Sumpah Iblis
Alkisah, setelah menciptakan Adam Alaihissallam, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni surga saat itu; Malaikat dan setan untuk bersujud kepadanya. Sujud dalam arti penghormatan bukan penyembahan. Para penghuni surga terbelah menjadi dua. Sekelompok mematuhi perintah tersebut, mereka adalah para Malaikat. Sebagian lagi enggan, dengan dalih dia lebih hebat dibanding Adam Alaihissallam . Makhluk tersebut adalah iblis. Dia bermain logika bukan pada tempatnya, “Aku terbuat dari api, sedangkan Adam hanya terbuat dari tanah” [Al-A’râf/7:12]
Allâh Azza wa Jalla murka dengan pembangkangan tersebut. Akibatnya iblis diusir dari surga. Dalam keadaan hina dina, iblis masih menyempatkan diri untuk bersumpah guna membalas ‘dendam kesumatnya’.
Allâh Azza wa Jalla menceritakan hal itu dalam firman-Nya:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٨٢﴾ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
(Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka. [Shâd/38:82-83]
Iblis juga memploklamirkan kegigihannya untuk menyesatkan bani Adam:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿١٦﴾ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
(Iblis) berkata, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. [Al-A’râf/7:16-17]
PERANGKAP SETAN
Guna melancarkan proyek penyesatannya, iblis dan keturunan berikut kroninya menebarkan banyak ranjau untuk menjerat bani Adam.
Menurut Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H), perangkap setan ada enam jenis:
Kekufuran dan kesyirikan. Inilah target utama setan, jika berhasil maka manusia akan menjadi tentara iblis dan pasukannya. Namun bila gagal, maka insan akan dijerat dengan perangkap berikutnya:
Bid’ah. Sebab, kata Imam ats-Tsauri, “Bid’ah lebih disukai iblis dibandingkan maksiat. Karena pelaku maksiat akan bertaubat sedangkan pelaku bid’ah tidak bertaubat”.[1] Jika tidak berhasil maka manusia akan dijerat dengan ranjau ketiga, yaitu:
Dosa besar dengan berbagai macam jenisnya. Setan berusaha keras untuk menjerumuskan seorang hamba ke dalam perbuatan dosa besar. Apalagi jika ia adalah seorang panutan di masyarakat, seperti para Ulama misalnya. Setelah terjerumus, setan bekerjasama dengan kroni-kroninya untuk mem’publikasikan’ ‘kecelakaan’ tersebut di hadapan umat, agar mereka menjauhinya. Jika gagal, setan akan menebar ranjau keempat, yakni:
Dosa kecil. Seorang hamba dijadikan meremehkan dosa kecil, sehingga dilakukannya berkali-kali sampai berbalik menjadi dosa besar. Kalau tidak berhasil, setan memasang perangkap kelima, yaitu dengan:
Menyibukkan manusia dalam hal-hal yang mubah, sehingga terlalaikan dari amalan-amalan yang berpahala. Andaikan target yang diincar adalah orang yang senantiasa menjaga waktunya dan sadar akan keterbatasan masa hidupnya di dunia, maka setan akan menjerumuskannya ke ranjau yang keenam. Yakni:
Menyibukkannya dengan amalan-amalan yang utama, namun dijadikan lupa akan amalan-amalan yang lebih utama, karena keterbatasan ilmu dia. Seperti sebagian kalangan yang tersibukkan dengan dakwah kepada akhlak, sehingga melalaikan dakwah kepada tauhid. Sedemikian halusnya perangkap ini, sehingga banyak orang yang terjerumus ke dalamnya, dan mengira bahwa ia berada di jalan kebenaran.
Seorang hamba tidak akan selamat dari berbagai perangkap di atas melainkan dengan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla dan dengan terus mempelajari ilmu syar’i yang berisikan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [2]
TERNYATA SETAN PUN PUNYA PRIORITAS
Dari keterangan di atas kita bisa memahami bahwa setan itu punya skala prioritas dalam menjerumuskan bani Adam. Kubangan favorit utama setan adalah kekufuran dan kesyirikan. Atau dengan kata lain akidahlah yang target pertama yang disasar mereka. Sebab akidah merupakan pondasi fundamental seseorang. Bila rusak, maka dijamin akan rusak pula sisi-sisi lain dalam kehidupannya.
Dari sini kita mengetahui mengapa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para rasul lainnya memulai dakwah mereka terhadap akidah atau tauhid. Sebab itu merupakan pondasi dasar beragama. Bila kuat, maka bangunan di atasnya pun akan kuat. Sebaliknya bila rapuh, maka niscaya akan lebih rapuh lagi yang di atasnya.
Karena itulah, setan menjadikan akidah seorang Muslim sebagai target utama perusakan. Bila gagal, maka ia akan membidik sisi-sisi lainnya. Seperti amaliah, akhlak atau yang lainnya.
JURUS-JURUS SETAN
Dalam merusak akidah seorang Muslim, setan akan melancarkan berbagai jurus dan trik licik. Terkadang menggunakan pendekatan kultus tokoh. Di lain kesempatan melalui pintu pelestarian budaya nenek moyang. Tidak jarang pula memakai alasan ‘pengobatan’ dan ikhtiar.
Alasan terakhir di atas yang insya Allâh akan kita soroti lebih banyak pada kesempatan kali ini.
Setan tentu merasa senang saat melihat bani Adam tersiksa, karena perasaan dendam yang disimpannya. Sehingga seringkali ia berusaha keras untuk menyakiti manusia dengan berbagai cara. Setelah itu ia datang, bak ‘dewa penyelamat’ yang akan membantu manusia untuk melepaskannya dari rasa sakit yang dialaminya. Padahal sebenarnya dia punya misi untuk menjerumuskan manusia ke dalam lobang hitam yang jauh lebih dalam.
Bila kemarin yang sakit adalah fisiknya dan efeknya duniawi belaka. Maka setelah ‘ditolong’ setan, sekarang yang sakit adalah rohaninya dan efeknya akan terasa hingga alam akhirat kelak.
Sering penulis didatangi orang-orang yang mengeluhkan gangguan yang mereka derita. Entah itu yang bersifat supranatural, seperti sihir dan kesurupan. Atau yang berupa penyakit fisik dan medis. Di antara advis pokok yang selalu kami sampaikan, “Jangan sekali-kali mengambil jalan pintas dengan mendatangi dukun! Sebab derita yang Anda alami saat ini adalah bersifat fisik. Seperti pusing berkepanjangan, sakit perut yang tak kunjung sembuh dan yang semisal. Tapi bila Anda sampai meminta pertolongan kepada dukun, maka derita yang akan Anda alami jauh lebih mengerikan. Sebab akan terbawa hingga akhirat kelak.
