This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 September 2022

Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan

Siapa yang tidak tahu tentang karma? Istilah pembalasan karma atau hukum pembalasan karma sering digunakan oleh banyak orang untuk merujuk pada pembalasan atas tindakan yang dilakukan.  Orang Indonesia juga mengenal dua jenis karma, yaitu karma baik dan karma buruk. Tulus dan ikhlas, orang itu akan memiliki karma baik dalam hidupnya.  Sebaliknya, jika seseorang melakukan kejahatan, menyakiti atau menyebabkan penderitaan, orang itu akan menderita karma buruk  dalam hidupnya.  Istilah karma sendiri  sering digunakan untuk orang  yang merasa hidupnya tersakiti atau tersakiti yang berharap agar orang yang menyakitinya akan mendapat karma buruk di kemudian hari. Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan. Bukankah segala sesuatunya selalu kontradiktif? Memiliki dua sisi yang selalu bertolak belakang? Memiliki pertentangan di dalam? Lantas, mengapa harus kaget pada dua sisi itu? Semuanya biasa saja kan? Begitu katanya. Aku masih bergeming diantara dua pilihan. Dua duanya memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Dan dua duanya sama kuat menarikku untuk go ahead atau menahan diri. Aku tahu, seharusnya aku menahan diri. Namun, sisi yang lain memaksaku untuk go ahead saja. Menghindari penyesalan. Begitu (lagi) katanya.  Hingga detik ini, aku masih bergeming di posisi yang sama. Padahal, kurang dari dua jam dari sekarang keputusan itu sudah harus kubulatkan. Tidak setengah setengah lagi. Terbentur pada hati atau kepala, yang bagiku justru semakin memekakkan gendang telinga. Ah, aku benci ini. Semua harusnya mudah, sampai segala pertimbangan turut campur dan membikin jadi runyam. Membuat beragam kemungkinan dan antisipasi yang terlalu dini. Namun tetap tidak bisa disalahkan. Bukankah tugas kepala memang begitu? Dan hati juga sama. Kenapa selalu berkeras? Kenapa kamu selalu menjadikan menyesal belakangan menjadi alasan? Meskipun itu benar. Aku hanya menghindari penyesalan. Penyesalan memang belakangan, namun bukankah bisa dihindari? Dimana letak keberadaban manusia yang katanya harus belajar dari pengalaman dan kesalahan?  Dunia mungkin menentangku. Katanya, jangan bego, Ta. Tapi apalah daya, aku memang bego. Jangan naf. Bagaimana? Aku terlahir naf, dan sampai sekarang pun masih sama. Jangan berkeras hati. Apakah namanya berkeras hati jika menuruti hati nurani? Bukankah katanya nurani itu selalu benar? Bukankah spontanitas adalah kehendak yang paling jujur dan apa adanya? Tanpa tendensi? Momentum yang sangat tepat? Lalu aku harus bagaimana?  Apa yang benar dan apa yang salah? Jika menuruti kepala dan seluruh dunia, apakah sudah bisa dibilang benar? Meskipun berdampak penyesalan? Atau sebaliknya. Sudah siapkah aku di caci maki tapi terasa benar, paling tidak menurut diriku sendiri. Dan kenapa semua menjadi rasa rasanya? Apa yang baku, dan apa yang pasti, dan apa yang paling benar dari ini semua?  Ah, kepala ini hampir pecah. Atau, hati ini yang mulai lelah berdiri sendirian. Selalu terbentur pada pokok yang sama, dengan medium yang berbeda. Kompleksitas yang menjemukan, maupun kesederhanaan yang melenakan.  Dan kusadari ini sebagai jalan manusia untuk selalu berada dalam persimpangan. Dalam pergulatan didalam yang akan terus ada sepanjang kehidupan masih berlangsung. Sudah menjadi tugas manusia untuk senantiasa memilih. Meskipun pilihan itu selalu terbatas pada apa yang sanggup diketahui manusia saja. Apapun itu. Dan kusemogakan kali ini keputusanku tidak keliru. Tidak berakhir pada penyesalan, dan juga tidak menjadikanku sebagai bulan bulanan dunia.Aku ikhlas, Sa. Semoga.  Meski keikhlasan tidak akan pernah sanggup terucapkan. Dan jika nanti aku menyesal pada keputusan kali ini, semoga aku cukup kuat untuk menanggungnya. Itu saja.  