كُلُّ غُلاَمٍ مُرْاَهِنُ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“Artinya : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya…”
Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133) : “Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di dalamnya bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan nasikah tersebut, sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang mengurusi dirinya”
1. Muawiyah bin Qurrah berkata : “Ketika lahir Iyyas [1] aku mengundang sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku menjamu mereka, lalu mereka berdo’a. Aku katakana : “Kalian telah berdo’a maka semoga Allah memberkahi kalian dalam apa yang kalian doakan”. Jika aku berdo’a dengan satu do’a maka mereka mengaminkan”.
Muawiyah berkata : “Maka aku mendo’akan Iyyas dengan do’a yang banyak untuk kebaikan agamanya dan akal’ [2]
2. Bilal bin Ka’ab Al-Akki’ berkata : “Kami yakni aku, Ibrahim bin Adham, Abdul Aziz bin Qarir dan Musa bin Yasar, mengunjungi Yahya bin Hasan Al-Bakri Al-Filisthini di kampungnya. Maka Yahya datang pada kami dengan membawa makanan. Musa tidak ikut memakan hidangan karena ia sedang puasa. Maka berkata Yahya : “Telah mengimani kami di masjid ini selama 40 tahun seorang lelaki dari Bani Kinanah dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kunyahnya Abu Qurshafah. Kebiasan Abu Qurshafah ini adalah puasa sehari dan berbuka sehari. Lalu lahir anaknya ayahku maka ayahku mengundangnya bertetapan dengan hari puasanya, maka ia berbuka”
Ibrahim berdiri lalu menyapunya dengan bajunya dan Musa berbuka dari puasanya [3]
Dengan demikian disyari’atkan walimah nasikah dan bagi yang diundang hendaklah memenuhinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو نحوه
“Artinya : Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya maka hendaklah ia memenuhinya apakah undangan nikah atau semisalnya” [4]
Berkata Imam Syafi’i dalam Al-Umm : “Mendatangi undangan walimah adalah wajib”.
Dan beliau berkata :
“Dan aku tidak memberikan keringanan pada seorangpun untuk meninggalkannya”
Tentunya dikecualikan jika ada kemungkaran di dalam acara tersebut maka ketika itu wajib untuk tidak menghadirinya.
[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]
- [1]. Iyyas adalah putra Muawiyah bin Qurrah, ia seorang qadhi yang masyhur dengan kepandaian, ia tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrib.
- [2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1255) dan sanadnya shahih, di dalamnya ada Hazm bin Abi Hazm, kata Syaikh Al-Albani (dalam) Ash-Shahihah (3/418) : “Dia diperbincangkan tanpa hujjah”.
Dan ini yang benar maka ia (Hazm) tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ahmad, Ibnu Main dan selain keduanya, dan tidak perlu menoleh pada ucapan Ibnu Hajar dal At-Taqrib.
- [3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1253) dan sanadnya dlaif. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz Al-Umari : “Ia suhuduq sering wahm” seperti yang dinyatakan dalam “At-Taqrib”. Dan rawi yang bernama Bilal bin Kaab kata Al-Hafidzh ia maqbul yakni jika ada yang mengikutinya dalam periwayatan.
- [4]. Shahih dikeluarkan oleh Musim (10/246-Nawawi) dan selainnya.