Orang masuk neraka bukan karena ia penderita kanker atau tumor atau penyakit fisik lainnya. Namun penyebab utama masuk neraka adalah penyakit rohani. Terutamanya akidah yang rusak.”
KRONI SETAN
Demi melancarkan proyek penyesatan manusia, setan berkolaborasi dengan rekan-rekan seprofesi dari bangsa lain. Allâh Azza wa Jalla menjelaskan:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Begitulah ketetapan Kami. Setiap nabi, Kami hadapkan dengan musuh dari golongan manusia dan jin. Mereka saling membisikkan kepada yang lain perkataan manis yang penuh tipuan. [Al-An’âm/6: 112]
Dalam Shahih al-Bukhâri disebutkan secara spesifik siapa rekan utama setan tersebut:
قَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها : سَأَلَ أُنَاسٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْءٍ!. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا؟!. قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ، فَيَخْلِطُونَ فِيهِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
Aisyah Radhiyallahunahuma bertutur, “Suatu hari ada orang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para dukun.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka tidak ada apa-apanya!”. Para Shahabat menyambung, “Wahai Rasûlullâh, sungguh mereka terkadang menyampaikan suatu berita dan ternyata benar.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Berita benar itu dicuri oleh jin, lalu dibisikkannya ke telinga rekan dekatnya layaknya kotekan ayam. Lalu diramunya dengan lebih dari seratus kedustaan.” [HR. Al-Bukhâri, no. 7561]
Jadi, antara setan dan dukun terjadi ‘simbiosis mutualisme’. Setan merasa memiliki prestise dan perasaan bangga; sebab dukun menyembahnya. Sedangkan dukun kegirangan; karena mendapatkan amunisi bantuan banyak dari setan.
Seringkali para dukun dan tukang sihir bisa melakukan atraksi-atraksi yang mencengangkan. Orang yang beriman tidak mudah termakan; karena ia tahu bahwa sejatinya mereka telah berkolaborasi dengan setan untuk melakukan atraksi tersebut.[3]
Setan tidak mungkin membantu para tukang sihir secara cuma-cuma. Mereka harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama, sebagai bentuk kompensasi bantuan tersebut.[4] Semakin kufur atau syirik perbuatan yang dipersembahkan, maka bantuan yang diberikan setan semakin besar.[5]
Kenyataan ini bukanlah isapan jempol belaka atau fitnah murahan, namun fenomena tersebut diakui oleh para mantan dukun yang telah bertaubat. Mereka bersaksi bahwa untuk menggapai ‘kesaktian’ yang dimiliki, mereka diharuskan untuk melakukan kesyirikan dan kekufuran. Ada yang mengatakan bahwa mereka dulunya memohon bantuan kepada iblis, ada yang tidak menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan, ada yang menempelkan lembaran-lembaran mushaf al-Qur’an di tembok WC dan berbagai tindak kekufuran lainnya.[6]
Adanya kolaborasi para dukun dengan setan telah dijelaskan para Ulama Islam sejak dulu kala. Sebagaimana dipaparkan antara lain oleh Imam Syâfi’i t (w. 204 H)[7], al-Baidhawi rahimahullah (w. 685 H)[8] dan Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (w. 852 H)[9]
Pembahasan di atas bukan hanya membidik para dukun yang notabene beraliran hitam. Yang biasanya ditandai dengan blangkon atau iket di kepala dan pakaian serba hitam. Tidak lupa menyelipkan sebilah keris di pinggang serta menyalakan kemenyan dan dupa di depannya. Namun peringatan di atas juga terarah kepada mereka yang menamakan diri dukun putih. Yang kerap berbusana bak seorang wali, dengan sorban di kepala dan jubah putih, serta tidak lupa bersenjatakan seuntai tasbih yang biji-bijinya terkadang mengalahkan besarnya bola pingpong. Mereka semua sama!
Seyogyanya kaum Muslimin bersikap cerdas dalam menilai sesuatu. Tidak mudah terkecoh dengan tipuan penampilan. Justru dia tetap menjadikan substansi sesuatu sebagai tolok ukur penilaian.
RAMBU-RAMBU IKHTIAR
Di antara potret keindahan ajaran Islam, selain mengajarkan tawakkal, agama kita juga memotivasi umatnya agar berikhtiar, berdaya upaya dan berusaha untuk menggapai keinginan serta cita-citanya.
Guna mendulang rezeki misalnya, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ، فَيَحْمِلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا يُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ
Seseorang mencari seikat kayu bakar lalu dipanggul di atas pundaknya dan dijual, lebih mulia dibandingankan dia meminta-minta kepada orang lain, diberi atau tidak. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan redaksi Muslim]
Orang yang sakit dan menginginkan kesembuhan, diperintahkan oleh Islam untuk berobat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ؛ الْهَرَمُ
Berobatlah! Sesungguhnya Allâh l tidaklah menurunkan penyakit melainkan menciptakan obatnya. Kecuali satu penyakit, yaitu penyakit tua. [HR. Abu Dawud (IV/125 no. 3855) dari Usamah bin Syarik z dan dinilai hasan sahih oleh at-Tirmidzi, hlm. 461, no. 2039]
Namun demikian, dalam hal ikhtiar, Islam tidak membebaskan umatnya berlaku sekehendaknya tanpa aturan. Justru agama kita membuat rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Yang pada hakikatnya bertujuan untuk kemaslahatan insan, dalam perkara duniawi maupun ukhrawi.
Di antara rambu-rambu ikhtiar, yang amat disayangkan masih sering dilanggar, termasuk di negeri kita, larangan Islam untuk memanfaatkan ‘jasa’ dukun, paranormal, tukang sihir dan yang semisal.
Padahal sejak empat belas abad lalu, panutan kita Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan tegas,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ؛ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa mendatangi peramal, lalu ia bertanya tentang sesuatu padanya; maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. [HR. Muslim (IV/1751 no. 2230] dari sebagian istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits lain memberikan statemen yang lebih keras lagi,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِراً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ؛ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang sihir lalu mempercayai apa yang dikatakannya; maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [HR. Al-Bazzar (V/315 no. 1931) dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai sahih oleh Ibn Katsir][10]
Barangkali ada sebagian kalangan yang bertanya-tanya, mengapa Islam begitu ‘keras’ dalam hal ini? Bukankah para dukun itu hanya ingin berbuat baik kepada sesama, dengan memberdayakan ‘daya linuwih’ yang dimiliki. Lantas apa salahnya?
Satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam melarang suatu perbuatan, pasti perbuatan tersebut memuat kerusakan fatal atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya, baik di dunia maupun akhirat. Sekalipun barangkali perbuatan itu mengandung beberapa manfaat. Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila dibandingan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada apa-apanya.
PENGOBATAN ISLAMI UNTUK KORBAN SIHIR
Disamping mempelajari tata cara pencegahan dari sihir, perlu kiranya kita mempelajari pula cara pengobatan jika seseorang telah terkena sihir. Sebab banyak orang yang keliru dalam hal ini. Mereka memilih jalan pintas dengan mendatangi dukun atau ‘orang pintar’. Sehingga yang terjadi adalah fenomena ‘jeruk makan jeruk’!
Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala ditanya tentang nusyrah (pengobatan orang yang terkena sihir), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
Itu adalah perbuatan setan. [HR. Abu Dawud (IV/201 no. 3868) dari Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhu dan isnadnya dinilai sahih oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah][11]
Yang dikategorikan termasuk perbuatan setan adalah jenis pengobatan sihir orang-orang jahiliyah.[12] Di antaranya adalah pengobatan sihir dengan sihir serupa. Sebab hal tersebut sama saja melariskan tukang sihir dan membenarkan perilaku mereka yang berkolaborasi dengan setan dalam menjalankan pekerjaannya.[13]
Apalagi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa pengobatan sihir dengan sihir serupa hanya akan mengakibatkan terjadinya silsilah yang tidak ada putusnya. Sebab manakala tukang sihir tersebut kalah, maka pelaku akan mencari tukang sihir lain yang lebih ‘sakti’. Tatkala korban terdesak ia akan mencari tukang sihir lain yang lebih kuat, begitu seterusnya. Ia berpindah dari satu tukang sihir ke tukang sihir lainnya. Bahkan ada korban yang selama delapan tahun menyambangi lebih dari seratus dukun! Sampai akhirnya alhamdulillâh ia mendapat petunjuk untuk menempuh pengobatan islami.[14]
Andaikan sejak awal ia berlindung kepada Dzat Yang Maha Kuat; yakni Allâh Azza wa Jalla , jangankan satu dukun, sejuta dukun yang paling kuatpun tidak akan berdaya!
Berikut sebagian kiat pengobatan sihir yang Allâh Azza wa Jalla ajarkan dalam al-Qur’ân maupun lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnah:
1. Ruqyah Syar’iyyah
Atau pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ân dan dzikir-dzikir yang diajarkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ
Kami turunkan al-Qur’an sebagai penyembuh. [Al-Isrâ’/17:82][15]
Al-Qur’ân merupakan obat penyakit jasmani maupun rohani.[16]
Adapun dalil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain: kisah ruqyah Jibril q atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disihir oleh Labid bin al-A’sham. Di mana saat itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diruqyah dengan dibacakan surat al-Falaq dan an-Nâs. Hadits yang menceritakan kejadian tersebut akan kami sebutkan di akhir makalah ini.
Seluruh ayat al-Qur’an bisa dipakai untuk ruqyah, tidak harus dipilih ayat-ayat tertentu. Dengan memberikan perhatian khusus terhadap surat-surat yang pernah dipakai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah atau surat yang dijelaskan secara spesifik berkhasiat mengusir setan. Semisal surat al-Fâtihah, al-Baqarah, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nâs.
Kemudian ditambahkan dengan bacaan-bacaan yang disebutkan dalam hadits sahih. Semisal:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Allâhumma Rabbannâs mudzhibal ba’s, isyfi Antasy Syâfî lâ syâfiya illâ Anta syifâ’an lâ yughâdiru saqaman (Ya Allâh, Rabb para manusia, Yang menghilangkan penyakit. Sembuhkanlah sesungguhnya Engkau Maha penyembuh. Tidak ada penyembuh selain engkau. Berilah kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit. [HR. Al-Bukhâri dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]
بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ، بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ
Bismillâhi arqîk, min kulli syai’in yu’dzîk, min syarri kulli nafsin au ‘ainin hâsidin, Allâhu yasyfîk, bismillâhi arqîk
Dengan nama Allâh aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu. Berupa kejahatan setiap jiwa atau mata yang dengki. Semoga Allâh menyembuhkanmu. Dengan nama Allâh aku meruqyahmu. [HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu]
Metode ruqyah yang dibawa Islam tentu berbeda dengan metode ruqyah ‘gadungan’. Ia memiliki karakteristik yang jelas. Di antaranya yang paling menonjol: ia bersih dari praktek kesyirikan
Hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits yang melarang syirik. Masih ditambah larangan spesifik memasukkan praktek syirik dalam ruqyah. Sebagaimana termaktub dalam hadits ‘Auf bin Malik al-Asyja’i Radhiyallahu anhu :
اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama di dalamnya tidak bermuatan syirik. [HR. Muslim]
Tidak ada perselisihan pendapat di antara para Ulama mengenai haramnya berobat dengan cara syirik.
Contoh ruqyah syirkiyyah adalah ruqyah yang bermuatan permintaan tolong kepada selain Allâh Azza wa Jalla .
Semisal permintaan tolong kepada Nabiyullah Adam Alaihissallam atau Hawa’ agar menyembuhkan penyakit.[17] Begitu pula permohonan bantuan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Ahmad ar-Rifâ’i,[18] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,[19] para Malaikat,[20] bahkan ada pula yang meminta tolong kepada iblis raja diraja setan. [21]
SIAPA YANG BOLEH MERUQYAH?
Ruqyah bukanlah monopoli ustadz ataupun kyai. Siapapun orang yang beriman dan bisa membaca al-Qur’an boleh meruqyah. Namun seyogyanya ia khusyu’ saat meruqyah, berusaha memahami bacaan ruqyah dan mengiringinya dengan keyakinan penuh akan khasiat dan kemujaraban ruqyah tersebut. Baik dalam diri peruqyah maupun yang diruqyah. Tidak cukup jika niatnya hanya coba-coba.[22]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Mohonlah kepada Allâh dalam keadaan kalian yakin dikabulkan. Ketahuilah Allâh tidak mengabulkan permohonan yang muncul dari hati yang lalai. [HR. Tirmidzi (hlm. 790 no. 3479) dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani][23]
Sebagian orang tatkala berobat kepada dokter terkenal dan diberi resep mahal begitu yakin akan sembuh dari penyakitnya. Padahal ilmu kedokteran bersumber dari eksperimen yang yang bisa jadi benar dan bisa jadi pula keliru. Mengapa ia tidak bisa menumbuhkan keyakinan akan khasiat obat al-Qur’ân, yang mana itu bukanlah hasil eksperimen, namun wahyu dari Rabbul ‘alamin, yang pasti benarnya?![24]
Penulis bukan sedang menghalangi orang untuk berikhtiar melalui jalur medis, namun penulis hanya ingin mengajak kaum Muslimin bersikap proposional dalam keyakinan di atas.