Referensi : Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan. Bukankah segala sesuatunya selalu kontradiktif? Memiliki dua sisi yang selalu bertolak belakang? Memiliki pertentangan di dalam? Lantas, mengapa harus kaget pada dua sisi itu? Semuanya biasa saja kan? Begitu katanya. Aku masih bergeming diantara dua pilihan. Dua duanya memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Dan dua duanya sama kuat menarikku untuk go ahead atau menahan diri. Aku tahu, seharusnya aku menahan diri. Namun, sisi yang lain memaksaku untuk go ahead saja. Menghindari penyesalan. Begitu (lagi) katanya. Hingga detik ini, aku masih bergeming di posisi yang sama. Padahal, kurang dari dua jam dari sekarang keputusan itu sudah harus kubulatkan. Tidak setengah setengah lagi. Terbentur pada hati atau kepala, yang bagiku justru semakin memekakkan gendang telinga. Ah, aku benci ini. Semua harusnya mudah, sampai segala pertimbangan turut campur dan membikin jadi runyam. Membuat beragam kemungkinan dan antisipasi yang terlalu dini. Namun tetap tidak bisa disalahkan. Bukankah tugas kepala memang begitu? Dan hati juga sama. Kenapa selalu berkeras? Kenapa kamu selalu menjadikan menyesal belakangan menjadi alasan? Meskipun itu benar. Aku hanya menghindari penyesalan. Penyesalan memang belakangan, namun bukankah bisa dihindari? Dimana letak keberadaban manusia yang katanya harus belajar dari pengalaman dan kesalahan?  Dunia mungkin menentangku. Katanya, jangan bego, Ta. Tapi apalah daya, aku memang bego. Jangan naf. Bagaimana? Aku terlahir naf, dan sampai sekarang pun masih sama. Jangan berkeras hati. Apakah namanya berkeras hati jika menuruti hati nurani? Bukankah katanya nurani itu selalu benar? Bukankah spontanitas adalah kehendak yang paling jujur dan apa adanya? Tanpa tendensi? Momentum yang sangat tepat? Lalu aku harus bagaimana?  Apa yang benar dan apa yang salah? Jika menuruti kepala dan seluruh dunia, apakah sudah bisa dibilang benar? Meskipun berdampak penyesalan? Atau sebaliknya. Sudah siapkah aku di caci maki tapi terasa benar, paling tidak menurut diriku sendiri. Dan kenapa semua menjadi rasa rasanya? Apa yang baku, dan apa yang pasti, dan apa yang paling benar dari ini semua?  Ah, kepala ini hampir pecah. Atau, hati ini yang mulai lelah berdiri sendirian. Selalu terbentur pada pokok yang sama, dengan medium yang berbeda. Kompleksitas yang menjemukan, maupun kesederhanaan yang melenakan.  Dan kusadari ini sebagai jalan manusia untuk selalu berada dalam persimpangan. Dalam pergulatan didalam yang akan terus ada sepanjang kehidupan masih berlangsung. Sudah menjadi tugas manusia untuk senantiasa memilih. Meskipun pilihan itu selalu terbatas pada apa yang sanggup diketahui manusia saja. Apapun itu. Dan kusemogakan kali ini keputusanku tidak keliru. Tidak berakhir pada penyesalan, dan juga tidak menjadikanku sebagai bulan bulanan dunia.Aku ikhlas, Sa. Semoga.  Meski keikhlasan tidak akan pernah sanggup terucapkan. Dan jika nanti aku menyesal pada keputusan kali ini, semoga aku cukup kuat untuk menanggungnya. Itu saja.  Referensi : Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan Siapa yang tidak tahu tentang karma? Istilah pembalasan karma atau hukum pembalasan karma sering digunakan oleh banyak orang untuk merujuk pada pembalasan atas tindakan yang dilakukan.  Orang Indonesia juga mengenal dua jenis karma, yaitu karma baik dan karma buruk. Tulus dan ikhlas, orang itu akan memiliki karma baik dalam hidupnya.  Sebaliknya, jika seseorang melakukan kejahatan, menyakiti atau menyebabkan penderitaan, orang itu akan menderita karma buruk  dalam hidupnya.  Istilah karma sendiri  sering digunakan untuk orang  yang merasa hidupnya tersakiti atau tersakiti yang berharap agar orang yang menyakitinya akan mendapat karma buruk di kemudian hari. Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan. Bukankah segala sesuatunya selalu kontradiktif? Memiliki dua sisi yang selalu bertolak belakang? Memiliki pertentangan di dalam? Lantas, mengapa harus kaget pada dua sisi itu? Semuanya biasa saja kan? Begitu katanya. Aku masih bergeming diantara dua pilihan. Dua duanya memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Dan dua duanya sama kuat menarikku untuk go ahead atau menahan diri. Aku tahu, seharusnya aku menahan diri. Namun, sisi yang lain memaksaku untuk go ahead saja. Menghindari penyesalan. Begitu (lagi) katanya.  Hingga detik ini, aku masih bergeming di posisi yang sama. Padahal, kurang dari dua jam dari sekarang keputusan itu sudah harus kubulatkan. Tidak setengah setengah lagi. Terbentur pada hati atau kepala, yang bagiku justru semakin memekakkan gendang telinga. Ah, aku benci ini. Semua harusnya mudah, sampai segala pertimbangan turut campur dan membikin jadi runyam. Membuat beragam kemungkinan dan antisipasi yang terlalu dini. Namun tetap tidak bisa disalahkan. Bukankah tugas kepala memang begitu? Dan hati juga sama. Kenapa selalu berkeras? Kenapa kamu selalu menjadikan menyesal belakangan menjadi alasan? Meskipun itu benar. Aku hanya menghindari penyesalan. Penyesalan memang belakangan, namun bukankah bisa dihindari? Dimana letak keberadaban manusia yang katanya harus belajar dari pengalaman dan kesalahan?  Dunia mungkin menentangku. Katanya, jangan bego, Ta. Tapi apalah daya, aku memang bego. Jangan naf. Bagaimana? Aku terlahir naf, dan sampai sekarang pun masih sama. Jangan berkeras hati. Apakah namanya berkeras hati jika menuruti hati nurani? Bukankah katanya nurani itu selalu benar? Bukankah spontanitas adalah kehendak yang paling jujur dan apa adanya? Tanpa tendensi? Momentum yang sangat tepat? Lalu aku harus bagaimana?  Apa yang benar dan apa yang salah? Jika menuruti kepala dan seluruh dunia, apakah sudah bisa dibilang benar? Meskipun berdampak penyesalan? Atau sebaliknya. Sudah siapkah aku di caci maki tapi terasa benar, paling tidak menurut diriku sendiri. Dan kenapa semua menjadi rasa rasanya? Apa yang baku, dan apa yang pasti, dan apa yang paling benar dari ini semua?  Ah, kepala ini hampir pecah. Atau, hati ini yang mulai lelah berdiri sendirian. Selalu terbentur pada pokok yang sama, dengan medium yang berbeda. Kompleksitas yang menjemukan, maupun kesederhanaan yang melenakan.  Dan kusadari ini sebagai jalan manusia untuk selalu berada dalam persimpangan. Dalam pergulatan didalam yang akan terus ada sepanjang kehidupan masih berlangsung. Sudah menjadi tugas manusia untuk senantiasa memilih. Meskipun pilihan itu selalu terbatas pada apa yang sanggup diketahui manusia saja. Apapun itu. Dan kusemogakan kali ini keputusanku tidak keliru. Tidak berakhir pada penyesalan, dan juga tidak menjadikanku sebagai bulan bulanan dunia.Aku ikhlas, Sa. Semoga.  Meski keikhlasan tidak akan pernah sanggup terucapkan. Dan jika nanti aku menyesal pada keputusan kali ini, semoga aku cukup kuat untuk menanggungnya. Itu saja.  Referensi : Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan
Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan. Bukankah segala sesuatunya selalu kontradiktif? Memiliki dua sisi yang selalu bertolak belakang? Memiliki pertentangan di dalam? Lantas, mengapa harus kaget pada dua sisi itu? Semuanya biasa saja kan? Begitu katanya. Aku masih bergeming diantara dua pilihan. Dua duanya memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Dan dua duanya sama kuat menarikku untuk go ahead atau menahan diri. Aku tahu, seharusnya aku menahan diri. Namun, sisi yang lain memaksaku untuk go ahead saja. Menghindari penyesalan. Begitu (lagi) katanya.

