Semalaman Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz, tidak dapat tidur. Matanya susah terpejam. Ia diliputi kegelisahan yang amat sangat. Pada malam yang dingin saat keberadaannya di Damaskus, ia sedang sibuk memikirkan siapa yang bakal dipilih menjadi hakim Kota Bashrah di Iraq yang kelak akan menegakkan keadilan di tengah masyarakat, memberikan putusan sesuai dengan hukum Allah dan dalam menegakkan kebenaran, dia tidak sedikitpun takut baik di saat senang atau sempit.
Pilihannya hanya tertuju pada dua orang yang sama-sama kredibel, memiliki pemahaman agama yang baik, tegar di dalam menegakkan kebenaran, memiliki pemikiran yang bercahaya dan jeli di dalam memandang suatu masalah.
Setiap kali ia mendapatkan kelebihan pada salah seorang dalam satu sisi, ia juga menemukan kelebihan itu ada pada yang satunya lagi di sisi yang lain.
Pada pagi harinya, ia memanggil gubernur untuk Irak, Adi bin Artha‘ah — yang ketika itu sedang berada di sisinya di Damaskus — seraya berkata kepadanya,
“Wahai Adi, pertemukanlah antara Iyas bin Muawiyah al-Muzanni dan al-Qasim bin Rabi’ah al-Haritsi. Berbicaralah kepada keduanya mengenai peradilan Bashrah dan pilihlah salah satu dari keduanya sebagai hakim.”
Adi berkata, “Sam’an wa tha’atan, (mendengar dan patuh) terhadap titahmu, wahai Amirul Mu’minin.”
Akhirnya, Adi bin Artha‘ah mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim seraya berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin — mudah-mudahan Allah memanjangkan umurnya — menyuruhku supaya mengangkat salah satu dari Anda berdua untuk menjadi hakim di Bashrah, bagaimana pendapat kalian?”
Maka masing-masing mereka berbicara tentang kawannya, bahwa dia lebih berhak daripada dirinya dengan jabatan ini dan menyinggung keutamaan, ilmu dan fiqihnya serta hal-hal lainnya.
Adi berkata, “Kalian berdua tidak boleh meninggalkan majlisku ini kecuali bila telah kalian selesaikan urusan ini.”
Iyas berkata kepadanya, “Wahai gubernur, tanyakanlah kepada dua orang ahli fiqih Irak: al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin tentang saya dan al-Qasim, karena keduanya adalah orang yang paling mampu membedakan antara kami berdua.”
Pada waktu sebelumnya, al-Qasim banyak mengunjungi kedua ahli fiqih tersebut dan sebaliknya, sedangkan Iyas tidak ada hubungan sama sekali dengan keduanya. Maka tahulah al-Qasim bahwa Iyas sebenarnya ingin menjadikannya sebagai hakim.
Bila sang Amir (gubernur) meminta pendapat kepada keduanya, maka keduanya akan menunjuk dirinya, bukan Iyas. Maka, dia langsung menoleh ke arah gubernur seraya berkata, “Wahai Amir, jangan tanyakan lagi kepada siapa pun tentangku dan dia. Demi Allah Yang tidak ada Tuhan yang haq selain Dia, sesungguhnya Iyas adalah orang yang lebih faham tentang agama Allah dan lebih mengerti tentang peradilan daripadaku. Jika aku berdusta di dalam sumpahku ini, maka engkau tidak boleh menunjukku sebagai hakim, karena saya telah berdusta. Dan jika aku berkata jujur, maka engkau juga tidak boleh menunjuk orang yang kurang keutamaannya padahal ada orang yang lebih utama darinya.”
Maka Iyas menoleh ke arah gubernur dan berkata kepadanya, “Wahai Gubernur, sesungguhnya Anda menghadirkan seseorang untuk engkau jadikan sebagai hakim, namun engkau membawanya ke pinggir neraka Jahannam, lalu dia berusaha menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsunya. Setelah itu dia bisa beristighfar dan bertaubat lalu dia dapat selamat dari apa yang dia takutkan.”
Adi berkata kepada Iyas, “Seungguhnya orang yang memiliki pemahaman sepertimu ini amat pantas untuk dijadikan hakim.” Kemudian Gubernur Iraq ini menunjuk Iyas sebagai Hakim di Bashrah.”[1]
Banyak sekali pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dari kisah diatas, di antaranya, kegelisahan sang Khalifah dalam memilih pejabatnya. Dia memilih pejabatnya dengan kriteria yang ketat berdasarkan amanah dan kecakapan calon pejabat, bukan karena balas budi meskipun ia bukan orang yang amanah dan kurang memiliki kecakapan dalam jabatannya tersebut. Pejabat dipilih bukan karena adanya uang pelicin dan memilih orang yang lebih banyak keluar uangnya untuk mendapatkan jabatan tersebut. Dusta merupakan akhlak tercela dan merupakan sebab tidak pantasnya seseorang untuk diamanati suatu jabatan.
Jabatan hakim merupakan jabatan yang sangat berisiko karena banyaknya hakim yang masuk neraka jika dia zalim, dan tidak berhukum dengan hukum Allah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضِيَانِ فِى النَّارِ قَاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضٍ عَرَفَ الحَقَّ فَحَكَمَ بِخِلاَفِهِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ
“Para hakim ada tiga golongan, satu golongan di surga dan dua golongan yang lain di neraka. Adapun yang di surga, seorang yang tahu akan kebenaran dan memutuskan (perkara) dengan kebenaran. Adapun orang yang tahu akan kebenaran lalu memutuskan (perkara) dengan zalim maka ia di neraka. Dan seorang yang memutuskan perkara untuk manusia dengan kebodohan maka ia di neraka.” [2]
Amanat jabatan merupakan musibah yang sepatutnya kita hindari. Ambisi kepada jabatan pada umumnya akan menyebabkan penyesalan di akhirat. Para pendahulu kita seperti sahabat Said bin Amir radhiallahu anhu, Said bin Zaid radhiallahu anhu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan lainnya ketika terpilih menjadi gubernur atau khalifah, mereka mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”, bukannya sujud syukur, tasyakuran atau berpesta. Karena mereka takut kepada Allah bahwa pasti mereka akan mempertanggungjawabkan jabatan dan amal mereka kepada Allah di akhirat kelak. Mereka takut juga akan dampak buruk dari kezaliman dan dosa di dunia sebelum di akhirat.
Bagi orang yang diberi kelebihan oleh Allah dalam kecakapan dan kemampuan dalam memimpin dan dikhawatirkan jika ia tidak tampil maka akan terjadi kerusakan maka ia boleh berupaya untuk memimpin atau menduduki suatu jabatan tertentu. Syarat lainnya, dia tampil untuk memimpin bukan untuk kepentingan dirinya tapi untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan kemaslahatan manusia pada umumnya.
Pelajaran lainnya dari kisah diatas bagaimana hati-hatinya gubernur Iraq dalam memilih hakim dari dua calon yang ada. Gubernur menyadari memilih itu amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di hari kiamat. Dia tidak memilih seseorang karena pertimbangan adanya keuntungan pribadi atau kelompok. Dia memilih Hakim bukan karena hawa nafsu dan kepentingan dunia.
Semoga Allah memberikan kepada kami taufik dan hikmah saat memilih pejabat. Semoga Allah tidak menjadikan dunia sebagai orientasi yang terbesar di hati kami. Semoga Allah menjauhkan sifat kemunafikan pada diri kami, aamiin.