2. Memusnahkan Media Sihir
Di awal ayat keempat surat al-Falaq dijelaskan bahwa dalam rangka mengerjakan sihirnya para tukang sihir memakai media buhul. Nah, salah satu cara tuntas pengobatan sihir adalah dengan memusnahkan media sihir, baik itu buhul ataupun yang lainnya.[25]
Dalilnya, antara lain peristiwa disihirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penguraian media sihirnya oleh Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. Zaid bin Arqam z mengisahkan kejadian tersebut:
سَحَرَ النَّبِيَّ n رَجُلٌ مِنَ الْيَهُوْدِ، قَالَ: فَاشْتَكَى فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَنَزَلَ عَلَيْهِ بِالْمُعَوِّذَتَيْنِ، وَقَالَ: إِنَّ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ سَحَرَكَ، وَالسِّحْرُ فِي بِئْرِ فُلاَنٍ، قَالَ: فَأَرْسَلَ عَلِيًّا فَجَاءَ بِهِ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يُحَلَّ الْعُقَد، وَتُقْرَأَ آيَة، فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَيَحُلَّ حَتَّى قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا أَنْشَطَ مِنْ عِقَالٍ، قَالَ: فَمَا ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِذَلِكَ الْيَهُوْدِيِّ شَيْئاً مِمَّا صَنَعَ بِهِ، قَالَ: وَلاَ أَرَاهُ فِي وَجْهِهِ
Seorang Yahudi menyihir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau menderita. Jibrilpun mendatanginya dan menurunkan pada Beliau surat al-Falaq dan an-Nas. Malaikat Jibril berkata, “Seorang Yahudi telah menyihirmu. (Buhul) sihirnya ada di sumur si fulan”. Kemudian Ali diutus untuk mengambilnya dan menguraikan buhul tersebut sambil dibacakan ayat. Ali pun membaca sambil menguraikannya, hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit kembali seperti orang yang baru lepas dari belenggu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengomentari perbuatan Yahudi tersebut. Hanya saja Beliau berpesan, “Aku tidak mau melihat wajahnya”. (HR. ‘Abd bin Humaid (I/228 no. 271) dan sanadnya dinilai sahih oleh Syaikh Salîm al-Hilâli dan Syaikh Muhammad Alu Nashr.[26]
Cara menemukan media sihir tersebut adalah dengan pengakuan tukang sihir, atau jin yang merasuk dalam diri korban sihir. Namun perlu waspada dan tidak gampang percaya dengan omongannya; sebab tabiat asli mereka adalah pendusta.[27]
Jika langkah tersebut tidak memungkinkan, maka seyogyanya korban menghiba dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar ditunjukkan tempat disembunyikannya media sihir tersebut. Jika ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya, seringkali petunjuk tersebut datang dalam mimpi, digambarkan di manakah ‘persembunyian’ media tersebut.[28]
Setelah media tersebut ditemukan, jika berupa buhul, maka buhul tersebut diuraikan satu persatu dengan dibacakan surat al-Falaq dan an-Nas, sebagaimana dalam hadits di atas. Lalu dipendam dalam tanah, sebagaimana dalam hadits berikut:
فَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ
lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar buhul itu dipendam. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma])
Referensi : Sumpah Iblis
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata : “Jadilah”, maka terjadilan. Dia Maha Mulia memberi segala sesuatu kepada semua hambaNya hingga kepada hamba yang durhaka sekalipun. Sebaiknya seseorang harus berbaik sangka kepada Allah dan memohon kepadaNya segala sesuatu serta jangan menganggap ada sesuatu yang sulit bagi Allah. Allah Maha Kuasa mengabulkan permohonan hambaNya.
Sebuah hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ
“Allah berfirman Wahai hambaKu seandainya orang terdahulu dan sekarang baik dari jin maupun manusia berkumpul di suatu tempat, kemudian mereka semua memohon kepadaKu dan Aku kabulkan seluruh permohonan mereka, maka demikian itu tidak mengurangi sama sekali perbendaharaanKu melainkan seperti berkurangnya air laut tatkala jarum dicelupkan kedalamnya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-bir bab Tahrim Zhulm 8/16-17]
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Berharaplah yang banyak sesungguhnya kamu akan meminta kepada Tuhanmu” [Syarhus Sunnah oleh Imam Al-Baghawi 5/208 no. 1403. Al-Haitsami dalam Majmu Zawaid. Thabrani dalam Al-Ausath 10/150]
Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata bahwa maksudnya adalah berharap dalam hal yang mubah baik tentang urusan dunia atau akhirat. Hendaknya setiap keluhan, permohonan dan harapan diajukan kepada Allah sebagaimana firmanNya.
وَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ
“Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya” [An-Nisa/4 : 32]
Bukan berarti kita boleh berharap mendapatkan harta atau nikmat orang lain dengan unsur hasad dan dengki. Jelas ini dilarang Allah, seperti firman Allah.
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” [An-Nisa/4 : 32]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika kalian berdo’a perbanyaklah keinginannya, sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemberianNya” [Hadits Riwayat Imam Ahmad 2/475. Imam Thabrani dalam kitab Do’a]
Hadits diatas menurut Al-Banna dalam kitab Fathur Rabbani bahwa setiap orang yang berdo’a harus disertai dengan permohonan yang sungguh-sungguh dan mengiba atau memohon sesuatu yang banyak lagi besar berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemerianNya”. Artinya sebesar apapun Allah pasti akan mengabulkanya. [Fathur Rabbani 14/274]
Anak yang shalih adalah bunga kehidupan sekaligus kebahagiaan. Dan hal pertama yang diperlukan untuk mewujudkan keshalihan anak adalah doa-doa ikhlas yang kita panjatkan kepada Allâh Azza wa Jalla. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang al-Khalil Ibrahim Alaihissallam :
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Rabbku! Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat! Wahai Rabb kami! Perkenankanlah doaku. [Ibrahim/ 14: 40]
Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Zakariya Alaihissallam :
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
Ya Rabbi! Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa. [Ali Imrân/3:38]
Panjatkanlah untaian doa seperti yang dipanjatkan para hamba pilihan:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ya Rabb kami! Anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. [Al-Furqân/ 25: 74]
Dan perlu diingat juga, bahwa terbentuknya anak shalih, disamping dengan banyak berdoa juga diawali dengan qudwah (contoh) yang baik, teladan yang baik dari bapak dan ibu. Bila anak melihat bapak ibunya sosok yang bertakwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka anak pun akan takwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Bila orang tua tekun mendirikan shalat, maka anak pun akan tekun shalat. Mereka akan terpola menjadi orang pilihan dan shalih.
