Pertanyaan.
Apakah ibadah haji yang dilakukan seseorang bisa menghapuskan dosa besar yang pernah dilakukannya sebelum berhaji?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab[1]:
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam :
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa menunaikan ibadah haji lalu dia tidak melakukan rafats (perkataan atau perbuatan yang tidak seronok ) dan tidak melakukan perbuatan fasiq, maka dia kembali (suci) sebagaimana hari dilahirkan oleh ibunya.[2]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam :
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Haji mabrur tidak ada balasannya selain surga[3]
Yang tampak dari ucapan-ucapan Rasul di atas adalah haji mabrur bisa menghapuskan dosa besar. Ini juga diperkuat dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam :
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Satu umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus (dosa-dosa) yang ada diantara keduanya dan haji mabrur tidak memiliki balasan selain surga.
Dosa-dosa diantara dua umrah akan terhapus dengan syarat dia menjauhi perbuatan-perbuatan dosa besar.
Meski haji mabrur bisa menghapus dosa besar, namun tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah ada orang yang yakin bahwa haji yang dilakukan itu mabrur? Ini merupakan perkara sulit, karena haji mabrur itu harus mabrur dalam dua hal yaitu tujuan dan perbuatan.
Mabrur dalam tujuan atau niat, maksudnya yaitu tujuannya melaksanakan ibadah haji hanya untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dia bertujuan menghambakan diri kepada-Nya dengan melaksanakan manasik haji. Niatnya ikhlas, tidak dikotori riya’ (keinginan pamer dengan dilihat orang-red) juga tidak dengan niat sum’ah (pamer dengan didengar orang-red) juga tidak terkotori dengan keperluan dunia, kecuali keperluan dunia yang diperbolehkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allâh di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allâh sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. [Al-Baqarah/2:198]
Adapun mabrur dalam perbuatan atau amalan, maksudnya adalah dia mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam menunaikan manasik haji, sambil terus menjauhi semua perkara yang diharamkan bagi setiap orang yang sedang berihram khususnya atau yang diharamkan untuk semua orang. Ini adalah perkara yang susah, apalagi di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak ada satu pun jama’ah haji yang luput dari kesalahan, baik kesalahan yang berupa kekurangan ataupun perbuatan yang berlebihan hingga melampaui batas, atau melakukan perbuatan buruk atau keikhlasannya kurang.
Berdasarkan fakta ini, maka tidak seyogyanya seseorang bertumpu pada ibadah haji kemudian dia melangkahkan kakinya dengan ringan untuk melakukan perbuatan dosa-dosa besar, sambil mengatakan, ‘Dosa besar bisa terhapus dengan ibadah haji.’ Mestinya, dia segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatan dosa besar itu, berhenti dan tidak berniat untuk mengulanginya lagi. Dengan demikian, ibadah hajinya akan menjadi tambahan kebaikan dalam amal-amal shalehnya.
Diantara contoh perbuatan dosa besar yang sering dilakukan oleh sebagian orang di masa-masa ini atau bahkan kebanyakan orang yaitu perbuatan ghibah (menggunjing). Yaitu menyebut keburukan saudaranya sesama Muslim disaat dia tidak ada ditempat. Ghibah termasuk dosa besar sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah. Allâh Azza wa Jalla menggambaran perbuatan ghibah dengan gambaran terburuk dan menjijikkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. [Al-Hujurat/49:12]
Dan kita sudah tahu, seorang manusia tidak akan suka memakan daging saudaranya, baik hidup maupun mati, apalagi memakan bangkainya, tentu akan semakin menjijikkannya.
Jika ini kenyataannya, lalu mengapa dia rela memakan daging saudaranya dengan menggunjingnya dikala dia tidak ada ditempat?! Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita semua dari perbuatan dosa besar ini.
Ghibah termasuk dosa besar secata mutlak. Dosa dan hukumannya akan semakin berlipat ganda sejalan dengan keburukan yang ditimbulkannya. Mengghibah kerabat dekat tidak sama dengan mengghibah kerabat yang jauh. Karena mengghibah kerabat dekat berarti melakukan ghibah dan memutus tali silaturahim.