Hingga detik ini, aku masih bergeming di posisi yang sama. Padahal, kurang dari dua jam dari sekarang keputusan itu sudah harus kubulatkan. Tidak setengah setengah lagi. Terbentur pada hati atau kepala, yang bagiku justru semakin memekakkan gendang telinga. Ah, aku benci ini. Semua harusnya mudah, sampai segala pertimbangan turut campur dan membikin jadi runyam. Membuat beragam kemungkinan dan antisipasi yang terlalu dini. Namun tetap tidak bisa disalahkan. Bukankah tugas kepala memang begitu? Dan hati juga sama. Kenapa selalu berkeras? Kenapa kamu selalu menjadikan menyesal belakangan menjadi alasan? Meskipun itu benar. Aku hanya menghindari penyesalan. Penyesalan memang belakangan, namun bukankah bisa dihindari? Dimana letak keberadaban manusia yang katanya harus belajar dari pengalaman dan kesalahan?

Dunia mungkin menentangku. Katanya, jangan bego, Ta. Tapi apalah daya, aku memang bego. Jangan naf. Bagaimana? Aku terlahir naf, dan sampai sekarang pun masih sama. Jangan berkeras hati. Apakah namanya berkeras hati jika menuruti hati nurani? Bukankah katanya nurani itu selalu benar? Bukankah spontanitas adalah kehendak yang paling jujur dan apa adanya? Tanpa tendensi? Momentum yang sangat tepat? Lalu aku harus bagaimana?

Apa yang benar dan apa yang salah? Jika menuruti kepala dan seluruh dunia, apakah sudah bisa dibilang benar? Meskipun berdampak penyesalan? Atau sebaliknya. Sudah siapkah aku di caci maki tapi terasa benar, paling tidak menurut diriku sendiri. Dan kenapa semua menjadi rasa rasanya? Apa yang baku, dan apa yang pasti, dan apa yang paling benar dari ini semua?

Ah, kepala ini hampir pecah. Atau, hati ini yang mulai lelah berdiri sendirian. Selalu terbentur pada pokok yang sama, dengan medium yang berbeda. Kompleksitas yang menjemukan, maupun kesederhanaan yang melenakan.

Dan kusadari ini sebagai jalan manusia untuk selalu berada dalam persimpangan. Dalam pergulatan didalam yang akan terus ada sepanjang kehidupan masih berlangsung. Sudah menjadi tugas manusia untuk senantiasa memilih. Meskipun pilihan itu selalu terbatas pada apa yang sanggup diketahui manusia saja. Apapun itu. Dan kusemogakan kali ini keputusanku tidak keliru. Tidak berakhir pada penyesalan, dan juga tidak menjadikanku sebagai bulan bulanan dunia.Aku ikhlas, Sa. Semoga.  Meski keikhlasan tidak akan pernah sanggup terucapkan. Dan jika nanti aku menyesal pada keputusan kali ini, semoga aku cukup kuat untuk menanggungnya. Itu saja.

Referensi : Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan