat dia tidak akan mendapatkan bagian.[12]
Abu Wail rahimahullah mengatakan, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيهَا الْكَبِيرُ، وَيَرْبُو فِيهَا الصَّغِيرُ، وَيَتَّخِذُهَا النَّاسُ سُنَّةً فَإِذَا غُيِّرَتْ، قَالُوا: غُيِّرَتِ السُّنَّةُ؟ قِيلٌ: مَتَى ذَلِكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أَمْوَالُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ
Bagaimana kalian jika fitnah menguasai kalian, orang-orang dewasa menjadi tua, dan anak-anak kecil beranjak dewasa, kemudian manusia menjadikan fitnah tersebut sebagai sunnah (kebiasaan). Apabila kebiasaan tersebut ingin diubah (diperbaiki) maka mereka mengatakan, ‘Apakah sunnah (kebiasaan) telah diubah?’[13] Beliau pun ditanya, “Kapankah itu (akan terjadi) wahai Abu ‘Abdirrahman[14]?” Beliau mengatakan, “Jika penghafal-penghafal al-Qur’an di antara kalian jumlahnya banyak, tetapi sangat sedikit orang-orang yang paham (terhadap agama) di antara kalian. Begitu pula ketika harta-harta kalian banyak, tetapi sedikit orang-orang yang bisa dipercaya di antara kalian dan dunia dicari dengan mengerjakan amalan akhirat.”[15]
Malik bin Dinar rahimahullah pernah berkata:
سَأَلْتُ الْحَسَنَ مَا عُقُوبَةُ الْعَالِمِ ؟ قَالَ: مَوْتُ الْقَلْبِ. قُلْتُ: وَمَا مَوْتُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: طَلَبُ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ.
Saya bertanya kepada al-Hasan (al-Bashri), ‘Apa hukuman bagi seorang yang berilmu?’, Beliau menjawab, ‘Kematian hatinya,’ Saya pun berkata, ‘Apa yang dimaksud kematian hati?’ Beliau pun menjawab, ‘Mencari dunia dengan mengerjakan amalan akhirat.’[16]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Dan Kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:145]
‘Ibâd bin Manshûr rahimahullah mengatakan, “Saya bertanya kepada al-Hasan tentang arti ‘Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur,’ beliau rahimahullah mengatakan, ‘Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada hamba-Nya sesuai niatnya, baik dunia maupun akhirat.’.”[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Artinya adalah Kami akan memberikan kepada mereka karunia dan rahmat Kami di dunia dan akhirat tergantung besar syukur yang mereka lakukan dan amalan mereka.”[18]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang pasti mengalami kematian.
Ayat di atas menunjukkan kekokohan iman, ketinggian pemahaman dan keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu di saat manusia terbawa perasaan dan tidak bisa menerima dengan lapang akan wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu tetap kokoh dan bahkan bisa membimbing dan mengingatkan umat akan kebenaran wafatnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kita tetap wajib mengikuti syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
- Apabila ada orang yang murtad atau kafir, maka hal tersebut tidak akan mengurangi sedikit pun kekuasaan Allâh Azza wa Jalla
- Kematian sudah diatur oleh Allâh Azza wa Jalla dan seseorang tidak akan mati kecuali telah sampai ajalnya.
- Ayat di atas mengandung anjuran untuk selalu ikhlas dalam beramal dan peringatan agar tidak mencari dunia dengan amalan-amalan shalih yang dikerjakan.
- Allâh akan membalas orang-orang yang bersyukur sesuai kadar kesyukuran yang mereka kerjakan.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita sebagai pengikut sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai akhir hayat kita dan kita bisa selalu mengikhlaskan ibadah-ibadah kita hanya untuk Allâh semata. Amin.
Referensi :Jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Wafat Atau Dibunuh
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual–beli dari mengingat Allâh dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. [An-Nûr/24:37-38]
TAFSIR RINGKAS
“Laki-laki” Pada ayat ini disebut hanya laki-laki, karena merekalah yang memakmurkan masjid. Para wanita tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.
“Yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh.”
Dalam ayat ini Allâh hanya menyebutkan perniagaan, karena perniagaanlah yang paling banyak melalaikan manusia dari mengerjakan shalat dan ketaatan, sehingga mereka tidak mendatangi masjid untuk mendirikan shalat.
“Dan (dari) mendirikan shalat,” maksudnya dia tidak terlalaikan dari mengerjakan shalat tepat pada waktunya secara berjamaah.
“Dan (dari) membayarkan zakat,” Apabila datang waktu membayar zakat, mereka membayarnya dan tidak menahannya.
“Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” Peristiwa ini terjadi di hari kiamat. Hati dan penglihatan mereka menjadi goncang, karena hati mereka bergoncang-goncang antara ketakutan, pengharapan dan kecemasan akan kebinasaan diri mereka, dan karena pandangan-pandangan mereka menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah akan dimasukkan ke golongan kanan ataukah golongan kiri, atau apakah mereka akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kirinya.
“Supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” berupa zikrullâh, mengerjakan shalat dan membayar zakat, dibalas sesuai dengan amal-amal shalih yang telah mereka kerjakan. Adapun keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan tidak dibalas oleh Allâh Azza wa Jalla .
“Dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka,” berupa anugerah yang sebenarnya mereka tidak berhak mendapatkannya jika ditimbang dengan apa yang telah mereka lakukan.[1]
“Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas,” Allâh Azza wa Jalla memberikannya balasan yang lebih tanpa perhitungan dan tanpa takaran. Ini adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa balasan tersebut sangat banyak.[2]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat.
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan pada ayat sebelumnya tentang rumah-rumah Allâh yang disyariatkan berzikir di dalamnya di waktu pagi dan petang, maka Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sifat-sifat kaum lelaki dari kalangan Shahabat yang mereka tidak terlalaikan dari berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan juga tidak terlalaikan dari menghadiri shalat lima waktu di masjid pada waktunya, meskipun mereka bekerja sebagai pedagang. Allâh Azza wa Jalla menyuruh orang-orang yang beriman agar tidak lalai dengan semua urusan dunia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang beriman! Janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allâh! Barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [Al-Munâfiqûn/63: 9]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [Al-Jumu’ah/62:9]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan tentang ayat kita bahas ini, “Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa orang-orang yang disebutkan pada ayat tersebut tidak disibukkan dengan dunia serta keindahan dan kelezatannya dari mengingat Allâh. Mereka tahu bahwa apa-apa yang berada di sisi Allâh jauh lebih baik untuk mereka dan lebih bermanfaat daripada apa yang mereka miliki. Mereka menyadari bahwa harta-harta yang ada pada mereka akan lenyap sedangkan apa-apa yang di sisi Allâh akan kekal. Oleh karena itu, mereka lebih mengedepankan ketaatan dan kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla daripada kecintaan terhadap diri-diri mereka sendiri.”[3]
Imam al-Bukhâri rahimahullah mengatakan, “Qatâdah berkata, ‘Dulu suatu kaum berjual beli dan berniaga, tetapi jika ada hak di antara hak-hak Allâh menghampiri mereka, maka perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka untuk berzikir kepada Allâh, mereka memenuhi hak tersebut kepada Allâh.”[4]
KEHARUSAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI-LAKI
Di antara hak-hak Allâh adalah memenuhi panggilan adzan yang dikumandangkan oleh muadzdzin. Kaum lelaki harus mengerjakan shalat wajib secara berjamaah di masjid. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ada uzur[5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
Saya telah benar-benar berniat menyuruh untuk dikerjakan shalat dan didirikan shalat tersebut, kemudian saya pergi ke rumah-rumah kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah), kemudian saya bakar rumah-rumah mereka[6]
Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa ini adalah bentuk ancaman berat dan keras, serta tidak ada keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat berjamaah, kecuali dia memiliki uzur.”[7]
Baca Juga Menukar Riyal Logam Dengan Riyal Kertas Dengan Perbedaan Harga
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan oleh laki-laki di masjid, kecuali ada uzur. Dan uzur-uzur seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaah tercantum di buku-buku fiqh.
Adapun para wanita, mereka mengerjakan shalat fardhu di rumah. Ini lebih afdhal bagi mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
Shalat seorang wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat-nya di ruang tamunya. Shalat-nya di dalam ruang yang tertutup lebih baik daripada shalat-nya di dalam rumahnya.[8]
Meskipun demikian, wanita boleh shalat berjamaah di masjid jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.
ANCAMAN UNTUK PARA PEDAGANG
Pedagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan. Oleh karena itu, jika dia tidak mencari sebab-sebab yang dapat meningkatkan ketakwaannya, maka dia akan menjadi lalai dari berzikir kepada Allâh, dia akan terjatuh kepada hal-hal yang sia-sia dan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan dosa, seperti: dusta, khianat, sumpah palsu, penipuan dan lain-lain.
Para pedagang akan mendapatkan banyak ujian ketika berdagang. Jika dia tidak memiliki benteng yang kuat, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan ancaman kepada mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ ، وَيَحْلِفُونَ ، وَيَأْثَمُونَ
Sesungguhnya para pedagang adalah orang yang fajir (pelaku maksiat).” Beliau pun ditanya, “Bukankah Allâh telah menghalalkan jual beli?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya, tetapi mereka berbicara kemudian berdusta, dan mereka bersumpah dan berdosa.”[9]
Begitu pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ التُّجَّارَ يُحْشَرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلا مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ
Sesungguhnya para pedagang akan dikumpulkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir, kecuali orang yang bertakwa, berbuat kebajikan dan jujur[10]
CONTOH BENTUK KEATAATAN PARA SALAF KETIKA MEREKA BERDAGANG
Para Shahabat g adalah orang yang sangat bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla memilih mereka untuk menjadi para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan dari mengerjakan shalat lima waktu di masjid.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwasanya beliau Radhiyallahu anhu menafsirkan ayat yang artinya “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh” (beliau Radhiyallahu anhuma tafsirkan-red) dengan “tidak terlalaikan dari mengerjakan shalat yang diwajibkan.”[11]
Mereka mengerjakan shalat lima waktu di masjid, kecuali mereka memiliki uzur.
Banyak sekali nukilan-nukilan atau atsar-atsar di kitab-kitab tafsir menyebutkan hal tersebut.[12] Di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Mathar bin Thahmaan al-Warrâq rahimahullah (wafat 125 H), beliau mengatakan, “Adapun mereka (para sahabat), dulu mereka membeli dan berjualan, akan tetapi, jika seorang di antara mereka mendengar adzan sedangkan timbangannya berada di tangannya, maka dia turunkan timbangan tersebut dan memenuhi panggilan shalat.”[13]
SAHABAT YANG SENGAJA BERDAGANG
Pujian Allâh Azza wa Jalla pada ayat ini sangatlah besar kepada para lelaki yang tidak terlalaikan oleh urusan dunia. Oleh karena itu, di antara Shahabat ada yang sengaja bekerja sebagai pedagang agar mendapatkan keutamaan yang disebutkan pada ayat ini. Di antaranya adalah Shahabat yang bernama Abu Dardâ’ Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:
إِنِّيْ قُمْتُ عَلَى هَذَا الدَّرَجِ أُبَايِعُ عَلَيْه، أَرْبَحُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثَمِائَةَ دِيْنَارٍ، أَشْهَدُ الصَّلَاةَ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ فِيْ الْمَسْجِدِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُوْلُ: “إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحَلَالٍ” وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الَّذِيْنَ قَالَ اللهُ: { رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ }.
Sesungguhnya saya berdiri di jalan ini untuk berjualan. Saya mendapatkan keuntungan tiga ratus dinar sehari. Saya shalat setiap hari di masjid. Saya tidak mengatakan bahwa harta tersebut tidak halal, tetapi saya ingin menjadi orang yang termasuk dalam firman Allâh (yang artinya), ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh.[14]
CARA MENGHILANGKAN HAL-HAL YANG SIA-SIA KETIKA BERJUAL BELI
Jual beli itu penuh dengan banyak ujian, dosa dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus memikirkan bagaimana cara menghapuskan dosa-dosa dalam perdagangannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan arahan dalam hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para pedagang untuk banyak bersedekah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Wahai para pedagang! Sesungguhnya hal-hal yang sia-sia dan sumpah menghadiri jual beli. Oleh karena itu, bersihkanlah hal tersebut dengan bersedekah.[15]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.[An-Nur/24 : 37]
Mengapa mereka takut dengan hal tersebut? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan. Mereka memikirkan keselamatan diri-diri mereka dari pembalasan Allâh Azza wa Jalla . Apakah Allâh Azza wa Jalla akan membalas seluruh amal keburukan dan dosa yang pernah mereka lakukan ataukah Allâh akan mengampuninya?
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ
Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. [Ghâfir/40:18]
Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allâh lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allâh memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak [Ibrâhîm/14:42]
Begitu pula firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Lalu Allâh memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka, (dengan) surga dan (pakaian) sutera. [Al-Insân/76:8-12]
Baca Juga Antara Kesyirikan Dan Kebodohan
Firman Allâh Azza wa Jalla :
لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا
(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,
Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menerima amalan-amalan shalih mereka dan membalasnya dengan balasan yang baik, serta Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allâh akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. [An-Nisâ’/4:40]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). [Al-An’âm/6:160]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allâh, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allâh), maka Allâh akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. [Al-Baqarah/2:245]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Ketika menyebutkan ayat:
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
Agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. [Fathir/35:30]
‘Abdullaah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menafsirkan “pahala mereka” dengan “memasukkannya ke dalam surga”, dan “dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya” ditafsirkan dengan “memberikannya (hak untuk memberikan) syafaat kepada orang-orang yang berhak mendapatkan syafaat untuk orang-orang yang pernah berbuat kebaikan kepada mereka di dunia.”[16]
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Meskipun berdagang adalah pekerjaan yang sangat menyibukkan, sudah sepantasnya seorang Mukmin tidak terlalaikan dengannya. Dia harus ingat kepada Allâh dan tidak lupa untuk memenuhi hak-hak Allâh Azza wa Jalla .
Para Shahabat adalah panutan yang baik. Perdagangan tidak menyibukkan mereka dari berzikir kepada Allâh dan menghadiri shalat berjamaah pada waktunya.
Para pedagang harus memiliki benteng ketakwaan dan keimanan yang kuat, jika tidak, maka dia akan terjatuh kepada banyak perbuatan dosa dan dibangkitkan di hari kiamat sebagai orang yang fajir (pelaku maksiat).
Hari kiamat adalah hari yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan sangat menegangkan.
Allâh Azza wa Jalla menjanjikan untuk menerima amalan-amalan shalih dari orang-orang yang tidak lalai mengingat-Nya dan membalasnya dengan balasan yang baik dan berlipat ganda, serta Allâh akan mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allâh l menerima dan melipatgandakan amalan-amalan shalih yang kita lakukan serta menghapuskan seluruh dosa-dosa kita dan tidak mencatat kita sebagai orang yang lalai. Aamiin.
Referensi : Pedagang Yang Tidak Lalai
Firman Allah SWT:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Kesunyian malam ini benar-benar mencekam. Hembusan hawa dinginnya bagaikan dinginnya hujan es yang jatuh dari langit. Senandung udara malam dirasakan sangat menusuk tulang seorang pengembara dari negeri syam. Ingin sekali ia merintih, tetapi malam ini begitu sunyi. Tidak ada sanak ataupun saudara di sekelilingnya, bahkan seekor binatang malampun tidak terdengar lololangannya. Kemana lagi ia merintih dikesendirian malam ini.
Sakit ini sudah lama sekali dirasakannya. Tetapi malam ini rasanya tidak seperti biasanya. Sakitnya dirasakan semakin parah. Kemudian si pengembara itu melantunkan sebuah syair dikeheningan malam itu, “ Manusia tidak lebih dari seonggok daging. mati, tidak bernyawa, dan dapat membusuk. Hanya karena kehendak Allah-lah ia bisa hidup dan berjalan dimuka bumi ini. Tetapi kebanyakan manusia tidak sadar akan dirinya sendiri, manusia berjalan dengan sombongnya dimuka bumi ini, ia berbuat kerusakan, ia berbuat aniaya, dan ia tetap tidak sadar siapakah dirinya itu. Tidakkah ia ingat bahwa dia sebenarnya hanyalah seonggok daging yang dapat membusuk ?. Yang tidak mempunyai arti apa-apa didunia ini. Manusia itu baru akan sadar jika ia sudah berada ditempat yang jauh dari sanak-saudara, jauh dari teman, jauh dari peradaban manusia. Disuatu tempat yang sepi, hanya terdapat dia yang sedang sekarat dan Penciptanya, lalu ia menyongsong maut dengan kesunyian yang mencekam … Aduhai, betapa menyesalnya aku ……”.
Setelah melantunkan syair itu, sipengembara lalu pingsan, pingsan dalam keadaan hampir mati. Beberapa saat kemudian diantara sadar dan tidak, dengan derita sakaratul maut yang berat, datanglah sekelompok setan yang datang menyerupai manusia. Setan itu berkata, “Wahai manusia, berbahagialah engkau dihari ini, aku membawakanmu hidangan yang lezat dan minuman yang sangat segar yang dapat menghilangkan rasa sakitmu. Karena itu ikutlah kamu denganku …..”.
