Dia juga selalu melewatkan momen-momen penting perkembangan anak kami. Ia bahkan menolak secara terang-terangan untuk datang ke pentas pertama hingga kelulusan universitas anak kami. Tentu saja dengan alasan yang selalu ia lontarkan "ada hal penting yang harus kulakukan."
Suatu malam saat aku sedang makan malam bersama teman-teman, aku melihat Robert sedang memangku seorang wanita sambil berbincang mesra. Hal yang lebih penting yang selama ini dia lakukan adalah bersama wanita itu. Aku merasa sangat bodoh karena telah percaya dengan ucapannya.
Sepulang dari makan malam, aku menceritakan apa yang kulihat dengan putriku. Ia pun terlihat sangat terpukul dengan berita itu. Namun ia mendukungku untuk berpisah dari Robert. Beberapa hari kemudian, Robert baru kembali ke rumah, lalu aku mengusirnya dan berjanji akan mengirimkannya dokumen perceraian yang harus ia tanda tangani.
Robert keluar dari rumah tanpa ada kalimat pembelaan dari mulutnya. Ia melangkahkan kaki keluar rumah tanpa merasa sedih atau menyesal. Beberapa tahun setelah berpisah, putri kami melaksanakan pernikahannya dan lagi-lagi ayahnya tidak datang untuk menghadiri hari bersejarah itu.
Aku terpaksa harus menghubunginya dengan tanganku sendiri saat putri kami mengalami masa kritis setelah melahirkan anaknya. Namun dugaanku benar, Robert tidak datang hingga putri kami menghembuskan napas terakhirnya.
Dua tahun setelah putri kami meninggal, Robert datang ke rumah dengan penuh air mata. "Aku ingin bertemu dengan Elisa, anakku," ucapnya. Kalimat itu seketika membuat aku merasa sangat sedih "kamu terlambat, dia sudah tidak ada beberapa saat setelah kamu menolak untuk datang saat dia sedang kritis," jawabku.
Tangisan Robert berubah menjadi lebih histeris dan aku memintanya untuk masuk ke dalam agar tidak menimbulkan kehebohan. Ia bercerita kalau wanita itu meninggalkannya setelah Robert kehilangan pekerjaan. Wanita itu dengan cepat menemukan penggantinya dan membuang Robert begitu saja.
Dari situlah ia baru mengingat tentang Elisa. "Elisa menitipkan ini untuk diberikan pada kamu," ucapku. Setelah membaca surat dari Elisa, Robert mengambil seorang anak perempuan yang baru genap dua tahun kemudian memeluknya.
"Ayah, aku sudah memaafkan kamu. Jangan ulangi kesalahan itu lagi dan kesempatan kamu untuk menebusnya ada pada anak perempuan yang tinggal bersama ibu. Dia adalah cucumu,".
Membaca surat yang ditulis oleh Elisa, air mataku pun bercucuran. Jujur saja, aku masih belum bisa menerima apa yang sudah Robert lakukan pada kami. Tetapi dengan mudahnya Elisa memberikan kesempatan pada Robert untuk tidak mengulangi kesalahannya.
Sejak saat itu, aku tetap berhubungan dengan Robert. Komunikasi antara kami pun membaik meski aku menolak untuk kembali bersamanya. Robert selalu meng-iya-kan semua ajakan Delisa, cucu kami, demi menebus kesalahannya.