Maka teladan yang baik, merupakan obor penerang bagi anak keturunan kita. Teladan adalah cahaya yang menerangi hati sang anak.
Hal lain yang diperlukan untuk keshalihan anak adalah bimbingan dan arahan untuk mereka dengan kata-kata yang membekas di hati. Lihatlah bagimana Luqman memperlakukan anaknya:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allâh, sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar. [Luqmân/31:13]
Lihatlah bagaimana Luqman mengambil hati sang buah hati agar selalu tertambat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ia mengajarkan tauhid dan ibadah hanya kepada-Nya. Maka kitapun harus meraih hati mereka agar mau bersimpuh kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Bimbinglah mereka dengan nasihat yang menggiring mereka untuk mencintai Allâh dan Rasul-Nya. Sungguh, betapa dahsyat kekuatan nasihat dari seorang ayah dan ibu. Nasihat orang tua akan teringat sepanjang hayat.
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. [Al-Ankabût/ 29: 45]
ihatlah Nabi Ibrahim Alaihissallam. Beliau mengerti akan keagungan shalat. Maka beliau berdoa:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Rabbi! Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Wahai Rabb kami! Perkenankanlah doaku. [Al-Ankabût/ 14: 40]
Allâh akan meminta pertanggungjawabanmu kelak di hari kiamat. Sang anak pun akan menuntut orang tuanya kelak di akhirat dengan mengatakan, “ Ya Rabbi, ia tidak menyuruhku untuk shalat!”, “ Ya Rabbi, ia membiarkanku tidur begitu saja!” Na’udzu billah.
Akhlak dan adab yang mulia pun sangat lekat dengan ciri anak yang shalih. Memerintahkan anak untuk berakhlak dan beradab mulia akan membuat mereka terbiasa untuk melakukannya dan akan membimbing mereka menuju kebahagiaan.
Ajarilah mereka untuk menebarkan salam, suka memberi orang yang kekurangan, bersilaturahim; mengunjungi sanak famili, dan akhlak mulia lain yang diajarkan Islam. Niscaya kita pun akan ikut mendapatkan pahala dan kebaikan dunia dan akhirat.
Anak yang shalih akan menyejukkan mata kita, baik saat kita masih hidup maupun setelah kematian. Ia tumbuh menjadi sosok yang suka menasihati dengan kebaikan, dan suka kebaikan. Ia akan taat kepada orang tua dan akan menunjukkan baktinya, meski orang tua telah renta. Saat orang tua telah berada di alam kubur, doa anak pun masih menemani kesendiriannya. Melalui doa ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan nikmat-Nya. Di akhirat kelak pun, keshalihan anak akan menjadi tameng dari ganasnya api neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ ابْتُليَ مِنْ هذِهِ البَنَاتِ بِشَيءٍ فَأحْسَنَ إلَيْهِنَّ ، كُنَّ لَهُ سِتراً مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepadanya, maka mereka ini akan menjadi tameng penghalang baginya dari api neraka. [Muttafaq alaih]
Bila Allâh telah memberi amanah keturunan kepada kita, maka ketahuilah bahwa kewajiban kita cukup berat untuk menuntun mereka menuju kebahagiaan dan ridha Ilahi. Maka perlu kita perhatikan hal-hal berikut ini:
Panjatkanlah syukur kepada Allâh, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Nikmat ini adalah nikmat yang agung, namun tidak sedikit manusia yang tidak mensyukurinya, ataupun salah dalam mensikapinya.
Tanamkan dalam diri kita bahwa ada tanggung jawab besar yang kita pikul. Mereka ini tidak lain adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allâh. Pada hari Kiamat, mereka akan mendebat orang tua atas kesalahan mereka dalam mendidik. Maka, mereka bisa saja mengantar kita menuju surga, ataupun menggiring menuju neraka. Maka mintalah kepada Allâh agar kebaikan senantiasa menyertai mereka, dan mintalah perlindungan dari keburukan mereka. Karena mereka ini adalah ujian. Berdoa lah kepada Allâh agar Dia menopangmu dalam memberikan kebaikan kepada mereka.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ، عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ، وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ، الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allâh berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, di kanan Allâh Ar-Rahman, dan dua tangan-Nya adalah kanan: yaitu orang-orang yang berbuat adil dalam keputusan mereka, juga terhadap keluarga dan yang ada di bawah kuasanya. [HR. Muslim]
Ingatlah!, bahwa berbuat zalim kepada anak, akan mengakibatkan rasa dengki dan permusuhan. Ikatan kasih sesama mereka pun akan luntur dan tercabik-cabik. Kaum salafus shalih pun berlaku adil terhadap anak-anak mereka. Sampai-sampai kalau salah seorang dari mereka mencium seorang anak lelakinya, iapun juga akan mencium anak perempuannya. Ia takut kalau-kalau telah melebihkan salah seorang dari mereka dan mengacuhkan lainnya.
Menjaga agar anak tidak mengganggu kaum Muslimin, terutama agar tidak mengganggu di rumah-rumah Allâh. Bila mengajak anak ke masjid, hendaknya agar mereka selalu berada dekat dan dalam pengawasan kita. Arahkan dan bimbing mereka, agar tidak mengganggu kekhusyukan kaum Muslimin. Kita takut, kalau-kalau itu menyebabkan cacian orang kepada anak kita. Celakanya lagi bila ada yang mendoakan buruk terhadap mereka, dikarenakan tingkah dan ulah mereka. Juga jangan sampai kita memperturutkan perasaan kita dalam memenuhi semua yang menjadi permintaannya. Terutama dalam hal-hal yang bisa mengundang bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.[HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam al-Bukhari rahimahullah mencantumkannya dalam bab: Keutamaan Orang Yang Mengasuh Anak Yatim.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1].
Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar [2].
Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa[3].
Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu[4].
Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya [5].
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:
Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah:
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” [al-Ahzaab/33: 5].
Anak angkat (anak asuh) tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[6].
Anak angkat (anak asuh) bukanlah mahram[7], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah anak kecil yang meninggal pada umur 1 tahun bisa memberi syafa’at bagi kedua orang tua dan kakek-neneknya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah Swt, salam sejahtera semoga tetap dilimpahkan Allah kepada RasulNya, juga keluarga dan para sahabatnya. Allah akan memperkenankan syafa’atnya kepada kedua orang tuanya. Mengenai syafa’atnya terhadap kakek-neneknya, hanya Allah saja Mahatau. Semoga Allah melimpahkan taufikNya, shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita.
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad (IV/260-261 dan V/411) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (I/301-302, no. 886).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam Muslim (no. 2702), Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 883) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1288). Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1452).
SYARAH HADITS
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk bertaubat dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. [An-Nûr/24:31]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allâh dengan taubat yang semurni-murninya (ikhlas) [At-Tahrîm/66:8]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalllallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bertaubat, karena taubat merupakan jalan kebahagiaan, jalan menuju surga, pembersih hati, penghapus dosa, dan menjadi sebab keridhaan Allâh Azza wa Jalla .
Setiap anak Adam pasti pernah berbuat dosa dan yang terbaik dari mereka adalah yang bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana sabda Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.[2]
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan ummatnya untuk selalu bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Bahkan, Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada ummatnya bahwa Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bertaubat sebanyak 100 kali dalam sehari.
MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat yaitu kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan.
Seorang dikatakan bertaubat kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu[3]
Lafazh taubat dalam surat at-Tahrîm pada ayat ke-8 di atas diiringi dengan lafazh nashuh, sehingga menjadi taubat nashuh. Taubat nashuh bermakna taubat yang ikhlas, jujur, benar, dan taubat yang tidak diiringi lagi dengan perbuatan dosa.
WAJIBNYA TAUBAT
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para Ulama tentang kewajiban bertaubat, bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap Muslim dan Muslimah. Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Para Ulama telah ijma’ tentang kewajiban bertaubat, karena sesungguhnya dosa-dosa itu bisa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allâh Azza wa Jalla. Maka, wajib segera bertaubat.”[4]
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan, dan akhir perjalanan hidup. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan menuju Allâh Azza wa Jalla tidak boleh lepas dari taubat hingga ajal menjemputnya. Taubat merupakan awal langkah seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan akhir langkahnya. Kebutuhan seorang hamba terhadap taubat di akhir hayatnya amat sangat penting dan sangat mendesak, sebagaimana juga taubat dibutuhkan di awal perjalanan hidup seorang hamba.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” [An-Nûr/24:31]
Ayat ini diturunkan di Madinah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan supaya mereka bertaubat, sesudah mereka beriman, bersabar, hijrah, dan berjihad.”[5]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepada-Nya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” [Hûd/11:3]
Begitu juga dalam firman-Nya, ketika Nabi Hûd Alaihissallam menyuruh kaumnya untuk beristighfar kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
Dan (Hûd berkata), ‘Wahai kaumku! Mohonlah ampunan kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras, Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa.’” [Hûd/11:52]
Dan juga Nabi Nûh Alaihissallam berkata kepada kaumnya untuk memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Rabbmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” [Nûh/71:10-12]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang istighfar dan meminta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dengan benar, maka Allâh Azza wa Jalla akan mengampuninya dan memberi kenikmatan yang banyak serta keutamaan. Sebaliknya, jika ia tidak mau bertaubat bahkan ia berpaling dari Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala berhak untuk menimpakan adzab dan siksa kepadanya.
TAUBAT WAJIB DILAKUKAN DENGAN SEGERA, TIDAK BOLEH DITUNDA
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatan dosa adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[6]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama telah sepakat bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib. Wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, baik itu dosa kecil apalagi dosa besar.”[7]
Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada al-Khâliq (Allâh Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhluk-Nya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama Muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu domba, menfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan yang lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya.
Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allâh. Setiap Muslim dan Muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, ataupun Ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar dan selalu bertaubat kepada-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam . Setiap hari Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan bahwa Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allâh Azza wa Jalla seratus kali dalam satu majelisnya.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Kami pernah menghitung di satu majelis Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seratus kali Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:
رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Ya Rabb-ku! Ampunilah aku dan aku bertaubat kepada-Mu. Sungguh, Engkau Mahamenerima taubat lagi Maha Penyayang.[8]
Apabila ada yang beranggapan bahwa dirinya telah melakukan perbuatan dosa yang banyak sekali, sehingga merasa dosanya tidak akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla . Maka orang ini harus mengubah anggapan buruknya itu. Dia harus yakin bahwa Allâh Azza wa Jalla akan mengampuni segala dosa jika pelakunya bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taubat nashûh.
Segeralah bertaubat! Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.
Seorang Muslim tidak boleh merasa putus asa dari rahmat Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh.’ Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Az-Zumar/39 :53]
Disamping itu, ada banyak hadits yang menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia Azza wa Jalla selalu mendengar istighfar dan mengetahui taubat hamba-Nya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengabaikan masalah taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allâh nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan padahal di hadapannya ada air bersih namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga akhirnya maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.
Apabila tanda-tanda kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyâdzubillâh.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: ‘Sungguh sekarang ini aku taubat dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisâ’/4 :18]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Rabbmu, atau sebagian tanda-tanda dari Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah, ‘Tunggulah! Kami pun menunggu.’” [Al-An’âm/6:158]
Maksud firman Allâh Azza wa Jalla , “Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Rabbmu, atau sebagian tanda-tanda dari Rabbmu.” yaitu pada hari Kiamat.
Dan firman Allâh, “atau sebagian tanda-tanda dari Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu,” yaitu munculnya tanda-tanda Kiamat.
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَإِذَا رَآهَا النَّاسُ آمَنَ مَنْ عَلَيْهَا، فَذَاكَ حِينَ : لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ
Hari Kiamat tidak terjadi sampai matahari terbit dari barat. Ketika manusia melihatnya, mereka semua beriman (kepada Allâh). Maka saat itulah, “tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu.”[9]
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allâh akan menerima taubatnya.[10]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, ”Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan.”[11]
SYARAT-SYARAT TAUBAT
Para Ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allâh Azza wa Jalla sebagai berikut:
Al-Iqlâ’u, yaitu berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang ia pernah lakukan.
- An-Nadamu, yaitu menyesali perbuatan dosanya itu.