Setan itu terus saja melantunkan lagu-lagu dengan lembutnya, hingga dirasakan sangat mempengaruhi jiwa sang pengembara. Dilihatnya setan itu dengan membawa air yang sangat menyejukkan dan makanan yang sangat enak, ingin sekali ia meraihnya dan ingin sekali ia memakannya. Disaat-saat yang mencekam ini, datanglah gurunya yang telah lama tiada. Dengan berjubah putih-putih, gurunya itu datang kehadapannya dengan senyuman yang menyejukkan, “Wahai muridku, tidakkah engkau ingat dengan ajaranku. Disaat-saat sakaratul maut yang sangat berat, jangan sekali-kali engkau memilih untuk menyenangkan nafsumu saja. Janganlah engkau memilih memakan makanan yang diberikan setan itu dan janganlah pula engkau meminumnya, walaupun engkau sangat membutuhkannya. Tidakkah engkau ingat dengan puasa yang sering engkau lakukan …, tidakkah engkau ingat dengan kepayahanmu tiap malam untuk mengerjakan sholat tahajjud …, dan tidakkah engkau ingat bahwa Neraka itu dikelilingi dengan segala sesuatu yang menyenangkan nafsu ?. Apakah disaat engkau akan menjemput ajal, engkau melupakan segalanya ?. Ingatlah, setan-setan itu tidak akan pernah suka, seorang manusia mati dengan mendapat keridloan dari Allah SWT. Ingatlah pula, segala kenikmatan yang dipamerkan menjelang ajal adalah dari setan. Jika engkau meminum minuman itu dan memakan makanannya, maka berarti engkau akan menjadi pengikutnya, dan akan mendiami Neraka bersamanya. Ingatlah muridku, janganlah engkau hapus amal ibadahmu disaat-saat engkau sangat membutuhkan pertolongaNya, janganlah engkau terperdaya oleh setan yang sesat lagi menyesatkan. Hati-hatilah engkau dengan musuhmu yang telah nyata ”.
Sang pengembara menjadi ragu-ragu. Disaat-saat yang dirasakannya sangat berat, ia merasa sangat dahaga, yang belum pernah ia merasakan sedahaga ini. Tenggorokannya dirasakan sangat kering, kering yang sangat membutuhkan kesejukan. Dan kesejukan itu sudah berada dihadapannya. Tetapi mengapa gurunya melarangnya untuk mengambil kesejukan itu ?. Hatinya sangat bimbang, dan seluruh tubuhnya dirasakan sangat sakit.
Di saat-saat seperti ini ia ingat akan dosa-dosanya yang menumpuk tidak karuan. Banyak sekali manusia yang ia zholimi dan ia juga teringat akan dosa-dosanya terhadap Penciptanya yang telah memberikan banyak rizki kepadanya. Ia merasa sangat takut. Takut sekali, tidak pernah ia merasa setakut ini. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan silaturahim yang ia lakukan. Ia bersilaturrahim dengan semua orang yang ia zholimi dan meminta maaf terhadap semua kesalahannya. Hal ini sedikit menenangkan hatinya.
Sang pengembara menangis tersedu-sedu, jika mengingat semua dosa yang dilakukannya selama ia hidup didunia ini. Ia merasa malu sekali, sebagai seorang hamba yang telah diberiNya banyak kenikmatan, tetapi ia malah seringkali mengingkarinya. Ia merasa sangat bersalah terhadap Penciptanya. Dan ia sangat takut jika Allah murka kepadanya.
Bibirnya yang terasa sangat kelu dipaksakannya untuk mengucapkan permohonan ampunan terhadap Penciptanya yang Maha Pengampun. Kalimat-kalimat istighfar diucapkannya dengan sungguh-sungguh, dengan meneteskan air mata. Ia sangat berharap agar Allah sudi mengampuni segala dosa-dosa yang telah ia lakukan.
Rindunya terhadap Allah yang telah mengaugerahinya banyak kenikmatan mulai tumbuh. Ia rindu sekali untuk segera bertemu denganNya. Rahmat dan keridloanNya amat dibutuhkan disaat-saat sekarang ini. Hatinya menjerit, “Ya Allah ampunilah aku dan jemputlah aku dengan keridloanMu. Ya Allah, hanya Engkaulah Tuhanku, Tolonglah aku disaat-saat seperti ini dan jangan tinggalkan aku ditengah-tengah kesusahan ini.
Lalu Malaikat Maut mendatanginya dengan muka yang sangat menyeramkan, dari jurusan mulutnya untuk mengambil nyawanya. Tetapi ketika nyawa sang pengembara itu akan dicabut, dilihatnya dari mulutnya terdapat bekas-bekas dzikir yang sering diucapkannya ketika masih hidup. Kemudian Malaikat maut berpindah ke jurusan telinganya, dan ketika nyawanya akan dicabut, dilihatnya bekas-bekas pendengaran yang sering digunakan untuk mendengarkan ayat suci Al Qur’an. Malaikat itu tidak jadi mencabut nyawanya dan kembali ke langit melaporkan kejadian itu.
Kemudian Allah memerintahkan Malaikat maut untuk kembali mengambil nyawa sang pengembara itu, dengan rahmat dan keridloanNya. Dengan rahmat Allah, Malaikat maut itu mencabut nyawa sang pengembara dengan lembutnya, dengan mendatangkan kebahagian dan senyuman sang pengembara yang tubuhnya telah kaku menjadi mayat.
Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani kepada Orang yang Hidup Susah sbb ini :
Dalam kitabnya Futuh Al-Ghaib, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memberi nasehat kepada mereka yang miskin. Ia mengingatkan agar kita jangan menyalahkan Tuhan atas nasib seperti itu. “Jangan berkata, wahai orang yang malang!” tuturnya.
“Ya, Allah telah mempelakukanmu begini, sebab fitrahmu suci dan kesejukan kasih-sayang Allah terus-menerus melimpahimu dalam bentuk kesabaran, kepasrah-ikhlasan dan pengetahuan. Dan cahaya iman serta tauhid menimpamu. Maka pohon imanmu, akarnya dan benihnya menjadi kuat, penuh dedaunan, buah, cabang dan rantingnya merambah ke mana-mana sehingga menimbulkan keteduhan,” jelasnya.
Referensi : Menjelang Kematian, Pahamkanlah Umur Anda di Dunia Ada Batasnya
Durhaka kepada kedua orang tua (‘uququl walidain) artinya ialah tidak menaatinya, memutuskan hubungan dengan keduanya, dan tidak berbuat baik kepada keduanya (Lisanul ‘Arab, karya Ibnul- Manzhur).
Meskipun disebut walidain (kedua orang tua), tetapi durhaka kepada salah seorang di antaranya (ayah atau ibu) tetap tergolong pada anak durhaka. Dalam hadis, ditemukan beberapa penjelasan tentang bentuk-bentuk ‘uququl walidain, di antaranya:
Pertama, mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua bersedih hati, apalagi sampai menangis.
بكاء الوالدين من العقوق
Abdullah bin Umar berkata, “Membuat tangisnya kedua orang tua adalah termasuk durhaka kepadanya “(HR Bukhari).
Tangisan orang tua itu disebabkan tersinggung atau sakitnya hati mereka terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Berbeda halnya ketika mereka meneteskan air mata karena terharu atau bangga, tentu tidak termasuk bentuk kedurhakaan.
Kedua, melaknat kedua orang tua. Rasul SAW bersabda: ولعَن اللهُ مَنْ لعَن والديهِ “… Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.”
Seorang anak yang berani mengeluarkan kata-kata cacian atau mendoakan kejelekan kepada kedua orang tuanya maka Allah akan melaknatnya. Laknat Allah akan membuat hidupnya jauh dari petunjuk-Nya sehingga ia diliputi oleh kegelapan dan kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Ketiga, mencela orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sabdanya:
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ: «يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أَمَّهُ
“Termasuk dosa besar, (yaitu) seseorang mencela dua orang tuanya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah orang yang mencela dua orang tuanya?” Beliau SAW menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR al-Bukhari-Muslim).
Keempat, melakukan perbuatan buruk yang membuat orang tuanya marah. Nabi SAW bersabda:
مَن أصْبحَ مُطيعًا لله في والِدَيه أصْبحَ له بابانِ مَفتوحانِ مِن الجنَّة، وإنْ أمسى فمِثْل ذلك، ومَن أصْبحَ عاصيًا لله في والِدَيه أصْبحَ له بابانِ مَفتوحانِ إلى النَّار، وإنْ أمْسى فمِثْل ذلك، وإنْ كان واحدًا فواحدٌ، قال رجل: وإنْ ظَلَماه؟ قال: وإنْ ظَلَماه، وإنْ ظَلَماه، وإنْ ظَلَماه
“… Dan, barangsiapa pagi-pagi membuat marah kedua orang tuanya maka baginya dua pintu yang terbuka menuju neraka, dan jika ia sore-sore berbuat demikian maka baginya seperti itu dan kalau orang tua seorang maka ia mendapatkan satu pintu meskipun keduanya menganiaya, meskipun keduanya menganiaya, meskipun keduanya menganiaya.” (HR Baihaqi).
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang anak tidak boleh melakukan hal-hal buruk yang mengundang kemarahan orang tuanya. Setiap orang tua yang baik tentu akan marah jika anaknya melakukan perbuatan buruk, apalagi buruk dalam pandangan agama, seperti berbuat zina, meminum minuman keras, berjudi, dan sebagainya.
Kelima, lebih mementingkan istri daripada orang tua. Jika seorang anak lebih mementingkan istrinya dari pada orang tua, lalu orang tua tersinggung dengan perlakuan itu, maka ia termasuk anak durhaka.
Hal ini dapat dilihat dari kisah Alqamah. Menjelang wafat, ia mengalami kesulitan mengucapkan syahadat saat sakaratul maut, padahal Alqamah adalah ahli ibadah. Ternyata ibunya tidak ridha kepada Alqamah karena ia pernah lebih mementingkan istri daripada ibunya. Karena tidak dimaafkan, Rasul memerintahkan Bilal untuk membakar Alqamah maka hati si ibu pun iba dan tak rela anaknya dibakar di hadapannya. Sang ibu pun ridha dan memaafkan Alqamah lalu Alqamah.
Hampir sebagian besar orang pasti ingin membalas kezaliman tersebut, akan tetapi balasan zalim kepada orang yang zalim bukanlah hal yang baik. Islam telah mengajarkan dan memberikan informasi bagaimana cara membalas orang yang menzalimi kita. Salah satunya adalah dengan memanjatkan doa.
Mengingat pentingnya doa tersebut, berikut ini Merdeka.com merangkum pembahasan tentang doa untuk membalas orang yang menzalimi kita sesuai dengan syariat Islam. Dalil tentang Kezaliman. Sebelum membahas tentang doa untuk membalas orang yang menzalimi kita, maka berikut ini adalah bahasan tentang dalil di dalam Islam yang membahas tentang kezaliman.
Secara bahasa, zalim berarti celaka, sedangkan secara istilah, zalim memiliki arti sebagai sebuah perbuatan yang mencelakakan orang lain dengan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat agama Islam. Rasulullah pernah mengajarkan kepada kita untuk takut kepada orang yang zalim. Hal tersebut karena doa orang yang terzalimi merupakan doa yang mustajab. Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah.
Artinya: “takutlah dan waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi karena tidak ada antara ia dan Allah penghalang (mustajab)” (HR al Bukhari)
Selain itu, hadits lain juga mengatakan bahwa, Rasulullah bersabda “‘Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang terzalimi!’ Seorang sahabat bertanya: Saya membantunya jika ia terzalimi, tapi jika ia zalim, bagaimana menolongnya?.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Engkau menghalanginya atau mencegahnya dari berbuat zalim, sungguh itulah cara menolongnya” (HR al Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa doa yang bisa diamalkan oleh orang yang merasa terzalimi. Ketimbang harus membalas dengan zalim juga, lebih baik Anda membalasnya dengan memanjatkan doa kepada Allah, berikut ini adalah beberapa doa yang dianjurkan untuk dibaca.
1. Doa Pengampunan
Doa pertama adalah doa meminta ampunan bagi orang yang berbuat zalim kepada kita. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Allahumma’fu ‘amman dhalamani allahumma’fu ‘amman dhalamani allahumma’fu ‘amman dhalamani.
Artinya: “Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku.”.
2. Doa Meminta Kesabaran
Doa untuk membalas orang yang menzalimi kita yang kedua adalah doa meminta kesabaran. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Rabbanaa afrigh ‘alainaa shabran wa tsabbit aqdamana wanshurnaa ‘alal qaumil kaafiriin.
Artinya: "Wahai Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir."
3. Doa Memohon Pertolongan
Doa untuk membalas orang yang menzalimi kita yang ketiga adalah doa untuk memohon pertolongan. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Hasbiyallahu lidiini, hasbiyallahu lidunyaa, hasbiyallahu liman ahammanii, hasbiyallaahu liman baghaa 'alayya, hasbiyallahu liman kaada nii bisuu-in walaa haula walaa quwwata illaa billah.
Artinya: "Cukuplah Allah (penolong) bagi agamaku, cukuplah Allah (penolong) bagi duniaku, cukuplah Allah (penolong) ku terhadap sesuatu yang menyusahkanku, cukuplah Allah (penolong)ku terhadap orang yang menganiayaku. Cukuplah Allah (penolong)ku terhadap orang yang ingin berbuat jahat kepadaku, tak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah,".
4. Doa Memohon Ketenangan
Doa untuk membalas orang yang menzalimi kita selanjutnya adalah doa untuk memohon ketenangan. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Allahumma inni as aluka nafsan bika muthmainnatan tukminu biliqaaika wa tardha bi qadhaika wa taqna’u bi ‘athaika.
Artinya: “Ya Allah aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepada-Mu yang yakin akan bertemu dengan-Mu, yang ridho dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu.”
5. Doa Meminta Perlindungan
Selanjutnya, doa untuk membalas orang yang menzalimi kita adalah dengan berdoa meminta perlindungan kepada Allah. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Allahumma innii a'uudzu bika min jahdil balaa i wa darkisy syaqaai wa suuil qadlaai wa syamaatatil a'daai
Artinya : "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari pada payah kemalangan, dan jurang kecelakaan dan nasib yang malang, dan ejekan musuh".
6. Doa Meminta Ganti yang Lebih Baik
Selanjutnya, Anda juga bisa meminta ganti yang lebih baik kepada Allah dengan membaca doa sebagai berikut. Doa ini sangat pendek dan mudah untuk dihafal dan diamalkan sehari-hari.
Allahumma ajurni fi mushibati wa akhlifi khaira minha
Artinya: “Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik daripadanya.”
Istilah buah hati sudah familiar di telinga orang Indonesia dan identik sebagai pengganti kata anak. Hanya, wajar juga kalau ada yang belum tahu arti sebenarnya sebab jarang dipakai di percakapan sehari-hari, cuma di situasi tertentu saja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, buah berarti bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik. Selain itu, buah juga bisa berarti “kata penggolong”, “pokok atau bahan”, hingga “hasil”.
Buah yang juga berarti hasil, jika digabungkan dengan hati alias perasaan batin, maka didapatkan makna “hasil dari perasaan”. Karennya, ungkapan itu cocok diberikan ke anak yang notabene hasil kasih sayang kedua orang tua.Ada juga, lho, ungkapan alternatif untuk anak tersayang. Selain buah hati, bisa juga menyebut anak sebagai buah cinta atau jantung hati karena memiliki muatan makna yang masih sama.
Ibnu taimiyyah berkata: “Mungkin saja pelaku hal-hal yang diharamkan, berupa perbuatan syirik, minum khamer, berjudi, berzina, dan berlaku lalim, mendapatkan beberapa keuntungan dan tujuan. Akan tetapi tatkala kerugian dan kerusakannya lebih banyak dibanding keuntungannya, maka Allah dan Rasul-Nyapun melarangnya. Sebaliknya, banyak dari perintah agama, seperti amal ibadah, jihad, dan menginfakkan harta, kadang kala mengandung kerugian. Akan tetapi karena keuntungannya lebih besar dibanding kerugiannya, maka Allah-pun memerintahkannya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/265, 16/165, & 24/278)
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petuah kepada umatnya dengan bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ. متفق عليه
“(pintu-pintu) Surga itu diselimuti oleh hal-hal yang menyusahkan dan (pintu-pintu) neraka diselimuti oleh segala yang menyenangkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam An Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata: “Tidaklah surga dapat digapai melainkah setelah anda menerjang tabir kesusahan yang menyelimutinya. Sebagaimana neraka tidak akan menjadi nasib anda melainkan setelah anda menerjang tabir syahwat/kesenangan yang menyelimutinya. Demikianlah surga dan neraka ditutupi oleh dua hal tersebut. Maka barang siapa telah menyingkap tabir penutup, niscaya ia akan masuk ke dalam apa yang ada dibelakangnya. Menyingkap tabir penutup surga dengan menerjang kesusahan, dan menyingkap tabir penutup neraka dengan menuruti syahwat.” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi 17/165)
Sebagai seorang muslim yang mendapat karunia akal sehat, tentu anda akan memilih surga dengan sedikit menahan rasa sakit dan derita yang senantiasa menyelimuti jalan-jalan surga. Sebagaimana sudah spatutnya bagi anda untuk tidak tergiur dengan secuil kesenangan fana yang menyelimuti jalan-jalan neraka.