Mengghibah tetangga tidak sama dengan mengghibah yang bukan tetangga, karena mengghibah tetangga bertentangan dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Barangsiapa beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetanggannya.[4]
Juga masuk dalam ancaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam :
وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
Demi Allâh, Dia tidak beriman! Demi Allâh, Dia tidak beriman! Demi Allâh, Dia tidak beriman! Dikatakan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , ‘Siapakah gerangan? Wahai Rasûlullâh!’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”[5]
Mengghibah (menggunjing) para Ulama tidak sama dengan mengghibah manusia pada umumnya. Karena para Ulama memiliki keutamaan dan kehormatan yang sesuai dengan kondisi mereka. Dikarena juga mengghibah (menggunjing) para Ulama menyebabkan kehormatan mereka hilang di mata manusia, dan dampak berikutnya, manusia akan meremehkan syari’at Islam yang disampaikan oleh para Ulama. Akhirnya, syari’at diabaikan. Ini akibat mengghibah (menggunjing) pada Ulama. Dampak berikutnya adalah masyarakat menjadikan orang-orang jahil sebagai rujukan, mereka berfatwa tanpa dasar ilmu.
Begitu juga mengghibah para penguasa yang diberi kekuasaan oleh Allâh Azza wa Jalla . akibat buruk dari mengghibah mereka itu berlipat. Karena mengghibah mereka membuat mereka hina dihadapan masyarakat dan kehilangan wibawa. Jika wibawa mereka hilang, negara akan rusak, kekacauan, fitnah dan kejahatan akan merajalela. Meskipun orang yang mengghibah itu berniat untuk memperbaiki keadaan para penguasa, maka ketahuilah keburukan yang ditimbulkan lebih banyak daripada kebaikan yang diinginkannya. Efek negatif dari mengghibah mereka lebih buruk daripada dosa yang dilakukan oleh para penguasa itu sendiri. Karena ketika wibawa penguasa rontok di mata masyarakatnya, mereka akan dengan mudah membangkang dan tidak taat kepadanya. Jika ini yang terjadi, maka tentu bukan sebuah perbaikan yang dilakukan oleh para pengghibah penguasa itu melainkan pengerusakan, mengganggu stabilitas keamanan dan menyebarkan huru hara.
Yang seharusnya dilakukan adalah menasehati penguasa dan Ulama dengan metode yang bisa menghilangkan keburukan dan menimbulkan kebaikan yaitu dengan cara sirr (rahasia), memperhatikan adab-adab dan penuh hormat. Dengan ini, kemungkinan untuk diterima nasehatnya lebih besar dan lebih berpeluang untuk menghentikan keburukan penguasa. Dan terkadang, masalah yang dikritisi oleh seseorang atau orang banyak, justru itu yang benar, karena dengan berdiskusi masalahnya menjadi jelas.
Betapa banyak orang alim yang digunjing (dighibah) dan disebut dengan sesuatu yang tidak menyenangkan, namun jika orang alim ini diajak diskusi, maka tampak bahwa dia tidak pernah mengucapkan perkataan yang dinisbatkan kepadanya atau apa yang dinisbatkan kepadanya itu adalah sebuah kebohongan yang bertujuan untuk merusak nama baik, untuk melampiaskan kedengkian. Atau terkadang, orang alim itu memang benar mengucapkannya tapi dia memiliki alasan yang tidak diketahui oleh banyak orang. Dengan berdiskusi, kebenaran akan tampak nyata.
Adapun orang yang hanya sekedar mendengar suatu keburukan tentang penguasa atau Ulama lalu dia bergegas menyebarkannya dan mengabaikan kebaikannya, maka ini bukanlah perbuatan orang yang adil. Ini adalah kezhaliman yang nyata. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[Al-Maidah/5:8]
Maksudnya, janganlah kemarahan kalian kepada mereka membuat kalian tidak berbuat adil!
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhkan kita semua dari segala penyebab keburukan dan kerusakan. Dan semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menyatukan hati-hati dan menjadikan kita semua pribadi-pribadi yang saling mencintai karena Allâh, saling tolong-menolong dalam ketakwaan dan kebaikan. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha kuasa atas segala sesuatu.