- Al-‘Azmu, yaitu bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembali Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[12]
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ، ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ : وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
Tidak ada seorang hamba pun yang berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allâh (dari dosa tersebut), niscaya Allâh akan ampuni dosanya.” Kemudian Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
‘Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allâh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.’ [Ali ‘Imrân/3 :135].[13]
KEUTAMAAN TAUBAT NASHUHA
1. Taubat menghapuskan dosa-dosa seolah-olah ia tidak pernah berdosa.
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa.[14]
2. Mengganti kejelekannya dengan kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “ Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allâh akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Furqân/25:70]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيِّئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allâh Azza wa Jalla ganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan.[15]
3. Membawa kepada Kesuksesan
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” [At-Taubah/9:104]
4. Jalan menuju surga dan penghalang dari neraka
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dizhalimi (dirugikan) sedikit pun.” [Maryam/19:60]
5. Membersihkan hati, menghapuskan dosa, dan membuat ridha Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allâh, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran)…” [At-Tahrîm/66:4]
OBAT MUJARAB AGAR ISTIQOMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS BERBUAT DOSA
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.
Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan, dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak sadar dirinya sedang sakit, dan akibat dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia ini. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:
Mengingat ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah al-Qur`an juz ‘Amma (juz ke-30) beserta artinya, dan sebaiknya dihafalkan.
Baca hikayat para Nabi bersama ummatnya dan para salafus shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya dengan sebab dosa yang mereka lakukan.
Ingat bahwa setiap dosa dan maksiat memiliki akibat buruk di dunia maupun akhirat.
Ingat ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa. Satu per satu, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
Bacalah Istighfar dan Sayyidul Istighfar setiap hari, serta do’a-do’a pelebur dosa lainnya.
HAL-HAL YANG WAJIB DIINGAT SEBELUM DAN SESUDAH TAUBAT
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui seluruh perbuatan dosa para hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِنْ بَعْدِ نُوحٍ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami binasakan. Dan cukuplah Rabbmu Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa para hamba-Nya.” [Al-Isrâ`/17:17]
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ ۚ وَكَفَىٰ بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا
“Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Hidup, Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” [Al-Furqân/25: 58]
2. Mengingat bahwa adzab Allâh Azza wa Jalla sangat pedih
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٤٩﴾ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ
Kabarkanlah kepada para hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih. [Al-Hijr/15:49-50]
Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ فِيْ أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ. وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ
Sesungguhnya seorang Mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia berada di kaki gunung, ia takut gunung itu akan menimpanya. Adapun seorang yang fajir (suka berbuat maksiat) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya.[16]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh kalian mengerjakan suatu amal yang –dalam pandangan kalian- lebih tipis daripada rambut, namun kami menganggapnya di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suatu dosa besar (yang membinasakan).”[17]
3. Berusaha pindah dari tempat yang banyak dikerjakan maksiat
Sebagaimana dalam hadits tentang orang yang membunuh 100 jiwa. Singkatnya, setelah orang tersebut membunuh 100 jiwa, ia bertanya kepada seorang ‘alim, “Apakah jika ia bertaubat akan diterima taubatnya?” Orang ‘alim itu menjawab, ‘Ya, dan siapakah yang akan menghalangi antara dia dan taubat. Pergilah ke tempat ini dan ini karena di sana ada sekelompok orang yang beribadah kepada Allâh, maka beribadahlah kepada Allâh bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke tempatmu karena tempatmu adalah tempat yang jelek”[18][18]
PERKARA-PERKARA YANG WAJIB DIHINDARI DALAM TAUBAT
1. Terus menerus dalam berbuat dosa
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]
2. Berbangga dengan perbuatan dosa
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.
Setiap ummatku diampuni kecuali al-mujâhirin (orang-orang yang sengaja menampakkan perbuatan dosanya-red). Dan sungguh termasuk mujaharah (perbuatan menyengaja menampak dosa) yaitu orang yang mengerjakan suatu perbuatan dosa pada malam hari, kemudian ia memasuki waktu pagi padahal Allâh Azza wa Jalla telah menutupi dosanya tersebut, namun ia berkata (menceritakannya), ‘Wahai fulan! Saya tadi malam melakukan ini dan itu.’ Padahal Allâh Azza wa Jalla telah menutupi perbuatannya pada malam hari, tetapi pagi harinya ia membuka sendiri perbuatannya yang telah ditutupi oleh Allâh tersebut.[19]
Mujâhir adalah orang yang bangga, sengaja menampakkan dan menceritakan dosanya kepada orang lain. Orang yang berbangga dengan dosanya berarti dia telah melakukan lima kejahatan, yaitu:
- Kejahatan karena perbuatan dosa atau maksiat itu sendiri
- Kejahatan karena ia menceritakan perbuatan dosa yang telah dikerjakannya atau ia mengerjakannya dihadapan orang lain
- Kejahatan karena ia telah membuka penutup aib yang telah Allâh tutupkan
- Kejahatan karena ia telah membangkitkan semangat orang untuk berbuat dosa sepertinya.
- Kejahatan karena ia menganggap remeh perbuatan dosa dan maksiatnya itu.[20]
3. Tidak istiqamah dalam bertaubat
Ada beberapa tingkatan manusia yang bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla, yaitu :
Pertama, yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya sampai meninggal dunia. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi dosanya dan ia berusaha membereskan semua kesalahannya. Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas darinya. Meski demikian, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sâbiqûn bil khairât.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ
Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh [Fâthir/35:32]
Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Jiwa yang demikian dinamakan an-nafsul muthmainnah.
Kedua, yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar tetapi ia terkena musibah, yaitu ia sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya dan menyesalinya. Orang-orang ini akan mendapatkan janji kebaikan dari Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunan-Nya…” [An-Najm/53:32]
Dan jiwa yang demikian dinamakan an-nafsul lawwâmah.
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah demi jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) [Al-Qiyâmah/75:2]
Ketiga, orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allâh firmankan, yang artinya, “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allâh menerima taubat mereka, sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [At-Taubah: 102]
Jiwa inilah yang disebut an-nafsul mas-ûlah.
Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya. Bahkan ada kemungkinan sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat maut telah diperintah Allâh Azza wa Jalla untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.
Keempat, yaitu orang yang bertaubat tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa dan maksiat dan tidak peduli lagi terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allâh serta tidak ada lagi rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa, bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Jiwa yang demikian ini dinamakan an-nafsul ammârah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yûsuf/12 :53]
Tingkatan keempat ini sangat berbahaya dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khâtimah (Akhir kehidupan yang jelek).[21]
Nas`alullâha al-‘afwa wal ‘afiyah. Kita memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon agar diselamatkan dari hal yang seperti ini.
FAWAA’ID HADITS
- Taubat merupakan nikmat, karunia dan hidayah taufik dari Allâh kepada para hamba-Nya.
- Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan, dan yang terbaik adalah yang bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua dosa dan sifat yang tercela.
- Taubat wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.
- Taubat wajib dilakukan dengan ikhlas, jujur dan memenuhi syarat-syaratnya.
Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan), serta perubahan kepada yang lebih baik.
Pintu taubat masih tetap terbuka, siang dan malam, sampai matahari terbit dari barat.
Seorang hamba tidak boleh putus asa dari rahmat Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang mengampuni semua dosa besar dan kecil.
Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat apabila ruh sudah berada di tenggorokan dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari istighfar dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla 100 kali.
Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum adalah contoh teladan yang baik dalam bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla telah menerima taubat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. [At-Taubah/9:117]
Allâh Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “…Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah: 222]
Allâh Azza wa Jalla sangat senang dengan taubat seorang hamba yang ikhlas dan jujur.
Taubat dan istighfar wajib dibuktikan dengan amalan-amalan ketaatan kepada Allâh, menjauhi maksiat, dan tidak mengulangi perbuatan dosa-dosanya. Ini adalah taubat yang ikhlas dan jujur.
Taubat yang ikhlas, jujur, dan istiqamah dalam taubatnya akan membuat seorang hamba lebih baik dari sebelumnya dan husnul khatimah
Orang yang selalu bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menunjuki hatinya. [Ar-Ra’d/13:27]
Taubat yang jujur dan ikhlas akan membawa kepada ketenangan, tawadhu, menumbuhkan rasa takut terhadap Allâh dan siksa-Nya.
Segeralah bertaubat dan memperbanyak istighfar, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kenikmatan yang banyak dan menurunkan hujan yang deras.
Bertaubat dan memperbanyak istighfar akan mendatangkan rezeki dan jalan keluar yang terbaik.
Kita dianjurkan setiap hari beristighfar dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Dianjurkan kita beristighfar pada waktu sahur.
Istighfar yang dibaca yaitu:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلِيْهِ
Aku memohon ampunan kepada Allâh Yang Mahaagung, Yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, Yang Maha-hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.[22]
Yang paling baik dibaca yaitu sayyidul isighfar, di waktu pagi dan petang.
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبّـِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ.
“Ya Allâh, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan (apa) yang kuperbuat. Aku mengakui dosaku, oleh karena itu ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”
MARAAJI’:
- Kutubus sittah
- Tafsîr Ibni Katsiir, tahqiq Sami Muhammad Salamah, cet. Daar Thaybah.
- Fat-hul Bâ
- Syarah Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi.
- Mukhtashar Minhajil Qâshidîn, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi.
- Madârijus Sâlikiin, Imam Ibnul Qayyim, cet. Darul Hadits-Kairo
- Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Riyâdhush Shâlihîn, Imam an-Nawawi.
- Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
- [1] Dalam ilmu mushthalah hadits, ini dinamakan mubham. Mubham Sahabi adalah shahih, karena para Sahabat semuanya adil.
اَلصَّحَابَـةُ كُلُّـهُمْ عُدُوْلٌ. “Para Shahabat semuanya adil (terpercaya).” (Lihat Irsyâdul Fuhûl ilâ Tahqîqil Haqqi min ‘Ilmil Ushûl (I/228) karya Imam asy-Syaukani tahqiq DR. Sya’ban Muhammad Isma’il).
Menurut Syaikh al-Albani bahwa tampaknya Sahabat tersebut adalah al-Agharr al-Muzani Radhiyallahu anhu. Bahkan Imam Abu Hatim rahimahullah ketika ditanya oleh anaknya Ibnu Abi Hatim, beliau dengan tegas mengatakan bahwa riwayat di atas dari Sahabat al-Agharr al-Muzani Radhiyallahu anhu. Ibnu Abi Hatim berkata, “Ayahku (Abu Hatim) berkata: Sesungguhnya orang ini adalah al-Agharr al-Muzani, dia seorang Sahabat (Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam).” (Al-’Ilal, V/182-183 no. 1904).
- [2] Hasan: HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4515)
- [3] Lihat Fat-hul Bâri (XI/103) dan al-Mu’jamul Wasith, bab Taa-ba (I/90).
- [4] Mukhtashar Minhajil Qâshidin (hlm. 322), karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid
- [5] Madârijus Sâlikîn (I/198), cet. Darul Hadits-Kairo
- [6] Madârijus Sâlikîn (I/297), cet. Darul Hadits-Kairo.
- [7] Syarhu Shahîh Muslim (XVII/59).
- [8] Shahih: HR. At-Tirmidzi )no. 3434); Abu Dawud (no. 1516); Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
- [9] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 4635), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Penjelasan ini dinukil dari Tafsîr Ibni Katsîr (III/371), cet. Daar Thaybah.
- [10] Shahih: HR. Muslim (no. 2703), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
- [11] Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 3537); Ibnu Majah (no. 4253); Ahmad (II/132, 153), dan al-Hakim (IV/257). Lafazh hadits ini menurut Imam at-Tirmidzi.
- [12] Lihat Riyâdhush Shâlihîn bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahîh al-Wâbilish Shayyib (hlm. 272-273).
- [13] Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 406); Ahmad (I/2, 10); Abu Dawud (no. 1521); Ibnu Majah (no. 1395); Abu Da-wud ath-Thayalisi (no. 1 dan 2), Abu Ya’la (no. 12 dan 15), dan lainnya.
- [14] Shahih : HR. Ibnu Mâjah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud I. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3008)
- [15] Hasan: HR. Al-Hakim (IV/252), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 5359).
- [16] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6308) dan at-Tirmidzi (no. 2497).
- [17] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6492).
- [18] Hadits ini shahih. Selengkapnya lihat dalam HR. Al-Bukhâri (no. 3470) dan Muslim (no. 2766) atau dalam kitab Riyâdhus Shâlihîn bab Taubat
- [19] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6069) dan Muslim (no. 2990) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
- [20] Bahjatun Nâzhiriin (I/330).
- [21] Lihat Mukhtashar Minhajil Qâshidin (hlm. 335-336).
- [22] Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلِيْهِ.
‘Aku memohon ampunan kepada Allâh Yang Mahaagung, Yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, Yang Maha-hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.’ Maka Allâh pasti akan mengampuni dosanya meskipun ia pernah lari dari medan peperangan.’ Maka Allah pasti akan mengampuni dosanya meskipun
ia pernah lari dari medan peperangan.”
Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517), at-Tirmidzi (no. 3577), dan al-Hakim (I/511). Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/182, no. 2831).
[23] Barangsiapa yang membaca do’a ini dengan yakin di pagi hari lalu ia meninggal sebelum masuk waktu sore, maka ia termasuk ahli Surga. Dan barangsiapa yang membacanya dengan yakin di waktu sore lalu ia meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk ahli Surga. (HR. Al-Bukhâri, (no. 6306, 6323); Ahmad (IV/122-125); An-Nasa-i (VIII/279-280).