Sobat! Dahulu nenek moyang kita berpetuah melalui puisi berikut:
Demikianlah kira-kira petuah nenek moyang kita yang menggambarkan makna hadits di atas.
Selanjutnya terserah anda, apakah anda tergiur sehingga bersenang-senang dahulu lalu selanjutnya bersakit-sakit selamanya, ataukah anda berpikir rasional, sehingga bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian dan untuk selama-lamanya? Silahkan tentukan pilihan anda.
Berikut beberapa dampak negatif dari harta haram:
1. Sumber Kemurkaan Allah di Dunia dan Akhirat
Saudaraku! Allah Ta’ala telah melapangkan jalan di depan anda, berbagai pintu rizki halal dibuka selebar-lebarnya untuk anda. Akan tetapi bila anda tetap juga mencari jalan yang berliku dan sempit, maka sudah sepantasnya Allah akan menimpakan kemurkaanya kepada anda di dunia dan akhirat:
كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى
“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (Qs. Thaha: 81)
Pada ayat ini Allah Ta’ala dengan tegas memerintahkan Bani Israil untuk memakan rizki yang baik lagi halal. Sebagaimana Allah melarang mereka dari berbuat melampaui batas dalam urusan rizki, yaitu dengan mencarinya dari jalan-jalan yang haram, dan membelanjakannya dijalan yang haram. Bila mereka melakukan hal itu, maka Allah telah mengancam mereka dengan kemurkaan.
Ibnu Jarir menjelaskan maksud dari kebinasaan yang dimaksud pada ayat ini dengan berkata: “Barang siapa yang telah mendapat ketentuan untuk ditimpa kemurkaan-Ku, maka ia sungguh telah terjerumus dan pasti akan sengsara.” (Tafsir Ibnu Jarir 18/347)
Saudaraku! Coba anda bertanya kepada diri sendiri: Untuk apakah aku bekerja dan mencari harta? Saya yakin jawabannya ialah agar dapat hidup enak dan bahagia. Akan tetapi apa pendapat anda bila ternyata pekerjaan dan penghasilan anda malah menyebabkan anda sengsara? Akankah anda meneruskan pekerjaan dan penghasilan anda itu? Dan apakah perasaan anda bila ternyata harta yag berhasil anda kumpulkan tidak mendatang kebahagian bagi anda malah menyebabkan anda menderita dan sengsara? Renungkan baik-baik saudaraku!
2. Harta Haram Adalah Bara Neraka
Sebagai dampak langsung dari rizki haram ialah akan harta tersebut akan mejadi bara api neraka. Ketahuilah saudaraku, bahwa harta benda anda bila anda peroleh dari jalan yang tidak halal, atau anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, sehingga harta anda menjadi haram, maka harta tersebut akan menjadi alat untuk menyiksa diri anda kelak di hari kiamat.
Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara dua orang yang bersengketa di depan rumahnya. Maka beliaupun segera keluar guna mengadili persengketaan mereka berdua. Beliau bersabda kepada mereka:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِى نَحْوَ مَا أَسْمَعُ ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ. متفق عليه
“Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua membawa persengketaan kalian kepadaku. Mungkin saja salah seorang dari kalian lebih lihai dalam membawakan alasannya dibanding lawannya, sehingga akupun memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar dari kalian. Maka barang siapa yang sebagian hak saudaranya aku putuskan untuknya, maka hendaknya ia tidak mengambil hak itu; karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya sebongkah bara api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa hak saudara anda yang anda rampas melalui jalur hukum, digambarkan sebagai bongkahan bara api neraka. Coba anda bayangkan, anda anda duduk di hadapan seorang hakim, lalu ia pada saat pembacaan amar putusan, ia memberi anda sebongkah bara api. Mungkinkah anda dengan senang hati dan kedua tangan anda menyambut bara api itu lalu menyimpannya dalam saku atau di dalam rumah anda?
Ibnu Hajar Al Asqalaani menjelaskan bahwa perumpamaan bongkahan bara api ini menggambarkan kepada anda betapa pedihnya siksa yang akan menimpa anda. (Fathul Bari 13/173)
Pada hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bentuk lain dari siksa yang menimpa perampas hak saudaranya:
مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ. رواه مسلم
“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah dengan cara-cara zhalim (tidak dibenarkan), niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan mengalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi.” (Riwayat Muslim)
Demikianlah, bila akibatnya bila anda merampas hak-hak saudara anda.
Adapun bila harta haram yang anda miliki adalah karena anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, zaitu zakat, maka simaklah siksa yang telah menanti anda:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” (Qs. At Taubah: 34-35)
Ibnu Katsir berkata: “Barang siapa yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan disiksa dengannya. Karena orang-orang yang disebutkan pada ayat ini semasa hidupnya di dunia lebih mencintai harta bendanya dibanding keridhaan Allah, di akhirat mereka disiksa dengan hartanya. Sebagaimana halnya Abu Lahab -semoga laknat Allah selalu menimpanya-, dengan dibantu oleh istri tercintanya berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kelak di hari kiamat, istri tercintanya berbalik turut menyiksa dirinya:
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
“Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Qs. Al Lahab: 5). Maksudnya, kelak di neraka istri Abu Lahab itu terus menerus mengumpulkan kayu bakar lalu mencampakkannya kepada suaminya yaitu Abu Lahab. Dengan demikian siksa neraka terasa semakin pedih baginya, karena orang yang paling ia cintai di dunia turut menyiksa dirinya.
Demikian pula halnya dengan harta benda. Harta benda yang begitu disayang oleh para pemiliknya, sehingga mereka enggan menunaikan zakat, maka kelak di hari kiamat, harta itu menjadi alat penyiksa yang paling menyakitkan. Harta benda itu akan dipanaskan lalu para pemiliknya akan dipanggang dengannya. Betapa panasnya api yang ia rasakan kala itu. Dahi, pinggang dan punggungnya akan dipanggang dengannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/141)
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً ، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ، لَهُ زَبِيبَتَانِ، يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ – يَعْنِى شِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ ، أَنَا كَنْزُكَ. ثُمَّ تَلاَ ولاَ يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ . إلى آخر الآية متفق عليه
“Barang siapa yang telah Allah beri harta kekayaan, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, niscaya kelak pada hari kiamat harta kekayaannya akan diwujudkan dalam bentuk ular berkepala botak, di atas kedua matanya terdapat dua titik hitam. Kelak pada hari kiamat, ular itu akan melilit lehernya, lalu dengan rahangnya ular itu menggigit tangannya, Selanjutnya ular itu berkata kepadanya: ‘Aku adalah harta kekayaanmu, aku adalah harta timbunanmu,’ selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Ta’ala:
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran: 180). (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hajar Al Asqalaani berkata: “Hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allah (zakat) yang wajib ditunaikan hanyalah sebagiannya saja, adalah karena zakat yang harus ditunaikan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Ditambah lagi karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci.” (Fathul Bari 3/305)
Saudaraku! ketahuilah bahwa surga adalah tempat segala kebaikan, dan tidak ada kejelekan sedikitpun di dalamnya. Karenanya hendaknya anda senantiasa waspada agar tidak ada sedikitpun dari tubuh anda atau keluarga anda yang tumbuh dari harta haram. Relakah anda bila sebagian dari tubuh anda yang tidak layak masuk surga dan harus masuk neraka?
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ. رواه الحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka nerakalah yang lebih tepat menjadi tempatnya.” (Riwayat Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
3. Harta Haram Biang Petaka di Dunia
Saudaraku! Andai anda memiliki suatu alat elektronik atau kendaraan produk perusahaan A, akankah anda merawat dan mereparasinya dengan cara-cara yang diajarkan oleh perusahaan B?
Coba anda bayangkan, apa yang terjadi bila anda merawat dan mereparasi kendaraan Mercedes Benz anda dengan cara-cara yang dilakukan dan diajarkan oleh kusir pedati atau andong?
Apa penilaian anda terhadap orang yang ingin menjalankan kendaraannya akan ia mengganti bensin dengan seikat rumput atau sepiring nasi, mungkinkah kendaraannya dapat berjalan?
Demikianlah kira-kira gambaran orang yang hendak memakmurkan dunia, menjaga kelestarian ekosistem alam, dan mencegah petaka menimpa dunia dengan cara-cara yang menyelisihi syari’at Allah.
Anda pasti beriman bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah, tentu andapun beriman bahwa satu-satunya cara yang tepat untuk memakmurkan dan menjaga kelestariannya ialah dengan mengindahkan syari’at Allah.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang beramal sholeh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An Nahl: 97)
Saudaraku! Ketahuilah, banyak dari cara-cara yang kita tempuh dalam mengembangkan dan mengelola harta karunia Allah nyata-nyata melanggar syari’at-Nya. Tidak heran bila kemurkaan Allah Ta’ala sering menghampiri kehidupan kita dan berbagai bencana silih berganti mewarnai hari-hari kita.
Bila dahulu negri kita terkenal dengan negri yang makmur, subur dan aman sentosa, akan tetapi sekarang senantiasa dirundung bencana dan musibah. Bila musin hujan, banjir bandang menghancurkan kehidupan banyak saudara kita, bila kemarau tiba kekeringanpun melanda. Gunung meletus, tanah longsor, bumi memuntahkan isi perutnya, dan harga kebutuhan pokok terus berlari menjauhi kita.
Anda ingin tahu apa sebabnya? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا. رواه ابن ماجة والحاكم والبيهقي وحسنه الألباني
“Tidaklah mereka berbuat curang dalam hal takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup mahal, dan perilaku jahat para penguasa. Dan tidaklah mereka enggan untuk membayar zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi dari mendapatkan air hujan dari langit, andailah bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan.” (Riwayat Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)
Saudaraku! Apa yang menimpa perekonomian dunia sekarang ini cukuplah menjadi pelajaran bagi anda. Masyarakat dunia sekarang ini begitu ambisi untuk mendapatkan kekayan dengan cara membudi-dayakan riba. Tidak heran bila pada zaman sekarang, anda merasa kesulitan untuk menghindari jaring-jaring riba. Akan tetapi apakah masyarakat dunia sekarang ini dapat menikmati kekayaan mereka yang diperoleh dari praktek-praktek riba?
Berapa banyak konglomerat yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Berapa banyak orang kaya yang ditimpa penyakit komplikasi? Berapa banyak orang kaya yang didera masalah di pengadilan? Berapa banyak orang kaya yang tidak berani menikmati kekayaannya, karena takut akan berbagai penyakit dan resiko dari perbuatannya.
Tidak heran bila untuk makan di restoran saja mereka merasa tidak aman, takut kolesterol, gula dan lainnya. Sehingga bila anda perhatikan hidupnya, di rumah ia hanya bisa menikmati pakaian kolor, di ranjang yang mewah ia tidak bisa merasakan indahnya tidur nyenyak, di luar ia takut perampok, dan ketika duduk di meja makan, ia hanya bisa menikmati beberapa gram nasi putih, beberapa lembar sayur-mayur, dan ketika minum ia hanya berani minum air putih, ditambah lagi setelah makan ia harus minum segenggam obat-obatan. Menurut anda, nikmatkah kehidupan semacam ini?
Inilah sebagian dari wujud nyata dari ancaman Allah Ta’ala terhadap para pemakan riba:
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al Baqarah: 276)
(إِنَّ الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ، عَاقِبَتُهُ تَصِيْرُ إِلَى قَلَّ) رواه أحمد الطبراني والحاكم وحسنه الحافظ ابن حجر والألباني
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit.” (Riwayat Imam Ahmad, At Thabrany, Al Hakim dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Ibnu Hajar dan Al Albany)
4. Harta Haram Adalah Jaring-jaring Setan
Bila menempuh jalan-jalan halal dan memakan harta halal adalah syari’at Allah, maka kebalikannya, yaitu menempuh jalan-jalan haram dan memakan harta haram adalah ajaran setan.
Setan berusaha merekrut anda untuk menjadi pengikutnya. Ia berusaha mengekang akal sehat dan iman anda tetesan air liur anda yang mengalir karena tergiur oleh manisnya harta kekayaan dan nikmatnya syahwat dunia.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al Baqarah: 178)
Renungkanlah ayat di atas dengan baik, betapa Allah menjadikan sikap mencukupkan diri dengan makanan halal nan baik sebagai lawan dari langkah-langkah setan.
Saudaraku, tahukah anda apa akibatnya bila anda telah mulai mengikuti langkah-langkah setan? Temukan jawabannya pada firman Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An Nur: 21)
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang yang telah terperangkap oleh jaring-jaring setan sehingga mengikuti jejaknya, maka sesungguhnya setan hanyalah akan menuntunnya kepada perbuatan keji dan mungkar. Bila telah demikian keadaannya, maka ia akan tercebur dalam kubangan perbuatan maksiat dan dosa.
Saudaraku! Coba anda kembali mengoreksi diri anda, mungkin selama ini anda ringan tangan untuk berbuat maksiat dan berat hati bila hendak beramal sholeh, padahal anda telah banyak mendengar nasehat,membaca ayat dan hadits, serta menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah. Walau demikian, ternyata semua itu tak juga dapat mensucikan jiwa dan amalan anda.
Mungkin saja jawaban dari keadaan yang anda hadapi ini adalah pada permasalahan ini. Mungkin saja ada dari sebagian harta kekayaan anda yang harus dibersihkan, sehingga hati andapun dapat disucikan, amalan dan ucapan andapun diridhai Allah.
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Ucapan dan amalan tidak baik adalah pasangan bagi laki-laki tidak baik, dan laki-laki tidak baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan tidak baik (pula). Sedangkan ucapan dan amalan baik adalah pasangan bagi laki-laki baik dan laki-laki baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan baik (pula).” (Qs. An Nur: 26)
Kebanyakan ulama’ ahli tafsir menjelaskan bahwa amalan dan ucapan buruk adalah kebiasaan dari orang-orang yang buruk pula. Sebaliknyapun demikian, amalan dan ucapan baik adalah kebiasaan dari orang-orang baik pula. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thabari19/142, Tafsir Al Qurthubi 21/211 & Tafsir Ibnu Katsir 6/34)
Saudaraku! Mungkin saja selama ini anda merasa kesusahan dalam mendidik istri dan putra-putra anda? Bila benar, maka mungkin saja sumber permasalahannya adalah nafkah yang selama ini anda berikan kepada mereka. Karenanya alangkah baiknya bila anda kembali mengoreksi asal-usul nafkah yang anda berikan kepada mereka.
5. Harta Haram Penghalang Terkabulnya Doa
Saudaraku, saya yakin anda banyak memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala, akan tetapi, coba anda kembali mengamati doa-doa anda, berapakah perbandingan antara doa yang telah dikabulkan dari yang belum? Bila anda merasa pernah berdoa memohon sesuatu kepada Allah akan tetapi anda merasa bahwa doa anda tidak dikabulkan, maka ada baiknya bila anda mencari tahu peyebab tidak terkabulkannya doa anda.
Ketahuilah saudaraku, bahwa diantara hal yang dapat menghalangi terkabulnya doa anda adalah karena anda pernah makan, minum atau mengenakan harta haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ. وَقَالَ :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ. رواه مسلم
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan: (Qs. Al Mukminun: 51). Dan Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang lelaki yang bersafar jauh, hingga penampilannya menjadi kusut dan lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata: ‘Ya Rab, Ya Rab,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan.” (Riwayat Muslim)
Pada lelaki yang dikisahkan berdoa dalam hadits ini terdapat berbagai hal yang dapat mendukung terkabulkannya doa:
- Sedang dalam perjalanan.
- Mengangkat tangan ke langit.
- Bertawassul dengan menyebut salah satu nama Allah Ta’ala.
- Sedang dalam keadaan susah.
Walau demikian halnya, akan tetapi doanya tidak dikabulkan, dan sebabnya ialah rizki haram yang ia makan, minum, kenakan dan yang pernah disuapkan kepadanya semasa ia kanak-kanak.
Saudaraku, anda pasti mengimpikan untuk memiliki anak sholeh yang senantiasa berdoa untuk anda. Dengan demikian walaupun anda telah mati, pahala amal sholeh tetap mengalir kepada anda.
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم
“Bila anak Adam telah meninggal dunia, niscaya pahala amalannya akan terputus, kecuali dari tiga jenis amalan: shodaqah jariyah, ilmu yang berguna, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.” (Riwayat Muslim)
Akan tetapi, apa perasaan anda, andai anda mengetahui bahwa doa anak anda tidak akan pernah dikabulkan Allah? Betapa hancurnya hati anda di saat mengetahui bahwa doa-doa anak keturunan anda tidak mungkin dikabulkan Allah?
Bila anda tidak mengharapkan keadaan itu menimpa anda dan keturunan anda, maka bersikap hati-hatilah dalam urusan harta benda dan nafkah keluarga anda. Jangan sampai ada sesuap nasipun yang masuk ke dalam perut mereka yang berasalkan dari hasil haram.
6. Harta Haram Adalah Biang Kebangkrutan di Hari Kiamat
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui sahabatnya lalu bertanya kepada mereka: “Tahukah kalian, siapakah sebenarnya orang yang pailit?” Spontan para sahabat menjawab: “Menurut kami orang yang pailit adalah orang yang tidak lagi memiliki uang atau barang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawaban sahabatnya ini dengan bersabda:
إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ . رواه مسلم
“Sesungguhnya orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang kelak pada hari kiamat datang dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat. Akan tetapi ia datang dalam keadaan telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan darah ini. Sehingga ini diberi tebusan dari pahala amal baiknya, dan inipun diberi tebusan dari pahala amal baiknya. Selanjutnya bila pahala kebaikannya telah sirna padahal tanggungan dosanya belum lunas tertebus, maka diambilkan dari dosa kejelekan mereka, lalu dicampakkan kepadanya, dan akhirnya ia diceburkan ke dalam neraka.” (Riwayat Muslim)
Pada riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري
“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
يؤخذ بيد العبد أو الأمة فينصب على رؤوس الأولين والآخرين ثم ينادي مناد هذا فلان بن فلان فمن كان له حق ليأت إلى حقه، فتفرح المرأة أن يدور لها الحق على ابنها وأخيها أو على أبيها أو على زوجها ثم قرأ ابن مسعود: فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ. المؤمنون 101 . فيقول الرب تعالى للعبد: ائت هؤلاء حقوقهم، فيقول: يا رب فنيت الدنيا فمن أين أوتيهم، فيقول للملائكة: خذوا من أعماله الصالحة فأعطوا لكل إنسان بقدر طلبته، فإن كان ولياً لله فضلت من حسناته مثقال حبة من خردل من خير ضاعفها حتى يدخله بها الجنة، ثم يقرأ: إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا النساء 40 . وإن كان عبداً شقياً، قالت الملائكة، يا رب فنيت حسناته وبقي طالبون، فيقول للملائكة: خذوا من أعمالهم السيئة فأضيفوا إلى سيئاته وصكوا له صكاً إلى النار .
“Kelak pada hari kiamat, setiap hamba akan dihadapkan kepada seluruh makhluk, lalu seorang penyeru berkata: ‘Ini adalah fulan bin fulan, maka barang siapa yang memiliki hak atasnya, hendaknya segera datang.’ Pada saat itu seorang wanita merasa girang bila menyadari bahwa ia memiliki hak atas anaknya, atau saudaranya, atau ayahnya atau suaminya. Selanjutnya Abdullah bin Mas’ud berdalil dengan menyebutkan firman Allah Ta’ala:
فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ
“Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertegur sapa.” (Qs. Al Mukminun: 101). Selanjutnya Allah berfirman kepada hamba itu: ‘Tunaikan hak-hak mereka!’ Hamba itupun menjawab: ‘Wahai Tuhanku, kehidupan dunia telah sirna, darimanakah aku dapat menunaikan hak-hak mereka?’ Maka Allah berfirman kepada para Malaikat: ‘Ambillah dari pahala amalan shalehnya, lalu berikan kepada setiap penuntut haknya sebesar tuntutannya.’ Bila ia adalah seorang wali Allah (banyak beramal shaleh) maka akan tersisa sedikit -sebesar biji sawi- dari pahala amal kebaikannya. Dan pahala yang tersisa itu akan Allah liupat gandakan hingga ia dengan pahala itu dimasukkan ke dalam surga. Lalu Abdullah bin Mas’ud berdalil dengan membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا .
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipat gandakan dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (Qs. An Nisa’: 40). Adapun bila ia adalah seorang hamba yang sengsara (jelek amalannya) maka Malaikat akan berkata: ‘Ya Allah! Pahala amal shalehnya telah sirna, sedangkan orang-orang yang menuntut haknya masih tersisa?’ Maka Allah-pun berfirman kepada pra Malaikat: ‘Ambillah dari dosa amal buruk mereka, lalu tambahkanlah kepada dosa amal buruknya, dan segera campakkanlah ia ke dalam neraka.'” (Riwayat Ibnu Jarir At Thabari 8/363, Al Ahwal oleh Ibnu Abid Dunya 250, dan Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Ashfahaani 4/202)
Saudaraku! Relakah anda bila semua jerih payah anda beribadah kepada Allah Ta’ala, sholat, zakat, puasa haji dan lainnya akan sirna begitu saja karena dijadikan tebusan atas harta orang lain yang anda ambil dengan cara yang tidak benar? Senangkah anda bila anda yang bersusah payah beramal, sedangkan orang lain yang menikmati pahalanya?
Sekali lagi renungkan! Sudikah anda bila orang lain yang berzina, mencuri, merampas harta orang lain, dan berbuat maksiat lainnya, akan tetapi pada akhirnya anda yang menanggung dosanya?
Penutup
Sebagai penutup pertemuan kita kali ini, alangkah baiknya bila anda mengetahui jenis-jenis harta haram. Dengan mengetahui macam-macam harta haram, anda dapat menentukan sikap dengan baik dan benar.
Para ulama’ telah membagi harta haram menjadi dua bagian:
A. Harta haram karena barangnya.
Contoh nyata dari barang haram jenis ini ialah babi, khamer, kucing, anjing, bangkai binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam nan kuat, dan lainnya.
Bila harta haram yang anda miliki adalah jenis ini, maka agar anda terbebas dari dosanya dan taubat anda sempurna ialah dengan cara memusnahkannya atau membuangnya. Tidak dibenarkan bagi anda untuk menjualnya, walaupun dahulu untuk memperolehnya anda membelinya dengan harga mahal. Karena bila suatu barang telah diharamkan, maka haram pula hasil penjualannya:
إنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئاً حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (Riwayat Imam Ahmad, Al Bukhary dalam kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrany, dan Al Baihaqy dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad 5/746)
Dan tentang Khamer, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sesungguhnya Dzat Yang telah mengharamkan untuk meminumnya –yaitu khamer- telah mengharamkan pula penjualannya.” (Riwayat Muslim)
Pada suatu hari Abu Thalhah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang harta warisan anak yatim yang berupa khamer, beliau menjawab:
أَهْرِقْهَا. قَالَ: أَفَلاَ أَجْعَلُهَا خَلاًّ؟ قَالَ: لاَ. رواه أبو داود والترمذي وحسنه الألباني
“Tumpahkanlah (buanglah)” Abu Thalhah kembali bertanya: ‘Apa tidak lebih baik bila saya membuatnya menjadi cuka?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.'” (Riwayat Abu Daawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albany)
Saudaraku! bila demikian petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi khamer warisan anak yatim, maka selain mereka tentu lebih layak lagi untuk melakukan sikap yang sama.
Dapat disimpulkan, bahwa berhadapan dengan harta haram jenis pertama ini tidak ada cara bagi anda untuk terbebas dari dosanya selain dengan membuang atau memusnahkannya.
B. Harta haram karena cara memperolehnya.
Bila anda mengambil harta atau hak milik saudara anda tanpa izin darinya alias dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, maka harta dan hak itupun haram untuk anda gunakan. Misalnya dari harta haram jenis ini ialah harta hasil riba, atau harta hasil curian, penipuan, dan yang serupa
Dan untuk melepaskan diri dari dosa harta haram ini, anda memiliki dua pilihan solusi:
Solusi Pertama: Mengembalikan kepada pemiliknya.
Simaklah firman Allah Ta’ala tentang solusi melepaskan diri dari riba yang terlanjur anda sepakati dengan saudara anda:
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di padang Arafah, beliau bersabda:
وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. رواه مسلم
“Riba jahiliyyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Mutthalib, sesungguhnya ribanya dihapuskan semua.” (Riwayat Imam Muslim)
Dan pada harta saudara anda yang anda ambil tanpa seizinnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني
“Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya, -pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya.” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)
Bila barang yang anda ambil terlanjur rusak atau berubah wujud, sedangkan tidak didapatkan gantinya, maka anda dapat menebus harganya.
Solusi Kedua: Meminta maaf kepada pemiliknya.
Bila solusi pertama karena suatu hal tidak dapat anda lakukan , maka anda memiliki soslusi kedua, yaitu meminta maaf kepada pemiliknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري
“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)
Demikianlah dua solusi yang dapat anda tempuh guna melepaskan diri dari dosa harta haram.
Semoga apa yang telah dipaparkan di atas berguna bagi kita, bila anda mendapatkan kebenaran maka itu datangnya dari Allah Ta’ala, dan bila terdapat kesalahan atau kekurangan, maka itu datangnya dari kejahilan diri saya dan bisikan setan. Wallahu a’alam bisshawab.
اللَّهُمَّ اكْفِنِا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.”
Assalamualaikum Ustadz,
Saat ini saya khawatir telah memakan uang haram, baik langsung maupun tidak langsung, padahal saya telah berusaha untuk menghindarinya, namun saya takut tanpa saya sadari telah memakannya.
Saya pernah mendengar dalam suatu Khotbah Jum’at, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa siapa yang memakan barang haram tidak akan diterima ibadahnya selama 40 tahun, tentu saya sangat takut dan pesimis sehingga berfikir akan sia-sia saja untuk memperbanyak ibadah, sementara ini Alhamdulillah saya tetap rajin beribadah meskipun masih khawatir tidak akan diterima (saya takut nanti akan berfikir percuma ibadah kalau tidak diterima).
Pertanyaan saya, Apakah yang harus saya lakukan agar Allah mengampuni saya dari memakan uang haram yang mengakibatkan ibadah saya tidak diterima selama itu ?
Waalaikumussalam Wr Wb
Terdapat hadits yang berbunyi,”Barangsiapa yang memakan sesuap saja dari yang haram maka tidaklah diterima shalatnya sebanyak 40 malam dan tidaklah diterima doanya selama 40 pagi dan setiap daging yang tumbuh dari (sesuatu) yang haram maka api neraka menjadi lebih utama baginya. Sesungguhnya sesuap dari yang haram akan menumbuhkan daging.” (HR. ad Dailami dari Ibnu Masud)
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut munkar, tidak dikenal kecuali dari riwayat al Fadhl bin Abdullah. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu)
Adapun tentang bertaubat dari memakan barang yang diharamkan Allah maka sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan atau matahari belum terbit dari barat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ” Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orng yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.”
Cukuplah bagi anda melakukan taubat nashuha terhadap perbuatan memakan barang yang diharamkan tersebut dengan memenuhi syarat-syaratnya :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”
Dan mudah-mudahan dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menggantikan keburukan tersebut dengan kebaikan :
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31)
Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]
Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. [HR. al-Bukhâri]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]
Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. [al-Baqarah/2:168]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]
Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.
Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.
Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.
Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata pencaharian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. [HR. Tirmidzi]
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة
Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.
SIKAP ORANG-ORANG SHALIH
Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :
1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.
2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.
3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka.”
Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).
Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]
Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.
Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” [HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]
Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.
PENGARUH MAKANAN HARAM
Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]
Allâh juga berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]
Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ
Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]
Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.
Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.
Baca Juga Menghilangkan Uang Ribawi Disyaratkan Mengambilnya dari Uang di Bank?
Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]
Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]
GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN
Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.
Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.
Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.”
Kita diperintahkan untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
- Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
- Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
- Menengadahkan tangan ke langit.
- Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
Sabar Dalam Menghadapi Kesulitan Hidup
Tanda Allah Swt sayang pada hambanya tidak selalu memberikan hal – hal yang menyenangkan dari sisi dunia. Melainkan Allah memberikan apapun yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Meskipun anda sedang diberikan cobaan, hindari suudzon terhadap Allah. Karena semua yang diberikan Allah kepada anda adalah terbaik bagi anda.
Pada artikel kali ini saya akan membahas mengenai tanda Allah sayang pada hambanya yang akan diulas lebih dalam lagi, yuk kita simak bersama – sama penjelasan di bawah ini :
1. Memberikan Cobaan, Ujian dan Musibah Kepada Anda
Cobaan yang diberikan Allah kepada anda merupakan salah satu cara yang ditunjukkannya sebagai bentuk kasih sayang agar kita bisa bersabar menghadapi musibah dalam islam. Karena jika anda lulus, maka Allah akan memberikan bonus dengan meningkatkan derajat anda dihadapan – Nya.
Jangan berpikir bahwa hamba yang diberikan cobaan terus menerus artinya Allah membencinya. Justru hamba yang diberikan kesenangan dan harta melimpah secara tidak langsung juga diuji. Padahal ujian yang lebih sulit sebenarnya adalah menjaga titipannya seperti halnya harta. Hal ini dijelaskan dalam firman – Nya surat Al Anbiya ayat 35, penjelasannya sebagai berikut :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al – Anbiya’ : 35)
2. Terjaga Dari Kehidupan Di Dunia
Allah akan senantiasa menjaga hamba – hamba – Nya yang beriman dan bertakwa di dunia. Tidak akan membiarkan terjerumus dalam kemaksiatan. Dan selalu menjaga hamba tersebut dengan ketentraman dan juga ketenangan hati.
” Sesungguhnya Allah akan menjaga hambaNya yang beriman –dan Dia mencintaiNya- seperti kalian menjaga makanan dan minuman orang sakit (diantara) kalian, karena kalian takut pada(kematian)nya.” (HR. Al Hakim, Ibnu Abi ’Ashim dan Al Baihaqi)
3. Dengan Adanya Keshalihan
Orang yang shalih merupakan salah satu hamba yang disayangi oleh Allah Swt. Keshalihan merupakan anugerah yang tiada bandingannya. Jangan lupa bahwa keshalihan adalah salah satu nikmat dan tanda kasih sayang dalam islam yang diberikan Allah Swt kepada kita.
” Allah memberikan dunia pada yang Dia cintai dan yang Dia benci . Tetapi Dia tidak memberikan (kesadaran ber) agama, kecuali kepada yang Dia Cintai. Maka barang siapa diberikan (kesadaran ber) agama oleh Allah, berarti ia dicintai oleh – Nya.” ( HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)
4. Memahami Agama
Kemudahan dalam hal pemahaman mengenai agama akan diberikan oleh Allah secara bertahap sedikit demi sedikit. Hamba – Nya akan dituntun menuju ke jalan yang benar dengan berbagai petunjuk tertentu. Sehingga proses pembelajaran bisa diikuti dengan baik.
5. Adanya Kelembutan
Kelembutan yang ada di dalam hati dan setiap tindakan dari dalam diri anda merupakan salah satu anugerah dan kasih sayang yang diberikan Allah Swt kepada hamba – Nya. Rasanya apabila melakukan tindakan – tindakan kasar sangat sulit. Hal ini disebabkan karena adanya kelembutan.
”Jika Allah menginginkan kebaikan penghuni satu rumah, maka Dia masukkan kelembutan.” (HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan At Tarmidzi)
6. Mudah Melaksanakan Perintah – Nya (Ketaatan)
Kemudian apabila hati merasa tentram dan terdorong secara terus menerus untuk menjaga ibadah atau pun melaksanakan perintahnya baik itu ibadah wajib atau sunah, bisa dikatakan sebagai salah satu tanda kasih sayang yang Allah Swt berikan.
7. Sulit Untuk Melakukan Kemaksiatan
Diantara banyak tanda kasih sayang Allah pada hamba – Nya yakni akan merasa kesulitan pada saat akan melakukan hal – hal yang berhubungan dengan maksiat. Ia tidak mungkin bisa melakukannya dengan mudah karena Allah selalu menjaganya.
8. Husnul Khatimah
Kasih sayang yang nyata adanya adalah Allah Swt menutup usia hambanya dengan amal shalih. Hal ini merupakan momen yang sangat penting, banyak diantara hamba – Nya yang menghabiskan usianya dalam hal menjalani ketaatan, namun meninggal duni dalam kondisi melakukan maksiat kepada Allah. Hal ini bisa anda lihat dari percakapan Abu Bakar dengan Rasulullah :
Abu Bakar berkata : ” Jika satu kakiku di dalam surga, dan kaki yang lain diluar surga, maka aku belum aman”
Jika kita melakukan hal – hal yang menjurus ke perbuatan maksiat, takutlah pada kematian, dan hati-hatilah apabila kita mati dalam keadaan melakukan maksiat.
Rasul Bersabda: ” Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memaniskannya”
Sahabat bertanya : ” Apa itu memaniskannya ya Rasulullah? ”
Ia berkata : ” Dia akan memberi ia petunjuk untuk melakukan kebaikan saat menjelang ajalnya, sehingga tetangga akan meridhainya-atau ia berkata- orang sekelilingnya.” (HR. Al Hakim)
9. Diberikan Kesabaran
Kesabaran memang cara menahan amarah dalam islam yang sudah diberikan Allah kepada hamba – Nya yang beriman dan bertakwa.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).“ (QS. Ar Ra’d : 2)
10. Didatangkan Orang – Orang Baik Di Sekeliling Anda
Tanpa kita sadari Allah Swt telah menuntun dan menyiapkan kasih sayangnya kepada kita dengan dihadirkannya orang – orang baik yang ada di sekeliling kita. Secara tidak langsung anda akan ikut ke dalam arus perbuatan – perbuatan yang benar karena pengaruh dari lingkungan yang baik.
11. Diberikan Rejeki Cukup
Allah pasti memberikan rejeki yang cukup kepada setiap hamba – Nya melalui salah satunya amalan memperlancar rezeki yang memang dianjurkan dalam islam.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk-mahluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70).
12. Mengangkat Derajat Orang Beriman
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
13. Selalu Membuka Pintu Taubat
Pintu taubat selalu Allah berikan kepada setiap hamba – Nya yang bersungguh – sungguh. Kesempatan kedua selalu ada karena itulah tanda kasih sayang Allah Swt.
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110).
14. Selalu Memberikan Pengampunan
Anda bisa memanjatkan doa pengampunan dosa kepada Allah dengan hati yang bersungguh – sungguh, niscaya Allah Swt akan segera memberikan pengampunan sesuai dengan kadarnya.
“Katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).
15. Tidak Menyegerakan Adzab
Anda bisa lihat orang – orang yang ada di sekeliling anda, apakah mereka akan langsung mendapatkan hukuman dari Allah Swt, setelah melakukan maksiat atau perbuatan buruk yang menyakiti hati orang lain. Jawabannya pasti tidak. Hal ini dikarenakan Allah memberikan kesempatan kepada hamba – Nya untuk memperbaiki diri.
“Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan- Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An-Nahl:61)
16. Membalas Semua Amal Kebaikan Dengan Pahala yang Tidak Ada Batasnya
“Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al – An’am : 160)
17. Mengabulkan Do’a Hamba – Nya
Allah Swt selalu mengabulkan do’a – do’a dari semua hamba – Nya. Hanya membutuhkan waktu saja, jadi anda wajib bersabar dan menunggu. Karena Allah tau waktu yang tepat untuk mengabulkan setiap do’a. Alasannya adalah Allah akan memberikan yang anda butuhkan bukan yang anda inginkan. Hal tersebut sudah pasti baik untuk anda.
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir : 60).
عَلاَمَةُ اِعْرَاضِ اللهِ تَعَالَى عَنِ الْعَبْدِ، اشْتِغَالُهُ بِمَا لاَ يَعْنِيهِ، وَ اَنﱠ امْرَأً ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مَنْ عُمُرِهِ، في غَيرِ مَا خُلِقَ لَهُ مِنَ الْعِبَادَةِ، لَجَدِيرٌ اَنْ تَطُولَ عَلَيْهِ حَسْرَتُهُ
Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.”
Melalui penjelasan di atas jelas bahwa ketika Allah sedang murka kepada hamba-Nya adalah seorang hamba disibukkan melaksanakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sesuatu yang tidak bermanfaat adalah sesuatu yang tidak bisa memberi dampak baik bagi diri seseorang dan juga bagi orang lain. Terutama dalam masalah ibadah dan pengabdian kepada Allah.
Sesuatu yang tidak bermanfaat adalah sesuatu yang tidak bisa memberi dampak baik bagi diri seseorang dan juga bagi orang lain. Terutama dalam masalah ibadah dan pengabdian kepada Allah.lakukan amalan-amalan yang terbaik agar Allah tidak murka kepada kita. Yaitu dengan melakukan hal-hal kebaikan.
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً
“Allah menginginkan untuk menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya."
Sesungguhnya pintu tobat masih terbuka lebar bagi kita, maka marilah kita bertobat kepada Allah taa'la dengan sebenar-benarnya tobat.
Ramadhan adalah bulan tobat dan ampunan dosa. Jadi sudah seharusnya kita memanfaatkan Ramadhan untuk menghapus semua dosa dengan bertobat. Sehingga ketika Ramadhan usai, kita akan seperti bayi yang baru lahir, di mana semua dosa sudah diampuni.
Lantas bagaimanakah cara dan syarat syarat dalam bertaubat?
Imam nawawi menjelaskan, jika kemaksiatan terjadi antara seorang hamba dan Allah Ta'ala, artinya tidak ada hubungannya dengan hak orang lain. Maka, untuk bertaubat kepada Allah harus memenuhi tiga syarat.
Menyesalinya. Kita merasa menyesal dan bersalah karena telah melakukan dosa-dosa, karena dengan adanya rasa menyesal dan bersalah maka kita tergerak untuk berubah.
Segera berhenti dari maksiat maksiat yang telah kita lakukan dengan semaksimal mungkin. Seperti contohnya kita pernah terjerumus dalam perkara riba, maka cara kita berhenti dari perbuatan tersebut adalah dengan cara kita berusaha menjauhi segala sesuatu yg mengarah kepada perbuatan riba tersebut.
Berniat tidak mengulangi perbuatan tersebut selama lamanya.
Kemudian, jika dosa yang kita perbuat itu berkaitan dengan hak seseorang maka syarat tobatnya ada empat yakni tiga syarat yang disebutkan di atas ditambah yang keempat adalah harus mengembalikan hak orang yg kita zalimi.
Contohnya jika kita pernah mengambil harta anak yatim dengan zalim, maka wajib hukumnya bagi kita mengembalikan hak tersebut kepada mereka, Jika syarat yang keempat ini tidak dilaksanakan maka tidak diterima tobatnya dan kelak dia akan dituntut oleh orang orang yang dia zalimi dengan cara mengambil pahala yang dimiliki orang tersebut.
Jika pahalanya habis, maka dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut akan dibebankan kepadanya. Nauzubilallah min dzalik, sungguh meruginya orang-orang yang mengambil hak orang lain secara zalim, Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut.
Itulah syarat-syarat taubat yang harus kita penuhi agar kita meraih ampunan dari Allah Ta'ala. Maka kita harus berusaha, karena kita manusia, tak lepas dari dosa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ
“Setiap anak manusia pasti pernah dan pasti banyak dosanya.”
Tapi siapa orang yang paling baik dari orang yang berbuat dosa itu? Kata Rasulullah:
وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang segera bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
Rosulullah bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
"Celakalah orang yang memasuki bulan ramadhan, kemudian ketika dia keluar darinya dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah atas dosa-dosanya. "
Semoga pada bulan yang suci ini kita bisa meraih ampunan dari Allah Ta'ala dan semoga Allah ta'ala menerima segala bentuk amal saleh kita di bulan ini.
Kesibukan dunia memang sering membuat seseorang mengalami hal seperti itu. Nabi SAW sesungguhnya telah memberikan resep mujarab agar situasi semacam itu tidak berkembang ke hal-hal negatif yang tak diinginkan, yakni dengan mengerjakan shalat.
Nabi SAW, selain sebagai rasul, beliau juga adalah manusia biasa seperti halnya yang lain. Beliau juga melakukan aktivitas keduniaan, seperti berdagang atau berusaha mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya.
Sebagaimana manusia lainnya, ketika intensitas aktivitas keduniaan beliau makin meningkat, beliau juga kerap merasa lelah dan ingin beristirahat menenangkan pikiran dan jiwanya agar tetap terkontrol dan kondusif. Dalam hadis disebutkan, jika Nabi SAW tertimpa suatu masalah yang berat maka beliau segera mengerjakan shalat (HR Abu Dawud).
Nabi SAW disebutkan juga kerap kali menyuruh sahabatnya, Bilal bin Rabah, untuk mengumandangkan azan shalat ketika beliau merasa telah terlalu tersibukkan dengan urusan duniawi sehingga membuat beliau letih, "Wahai Bilal, berdirilah, lantunkan azan dan istirahatkanlah kita dengan shalat." (HR Abu Dawud).
Dalam hadis lain, Nabi SAW mengatakan, "Sesungguhnya shalat dijadikan untukku sebagai penenang hati." (HR an-Nasa'i). Shalat dapat menenangkan hati, pikiran, dan jiwa yang gundah juga fisik yang letih akibat tenaga terlalu banyak diforsir. Sebab, dalam shalat, seseorang sejatinya tengah menghadap Allah SWT, meninggalkan sejenak kesibukan duniawi untuk memberikan kesempatan bagi rohani atau jiwanya untuk berkomunikasi dengan-Nya.
Shalat adalah ibadah yang berisi zikir (mengingat Allah) dan doa kepada Allah SWT. Shalat secara bahasa artinya doa. Dalam Alquran, zikir disebutkan dapat membuat hati menjadi tenang, "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS ar-Ra'd [13]: 28).
Dalam hadis, Nabi SAW mengatakan, "Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah (masjid) yang di situ mereka membaca Kitabullah (Alquran) dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya." (HR Muslim).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Asrar ash-Shalah mengatakan, dalam shalat, hati dan raga seorang hamba bersama-sama menghadap Allah. Seluruh bagian tubuhnya bergerak menunjukkan kerendahan diri sebagai hamba, sementara hatinya terhubung kepada-Nya. Karena itu, semua bagian tubuh dan hati hamba yang shalat akan mendapatkan bagian kebaikan dari Allah.
Hanya saja, hati hamba yang shalat akan mendapatkan imbalan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih besar dibandingkan yang didapatkan bagian tubuhnya. Sebab, ia menghadap kepada Tuhannya, senang dan bahagia berada dekat dengan-Nya. Ia juga menikmati rindu dan cinta kepada-Nya. Ia merasakan kenikmatan penuh saat berdiri di hadapan-Nya.
Ketika seseorang tenggelam dalam shalatnya, sibuk mengingat Allah, dan berdoa penuh harap, hati pun menjadi tenteram, dada menjadi lapang, pikiran menjadi tenang, fisik pun segar kembali. Selesai shalat, ia pun bisa kembali beraktivitas keduniaan dengan baik.
Segala problem dan kesulitan yang sebelumnya membebani pun menjadi terasa ringan. Ini terjadi tentunya jika shalat dikerjakan dengan benar, sesuai petunjuk Nabi SAW dan khusyuk, menyerahkan jiwa dan raga sepenuhnya kepada Allah dengan merendahkan diri dan ikhlas di hadapan-Nya.
Allah berikan kesadaran beragama
"Allah memberikan dunia pada yang Dia cintai dan yang Dia benci . Tetapi Dia tidak memberikan (kesadaran ber) agama, kecuali kepada yang Dia Cintai. Maka barang siapa diberikan (kesadaran ber) agama oleh Allah, berarti ia dicintai olehNya” ( HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)
Allah berikan kelembutan pada hati kita
Dia akan menjadikan hambaNya sosok yang tenang, pribadi yang tidak emosional dan mudah bergejolak hanya karena hal-hal sepele.
” Jika Allah menginginkan kebaikan penghuni satu rumah, maka Dia masukkan kelembutan” (HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan At Tarmidzi)
Ketika kita melakukan kejahatab, langsung Allah segerakan balasannya
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Allah berikan ujian
Hadits Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
Ujian ini bisa kekurangan harta, ketakutan, kelaparan, ataupun penyakit.
Menjelang akhir hidupnya melakukan kebaikan
Rasul Bersabda: ” Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memaniskannya”
Sahabat bertanya : ” Apa itu memaniskannya ya Rasulullah? ”
Ia berkata : ” Dia akan memberi ia petunjuk untuk melakukan kebaikan saat menjelang ajalnya, sehingga tetangga akan meridhainya-atau ia berkata- orang sekelilingnya” (HR. Al Hakim).
Referensi : Ciri Allah Mencintai HambaNya
Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh, Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang yang zalim. (QS Ali Imran: 192)
Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama, ayat ini menjelaskan, mereka berdoa kepada Allah Sang Pencipta yang menghidupkan dan mematikan.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka karena menyekutukan-Mu dan akibat keangkuhannya, maka sungguh Engkau telah menghinakannya dengan menimpakan azab yang pedih. Maka tidak ada seorang penolong pun yang dapat memberikan pertolongan bagi orang yang zalim. Karena orang-orang zalim pantas mendapatkan murka dan siksaan dari Allah.
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini mengandung arti mereka berdoa, Ya Allah, Ya Tuhan kami, kami mohon dengan penuh khusyuk dan rendah hati, agar kami benar-benar dijauhkan dari api neraka, api yang akan membakar hangus orang-orang yang angkuh dan sombong di dunia ini, yang tidak mau menerima yang hak dan benar yang datang dari Engkau pencipta seluruh alam.
Kami tahu orang-orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh telah Engkau hinakan karena kezaliman dan kekafiran yang telah mereka lakukan di dunia ini.
Mereka terus-menerus merasakan siksa neraka itu, karena tidak ada penolong bagi orang-orang yang zalim dan kafir. Tidak ada seorang pun dapat jadi penolong mereka dan dapat mengeluarkan mereka dari kepedihan siksa yang dialaminya.
Zalim merupakan perbuatan yang dilarang agama. Allah SWT menunda siksaan mereka dan ajal mereka, agar mereka kian bertambah zalim dan melampaui batas.
"Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan." (QS Ali Imran 178).
Hal itu mungkin ditangguhkan juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah, yang memiliki sifat Al-Halim (Yang Mahalembut).
Atau karena orang yang terzalimi sebelumnya telah berbuat zalim kepada yang lain pada masa hidupnya, lalu kezaliman yang menimpa dirinya merupakan hukuman atas kezaliman dia sendiri pada masa lalu.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
“Tidak ada sesuatu yang aku patuhi kepada Allah di dalamnya (amalan itu) lebih cepat mendapat ganjaran lebih dari menyambung tali silaturahim, dan tidak ada sesuatu yang lebih cepat hukumannya dari berbuat zalim dan memutus tali silaturahim.” (HR Baihaqy).
Oleh karena itu, balasan bagi orang zalim di dunia ini mungkin muncul pada kesimpulannya, yaitu akhir hidupnya akan sangat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya."
Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: 'Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.' (Qs Hud ayat 102).
Sebagaimana Allah menghinakan pelaku zalim saat di dunia, yang merasakan kepahitan hidup dan kehinaannya, Allah juga akan menyiksanya pada hari kiamat. Di antara hukuman duniawi pelaku kezaliman ialah diharamkannya dia dari keberkahan dan dihilangkannya nikmat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qalam yang menceritakan tentang para pemilik kebun, dan mereka pelit, mereka bertekad untuk tidak memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." (QS Al Qalam ayat 17-27).
Dikutip dari Okezone.com, perbuatan zalim adalah sifat yang melampaui batas kemanusiaan, melanggar ketentuan, dan menentang atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Perbuatan zalim merupakan perbuatan yang sangat tidak disukai oleh Allah SWT bahkan Allah melaknat perbuatan tersebut. Tidak hanya Allah yang tidak menyukainya. Malaikat dan sesama manusiapun sangat tidak suka dengan orang yang berbuat zalim.
Allah SWT tidak suka terhadap perbuatan zalim, seperti firmannya: “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS Ali Imran: 57).
Ada banyak bentuk perbuatan zalim yang dibenci oleh Allah SWT. Seperti yang dikatakan oleh seorang ustaz pada saat khutbah Jumat (21/6/2019).
"Perbuatan zalim memang mempunyai banyak bentuknya dari perbuatan zalim kepada Allah, perbuatan zalim kepada orang lain, perbuatan zalim pada diri sendiri, dan zalim kepada binatang. Allah akan memberi hukuman kepada mereka yang berbuat zalim di akhirat nanti. Bahkan mereka yang berbuat zalim akan tidur beralaskan api neraka dan diselimuti api neraka," ujar ustaz tersebut.
“Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka) . Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al A’raaf: 41).
Karena kebencian Allah kepada orang-orang zalim, orang yang berbuat zalim tidak akan pernah mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak. seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al An'am ayat 135: “Kalian akan tahu siapa yang akan mendapat tempat terbaik di akhirat dan sesungguhnya orang-orang zalim itu tidak akan beruntung.”
Perbuatan zalim memiliki banyak dampak salah satunya merugikan orang lain. Bahkan orang yang dizalimi dosa-dosanya akan berpindah ke orang yang berbuat zalim.
Dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:816), Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
إِمْسَاكُ فُضُوْلِ النَّظَرِ وَالكَلاَمِ وَالطَّعَامِ وَمُخَالَطَةِ النَّاسِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِنَّمَا يَتَسَلَّطُ عَلَى اِبْنِ آدَمَوَيَنَالُ مِنْهُ غَرَضَهُ مِنْ هَذِهِ الأَبْوَابِ الأَرْبَعَةِ فَإِنَّ فُضُوْلَ النَّظَرِ يَدْعُو إِلَى الإِسْتِحْسَانِ وَوُقُوْعِ صُوْرَةِالمَنْظُوْرِ إِلَيْهِ فِي القَلْبِ وَالإِشْتِغَالِ بِهِ وَالفِكْرَةِ فِي الظَفْرِ بِهِ
“Hendaknya menahan diri dari pandangan yang tak bisa terjaga, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul. Hal-hal ini merupakan empat pintu setan dalam menguasai manusia dan jalan setan mencapai tujuannya. Enggan menundukkan pandangan akan mengantarkan pada menganggap baik (istihsan), yang dilihat akan menancap dalam hati, pikiran pun akan sibuk membayangkannya, hingga berpikiran agar tercapai tujuan.”
Empat hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam poin kesepuluh setelah menyebutkan sembilan kaidah bermanfaat untuk melindungi hamba dari setan dan menyelamatkan dari gangguannya. Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid, 2:809-816.
Pertama: Banyak memandang
Contohnya adalah memandang lawan jenis.
Dalam surah An-Nuur sendiri diperintahkan untuk menundukkan pandangan,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُم
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30)
Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 31)
Dalam hadits disebutkan,
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ
“Zina kedua mata adalah dengan melihat.” (HR. Muslim, no. 6925)
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)
Kedua: Banyak bicara
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik, ataukah diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi, no. 2616 dan Ibnu Majah, no. 3973. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan hadits ini hasan).
Ketiga: Banyak makan
Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqah, terpercaya).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:469)
Keempat: Banyak bergaul
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih)
Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim dalam Badaai’ Al-Fawaid: Bergaul seperti orang yang membutuhkan makanan, terus dibutuhkan setiap waktu, contohnya adalah bergaul dengan para ulama.
- Bergaul seperti orang yang membutuhkan obat, dibutuhkan ketika sakit saja, contohnya adalah bentuk muamalat, kerja sama, berdiskusi, atau berobat saat sakit.
- Bergaul yang malah mendapatkan penyakit, misalnya ada penyakit yang tidak dapat diobati, ada yang kena penyakit bentuk lapar, ada yang kena penyakit panas sehingga tak bisa berbicara.
- Bergaul yang malah mendapatkan racun, contohnya adalah bergaul dengan ahli bid’ah dan orang sesat, serta orang yang menyesatkan yang lain dari jalan Allah yang menjadikan sunnah itu bid’ah atau bid’ah itu menjadi sunnah, menjadikan perbuatan baik sebagai kemungkaran dan sebaliknya.
Ibnul Qayyim menjelaskan dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:824-825), “Siapa yang tersadarkan dengan menjaga diri dari empat hal yang merusak yaitu tidak menjaga pandangan, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul, padahal empat hal ini adalah yang merusak alam, lalu ia menempuh sembilan langkah untuk menjaga diri dari godaan setan tersebut, maka ia berarti telah mendapatkan taufik, mencegah dirinya dari pintu Jahannam, dan membuka pintu rahmat.”
Semoga Allah menyelamatkan kita dari gangguan setan.
Referensi :
- At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
- Badaa-i’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.
Hanya manusia yang masih mampu bertahan hidup karena optimasi akalnya. Berbagai cara ditempuh, demi usia hidup yang lebih panjang. Maka kedatangan mereka kala itu, menuntut Nabi Musa ‘Alaihis salam untuk mendoakan, agar Allah Ta’ala berkenan menurunkan karunia rahmat-Nya berupa hujan yang tercurah.
Karena kondisi paceklik yang semakin menjadi, Nabi Musa ‘Alaihis salam pun mengumpulkan rakyatnya. Beliau berkomunikasi kepada Allah Ta’ala, berdoa agar diturunkan hujan. Dia langsung memberikan jawaban kepada Nabi Musa ‘Alaihis salam. Meski ada 70 ribu orang yang hadir, Allah Ta’ala menangguhkan doa tersebut, lantaran satu orang. Allah Ta’ala mengatakan kepada Nabi-Nya, satu orang tersebut telah melakukan dosa dan maksiat yang nyata selama 40 tahun. Allah Ta’ala menyebutkan, jika dia bertaubat, maka hujan akan segera diturunkan. Dia pun memerintahkan kepada salah satu Rasul Ulul ‘Azmi itu untuk menyampaikan kepada jamaah, agar orang yang berdosa segera keluar dari barisan.
Mendengar seruan dari Nabi Musa, laki-laki pendosa ini langsung bertaubat. Dia menyesali semua perbuatan dosa yang dilakukan, kemudian berniat kuat untuk tidak mengulanginya lagi, selama-lamanya.
Laki-laki ini berdiri, lalu keluar dari barisan. Anehnya, tidak ada satu orang pun di antara 70 ribu jamaah yang melihat orang ini. Bahkan, Nabi Musa juga tidak melihat. Beliau berkata kepada Allah Ta’ala, dia telah menyampaikan, tapi pendosa tersebut tidak kunjung keluar dari barisan untuk mengakui kekeliruannya.
Anehnya, tak lama setelah itu, hujan turun dengan sangat lebat. Saat orang-orang tengah sibuk bersukacita itu, Nabi Musa kembali berkata kepada Allah Ta’ala, “Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami? Bukankah tidak ada seorang pun di antara kami yang keluar untuk mengakui dosanya?”
Allah Ta’ala memberitahu, orang tersebut telah bertaubat, dan Dia Menerima taubatnya karena kesungguhannya. Saat Nabi Musa memohon agar diberi tahu siapa orang tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Musa, dulu ketika ia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang, Aku akan membuka aibnya ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat membenci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?”
Kisah ini masyhur. Terdapat di dalam banyak kitab dan catatan. Termaktub juga di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim susunan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah. Betapa Allah Ta’ala Maha Pengampun atas dosa-dosa kita yang tak terbilang. Rabbanaghfirlanaa.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah RA. Nabi SAW bersabda:
"Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia.
Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi." Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya. Apa saja empat hal itu? Berikut ini adalah empat bentuk kemurkaan Allah SWT.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Dan jika Dia membenci seorang hamba, dia memanggil Jibril, dan berkata bahwa Allah SWT membenci hamba tersebut, jadi aku membencinya. Maka Jibril membencinya lalu berseru kepada penduduk langit, bahwa Allah SWT membenci hamba itu. Maka mereka membencinya. Kemudian hamba tersebut dibenci penduduk bumi.”
Kedua, wujud kemurkaan Allah SWT pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut cenderung terus berada dalam cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah SWT, sama seperti saat dia membenci apa yang dicintai Allah SWT.
Ketiga, hamba tersebut selalu berada dalam kesesatan, ketidaktaatan dan dosa, dan bergerak di antara dosa dan dosa. Hamba ini tidak bertobat dari semua hal buruk itu dan mati untuknya.
Keempat, tanda Allah SWT murka pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut lalai dalam melaksanakan sholat wajib, tidak menjaganya atau melaksanakannya. Ini bentuk kelalaian dalam melaksanakan sholat lima waktu. Hak-hak Allah SWT dan hamba-hamba-Nya pun lenyap, sehingga menjadi tidak peduli terhadap nasib di dunia dan akhirat.
Dengan perkataan lain, penuhilah kebutuhan hidup di dunia ini sewajarnya. Sebab, segala yang ada di kolong langit pasti memiliki batas. Bagi manusia, limit yang tidak mungkin disangkal lagi adalah usia.
Kalau jatah umur sudah sampai ajal, tidak berguna lagi apa pun pernak-pernik duniawi. Nabi Muhammad SAW memberikan nasihat dan keteladanan tentang cara hidup yang ideal.
Berikut ini beberapa petuah di antaranya:
Pertama, menjadi musafir. Pengembara adalah mereka yang bepergian meninggalkan kampung halamannya. Rasulullah SAW mengajarkan, seorang Muslim hendaknya memahami kehidupan di dunia ini layak nya musafir.
مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan mening galkan pohon tersebut.” (HR Tirmidzi).
Perjalanan yang ditempuh akan sampai pada titik kembali. Dalam Alquran, Allah SWT menyatakan bahwa Dialah tempat kembali segala urusan. Maka, sepantasnya jatah usia seorang Mukmin di dunia dihabiskan untuk terus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sebab, saat diadili kelak di Hari Akhir, harapannya adalah berjumpa dengan kasih sayang dan ridha-Nya, bukan murka-Nya.
Kedua, ingat maut. Imam Syafii berkata dalam sebuah syairnya, “Cukuplah kematian sebagai nasihat.” Menurut ajaran Islam, kematian bukanlah akhir. Ia justru menjadi awal perjalanan insan menuju kampung akhirat.
Tiap orang nanti hanya akan ditemani catatan amal perbuatannya. Yang tersisa hanyalah sesal dan sedih bagi mereka yang fasik, apalagi kafir. Diandaikannya bahwa raga dapat kembali utuh dan hidup, sehingga bisa berbuat taat kepada Allah SWT.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, 'Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan'. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan (QS al-Muminun ayat 96-97).
Ketiga, berbekal takwa. Warna-warni dunia kerap membuat orang lupa akan hakikat kehidupan. Padahal, dunia ini tidak lebih dari permainan belaka.
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (QS Muhammad ayat 36).
Karena itu, Rasul SAW selalu mengingatkan umatnya agar pandai dalam menyikapi hidup. Dunia sejatinya adalah ladang amal, tempat menuai bekal sebanyak-banyak dan sebaik-baiknya. Bekal terbaik hanyalah iman dan takwa kepada Allah SWT.
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ “Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya se baik-baik bekal adalah takwa.” (QS Al Baqarah ayat 197).
Jadi, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa semakin berat. Karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan kemuliaannya di hadapan Allah, dan ini sekaligus menjadi takdir Allah yang diberikan kepada hambanya. Suatu contoh orang yang paling dicintai Allah adalah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada manusia lainnya. Contohnya Nabi Ayub AS. Allah SWT mengujinya dengan kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, tapi ia tetap sabar.
Setelah para Nabi dan Rasul, orang yang ujiannya sangat berat adalah para shalihin dan para ulama. Demikianlah secara berurutan, hingga Allah SWT menimpakan ujian yang ringan kepada orang-orang awam, termasuk kita di dalamnya. Yang pasti, ketika setelah seseorang mengikrarkan diri beriman, maka Allah akan menyiapkan ujian baginya.
Dalam Alquran tertulis janji Allah, ''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta'' (QS Al Ankabut: 2-3).
Suatu ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya pelacur. Dengan usil, lelaki itu menggoda si wanita sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, si wanita-pun marah. Lantaran terkejut, lelaki itu menoleh ke belakang, hingga mukanya terbentur tembok dan ia pun terluka. Pasca kejadian, lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya. Rasulullah SAW berkomentar, ''Engkau seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik''. Setelah itu, Rasul mengucapkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.
SADARILAH bahwa masing-masing kita akan ada ujiannya, ujian juga merupakan takdir Allah yang wajib diterima minimal dengan kesabaran. Dan ini tentunya harus mengucapkan Alhamdulillah jika mampu diterima dengan ridha bahkan rasa syukur. Tidak ada manusia yang tidak pernah tidak mendapat ujian dengan mengalami kesusahan dan kesedihan. Setiap ujian pasti Allah timpakan sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya, dan ini berarti justru wujud cintanya Allah Kepada kita.
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi, shahih).
Mari renungkan hadist ini. Apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kepada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia agar Allah tidak menghukum kita lagi diakhirat. Tentunya hukuman di akhirat jauh lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Maka tentu orang yang berakal dan beriman kepada hari akhirat, akan lebih memilih hukuman disegerakan di dunia daripada ditunda di hari kiamat kelak.
Apakah kita ridha atau murka dengan takdir Allah, Kemudian apabila kita murka dan tidak terima, apakah bisa merubah takdir dan keadaan kita saat ini. Untuk itu mari kita ridha dan bahagia dengan takdir Allah. Kita harus berprasangka baik kepada Allah karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Apabila kita murka dan tidak ridha, berarti itulah kenyataannya bahwa musibah ini turun sebagai adzab bagi kita.
Apabila kita ridha dan berusaha memperbaiki diri, semoga ini adalah ujian yang mengangkat derajat kita. Sebagaimana kata Allah, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila aditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157).
Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.
Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.
Alasan Suatu Harta Diharamkan?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:
Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.
Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.
Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]
Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.”[1]
Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.
Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”[2]
Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya”[3]
Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.
Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[4]
Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]
Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.
Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[6]
Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:
لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]
Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”
Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:
تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[8]
Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.
Cara Bertaubat Dari Kedua Jenis Harta Haram
Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:
Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.
Bertekad untuk tidak mengulanginya.
Memohon ampun kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya. Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang tata cara bertaubat dari harta riba:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 279]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]
Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.
Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.
Hal itu mungkin ditangguhkan juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah, yang memiliki sifat Al-Halim (Yang Mahalembut).
Atau karena orang yang terzalimi sebelumnya telah berbuat zalim kepada yang lain pada masa hidupnya, lalu kezaliman yang menimpa dirinya merupakan hukuman atas kezaliman dia sendiri pada masa lalu.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
لَيْسَ شَيْءٌ أُطِيعُ اللهَ فِيهِ أَعْجَلَ ثَوَابًا مِنْ صِلَةِ الرَّحِمِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ أَعْجَلَ عِقَابًا مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada sesuatu yang aku patuhi kepada Allah di dalamnya (amalan itu) lebih cepat mendapat ganjaran lebih dari menyambung tali silaturahim, dan tidak ada sesuatu yang lebih cepat hukumannya dari berbuat zalim dan memutus tali silaturahim.” (HR Baihaqy).
Oleh karena itu, balasan bagi orang zalim di dunia ini mungkin muncul pada kesimpulannya, yaitu akhir hidupnya akan sangat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda:
إن اللهَ ليُملي للظالمِ، حتّى إذا أخذه لم يفلتْهُ، قال: ثمّ قرأ: وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
"Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya." Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: 'Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.' (Qs Hud ayat 102).
Sebagaimana Allah menghinakan pelaku zalim saat di dunia, yang merasakan kepahitan hidup dan kehinaannya, Allah juga akan menyiksanya pada hari kiamat. Di antara hukuman duniawi pelaku kezaliman ialah diharamkannya dia dari keberkahan dan dihilangkannya nikmat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qalam yang menceritakan tentang para pemilik kebun, dan mereka pelit, mereka bertekad untuk tidak memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Allah berfirman:
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ*وَلَا يَسْتَثْنُونَ*فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ*فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ*فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ*أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ*فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ*أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ*وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ*فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ*بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " lalu kebun itu diliputi malapelaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." (QS Al Qalam ayat 17-27).
Ancaman Allah SWT
Meski perbuatan zalim sudah ada ancaman hukumannya baik di dunia maupun di akhirat, tetap saja perbuatan itu digemari. Padahal pelakunya orang berpendidikan, orang yang tahu hukum manusia dan hukum Allah SWT, dan orang yang beragama.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat.
Sebab, zalim merupakan perbuatan yang dilarang agama. Maka, Allah SWT menunda siksaan mereka dan ajal mereka, agar mereka segera bertaubat atau mereka kian bertambah zalim dan melampaui batas?
Dalam QS Ali Imran 178, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.
Itulah firmanNya, bahwa Allah SWT menangguhkan orang-orang zalim tetap berada di dunia untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah.
Kisah nyata
Terkait Zalim ini, ada kisah nyata yang mirip sesuai janji Allah SWT untuk seseorang. Mungkin ini kisah hanya sekadar mirip. Tetapi, bila dilihat kasusnya, mungkin benar sebagai hukuman orang zalim di dunia. Selama hidupnya, saat seharusnya amanah, tetapi malah bersikap sebaliknya, hukuman atau balasan dari Allah itu justru sudah ditunjukkan saat masih hidup di dunia dengan sakit menahun yang hanya tergeletak di tempat tidur.
Banyak kisah-kisah nyata lainnya tentang orang-orang yang tak amanah ini. Ada yang selama hidupnya terus nampak tak terjadi apa-apa. Tetapi ada, yang masih hidup di dunia saja sudah dihukum. Seperti contoh yang saya sebut.
Inilah balasan langsung dari Allah atas sikap sebelumnya yang bisa disebut bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, kejam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap itu adalah zalim.
Yah, sikap zalim bisa dilakukan oleh perseorangan, kelompok, hingga golongan. Bila yang melakukan adalah perseorangan, contohnya adalah yang sakit menahun itu.
Kini, di depan mata, orang-orang juga telah dan terus menjadi saksi, ada yang kukuh bersikap menzalimi, yaitu menindas, menganiaya, dan berbuat sewenang-wenang.
Padahal, orang-orang yang sayang kepada mereka, sudah mengingatkan agar menghentikan sikap zalim dan menzalimi melalui berbagai cara. Namun, nampaknya mereka sudah buta mata, buta telinga dan buta hati. Tak ada pengingatan yang digubris. Luar biasa, seolah dunia ini milik mereka.
Mereka tetap asik-masyuk dengan tingkah polah kezaliman, yaitu bengis, kejam, tidak adil, dan merampas hak orang lain.
Orang waras jangan mengalah
Melihat fenomena kezaliman ini, banyak orang yang bilang, sing waras ngalah, orang yang waras mengalah sebab kita sedang melawan orang gila, orang zalim.
Lha, kalau yang waras ngalah, maka kezaliman akan terus bergulir, dong? Kasihan orang-orang yang ada urusan dengan orang gila yang zalim. Sampai kapan orang-orang ini akan dizalimi?
Bila yang waras ngalah, maka balasan kepada orang gila yang zalim, juga akan seperti seseorang yang zalim, balasannya masih di dunia nyata, belum di duniaNya.
Untuk itu, bagi orang yang waras, janganlah pernah mengalah kepada orang yang zalim dan menzalimi kita. Meski kita telah disakiti oleh mereka, mari terus kita balas perbuatan mereka dengan perbuatan baik.
Sadarkan mereka dengan berbagai cara dan upaya, karena perbuatan zalim itu sangat hina dan mendampak buruk kepada siapa saja yang dizalimi. Jadi, kezaliman harus dilawan. Dengan terus kita bantu untuk mengingatkan, mungkin, mata, telinga, dan hati yang selama ini terkunci, akan terbuka dan membikin mereka sadar bahwa mereka telah berbuat zalim.
Namun, sebagai manusia biasa, kemampuan kita hanya sebatas mengingatkan dan tidak mengalah, tidak kalah oleh kezaliman. Bila ternyata pengingatan dan sikap tidak mengalah kita tetap tidak digubris oleh orang yang zalim, ada Allah SWT yang akan mengadilinya.
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
- Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
- Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
- Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
- Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
- Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
- Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
Menengadahkan tangan ke langit.
Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
Mengenal calon pasangan sangat penting pada tahap pertama. Cara terbaik untuk saling mengenal adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Berikut adalah daftar panjang pertanyaan penting untuk diajukan kepada calon suami:
- Berapa umurmu?
- Apa negara tempat tinggal Anda?
- Apa negara kelahiran Anda?
- Bagaimana kamu menggambarkan diri Anda?
- Apa yang kamu cari dalam diri seorang istri?
- Apa pekerjaan yang kamu lakukan?
- Apa hal yang paling Anda hargai dalam hidup Anda?
- Pernahkah kamu menikah sebelumnya?
- Apakah kamu memiliki penyakit fisik atau mental?
- Apa konsep pernikahan kamu?
- Apa harapan kamu pada pernikahan?
- Apa cita-citamu?
- Mengapa kamu memilih saya sebagai pasangan potensial?
- Apa peran agama dalam hidup kamu?
- Apa pemahaman kamu tentang pernikahan Islami?
- Apakah kamu orang yang aktif di komunitas Muslim?
- Apakah kamu terlibat dalam kegiatan sukarela?
- Dalam pemahaman kamu, apa peran seorang suami dan apa peran seorang istri?
- Apakah kamu ingin mempraktikkan poligami?
- Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga kamu?
- Apakah kamu berencana meminta seseorang dari keluarga kamu tinggal bersamamu setelah menikah?
- Apakah kamu punya teman atau sahabat dari lawan jenis?
- Bagaimana tingkat persahabatan kamu?
- Bagaimana kamu menghabiskan uang?
- Bagaimana kamu menghemat uang?
- Apa yang kamu lakukan di waktu luang?
- Bagaimana kamu membuat keputusan?
- Bagaimana kamu mengekspresikan kemarahan?
- Menurut kamu, bagaimana perselisihan perkawinan harus diselesaikan?
- Tolong definisikan pelecehan mental, verbal, dan emosional.
- Apakah kamu bersedia mencari konseling perkawinan jika merasa diperlukan?
- Apakah kamu mendukung gagasan istri yang bekerja?
- Apakah kamu mengharapkan istri ikut berbagi tanggung jawab finansial bersama dengan kamu?
Di dalam surat Al- Qashash ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Ta’ala berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya.
Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Ta’ala. Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia. Allah Ta’ala menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
“Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)
Jelas sudah, bahwa kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.
Menurut KH Abdullah Gymnastiar atau dai yang dikenal dengan sapaan Aa Gym, saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam
“Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya,”ungkapnya dalam salah satu tausiyahnya di MQTV ini.
Aa Gym mengajak kita renungkan pesan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terkandung dalam surat At Takatsur,
“Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8). Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.
Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . Karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.
Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.
Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Memahami amalan qaashir dan amalan muta’addi
Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kita perlu mengenal dua amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi.
Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.
Manakah yang lebih afdal, apakah amalan qaashir ataukah amalan muta’addi?
Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Di antaranya yang dijadikan dalil adalah hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).
Juga hadits,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406; dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan bahwa keutamaan di sini dari sisi jenis, bukan berarti semua amalan muta’addi lebih afdal dari amalan qaashir. Shalat, puasa, dan haji termasuk dalam ibadah qaashirah—dalam hukum asalnya–, namun ibadah ini termasuk dalam rukun Islam dan merupakan amalan Islam paling penting. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8.
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, para ulama berkata,
إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ
“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.
Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.
Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar. Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.
Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya. Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.”
Referensi : Amalan Qaashir dan Muta’addi
Umar bin Khattabberkata:
« تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوْا »
Imam al-Bukhari memberi komentar dengan ungkapan ‘Dan setelah menjadi pemimpin’ karena khawatir ada yang justru memahami dari kata-kata itu bahwa kepemimpinan bisa menghalangi dari belajar agama.
Sesungguhnya yang dimaksudkan Umar bin Khattab RA bahwasanya ia bisa menjadi penghalang, karena pimpinan terkadang dihalangi oleh sikap sombong dan malu/enggan untuk duduk seperti duduknya para penuntut ilmu.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘Apakah anak muda maju (sebagai pemimpin), berarti ia kehilangan ilmu yang sangat banyak.
Abu Ubaid memberikan penjelasan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas seraya berkata: ‘Belajarlah ilmu agama di saat kamu kecil sebelum engkau menjadi pemimpin, maka sikap sombong bisa menghalangimu mengambil (belajar ilmu agama) dari orang yang lebih rendah kedudukannya darimu, maka engkau tetap menjadi bodoh.’
Dr Umar bin Abdullah bin Muhammad al-Muqbil dalam tulisannya berjudul “Dari Khubah Umar Bin Khattab” yang diterjemahkan Muhammad Iqbal A. Gazali menjelaskan Al-Faruq mengisyaratkan dalam nasehatnya ini tentang penyakit yang mulai menular di dalam jiwa sebagian kaum muslimin, sebagaimana yang dijelaskan para imam.
Akan tetapi apa yang dikatakan tentang orang yang tidak belajar, bukan karena terhalang tugas kepemimpinan, jabatan, kedudukan dan pangkat, namun ia dirintangi oleh sikap sombong untuk duduk belajar hanya karena usianya yang sudah tua?
Sesungguhnya dalam belajarnya para sahabat Nabi merupakan suri tauladan yang harus diikuti, seperti yang dikatakan oleh al-Bukhari rahimahullah.
Sesungguhnya di antara yang menyebabkan kehinaan seorang laki-laki adalah kerelaannya dengan kebodohannya tentang persoalan agama yang dibutuhkannya, lalu ia tidak belajar dan tidak bertanya tentang hal itu!
Di antara gambaran yang orang-orang merasa terganggu karena sering diulang adalah: engkau melihat seorang pemuda –terlebih lagi orang yang sudah tua- melantunkan al-Qur’an dengan suara yang indah, kendati demikian ia enggan belajar di halaqah tahfizhul Qur`an, karena khawatir duduk di hadapan guru yang seusia anak-anaknya.
Al-Faruq Radhiyallahu ‘anhu berkata:
« اَلتُّؤَدَةُ فِى كُلِّ شَيْئٍ خَيْرٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِ اْلآخِرَةِ
“Perlahan dalam segala perkara adalah baik, kecuali sesuatu dari perkara akhirat.’
Ini adalah pelurusan dari Umar bin Khattab untuk pemahaman yang terkadang bercampur aduk terhadap sebagian orang. Hal itu karena bangsa Arab sepakat mencela sikap terburu-buru secara umum.
Bangsa Arab memberinya gelar ‘Ummun-Nadamat’ (ibu/induk penyesalan). Mereka mempunyai hikmah-hikmah yang tersebar dan syair-syair yang masyhur (terkenal). Namun sesungguhnya pemahaman ini –seperti yang diungkapkan Umar bin Khattab – tidak sepantasnya diberlakukan dalam urusan akhirat.
Bahkan bersegara kepadanya sangat terpuji dan dituntut, karena manusia tidak pernah tahu kapan ajalnya memutuskannya, maka ia harus bersegera dan tidak menunda-nunda.
Apabila telah tiba kesempatan untuk beribadah dan memperbanyak dari pintu-pintu kebaikan, maka tidak baik perlahan lahan di sini, bahkan dicela.
Sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam beberapa ayat:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ [البقرة: 148]
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. [QS al-Baqarah/2:148]
Di antara gambaran yang disebutkan para ulama bahwa ada beberapa perbuatan yang menjadi tercela akibat menunda-nunda dalam menunaikannya adalah: taubat, membayar hutang, memuliakan tamu, mengurus jenazah. Maka ia termasuk perkara perkara yang dianjurkan bersegera dan cepat-cepat dalam melaksanakannya menurut cara yang syar’i.
Termasuk yang dihubungkan dengan hal itu adalah: muhasabah (intropeksi) diri, maka tidak sepantasnya bagi orang yang mengharap Rabb-nya dan negeri akhirat menunda-nunda muhasabah dirinya, namun ia harus bersegera.
Para ulama menyebutkan, bentuk dan tingkatan kemunafikan beraneka ragam, tergantung dari apa yang disembunyikan. Jika yang disembunyikan adalah kekufuran, apapun bentuknya, menyebabkan pelakunya keluar dari islam. Sebaliknya, jika yang disembunyikan bukan perbuatan kekufuran, tidak penyebabkan pelakunya keluar dari islam. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa mengatakan dalam Kemunafikan ada yang bentuknya munafik besar, yaitu menyembunyikan kekufuran, dan ada munafik kecil, ketika berbeda antara isi hati dengan amal perbuatan dalam masalah kewajiban. Inilah yang banyak dijelaskan ulama. Dan mereka menafsirkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda munafik ada 3: apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia khianat.” hadis ini ditafsirkan dengan munafiq kecil.
Di awal surat al-Baqarah, Allah menyebutkan 3 jenis manusia. Pertama, orang yang beriman, Allah sebutkan dalam 5 ayat. Kedua, orang kafir, Allah sebutkan dalam 2 ayat. Ketiga, orang munafik, Allah singgung dalam 13 ayat. Di antaranya Allah berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ . يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. al-Baqarah: 8 – 9)
Diantara sifat mereka,
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka (gembong munafik), mereka mengatakan: “Sesungguhnya Kami sependirian dengan kamu, Kami hanyalah berolok-olok.” (QS. al-Baqarah: 14).
Allah juga menyebutkan sifat mereka di ayat lain,
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ. اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai], lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa Sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (QS. al-Munafiqun: 1 – 3).
Semua ayat di atas berbicara tentang munafik besar. Allah berikan ancaman, mereka akan dihukum di keraknya neraka. Allah berfirman
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. an-Nisa: 145)
Tobat Orang Munafik Sebagaimana Allah SWT juga mengajak untuk bertobat dari kekafiran yang zahir dan terang-terangan, Syaikh Yusuf al Qardhawi dalam at Taubat Ila Allah menjelaskan Allah SWT mengajak untuk bertobat dari kekafiran yang tersembunyi, yang ditutupi dengan keimanan lisan. Yaitu yang terkenal dengan nama "kemunafikan" dan orangnya adalah kaum "munafiqin". Tobat dari kemunafikan ini adalah tidak sekadar mengungkapkan dan memberitahukan keisalamannya. Karena sebelumnya ia memang telah Islam. Namun, yang patut ia lakukan adalah agar ia bersifat dengan empat sifat yang disebutkan dalam surah an-Nisa.
Setelah Al Quran membongkar sifat asli mereka, dan apa yang tersembunyi dalam diri mereka: yaitu mereka memberikan loyalitas mereka kepada kaum kafirin, bukan kaum mukminin, serta mereka mencari kemuliaan dari kaum kafirin itu:
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
"Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di samping orang-orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (QS. an-Nisa: 138-139).
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
"Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di samping orang-orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (QS. an-Nisa: 138-139).
Serta mereka selalu mencari kelengahan kaum mukminin, dan berada di tengah-tengah antara kaum-kaum mukminin dan kaum kafirin untuk mencari keuntungan.
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ۚ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
"(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: 'Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. an-Nisa: 141).
Juga dari tindakan mereka mempermainkan dan menipu Allah dan Rasul-Nya, dan mereka malas menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan lalai dari berzikir kepada Allah SWT:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَٰلِكَ لَا إِلَىٰ هَٰؤُلَاءِ وَلَا إِلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan Shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah , maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya." (QS. an-Nisa: 142-143).
Di antara tanda-tanda sempurnanya taubat mereka adalah mereka memperbaiki apa yang dirusak oleh sifat munafik mereka. Serta agar mereka hanya berpegang pada Allah SWT saja bukan kepada manusia. Dan dengan ikhlas beribadah kepada Allah SWT, hingga Allah SWT mengikhlaskan mereka untuk agama-Nya. Dengan itu, mereka bergabung ke dalam barisan kaum mu'minin yang jujur. Baca juga: Janganlah Menunda-Nunda Taubat Dalam surah lain, Allah SWT berfirman :
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ ۖ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
"Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi." (QS. at-Taubah: 74).
Imam Ibnu Qayyim رحمه الله berkata:
“Waktunya antara Shubuh hingga terbit matahari, dan antara ‘Ashar hingga terbenam matahari.”
Dalil dari al-Qur-an tentang Dzikir Pagi dan Petang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut Nama) Allah dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” [Al-Ahzab/33: 41-42].
Al-Jauhari (seorang ahli bahasa Arab) berkata: (أَصِيلاً) artinya, waktu antara ‘Ashar sampai Maghrib.”
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
“Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Rabb-mu pada waktu petang dan pagi.” [Al-Mu’min/40: 55]
(الْإِبْكَار) artinya, awal siang hari, sedangkan (الْعَشِيُّ) artinya, akhir siang hari.
Allah سبحانه و تعالي berfirman:
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” [Qaaf/50: 39].
Ini merupakan penafsiran dari apa yang disebutkan dalam beberapa hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم, bahwa siapa yang mengucapkan begini dan begitu pada pagi dan petang hari…, maksudnya adalah sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, yaitu memulainya sesudah shalat Shubuh dan sesudahnya.
(Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Shahiih al-Waabilish Shayyib hal. 165-166)
Bacaan Dzikir Pagi dan Petang
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang (berada) dihadapan mereka, dan dibelakang mereka dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” Al-[Baqarah/2: 255] (Dibaca pagi dan sore 1x)[1]
Membaca Surat Al-Ikhlas (Dibaca Pagi dan Sore 3x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah (Rabb) yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.’” [Al-Ikhlash/112: 1-4]. (Dibaca pagi dan sore 3x)[2]
Membaca Surat Al-Falaq (Dibaca Pagi dan Sore 3x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Rabb Yang menguasai (waktu) Shubuh dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Serta dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.”‘ [Al-Falaq/113: 1-5]. (Dibaca pagi dan sore 3x)[3]
Membaca Surat An-Naas (Dibaca Pagi dan Sore 3x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
”Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan (Ilah) manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada-dada manusia. Dari golongan jin dan manusia.’” [An-Naas/114: 1-6] (Dibaca pagi dan sore 3x)[4]
Membaca (Dibaca Pagi 1x)
Ketika pagi, Rasulullah صلي الله عليه وسلم membaca:
أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ.
”Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji hanya milik Allah. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabb, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di Neraka dan siksaan di kubur.” (Dibaca pagi 1x)[5]
Membaca (Dibaca Sore 1x)
Dan ketika sore, Rasulullah صلي الله عليه وسلم membaca:
أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
“Kami telah memasuki waktu sore dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji hanya milik Allah. Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabb, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di Neraka dan siksaan di kubur.”(Dibaca Sore 1x)
Membaca (Dibaca Pagi 1x)
Ketika pagi, Rasulullah صلي الله عليه وسلم membaca:
اَللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi, dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu sore. Dengan rahmat dan kehendak-Mu kami hidup dan dengan rahmat dan kehendak-Mu kami mati. Dan kepada-Mu kebangkitan (bagi semua makhluk).” (Dibaca pagi 1x)[6]
Membaca (Dibaca sore 1x)
Dan ketika sore, Rasulullah صلي الله عليه وسلم membaca:
اللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا،وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوتُ، وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu sore dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi. Dengan rahmat dan kehendak-Mu kami hidup dan dengan rahmat dan kehendak-Mu kami mati. Dan kepada-Mu tempat kembali (bagi semua makhluk).” (Dibaca sore 1x)
Baca Juga Doa Untuk Orang yang Sakit, Doa Menjelang Tidur
Membaca Sayyidul Istighfar (Dibaca Pagi dan Sore 1x)
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan (apa) yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu (yang diberikan) kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Dibaca pagi dan sore 1x)[7]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 3x)
اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, selamatkanlah tubuhku (dari penyakit dan dari apa yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkanlah pendengaranku (dari penyakit dan maksiat atau dari apa yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkanlah penglihatanku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.” (Dibaca pagi dan sore 3x)[8]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 1x)
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tentramkan-lah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari depan, belakang, kanan, kiri dan dari atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (aku berlindung dari dibenamkan ke dalam bumi).”(Dibaca pagi dan sore 1x)[9]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 1x)
اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ
“Ya Allah Yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb Pencipta langit dan bumi, Rabb atas segala sesuatu dan Yang Merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku, syaitan dan ajakannya menyekutukan Allah (aku berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan atas diriku atau mendorong seorang muslim kepadanya.” (Dibaca pagi dan sore 1x)[10]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 3x)
بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dengan Menyebut Nama Allah, yang dengan Nama-Nya tidak ada satupun yang membahayakan, baik di bumi maupun dilangit. Dia-lah Yang Mahamendengar dan Maha mengetahui.” (Dibaca pagi dan sore 3x)[11]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 3x)
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا
“Aku rela (ridha) Allah sebagai Rabb-ku (untukku dan orang lain), Islam sebagai agamaku dan Muhammad صلي الله عليه وسلم sebagai Nabiku (yang diutus oleh Allah).” (Dibaca pagi dan sore 3x)[12]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 1x)
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Rabb Yang Maha hidup, Wahai Rabb Yang Maha berdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan (urusanku) kepada diriku sendiri meskipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (Dibaca pagi dan sore 1x)[13]
Membaca (Dibaca Pagi 1x)
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Di waktu pagi kami berada diatas fitrah agama Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kami Muhammad صلي الله عليه وسلم dan agama ayah kami, Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik.” (Dibaca pagi 1x)[14]
Membaca (Dibaca Sore 1x)
Dan ketika sore, Rasulullah صلي الله عليه وسلم membaca:
أَمْسَيْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Di waktu sore kami berada diatas fitrah agama Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad صلي الله عليه وسلم dan agama ayah kami, Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (Dibaca sore 1x)
Membaca (Dibaca setiap hari 10x atau 1x)
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.
“Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 10x[15] atau dibaca 1x pada pagi dan sore)[16]
Membaca (Dibaca setiap hari 100x)
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.
“Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca setiap hari 100x)[17]
Membaca (Dibaca Pagi 3x)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
“Mahasuci Allah, aku memuji-Nya sebanyak bilangan makhluk-Nya, Mahasuci Allah sesuai ke-ridhaan-Nya, Mahasuci seberat timbangan ‘Arsy-Nya, dan Mahasuci sebanyak tinta (yang menulis) kalimat-Nya.”(Dibaca pagi 3x)[18]
Membaca (Dibaca Pagi 1x)
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima.” (Dibaca pagi 1x)[19]
Membaca (Dibaca Pagi dan Sore 100x)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
“Mahasuci Allah, aku memuji-Nya.” (Dibaca pagi dan sore 100x)[20]
Membaca (Dibaca setiap hari 100x)
أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.” (Dibaca setiap hari 100x)[21]
Membaca (Dibaca Sore 3x)
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan sesuatu yang diciptakan-Nya.” (Dibaca sore 3x)[22]
Karena itu, mabuk cinta (al 'isyq) digambarkan sebagai suatu jalan yang berbahaya, licin, tidak akan ada yang bisa menyelamatkan diri dari bahayanya kecuali Allah. Sudah banyak korban yang berjatuhan dengan dampak negatif yang tak terhitung. Sampai-sampai orang yang sedang dimabuk cinta digambarkan sebagai orang yang paling celaka, paling hina, paling sibuk dan paling jauh dari Rabb mereka di antara seluruh manusia.
“Orang-orang yang sedang dimabuk cinta termasuk orang yang paling keras azabnya dan paling sedikit pahalanya. Apabila orang yang dimabuk asmara itu masih tertambat hatinya pada orang yang dicintai, masih tunduk kepadanya, amaka akan terkumpul pada dirinya berbagai kerusakan yang tidak bisa terhitung jumlahnya oleh sipapun kecuali oleh Allah Ta'ala, walaupun ia selamat dari perangkap dosa besar. Terus-menerusnya hati pada keadaan seperti itu, lebih berbahaya daripada seseorang yang melakukan sebuah dosa kemudian bertaubat, maka dengannya pengaruh dosa tersebut hilang dari hatinya,".
Mereka diibaratkan dengan orang yang sedang mabuk dan orang yang hilang akalnya, sebagaimana dikatakan oleh beberapa penyair berikut ini: Dalam sya'irnya, Abu Husnainah menjelaskan bahaya mabuk cinta dan memberikan kabar gembira terhadap mereka yang tidak terperangkap di dalamnya, ia berkata: "Mabuk cinta dapat menyeret diri ke dalam kehinaan, tentu aku iri dengan mereka yang tidak dimabuk cinta". Abdul Muhsin ash-Shuri berkata: Cinta hanyalah jalan berbahaya jauh dari keselamatan dan tempat yang licin Mereka juga mengatakan, "Karena perasaan cinta, seorang raja bisa menjadi menjadi hamba sahaya, seorang sultan bisa menjadi budak", Kemudian penyair, Al Kharaiti berkata, “Abu Ja’far Al Abdi pernah membacakan (beberapa bait syair) padaku: “Seandainya Allah menyelamatkanku dari rasa cinta, Niscaya aku tidak akan kembali kepadanya, Dan aku tidak akan menggubris perkataan yang mencelaku, Siapakah lagi yang akan menyelamatkanku dari rasa cinta setelah aku terkena jerat-jeratnya…”
Ketika menjelaskan bahaya yang diakibatkan mabuk cinta, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ;" Mencintai idola-idola yang diharamkan dan merindukannya merupakan salah satu penyebab kesyirikan. Setiap kali seorang hamba lebih dekat kepadakesyirikan dan jauh dari keikhlasan, maka setiap kali itu juga kegilaannya terhadap idola-idola itu bertambah. Demikian juga sebaliknya, setiap kali ia memperbanyak keikhlasan dan memperkuat ketauhidan, maka dia akan semakin jauh dengan kegilaan terhadap orang yang diidolakan. Bahaya mabuk cinta begitu besar, begitu pula dengan dosa yang melakukannya. Mereka yang telah telah terjerumus ke dalam perangkap maksiat ini, baik pelakunya, orang yang dicintai, maupun orang yang membantu, wajib hukumnya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Cara Bertaubat dari Mabuk Cinta Dinukil dari kitab "At-Taubah Wadziifatul 'Umur" yang ditulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd menjelaskan, apabila pelaku kemaksiatan ini ingin bertaubat, ia dapat melakukannya dengan cara meninggalkan perbuatan itu, berkeinginan kuat dan berusaha keras untuk menjalaninya, serta hendaklah ia tidak menceritakan masalahnya kepada orang yang dicintainya. Janganlah ia mengingat, menyanjung, menemui, ataupun membantunya. Ia harus memutuskan setiap perkara yang dapat mengingatkan kepada kekasihnya.
Hendaklah ia melakukan perkara-perkara yang sabar terhadap cobaan yang dialaminya, terutama pada awal-awal bertaubat. Apabila orang yang dijadikan sebagai kekasihnya itu ikut membantu atau menjadi penyebab terjadinya kemaksiatan tersebut, hendaklah ia bertaubat kepada Allah. Bila ia seorang wanita, harus bertaubat kepada Allah dari perbuatan merayu dan berhias untuk yang dicintainya, bertaubat dari bercinta dengannya, bertaubat untuk bertemu dengannya atau berbicara dan mengobrol bersamanya, serta bertaubat untuk tidak mengirim surat kepadanya.
Sedang bagi orang-orang yang membantu terjalinnya hubungan cinta itu, hendaklah mereka pun bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan meninggalkan apa yang pernah dilakukan. Hendaklah setiap diri menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Karena dengan melakukan itu, berarti ia telah menyulut api kerinduan dan mengobarkan baranya.
Dengan perbuatan tersebut, ia lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Apa yang dilakukannya merupakan dosa dan perbuatan tidak terpuji, tidak termasuk perbuatan baik dan bukan pula perbuatan yang mengandung dua kemudharatan sehingga boleh diambil mudharat yang lebih ringan dari keduanya. Bahkan, kerusakan ini dapat mengarah pada kerusakan hati dan hancurnya agama. Adakah kerusakan yang lebih besar daripadanya? Dijelaskan Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, kerusakan paling berbahaya akibat melakukan kemaksiatan itu adalah kesengsaraan jiwa atau kematian, sebagai akibat melakukan apa yang diharamkan. Kalau tidak demikian, maka menahan diri dari perbuatan ini dapat membuahkan kesuksesan dan keselamatan.
Meskipun masalah mabuk asmara ini merupakan masalah pelik dan sulit untuk dapat terlepas dari jeratannya, namun untuk bisa bebas dan terlepas darinya bukanlah perkara yang tidak mungkin atau mustahil. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya dan setiap obat tidak akan bermanfaat kecuali apabila sesuai dengan penggunaannya. Oleh karena itu, apabila orang terjangkit penyakit ini condong kepada satu obat yang mujarab, kemudian berusaha mencarinya, niscaya ia akan menggapai apa yang ia cita-citakan dan akan mendapat bantuan untuk merealisasikan cita-citanya itu. Kalau tidak demikian, maka penyakitnya akan sulit diobati, bahkan bisa jadi akan bertambah parah.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : "Obat hanya akan menyembuhkan bagi siapa yan mau menerimanya. Adapun orang yang menolaknya, maka obat tersebut tidak akan bermanfaat baginya." Pada masalah penyakit hati karena cinta itu, disebutkan secara umum beberapa sebab yang dapat membantu seseorang untuk meninggalkan kebiasaan melakukan kemaksiatan ini, yaitu dengan cara :
1. Berdoa' Berdoa, yang dilakukan dengan merendahkan diri dan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah SWT, benar-benar mengharapkan-Nya dengan penuh keikhlasan dan memohon ampunan-Nya. Sungguh orang yang ditimpa oleh penyakit ini termasuk orang yang dalam keadaan terhimpit, sedang Allah SWT. mengabulkan permintaan orang yang berada dalam keadaan darurat apabila ia memohon kepada-Nya.
2. Menundukkan pandangan Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : "Orang yang secara tidak sengaja memandang sesuatu yang ia anggap baik, kemudian merasakan kenikmatan memandangnya, padahal perbuatan itu haram, maka wajib baginya untuk memalingkan pandangan. Ketika ia mengulangi pandangannya atau terus memandangnya, maka ia telah terjatuh pada perbuatan tercela, baik menurut agama maupun akal. Jika ditanyakan oleh seseorang : "Apabila perasaan cinta muncul pada pandangan pertama, lalu mengapa orang yang memandang harus dicela?" Jawabannya adalah : " Apabila tatapan itu hanya sekilas, niscaya tidak akan menumbuhkan rasa cinta. Pandangan yang dapat menumbuhkan perasaan cinta adalah pandangan yang terus-menerus terhadap objek yang dipandang, dengan ukuran yang sekiranya dapat menumbuhkan perasaan itu. Perbuatan ini dilarang. Seandainya perasaan cinta timbul karena pandangan pertama yang hanya sekilas tersebut, maka tidak akan mudah untuk dapat mengatasinya." Orang tersebut bertanya lagi : "Apakah obat mabuk asmara apabila perasaan muncul pada pandangan pertama?"
Jawabannya adalah : "Obatnya adalah memalingkan pandangan mata dari objek yang dipandang. Satu pandangan mata sama seperti biji-bijian yang ditebarkan di atas tanah; apabila biji-bijian itu tidak disirami dan diperhatikan, maka ia tidak akan tumbuh. Namun, apabila disirami, niscaya ia akan tumbuh segar. Demikian juga dengan tatapan mata." Beliau juga berkata : "Apabila seseorang terbiasa mengulangi tatapan mata, maka tatapan kedualah yang harus dikhawatirkan dan harus dijaga. Oleh karena itu, janganlah meremehkannya karena bisa jadi pandangan itu meninggalkan sayatan cinta yang menyakitkan." Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : "Maka dari itu, hendaklah orang yang berakal tidak menceburkan diri ke dalam mabuk asmara supaya ia tidak terjerumus kepada semua kerusakan ini atau sebagiannya. Barang siapa melakukannya berarti ia mengaja menjerumuskan dirinya yang telah tertipu oleh jiwanya. Apabila jiwanya hancur, maka dialah yang menghancurkannya. Seandainya kalau bukan karena terlalu sering memandang wajah kekasihnya dan karena keinginannya yang kuat untuk selalu dapat menghubunginya, niscaya perasaan cinta itu tidak akan pernah tumbuh dalam hatinya."
3. Merenung dan selalu mengingat Allah
4. Menjauh dari orang yang dicintai
5. Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat
6. Menikah
7. Sering mengunjungi orang sakit
8. Mengikuti majelis zikir
9. Berkemauan keras untuk menekan hawa nafsu
10. Jangan pernah meninggalkan salat
Hendaklah orang yang dimabuk asmara senantiasa melaksanakan salat, khusyu' di dalamnya, serta menyempurnakan rukun-rukunnya baik secara lahir maupun batin. Allah Ta'ala berfirman :
ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Ankabut : 45)
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Ankabut : 45) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Sesungguhnya dalam salat itu terdapat pencegahan terhadap perkara-perkara yang dibenci, yaitu keburukan dan kemunkaran. Selain itu di dalamnya juga terdapat kenikmatan yang paling lezat yaitu berzikir kepada Allah Ta'ala".
Yang terkadang manusia sering mengeluh ketika ditimpa musibah atau cobaan. Ada yang bilang, “Allah tak adil, yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin selamanya”. Ungkapan ini sering dilontarkan sebagai bentuk kekesalan atas kekurangan yang ada pada diri manusia, terutama segala hal yang berkaitan dengan ekonomi ataupun yang lainnya.
Sebenarnya, manusia akan naik pangkat dan derajat ketaqwaannya di hadapan Allah bila mereka kuat dalam menghadapi segala musibah, ujian dan cobaan dalam kehidupan ini. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Allah akan menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam ujian berat, juga mencatat segala usaha sebagai bentuk ibadah dan mengujinya dengan berbagai macam cobaan. Tujuannya adalah agar manusia tak memiliki hati yang sombong, selalu rendah hati, juga sebagai kunci mendapatkankan anugerahnya dan membuka pintu pengampunan-Nya.
Bila manusia memahami segala cobaan hidup yang ia rasakan merupakan proses pendewasaan diri agar selalu menjadi pribadi yang lebih baik maka ia akan selalu berusaha dan berdo’a serta selalu berpikiran positif kepada-Nya. Ketika seorang hamba bisa memahami antara kedua kata tersebut, sebenarnya manusia itu bisa memahami, mereka itu sedang di uji atau diberikan adzab.
Ujian
Ujian merupakan musibah yang menimpa orang-orang yang beriman dan rajin beribadah. Dengan tujuan untuk menguji ke istiqomahanmu dan menguatkan keyakinannya. Dalam Al-Quran, Allah berfirman bahwa kita jangan mengaku dulu beriman sebelum kita diberikan ujian yang berat, seperti sakit, kurangnya harta, takut akan kelaparan, fitnahan, cacian, makian dan sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”(QS. Al-Anbiya: 35)
Duniaini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadikan manusia sebaik-baik hamba, yang dinilai dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman.
“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2).
Syarat agar lulus dalam ujian yang diberikan AllahSubhanahu wa Ta'ala, kita harus ikhlas menerimanya dan sabar serta tawakal dalam menjalani semua ujian yang diterimakan. Meskipun sangat berat, tapi kita tidak meninggalkan ibadah, amal sholeh dan justru kita semakin giat lagi beribadahnya. Kita juga tidak boleh kesal ketika menerima ujian dan seharusnya bersyukur karena Allah Subhanahu wa Ta'ala masih menganggap kita sebagai hamba-Nya dengan cara diberikan ujian. Tapi jika sebaliknya, ketika kita tidak beribadah dan ingkar ketika mendapatkan ujian, berarti kita gagal.
Adzab
Adzab adalah cobaan yang menimpa orang-orang yang selalu melalaikan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tujuannya yaitu sebagai peringatan agar kita mau bertobat dan kembali lagi beribadah kepada-Nya, serta menyesali segala perbuatannya.
Sebagai seorang muslim, tentu kita yakin dengan adzab dan nikmat di kubur. Hukum asalnya adzab dan nikmat kubur ini adalah perkara yang ghaib, meskipun hal ini adalah perkara ghaib, kita sebagai orang yang beriman tetap meyakini dan membenarkan adzab dan nikmat kubur. Allah Subhanahu wa Ta'alaberfirman dalam Al-Qur’an Surat Al Mu’min : 45-46.
“Dan Fir’aun beserta pengikutnya dikepung oleh adzab yang sangat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat (dikatakan kepada mereka): “Masukkan Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
Jadi ketika kamu sedang rajin-rajinnya maksiat, tidak beribadah, lalu datang musibah, jangan sebut itu ujian, tapi itu adalah adzab sekaligus peringatan buat kamu. Masih untung kalau kamu diberi kesempatan hidup karena masih ada waktu untuk memperbaiki diri, tapi jika sudah tidak diberi kesempatan lagi, bagaimana nasib kita kelak di akhirat nanti.
Namun ada kesamaan antara adzab dan ujian, yaitu dua hal ini sama-sama bentuk kasih sayang Allah kepada kita agar selalu senantiasa beribadah dan beramal sholeh kepada-Nyam jangan pernah melupakanNya dan hobi untuk berbuat kebaikan, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain maupun Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah memberikan kamu peringatan dengan memberikan musibah, cobaan dan ujian agar kamu bertobat dan kembali ke jalan-Nya. Apakah itu bukan bentuk kasih sayang Allah?, kepada kita karena kita sudah diingatkan, dan sebenarnya peringatan yang disampaikan Allah kepada hambanya sudah sangat banyak, namun terkadang manusia enggan untuk memahami dan menyadarinya. Allah Subhanahu wa Ta'alamengingatkan kita dalam firman-Nya.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Qs. Ibrahim : 7).
حَدَّثَنَا أَبُوْ الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاس غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِيْ بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُـحْدِثًا ، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
Abu ath-Thufail ‘Amir bin Watsilah menuturkan kepada kami, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib[1] Radhiyallahu anhu , lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata rahasia kepadamu?’ Maka ‘Ali Radhiyallahu anhu marah dan ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata satu rahasia pun kepadaku yang ia sembunyikan dari orang lain, tetapi Beliau pernah bertutur kepadaku dengan empat kalimat.’ Maka orang tersebut berkata, ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut, wahai Amirul Mukminin?’ ‘Ali Radhiyallahu anhu berkata:
- Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh
- Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya
- Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan
- Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh :
Muslim (no. 1978 [42] dan 1978 [43])
Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 17
An-Nasa`i, VII/232
Ahmad, I/108, 118, 152
Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 22327
Abu Ya’la, no. 602
Al-Baihaqi, VI/99
Al-Hakim, IV/153
KOSA KATA HADITS
بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : Dengan empat kata, maksudnya empat kalimat
لَعَنَ اللهُ : Makna al-la’n yaitu menjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla
آوَى : Menjaga, melindungi
مُحْدِثًا : Orang yang berbuat kejahatan dan berhak mendapat hukuman hadd
مَنَار : Jamak dari مَنَارَة yang berarti tanda